Senin, 15 Februari 2016

Warisan Luka (1)

Jangan sampai tetesan air hujan dari genteng rumahmu
jatuh ke tanah milik orang lain.
Al-Hadist


Seperti yang telah saya janjikan pada catatan sebelumnya (Jiwa yang Terluka), catatan ini akan mengungkap latar belakang dan kisah hidup Busli, hingga menjadi sosok yang sangat berbahaya, bahkan mengerikan. Tetapi, untuk tujuan itu, kita harus menengok terlebih dulu kehidupan seorang lelaki lain, bernama Amran. 

Amran dan Busli tidak saling kenal. Tetapi, melalui Amranlah saya kemudian tahu kisah panjang kehidupan Busli di masa lalu, hingga mewujud menjadi sosok seperti yang saya kenal sekarang.

Kisah ini melibatkan dua pihak yang saling berseberangan, namun keduanya telah mengizinkan saya untuk menulis kisah mereka. Meski begitu, untuk menghormati privasi, semua nama dan identitas akan disamarkan. Kisah ini akan mengungkapkan sesuatu—dan banyak pelajaran—yang mungkin belum pernah kita bayangkan.

....
....

Amran adalah lelaki yang tumbuh dalam keluarga berkecukupan. Sedari kecil, Amran bisa dibilang tidak pernah mengalami masalah. Dia bersekolah dengan baik sampai perguruan tinggi, lalu membuka usaha mandiri yang mampu menopang kehidupannya sebagai lajang. Di lingkungan pergaulan, dia dikenal lelaki yang baik. Sebagai temannya, saya pun mengenal Amran sosok menyenangkan, toleran, dan ramah.

Amran adalah anak pertama dari tiga bersaudara. Dua adik Amran—satu lelaki dan satu perempuan—masih kuliah dan masih sekolah. Dalam kehidupan keluarga, saudara, bertetangga, dan hubungan lain, bisa dibilang Amran tidak mengalami masalah apa pun. Semua terlihat baik-baik saja. Ekonomi berkecukupan, hubungan dengan orang lain relatif baik, dan sejauh ini tidak pernah terjadi masalah besar apa pun.

Amran juga menjalin hubungan dengan seorang perempuan, dan mereka telah berniat untuk menikah dalam beberapa tahun mendatang, setelah bisnis Amran berjalan mantap. Sampai di sini, semua terlihat baik-baik saja... hingga kemudian terjadi sesuatu yang menjungkirbalikkan segalanya.

Suatu hari, ayah Amran jatuh sakit. Mula-mula, keluarga menganggap itu sakit biasa—penyakit khas orang tua. Tapi sakit ayah Amran makin hari makin buruk, dan terus memburuk. Semula, mereka masih bisa menanggung biaya pengobatan. Tetapi, lama-lama, seiring makin serius penyakit, biaya pengobatan yang dibutuhkan semakin besar, dan tabungan serta kekayaan mereka tak sanggup lagi menopang.

Sejak itulah, Amran mulai menggunakan uang pribadi untuk membantu pengobatan ayahnya, sekaligus membantu membiayai adiknya yang masih sekolah dan kuliah. Tetapi, sekuat apa pun Amran berusaha, tetap saja ada batasnya. Ibu Amran tidak bekerja, karena memang bisa dibilang mereka menjalani hidup sebagai orang kaya.

Lalu kekayaan keluarga mulai dijual satu per satu.

Orang tua Amran memiliki dua rumah yang dikontrakkan pada orang lain. Karena kebutuhan pengobatan dari waktu ke waktu, dua rumah itu akhirnya dijual. Tetapi itu pun belum cukup, sampai kemudian mobil keluarga ikut terjual, demi menutup biaya pengobatan.

Seiring berjalannya waktu, barang-barang keluarga terus dilepas dan dijual, dilepas dan dijual, dilepas dan dijual, sampai benar-benar habis. Bahkan sepeda motor yang biasa digunakan adik-adik Amran untuk sekolah dan kuliah juga ikut terjual. Adik Amran yang masih sekolah sekarang naik angkot, sementara adiknya yang kuliah terpaksa drop out karena tidak ada lagi biaya.

Tapi bencana itu belum selesai.

Rumah orang tua Amran yang semula indah dan lengkap dengan berbagai barang kebutuhan, kini mulai kosong. Mobil dan sepeda motor telah dijual, dan perlahan-lahan perabotan di dalamnya ikut melayang. Barang-barang berharga telah dijual dan digadaikan, sementara tabungan terkuras habis. Sebagai anak, Amran bahkan telah mengorbankan uang miliknya untuk membantu pengobatan ayahnya, hingga bisnisnya terhenti akibat kehabisan modal.

Klimaksnya terjadi, ketika akhirnya orang tua Amran menjual rumah tempat tinggal mereka, dan pindah ke rumah kakek Amran (kakek dari pihak ayah). Rumah milik leluhur itu ditinggali adik perempuan ayah Amran (bibi Amran) yang telah menjanda. Jadi, sejak itu, orang tua Amran beserta tiga anaknya—Amran dan dua adiknya—hidup di rumah warisan kakek mereka.
 
Kehidupan kadang memberi kejutan tak terduga, dan kejutan yang terjadi bisa sangat mengerikan. Keluarga Amran yang semula menjalani kehidupan tenang dan tenteram, berubah jungkir balik tak karuan dalam waktu singkat. Amran mengaku, dia sangat menderita dalam keadaan itu. Bagaimana pun, dia anak tertua. Dua adiknya belum bisa diharapkan, sehingga Amranlah yang harus memikirkan segalanya.

Tetapi penderitaan Amran belum selesai. Pacarnya, yang melihat keadaan Amran makin tak karuan, memilih memutuskan hubungan. Sementara itu, kondisi ayahnya makin tidak jelas, sedangkan seluruh barang milik keluarga telah habis terjual. Ayah Amran yang semula dirawat di rumah sakit terpaksa harus pulang, dan sejak itu dia terbaring di ranjang rumah—tidak hidup, tidak mati—sementara keluarganya harus kebingungan setiap hari untuk menyambung hidup.

Mereka telah jatuh miskin. Kalau saja tidak ada rumah tinggalan sang kakek, mereka bahkan tidak tahu harus tinggal di mana. Sementara itu, Amran juga terpaksa kehilangan usahanya, akibat uang miliknya telah habis, sementara tenaga dan pikirannya terus terkuras untuk memikirkan masalah keluarga. Dia dan keluarganya sudah tidak punya apa pun, karena telah kehilangan segalanya.

Suatu siang, saat rumah kebetulan sepi, Amran bercakap-cakap dengan bibinya. Bibi Amran adalah wanita berusia 50-an, lemah lembut dengan sikap menenangkan. Dia satu-satunya orang dekat keluarga Amran dari pihak ayah, karena ayah Amran hanya punya satu adik dan tidak punya kakak.

Bibi Amran berkata, “Sebagai saudara ayahmu, aku jauh lebih mengenal ayahmu, daripada kau mengenal ayahmu. Aku tahu seperti apa saat dia masih kecil—kami tumbuh bersama—dari remaja hingga dewasa. Aku mengenal ayahmu seutuhnya, karena dia kakakku.”

Semula, Amran tidak paham maksud bibinya mengatakan itu. Tapi perlahan-lahan dia mulai tahu ke arah mana pembicaraan itu.

Sang bibi melanjutkan, “Meski aku adiknya, aku tidak menutup mata dari beberapa kekurangan yang mungkin dimiliki kakakku yang sekarang jadi ayahmu. Dia bukan orang sempurna. Meski aku tahu dia memiliki banyak kelebihan, tapi dia juga tidak lepas dari kekurangan. Saat masih muda, dia melakukan sesuatu yang tak terpuji. Pada waktu itu, aku bersama keluarga telah berusaha menegur dan mengingatkannya, bahwa perbuatan yang ia lakukan sangat tercela. Tapi dia tidak menghiraukan kami, waktu itu. Dia mengatakan hal-hal yang sulit kami pahami, dan aku akhirnya diam, karena berpikir aku yang mungkin bodoh dan kurang paham. Tetapi, meski begitu, aku tahu yang dia lakukan waktu itu sangat salah.”

Amran pun tergelitik, “Apa yang dia lakukan, Bi?”

“Dia merampas tanah milik orang lain,” jawab sang bibi. “Peristiwa itu terjadi saat ayahmu belum menikah. Yang kutahu, waktu itu, dia bersekongkol dengan beberapa orang yang punya jabatan, dan merampas tanah yang sebenarnya milik orang lain. Aku tidak tahu persis bagaimana masalahnya, tapi aku tahu satu hal—yang dilakukan ayahmu waktu itu tidak benar.”

“Karena itulah,” lanjut sang bibi, “aku sudah mencoba mengingatkanya, waktu itu, tapi dia menjawab dan menjelaskan hal-hal yang tidak kupahami, hingga aku pun akhirnya diam dan membiarkan. Tapi hati kecilku terus memberitahu, bahwa kakakku telah melakukan kejahatan, merampas hak milik orang lain, dan itu terus menggangguku sepanjang hidup. Mungkin aku orang bodoh, tapi aku bisa membedakan mana yang benar dan mana yang salah.”

Amran semakin tertarik dengan cerita itu, dan bertanya, “Sejak itu, apa yang kemudian terjadi, Bi?”

“Tidak terjadi apa-apa,” jawab sang bibi. “Tanah yang dirampas ayahmu kemudian dijual. Ayahmu lalu membeli tanah yang kemudian dibangun rumah untuk keluarga kalian. Dulu, rumah kalian sederhana. Tapi perlahan-lahan terus diperbaiki hingga mewah. Lalu ayahmu makin kaya, seiring kau dan adik-adikmu lahir. Entah ibumu tahu cerita ini atau tidak, aku tidak tahu. Selama waktu-waktu itu, aku menyaksikan kehidupan ayahmu dengan senang, karena dia tampak bahagia. Tapi hati kecilku terus mengusik-usik, bahwa sekian tahun yang lalu dia telah melakukan kejahatan.”

Setelah terdiam sesaat, sang bibi melanjutkan dengan suara berat, “Bagaimana pun, dia kakakku. Aku menutup rapat-rapat masalah ini dari siapa pun, karena itu aib. Aku bahkan berencana untuk tetap menyimpannya sampai ke liang kubur, hingga tidak ada siapa pun yang tahu. Tapi kau anaknya, dan sekarang ayahmu terbaring sekarat, antara hidup dan mati, sementara seluruh harta benda kalian telah habis terkuras. Kupikir, aku perlu menceritakan ini kepadamu, karena kau anaknya.”

Amran bertanya, “Apakah Bibi bermaksud mengatakan bahwa ayah kemungkinan disantet orang? Bahwa sakit yang dialaminya adalah hasil perbuatan orang yang dulu tanahnya dirampas ayah?”

“Aku tidak bermaksud mengatakan begitu,” sahut sang bibi. “Orang yang tanahnya dulu dirampas ayahmu telah meninggal bertahun-tahun lalu, jadi dia tidak punya kaitan apa pun dengan keadaan ayahmu sekarang. Yang kumaksud adalah, bisa jadi sakit ayahmu dan penderitaan keluarga kita sekarang, adalah balasan atas perbuatan yang dulu dilakukan ayahmu.”

Keheningan mengendap cukup lama siang itu. Amran terdiam, dan bibinya terdiam. Sampai kemudian, Amran mengatakan, “Jadi, menurut Bibi, apa yang sebaiknya kita lakukan?”

Bibi Amran tampaknya telah memikirkan hal itu jauh-jauh hari. Jadi, saat Amran bertanya, dia pun menjawab dengan lancar, “Kalau kau bersedia, cobalah cari keluarga orang yang dulu tanahnya dirampas ayahmu. Mungkin ada anaknya yang masih hidup. Temuilah, dan ceritakan kondisi ayahmu. Lalu minta maaflah untuk ayahmu. Siapa tahu, dengan cara itu, kita bisa memperbaiki keadaan.”

Amran memahami maksud bibinya. Tapi dia tidak tahu siapa keluarga orang yang dulu bermasalah dengan ayahnya. Saat dia bertanya, bibinya juga tidak tahu.

Bibi Amran menjelaskan, “Saat peristiwa itu terjadi, aku hanya mengenal si pemilik tanah, karena dulu dia sempat menemuiku, memintaku agar menyadarkan ayahmu yang berusaha merampas tanah miliknya. Kalau tak salah ingat, dia punya satu anak waktu itu. Setelah tanahnya dirampas ayahmu, dia pindah ke tempat lain, hingga meninggal beberapa tahun kemudian. Tapi aku tidak tahu di mana anaknya sekarang.”

Lanjut ke sini: Warisan Luka (2)

 
;