Minggu, 10 April 2016

Hati Nelangsa (1)

Roda kehidupan terus berputar. Memang.
Tapi kadang ada paku di jalan, dan ban bocor,
lalu roda berhenti berputar. Begitu pun kehidupan.
@noffret


Karena pekerjaan yang menuntut konsentrasi tinggi terus menerus, saya sering stres. Stres yang ringan bisa diatasi dengan mudah, semisal menonton film yang bagus, sehingga bisa sejenak melenakan pikiran yang kusut untuk segar kembali. Atau membaca novel yang asyik, sehingga pikiran tersedot ke dalam kisah yang dibaca. Tetapi, stres yang berat sering kali tak bisa diatasi dengan cara semacam itu.

Ketika stres berat, saya membutuhkan hiburan yang lebih dramatis—tidak bisa sekadar duduk menonton film atau membaca novel. Saat stres berat, saya biasa mengobati dengan cara memacu motor gila-gilaan di jalanan. Meski relatif berbahaya, cuma itu satu-satunya cara mengatasi stres berat yang kadang datang. Saat memacu kecepatan di jalan raya, dan mendengarkan suara motor meraung, pikiran saya merasa bebas. Di saat-saat seperti itu, saya benar-benar lupa pada stres yang saya rasakan.

Seperti kemarin siang. Kepala rasanya panas mau meledak. Sejak beberapa hari sebelumnya, saya terus suntuk mengerjakan sesuatu, dan batas kewarasan saya hampir mencapai limit. Sampai akhirnya, ketika merasa tak bisa berpikir jernih lagi, saya pun menyadari harus berhenti. Saya membutuhkan hiburan. Agar pikiran kembali segar.

Waktu itu pukul 11:00 siang, dan cuaca cukup adem. Saya mengeluarkan motor kesayangan, memeriksa dan memastikan semua bagian motor dalam keadaan beres, lalu memacunya ke jalan raya. Di daerah Pantura, aspal jalan raya benar-benar mulus, dan satu arah—tempat yang “ideal” untuk melepaskan ketegangan. Jadi, siang itu, saya melayang dengan kecepatan tinggi, menikmati raungan motor yang membuat pikiran kembali fresh.

Sekitar dua jam saya menikmati “hiburan” itu, dan merasakan pikiran kembali segar. Diam-diam, saya merasakan perut mulai lapar. Diam-diam pula, saya membayangkan mie ayam di tempat langganan. Jadi, saya pun memutuskan untuk menuju warung mie ayam, lalu mengisi perut di sana. Dengan semangkuk mie ayam lezat, segelas teh hangat, dan diakhiri dengan mengisap rokok. Oh, well, stres yang tadi saya rasakan sepertinya sudah hilang.

Saat perjalanan pulang, saya mengendarai motor perlahan-lahan, sambil menghabiskan sisa rokok. Pada waktu itulah, saya melihat seseorang yang saya kenal sedang berjalan sendirian di pinggir jalan, sambil membawa bungkusan cukup besar di tangan. Meski melihatnya dari belakang, saya tahu itu Nizar (bukan nama sebenarnya). Kenapa dia jalan kaki, pikir saya.

Saat jarak kami telah dekat, saya pun menyapa, “Hei, Nizar. Mau ke mana?”

Dia agak kaget melihat saya tiba-tiba muncul di sampingnya. Tapi segera menjawab, “Ke Pasar Senggol.”

Pasar Senggol yang dia maksud adalah tempat jual beli barang bekas dan rongsokan. Saya tidak tahu apa tujuan Nizar ke Pasar Senggol, tapi saya tahu jarak pasar itu dari tempat kami masih lumayan jauh. Jadi, saya pun menawari, “Mari kuantar.”

“Tidak usah,” sahutnya. “Nanti merepotkan.”

“Tidak. Aku tidak sedang buru-buru.”

Akhirnya, Nizar bersedia saya antar. Karena dia tidak pakai helm, kami pun melewati jalan-jalan di perkampungan untuk sampai di Pasar Senggol. Sesampai di sana, saya menghentikan motor di tempat parkir. Agar dia merasa nyaman, saya pun berkata, “Aku tunggu di sini.”

Nizar pergi membawa bungkusan di tangannya. Sekitar sepuluh menit kemudian, dia sudah kembali, dan bungkusan yang tadi sudah tidak ada. Berarti dia menjual sesuatu, pikir saya.

“Mau pulang?” saya menawari. “Atau masih perlu ke tempat lain?”

“Aku mau makan dulu,” sahutnya.

“Sayang sekali aku barusan makan. Biar kutemani saja.”

Kami masuk warung makan sederhana di tempat itu. Dia makan dengan lahap, dan saya menemaninya sambil merokok. Setelah makan, saya mengantarkannya pulang.

Saat sampai di rumahnya, Nizar menawari saya masuk. Lalu kami mengobrol di ruang tamu.

Nizar adalah teman sejak remaja. Dulu kami sering bermain bersama, saling mengunjungi saat kami masih tinggal bersama orangtua. Ketika saya mulai kuliah dan hidup di rumah sendiri, kami mulai jarang bertemu. Waktu itu kami sama-sama sibuk dengan urusan masing-masing. Nizar merintis usaha tekstil ATBM (asli tenun bukan mesin), dan usahanya perlahan-lahan berkembang. Meski begitu, kami tetap berteman, saling menghubungi, dan sesekali bertemu untuk mengobrol.

Ketika tekstil ATBM mengalami booming pada awal 2000-an, usaha Nizar pun berkembang pesat. Meski usaha yang dimilikinya tidak terlalu besar, tapi dia sudah dianggap sukses oleh banyak orang. Dari usaha tersebut, Nizar bahkan bisa membeli rumah sederhana yang kemudian ia tinggali sendirian. Rumah yang siang itu saya masuki adalah miliknya, yang ia beli bertahun-tahun lalu, saat usahanya masih lancar.

Di ruang tamu rumahnya, siang itu, Nizar menceritakan kehidupannya akhir-akhir ini. “Mengherankan, kalau dipikir-pikir,” ujarnya, “hidup bisa membawamu ke atas, lalu menerjunkanmu ke bawah.”

Nizar bercerita, usaha yang dijalankannya mulai runtuh ketika tekstil ATBM mengalami kehancuran pasar pada akhir 2000-an. Karena waktu itu usaha tekstil tumbuh di mana-mana, persaingan pasar pun makin ketat, sementara ceruk yang diisi semakin sempit akibat mulai pudarnya tren. Banyak pengusaha yang terpaksa menurunkan harga demi bisa laku, dan persaingan yang sengit itu menjadi awal hancurnya usaha kecil di mana-mana. Termasuk usaha milik Nizar.

Akhirnya, produksi tekstil Nizar benar-benar berhenti, sama seperti yang dialami pengusaha kecil lain yang juga gulung tikar. “Aku mencoba beberapa usaha lain,” ujar Nizar, “tapi sulit sekali untuk berkembang seperti dulu.”

Lanjut ke sini: Hati Nelangsa (2)

 
;