Jumat, 05 Februari 2016

Rintih Lirih

Aku tidak doyan gorengan adem. Gorengan adem
tidak hanya hambar di mulut, tapi kemungkinan
juga telah disentuh banyak orang.
@noffret


Saat sedang berjalan di antara rak-rak toko buku, saya mendapati sebuah buku sedang dipegangi seseorang. Dia berdiri di depan salah satu rak, dan membuka-buka sebuah buku yang tampaknya menarik minatnya.

Sementara itu, dari depan rak lain, saya melihat sampul buku yang dipegangnya, dan saya langsung tertarik. Itu semacam jatuh cinta pada pandangan pertama—sebentuk ketertarikan spontan yang biasa saya alami terhadap buku. Jadi, saya pun memutari rak dan mendekati tempat orang itu berdiri, berharap menemukan buku serupa untuk saya beli.

Tapi harapan saya tak terkabul.

Di rak tidak ada buku serupa—satu-satunya buku yang ada sedang dipegang orang tadi, yang masih asyik membuka-buka buku tersebut. Jadi, saya pun mencoba menunggunya selesai. Sambil menunggu, saya melihat-lihat buku di rak-rak lain.

Beberapa saat kemudian, saat orang tadi telah meletakkan buku yang saya incar, saya pun segera mendekat ke rak tadi. Sial, saya keduluan dua orang yang telah tiba lebih dulu di sana, dan tampak langsung memungut buku incaran saya. Dua orang itu juga tampak tertarik pada buku tersebut—mereka membuka-buka isinya, lalu saling bisik-bisik entah membicarakan apa.

Dengan penuh kesabaran, saya kembali menunggu. Sambil menunggu dua orang itu selesai membuka-buka buku tadi, saya kembali berkeliling rak melihat-lihat buku. Tapi bayangan buku tadi tetap menari-nari di pikiran. Waktu itu saya sudah bertekad untuk membelinya.

Cukup lama dua orang itu membuka-buka buku tadi, dan saya terus bersabar menunggu.

Saat dua orang tadi akhirnya pergi, saya langsung berlari ke rak tempat buku tersebut dengan harap-harap cemas. Kesabaran saya tampaknya tidak sia-sia. Buku incaran saya masih ada di sana. Keparat-keparat yang tadi menyentuhnya cuma membuka-buka, tapi tidak membeli. Seketika, saya langsung mengambil buku itu dari rak. Detik itulah, saya sangat... sangat kecewa.

Buku yang tadi saya lihat sampulnya sekilas itu memang buku yang saya inginkan. Tapi wujudnya sudah “rusak”. Selain tidak lagi tertutup plastik segel, tampilan buku itu sudah tidak menarik. Bagian-bagian tepi sampul terlihat tumpul—karena telah sering disentuh—sementara halaman-halamannya tampak tidak rapi karena sering dibuka-buka. Saat saya angkat ke atas untuk melihat tampilannya secara utuh, garis-garis tepian buku itu bahkan tidak lagi simetris. Tampaknya, buku itu telah disentuh dan dijamah banyak orang, jauh lebih banyak dari yang telah saya lihat.

Dengan perasaan jengkel, saya pandangi buku itu. Di dunia ini, tidak ada benda lain yang lebih dekat dengan saya daripada buku. Jadi, saya tahu apa itu “buku” hingga taraf hakikat. Dalam urusan buku, saya tidak bisa dibohongi! Dan buku yang telah membuat saya jatuh cinta itu telah disentuh, dijamah, dan dibuka-buka, oleh banyak orang—jauh lebih banyak dari yang saya kira.

Dengan perasaan geram, saya mencoba mencari buku serupa di sana, siapa tahu ada buku lain yang masih tersegel rapi. Tapi sial, upaya saya sia-sia. Meski telah berkeliling ke sana kemari, tidak ada buku serupa yang saya temukan.

Saya mencoba membawa buku itu pada seorang pramuniaga di sana, dan berkata, “Saya ingin membeli buku ini. Apakah ada yang masih tersegel rapi?”

Si pramuniaga mencoba menghubungi petugas lain di toko, mungkin menanyakan adakah stok buku tersebut. Tapi kemudian dia kembali dengan mengatakan, “Maaf, buku itu sepertinya tinggal satu.”

“Sayang sekali,” ujar saya sambil menimang-nimang buku tersebut.

Si pramuniaga mencoba tersenyum, membesarkan hati saya, “Buku itu kan masih bagus tampilannya. Cuma segel plastiknya yang sudah tidak ada. Tampilannya kan masih cakep, masih rapi, dan masih kelihatan baru.”

“Saya tahu,” sahut saya. “Tapi saya terbiasa membeli buku yang masih tersegel rapi, atau setidaknya belum disentuh banyak orang.”

Dia tersenyum. “Saya pikir, selama buku masih tampak rapi, baru, dan isinya lengkap, sehingga bisa dibaca dengan jelas, tidak masalah, kan?”

Saya membalas senyumnya. “Saya ingin sekali berpikir seperti itu. Tapi, seperti yang saya sebut tadi, saya terbiasa membeli apa pun—khususnya buku—yang benar-benar masih baru, dan masih tersegel rapi. Saya tidak suka memiliki apa pun yang telah disentuh banyak orang.”

Akhirnya, saya tidak membeli buku tersebut.

....
....

Sesampai di rumah, saya membuka internet, dan login ke toko buku online langganan. Seperti yang saya harapkan, di toko online tersebut tersedia buku yang saya inginkan. Saya pun langsung memesannya. Pada formulir pemesanan, saya menulis pesan, “Tolong pastikan buku ini dikirim dalam keadaan masih tersegel rapat.”

Satu minggu kemudian, buku pesanan saya sampai di rumah dalam bungkusan yang rapi. Saat bungkusannya saya buka, buku itu juga masih tersegel rapat. Lalu saya pun membuka pastik segel buku itu perlahan-lahan, hati-hati, dengan penuh khidmat. Saat akhirnya segelnya terlepas, saya menciumi sampul buku itu dengan penuh kasih. Saya buka halaman-halamannya dengan lembut, dan menghirup aroma wangi buku yang saya kenali.

Dalam hidup, saya hanya tahu satu hal. Saya lebih memilih untuk tidak memiliki sama sekali, daripada memiliki sesuatu yang tidak saya ingini.

 
;