Jumat, 01 April 2016

Keajaiban di Bawah Langit (1)

Aku tidak pernah peduli berapa IQ yang mungkin kupunya.
Aku hanya peduli seberapa keras aku belajar dan bekerja.


Seorang bayi lahir, dan satu-satunya hal yang bisa ia lakukan hanya menangis. Saat lapar, menangis. Saat haus, menangis. Saat bingung, menangis. Saat ngompol, menangis. Saat kedinginan, menangis. Saat kepanasan, menangis. Saat sakit, juga menangis. Dia belum bisa berbicara, bahkan belum bisa mengeluarkan sepatah kata pun. Satu-satunya hal yang bisa dilakukan bayi hanya menangis. Dan terbaring rapuh di tempatnya.

Sungguh menakjubkan, saat kita membayangkan betapa sosok bayi mungil yang semula sangat rapuh dan hanya bisa menangis itu... bertahun-tahun kemudian mewujud menjadi sosok manusia utuh yang mampu berjalan, berlari, berbicara, berpikir, bekerja, menyanyi, menari, dan melakukan hal-hal hebat sebagaimana umumnya manusia.

Apa yang terjadi pada bayi yang sekian tahun lalu tampak rapuh dan hanya bisa menangis? Apa yang terjadi dengannya, hingga sosok mungil rapuh yang semula tak bisa apa-apa berubah menjadi sosok manusia utuh yang mampu melakukan banyak hal?

Itulah keajaiban. Keajaiban paling menakjubkan di bawah langit.

Dan keajaiban itu bernama proses.

Tidak ada hal hebat yang instan di muka bumi. Segala yang hebat, mengagumkan, menakjubkan, semuanya menjalani dan melalui proses. Sebagaimana bayi yang tumbuh perlahan-lahan, tahun demi tahun, untuk mewujud menjadi manusia seutuhnya, begitu pula segala pencapaian. Tidak ada pencapaian yang instan, tidak ada kehebatan yang instan, tidak ada satu hal mengagumkan pun yang instan. Semuanya menjalani proses, segalanya harus melalui proses, karena proses adalah jalan menuju keajaiban.

Yang menjadi masalah, tidak setiap orang mampu menjalani proses demi proses yang harus dilalui. Jangankan mampu menjalani, sebagian orang bahkan tampaknya belum mampu menyadari pentingnya proses.

Sehebat apa pun seorang bayi, mau tidak mau dia harus melalui proses—sejak belum bisa melakukan apa pun selain menangis, lalu tumbuh perlahan-lahan hingga mampu tersenyum, dan mulai belajar berkata-kata. Lalu belajar membalik badan di tempat tidur. Kemudian belajar merangkak. Lalu duduk. Berdiri. Belajar melangkah. Berjalan. Jatuh. Bangun. Melangkah lagi. Jatuh lagi. Menangis. Bangkit lagi. Jatuh lagi. Bangkit lagi. Dan jatuh. Menangis lagi. Dan bangkit lagi. Dan begitu seterusnya.

Mungkin dia bayi yang ditakdirkan menjadi orang hebat di masa dewasanya. Tapi sehebat apa pun takdir yang ia miliki, bayi tetap harus melalui dan menjalani proses demi proses untuk sampai pada kehebatan yang telah ditakdirkan untuknya. Sehebat apa pun dia kelak di masa dewasanya, bayi tetap harus jatuh bangun dari belajar merangkak, melangkah, berjalan, sampai berlari. Tidak ada bayi yang baru lahir bisa langsung pecicilan dan keluyuran.

Meski setiap orang menjalani prosesnya masing-masing—dari bayi, anak-anak, sampai remaja, kemudian dewasa—namun tidak setiap orang mampu memahami pentingnya proses. Masih banyak orang yang ingin mencapai sesuatu secara instan, dan menghindari proses. Masih banyak orang yang ingin meraih hal-hal berharga tanpa mau menjalani proses. Bahkan, masih ada orang-orang yang menatap prestasi atau kehebatan orang lain tanpa mengingat proses yang telah dijalani untuk mencapai prestasi atau kehebatan yang diraih.

Padahal tidak ada satu hal pun yang berharga di bawah langit yang dapat diperoleh secara instan. Kecerdasan, kehebatan, prestasi, semuanya diperoleh dengan proses. Proses itu bisa belajar siang malam, bekerja keras penuh semangat, sampai stres dan frustrasi menghadapi kegagalan demi kegagalan. Tapi mereka tidak berhenti berproses. Mereka terus menjalani yang dijalaninya, hingga proses demi proses akhirnya membentuk mereka seperti yang kemudian dikenal orang.

Sebagian orang yang tidak tahu kadang bilang, “Enak ya, orang-orang yang punya IQ tinggi. Tanpa belajar pun bisa langsung pintar.”

Sebenarnya, itu keliru! Oh, well, sangat keliru! Bahkan orang yang memiliki IQ sangat tinggi pun harus tetap belajar untuk menjadi pintar!

Kita pasti sepakat bahwa Stephen Hawking adalah orang yang tidak hanya hebat dan pintar, tapi juga memiliki IQ sangat tinggi. Dia bahkan dianggap sebagai pengganti Albert Einstein, ilmuwan terbesar abad ke-20. Tapi apakah Hawking tiba-tiba jadi pintar tanpa belajar? Tentu saja dia belajar, bahkan belajar sangat keras. Sebegitu keras dia belajar, sampai-sampai Stephen Hawking tidak pernah mempedulikan berapa IQ yang mungkin dimilikinya.

Pada 2004, seorang wartawan pernah bertanya pada Stephen Hawking, mengenai berapa IQ yang dimilikinya. Stephen Hawking menjawab, “Saya tidak tahu. Orang yang membanggakan IQ-nya adalah pecundang.”

Perhatikan, kalimat itu diucapkan orang yang dianggap paling cerdas di abad modern. Dan orang yang terkenal sangat cerdas itu, dengan jelas dan gamblang, menyatakan, “Orang yang membanggakan IQ-nya adalah pecundang.”

IQ...???

IQ yang tinggi mungkin hebat. Tapi IQ sehebat apa pun tidak ada gunanya jika tidak diasah melalui proses. Karena IQ tak jauh beda dengan pisau. IQ tinggi mungkin umpama pisau yang sangat tajam. Tetapi, pisau setajam apa pun akan berkarat jika tidak pernah dipakai dan diasah, dipakai dan diasah, dipakai dan diasah. Karenanya, jauh lebih baik memperhatikan sekeras apa kita belajar, daripada meributkan berapa IQ yang kita miliki. Karena pisau setumpul apa pun, perlahan-lahan semakin tajam jika terus berproses—dipakai dan diasah, dipakai dan diasah, dipakai dan diasah.

Lanjut ke sini: Keajaiban di Bawah Langit (2)

 
;