Jumat, 26 Februari 2016

Perjuangan Melawan Diri

Pada akhirnya kita akan menyadari,
musuh paling berbahaya tidak jauh di luar sana,
tapi di dalam diri kita sendiri.
@noffret


Musuh kita yang paling berbahaya, sebenarnya, tidak jauh di luar sana. Melainkan di dalam diri kita. Yang mengerikan, musuh itu sering kali tak terlihat. Kalau pun terlihat, kita cenderung menyukai. Karena memang wujudnya mirip diri kita.

Kisah lama tentang hal ini diilustrasikan oleh seorang lelaki yang datang menemui seorang filsuf. Dia datang untuk meminta suatu nasihat. Ketika sampai di rumah sang filsuf, dia melihat sang filsuf sedang mengepel dan menyikat lantai rumah dengan sangat keras, hingga keringatnya bercucuran, sementara tubuhnya basah dan kotor. Wajahnya terlihat kelelahan.

Si lelaki heran menyaksikan itu. Dengan heran pula ia bertanya, “Apa yang sedang Anda lakukan?”

Sang filsuf menoleh, dan menyahut, “Aku sedang melawan diriku.”

“Anda sedang... apa?”

Lalu sang filsuf menjelaskan, “Tadi, beberapa orang datang ke sini. Mereka meminta nasihat. Maka aku pun memberikan nasihat yang kupikir baik, dan mereka tampak puas sekali. Ketika mereka pulang, aku merasa sangat hebat, karena bisa membantu orang-orang lain. Benih kesombongan mulai muncul. Maka aku sengaja melakukan ini—mengepel dan menyikat lantai sampai kelelahan—untuk membunuh perasaan sombongku.”

Kesombongan memang penyakit khas manusia—musuh yang tiap malam tidur satu selimut dengan kita. Sebegitu khas, hingga kita pun menganggapnya umum, atau hal biasa. Kita memaklumi orang-orang kaya untuk sombong, sebagaimana kita memaklumi orang-orang pintar yang sombong. Orang biasa menyatakan, “Ya maklumlah dia sombong, namanya juga orang kaya.”

Tetapi, ironisnya, kesombongan sering kali tidak hanya milik mereka yang mungkin “layak” memiliki—perasaan itu bahkan muncul pada orang-orang yang sebenarnya “tidak layak”. Banyak orang tolol yang sombong, karena merasa dirinya pintar. Sama banyaknya orang yang tersesat tapi sombong, karena merasa dirinya paling benar.

Ada tiga macam tingkat kesombongan—kalau boleh dibilang begitu. Yang pertama adalah sombong karena kekayaan, yang kedua adalah sombong karena kecerdasan, dan yang ketiga adalah sombong karena kebaikan.

Yang pertama, sombong karena kekayaan. Ini jenis kesombongan paling rendah. Disadari atau tidak, kekayaan adalah materi yang paling mudah hilang. Orang yang hari ini kaya raya, tidak menutup kemungkinan besok kere dengan berbagai sebab. Karena terserang penyakit yang membutuhkan biaya besar, karena menjadi korban kejahatan, karena kesalahan spekulasi, atau karena berbagai hal yang menyebabkan orang kehilangan kekayaan.

Banyak pula orang miskin yang tiba-tiba menjadi kaya, dan biasanya jenis itulah yang paling tampak songong. Karena warisan, misalnya. Orang yang semula hidup melarat tiba-tiba kaya karena mendapat warisan. Atau karena mendapat uang undian sangat besar, lalu tiba-tiba menjadi jutawan. Atau karena korupsi. Dari yang semula pegawai biasa, tiba-tiba banyak harta. Karena kekayaan mereka diperoleh dengan cara mudah, kepribadian mereka pun biasanya berubah dengan mudah. Yang semula bersahaja tiba-tiba berubah menjadi bangsat.

Padahal, seperti yang disebut tadi, kekayaan adalah materi yang paling mudah hilang. Jangankan kekayaan yang diperoleh secara instan seperti warisan atau undian, bahkan kekayaan yang didapat dengan kerja keras bertahun-tahun pun bisa hilang dalam sekejap. Uang yang saat ini ada di dompet kita, tidak ada jaminan besok masih milik kita. Begitu pula tabungan yang ada di rekening kita, tidak ada jaminan bulan depan masih milik kita. Kekayaan adalah materi yang paling mudah hilang.

Jika untuk sesuatu yang mudah hilang saja manusia bisa sombong, kita pun seperti melihat bahwa manusia memang konyol.

Selain kekayaan, hal serupa yang juga kerap menimbulkan kesombongan adalah keindahan fisik—kecantikan, kemudaan, kekuatan, popularitas, dan semacamnya. Padahal, sebagaimana kekayaan, hal-hal bersifat fisik semacam itu juga tak abadi. Wanita yang cantik hari ini, bisa jadi berubah jelek sepuluh tahun mendatang. Orang-orang yang masih muda dan kuat hari ini, hanya butuh beberapa tahun ke depan untuk menjadi tua dan lemah.

Begitu pun jabatan. Yang saat ini petentang-petenteng karena menjadi pejabat, beberapa tahun yang akan datang bisa pensiun, lalu menjalani hidup bersama post power syndrome. Atau Alzheimer. Atau Parkinson. Atau kolesterol. Atau osteoporosis. Oh, well, sebut apa pun.

Menjadi sombong karena kekayaan, rupa fisik, atau jabatan, adalah jenis kesombongan paling rendah. Karena semua yang disombongkan adalah materi yang bisa hilang sewaktu-waktu. Bahkan pejabat pun bisa kehilangan jabatan tanpa menunggu pensiun. Karena kasus korupsi, misalnya, orang yang jadi menteri bisa tiba-tiba menjadi narapidana dan kehilangan jabatannya. Yang semula sangat dihormati bisa berubah menjadi sasaran caci maki.

Yang kedua adalah sombong karena kecerdasan. Ini jenis kesombongan yang lebih tinggi. Sebagaimana kekayaan, rata-rata orang berhasil mendapat kecerdasan karena usaha yang gigih. Jika kekayaan membutuhkan kerja keras, kecerdasan membutuhkan belajar keras. Karena proses pembelajaran bertahun-tahun, orang yang semula tampak biasa berubah menjadi sangat cerdas, berwawasan, pintar, bahkan bijaksana. Saat sampai di titik itu, sebagian mereka biasanya jadi sombong. Yang dulunya tampak kuper dan gagap, sekarang berubah jadi keparat.

Berbeda dengan kekayaan, kecerdasan adalah materi yang lebih sulit hilang. Orang yang hari ini cerdas, sepuluh tahun yang akan datang kemungkinan tetap cerdas. Bahkan lebih mungkin akan jauh lebih cerdas, jika memang tak berhenti belajar. Karenanya, kesombongan karena kecerdasan adalah jenis kesombongan yang lebih tinggi, daripada kesombongan karena kekayaan. Begitu pula kesombongan karena kompetensi, wawasan, atau kebijaksanaan.

Yang ketiga, kesombongan di tingkat paling tinggi, adalah sombong karena kebaikan. Ini jenis kesombongan paling halus, dan paling tak terlihat. Karenanya, memang, semakin tinggi tingkat kesombongan, wujudnya semakin sulit dikenali. Orang yang sombong karena kaya mudah dikenali. Begitu pun orang yang sombong karena cerdas. Tetapi orang sombong karena kebaikan, biasanya sangat sulit dilihat dan dikenali, bahkan oleh pelakunya sendiri.

Seseorang yang sedang ditimpa kesulitan datang kepada kita, dan meminta bantuan. Dengan segala kebaikan, kita membantunya sepenuh hati, sekuat tenaga, dengan segenap keikhlasan. Kita membantu mengatasi masalah yang melilitnya, dan orang itu pun sangat berterima kasih atas bantuan yang kita berikan. Apa yang terjadi setelah itu?

Tidak menutup kemungkinan, tanpa disadari, diam-diam kita merasa, “Aku orang yang baik, karena telah menolongnya. Dia pasti masih tertimpa kesulitan jika tidak kutolong.”

Perasaan semacam itu mungkin sangat manusiawi, toh kenyataannya kita memang sudah menolongnya, dan kita memberi pertolongan dengan keikhlasan, tanpa dibayar, dan tanpa mengharap imbalan. Tetapi, ketika perasaan semacam itu muncul, saat itu pula iblis bernama kesombongan mencengkeramkan cakarnya ke jiwa kita. Mungkin kita hanya menganggapnya sebagai kebanggaan, tapi kebanggaan sering kali hanya dibatasi sehelai rambut dari kesombongan.

Merasa diri orang baik karena telah melakukan kebaikan, sering kali memunculkan kesombongan. Jika belum terjadi, setidaknya benih kesombongan mulai berkecambah. Satu kali melakukan kebaikan, kita merasa menjadi orang baik, dan benih mulai muncul. Melakukan kebaikan lain, dan kita merasa lebih baik, beberapa benih mulai tumbuh, dan begitu seterusnya. Tak terlihat, begitu halus, bahkan sering kali tak terasa sebagai kesombongan, tetapi diam-diam kita telah menjadi sombong.

Bukan hanya kebaikan kepada sesama manusia yang bisa menjadikan orang sombong, bahkan kebaikan kepada Tuhan pun kadang juga menerbitkan kesombongan. Orang yang beribadah siang malam, yang membaca kitab suci dan berzikir tanpa henti, yang mengingat Tuhan setiap waktu, tidak menutup kemungkinan untuk juga merasa sombong. Mungkin merasa menjadi hamba yang lebih baik dari manusia lain, mungkin merasa lebih suci dari orang lain. Itu pun kesombongan.

Karenanya pula, Imam Al-Ghazali sampai frustrasi menghadapi kenyataan itu. “Sungguh sulit mengenyahkan kesombongan,” ujar Al-Ghazali. “Karena bahkan tak terlihat pun, kesombongan bisa tumbuh diam-diam.”

Bahkan tak terlihat pun, kesombongan bisa tumbuh diam-diam. Itulah musuh manusia paling besar, yang paling sulit dihilangkan. Dan semakin tinggi tingkat kesombongan, semakin sulit dikenali, karena wujudnya semakin halus, semakin tak kasatmata, hingga pemiliknya sendiri kadang tidak mengenali dan mengetahuinya.

Ada banyak alasan untuk sombong. Oh, well, kita bahkan bisa menemukan berbagai alasan untuk sombong. Yang uangnya pas-pasan saja kadang sombong, apalagi yang benar-benar kaya. Maka kita pun sibuk pamer apa pun di mana saja—dalam aneka foto, dengan berbagai status di sosial media. Yang sedang beli ini dan beli itu, yang sedang makan di restoran mahal, yang sedang menginap di hotel mewah, atau yang sedang berlibur ke luar negeri.

Yang sedikit pintar pun kadang sombongnya keterlaluan, apalagi yang benar-benar pintar. Maka kita pun memamerkan segala pengetahuan yang kita miliki dengan sangat agresif, lalu menyerang siapa pun yang kita anggap berbeda dengan kita. Tidak cukup menyalahkan, kita bahkan sampai mengkafir-kafirkan orang lain yang berbeda pemahaman, karena kita merasa paling pintar, paling benar, tidak ada yang mengalahkan, tidak ada kebenaran lain.

Yang baru beribadah dan berbuat baik secukupnya saja bisa sombong, apalagi yang bertafakur siang malam dan berbuat kebaikan besar. Maka kita pun sibuk memamerkan segala ibadah dan kebaikan yang kita lakukan, hingga rasanya masih kurang jika ibadah dan kebaikan kita belum diliput media. Seiring dengan itu, kita pun sibuk mengeluarkan fatwa, seolah hanya kita yang tahu agama. Tiba-tiba kita merasa paling alim dan paling suci, bahkan diam-diam kita mungkin merasa diri sebagai nabi. Yang benar dan lurus hanya diri kita, orang lain salah semua.

Akhirnya, mungkin kita perlu bertanya, untuk tujuan itukah kita menjalani hidup sebagai manusia?

 
;