Kamis, 21 April 2016

Kisah Cinta, Suatu Siang

Menakjubkan, atau mengerikan, melihat gairah bisa berubah
menjadi amarah, dan cinta di hati berubah menjadi benci
karena sulitnya memahami.
@noffret


“Aku jatuh cinta kepadanya, dan dia pun mungkin begitu. Teman dekatnya mengatakan, dia tidak bisa jatuh cinta lagi pada lelaki lain. Tetapi, bagaimana pun, aku sudah kehilangan ketertarikan kepadanya. Bukan karena apa pun, tapi karena dia telah melukai egoku. Padahal, kalau saja peristiwa dulu itu tidak terjadi, saat ini mungkin kami sudah menikah....”

Kalimat itu diucapkan Andra, suatu siang, ketika kami sedang berhenti di perjalanan, sambil menikmati es durian.

Pukul 10:00 pagi menjelang siang, Andra dan saya pergi ke suatu tempat untuk suatu urusan. Menjelang pukul 13:00, urusan kami baru selesai, dan kami pun melaju pulang. Di tengah perjalanan, saat melihat penjual es durian di pinggir jalan, Andra menghentikan mobil, dan memesan es. Karena tempat duduk di situ penuh orang, kami pun terpaksa menikmati es durian di dalam mobil.

Penjual es durian itu berada tidak jauh dari sebuah sekolah. Siang itu bertepatan dengan anak-anak berseragam keluar dari sekolah. Tidak lama kemudian, depan gerbang sekolah mulai sepi, lalu muncul beberapa guru, pria maupun wanita. Saya dan Andra masih menikmati es durian dalam mobil, sampai kemudian Andra menunjuk seorang wanita yang sedang berjalan bersama guru-guru lain. Tampaknya, wanita yang ditunjuk Andra juga guru yang mengajar di sekolah itu.

“Aku jatuh cinta pada wanita itu,” ujar Andra sambil menatap wanita yang masih melangkah di trotoar depan sekolah. Wanita yang dibicarakan Andra pasti tidak melihat kami. Dia masih terus melangkah. Dari sekilas lihat, saya sempat menyaksikan sosok wanita itu—berwajah lembut, dengan penampilan bersahaja.

Setelah wanita itu berlalu cukup jauh, Andra menceritakan, “Empat tahun lalu, aku pertama kali melihatnya, dan langsung jatuh cinta. Semula, aku tidak percaya cinta pada pandangan pertama. Tetapi, waktu itu, aku benar-benar percaya. Karena aku merasakannya. Saat pertama kali melihat wanita itu, aku tahu telah jatuh cinta kepadanya. Omong-omong, namanya Dian.”

Kisah Andra diawali suatu siang, empat tahun lalu, ketika dia bersama beberapa teman menghadiri acara resepsi perkawinan. Pada saat resepsi itulah, Andra pertama kali melihat Dian. Tampaknya Andra maupun Dian sama-sama orang yang dikenal oleh mempelai wanita yang menikah hari itu. Untuk memudahkan cerita, kita sebut saja si mempelai wanita bernama Rini.

Andra dan Rini berteman dekat. Ketika Rini menikah, Andra pun diundang resepsi perkawinan Rini, beserta teman-teman yang lain. Ketika sedang menikmati resepsi siang itu, Andra melihat Dian yang datang bersama teman-teman perempuan. Sejak pertama kali melihat Dian, ujar Andra, dia langsung jatuh cinta.

“Sebagai lelaki,” ujar Andra, “kita sering kesulitan jika ditanya perempuan seperti apa yang kita inginkan. Tetapi, sebagai lelaki pula, kita langsung tahu begitu kita menemukan perempuan yang benar-benar kita inginkan. Saat melihatnya, kita langsung tahu, dan membatin, inilah perempuan yang kuimpikan. Semacam itulah perasaanku waktu itu, saat pertama kali melihat Dian. Aku langsung jatuh cinta kepadanya, dan tahu dialah yang kuinginkan.”

Karena kesadaran itu pula, Andra memberanikan diri mendekati Dian, dengan maksud mengajaknya berkenalan. Siang itu, di acara resepsi, Andra terus memantau Dian, dan menunggu saat yang tepat untuk menemuinya. Kesempatan yang ditunggu Andra tiba, ketika Dian mendatangi tempat es krim, dan kebetulan tempat itu agak sepi. Seketika, Andra melangkah ke tempat es krim, dan mendekati Dian yang sedang sendirian. Andra menyapanya dengan sopan, dan mengajaknya berkenalan.

“Tapi dia hanya diam,” ujar Andra menceritakan peristiwa itu. “Dia hanya menatapku seolah aku makhluk aneh. Dia tidak mengatakan apa-apa. Setelah mengambil es krim, dia langsung pergi, seolah aku tidak pernah ada di sana.”

Saat acara resepsi selesai, Andra bersama teman-temannya berpamitan pada sepasang mempelai—Rini dan suaminya. Karena Andra akrab dengan Rini, mereka pun sempat bercakap-cakap sambil tertawa-tawa layaknya teman dekat. Hal itu, tampaknya, sempat dilihat oleh Dian yang masih ada di sana. Dan, mungkin, Dian lalu bertanya pada Rini mengenai Andra.

Sekitar sebulan setelah resepsi perkawinan itu, Rini menelepon Andra, dan berkata, “Ada temanku yang tanya-tanya soal kamu.”

“Temanmu siapa?” tanya Andra waktu itu.

“Namanya Dian,” jawab Rini. “Dia perempuan yang kamu ajak kenalan waktu resepsiku. Ingat? Waktu kalian ada di tempat es krim.”

“Tentu saja aku ingat,” sahut Andra. “Dan, seingatku, dia tidak menerima perkenalanku.”

“Dia tidak tahu siapa kamu, Ndra. Waktu melihatmu bercakap-cakap denganku saat kamu pamitan dulu, Dian melihat, lalu tanya-tanya soal kamu. Jadi, aku ceritakan siapa kamu. Sepertinya dia tertarik denganmu.”

“Sayang sekali ketertarikannya terlambat.”

“Bagaimana kalau aku pertemukan kalian di rumahku? Biar kita bisa bercakap-cakap asyik? Pasti menyenangkan melihat kalian—teman-temanku—bisa saling kenal.” Kemudian, sambil tertawa, Rini berujar, “Yeah, siapa tahu kalian berjodoh.”

Andra paham apa yang telah terjadi, dan dia pun memahami ke arah mana percakapan itu. Dengan nada datar, Andra berkata pada Rini, “Sori, Rin. Sekarang, rasanya aku ingin bilang persetan pada temanmu.”

Es durian yang kami nikmati siang itu telah habis, dan gelas-gelas telah kami kembalikan ke penjualnya. Saya menyulut rokok, dan Andra mengikuti. Kami masih berhenti di pinggir jalan, dengan jendela mobil agak terbuka, membiarkan asap rokok mengalir keluar.

“Kamu masih mau mendengarkan?” ujar Andra setelah mengisap rokoknya.

Saya mengangguk. “Aku senang mendengarkan.”

Dalam percakapannya dengan Rini waktu itu, Andra bisa memahami apa yang telah terjadi. Siang itu, di acara resepsi, Dian melihat Andra akrab dengan Rini, lalu mungkin tergelitik untuk menanyakan pada Rini. Lalu Rini menceritakan siapa Andra, dan... well, Dian pun seketika tertarik.

“Menilai buku dari sampulnya itu berbahaya,” ujar Andra kepada saya. “Karena kita tak pernah tahu apa yang ada di dalamnya.”

Begitu pula yang mungkin terjadi pada Dian. Saat Andra mengajaknya berkenalan dengan sopan, Dian hanya menatap dingin. Lalu ketika mulai tahu siapa Andra, dia langsung tertarik. Sayangnya, itu ketertarikan yang terlambat.

Sejak itu, Andra menceritakan, Rini sering meneleponnya, dan berusaha agar Andra mau menemui Dian. Mula-mula, Rini hanya berusaha dengan persuasif, layaknya teman yang ingin mengakrabkan dua temannya yang belum saling kenal. Tetapi, lama-lama, Rini makin tampak berusaha keras untuk mendekatkan Andra dengan Dian.

Andra tak terpengaruh. Dia sama sekali tidak tertarik dengan semua yang dikatakan Rini. Andra bahkan sudah kehilangan ketertarikan pada Dian. Sampai berbulan-bulan kemudian, Rini masih berupaya, dan Andra masih tetap menolak. Rini baru berhenti berusaha, ketika Andra mengatakan, “Kamu mengenalku, Rin. Aku tidak biasa ditolak, dan aku membenci penolakan. Temanmu telah melukai egoku, dan itu kesalahan terbesar yang dilakukannya.”

Kisah itu terjadi empat tahun yang lalu. Saat ini, Rini telah punya anak berusia 2 tahun. Suatu hari, belum lama, Andra tanpa sengaja bertemu Rini di swalayan. Mereka pun bercakap-cakap, dan Rini sempat menyebut nama Dian. Sebagai sopan santun, Andra pun bertanya, bagaimana kabar Dian. Dengan blak-blakan, Rini menjawab, “Sepertinya dia ingin punya pacar yang sepertimu.”

Andra tersenyum, dan mengatakan, “Kalau begitu, dia tidak akan pernah menemukan.”

....
....

Siang itu, sambil memegangi rokok di sela-sela jari, Andra berkata dengan nada menerawang, “Kalau saja dulu Dian mau menerima uluran tanganku, saat aku mengajaknya kenalan, mungkin saat ini kami sudah menikah, atau bahkan sudah punya anak. Aku jatuh cinta kepadanya, dan tahu bahwa perempuan seperti dialah yang kuinginkan. Tapi tidak—dia menolakku waktu itu—dan itu telah melukai egoku.”

Saya hanya diam, memahami maksud Andra sepenuhnya.

Setelah rokok kami habis, Andra berkata, “Kita pulang sekarang?”

Saya menyahut, “Kita pulang sekarang.”

Kami melaju di jalan raya yang tak pernah sepi, menuju pulang. Satu-satunya tempat yang tak pernah menolak hanyalah rumah tempatmu pulang. Orang-orang yang tak biasa ditolak, orang-orang yang membenci penolakan, selalu memiliki tempat untuk pulang.

 
;