Selasa, 10 Mei 2016

Alergi

L’homme est condamné à être libre.
Sartre


Di rumah, ada beberapa buku saya yang kembar (dobel), karena saya membeli dua kali tanpa sengaja. Buku-buku yang kembar itu tidak terlalu banyak—sebagian tipis, sebagian tebal. Meski jumlahnya tidak banyak, tapi buku-buku itu mubazir, karena saya tentu tidak membaca dua buku yang judulnya sama, penulisnya sama, isinya sama.

Nah, sekitar sebulan lalu, ada orang di Twitter yang berencana mengumpulkan buku untuk disumbangkan. Tweet berisi ajakan menyumbang buku itu di-retweet oleh wanita ini, hingga sampai di timeline saya. Saat mendapati retweet tersebut, saya teringat pada buku-buku dobel di rumah, dan terpikir untuk menyumbangkan.

Maka, suatu hari, saya pergi ke tempat pengiriman barang, dengan sebuah bungkusan berisi buku-buku yang akan saya sumbangkan.

Di tempat pengiriman, tampak beberapa orang sedang antre. Karena tempat duduk terbatas, beberapa orang terpaksa berdiri, termasuk saya. Di depan petugas pengiriman, tampak seorang laki-laki berjenggot, mungkin usianya 35-an atau menjelang 40. Karena saya tidak tahu namanya, kita sebut saja Si Jenggot. Dia duduk di depan seorang petugas wanita yang sedang melayani pengiriman.

Di belakang Si Jenggot, ada seorang wanita, mungkin usianya sekitar 30-an. Wajahnya lembut, dan sepertinya tipe mbakyu. Jadi, kita sebut saja dia Si Mbakyu.

Tepat di belakang Si Mbakyu, ada dua laki-laki, usianya mungkin sekitar 35-an. Dua laki-laki itu berdiri, menunggu antrean. Yang satu berambut klimis, yang satu berambut agak gondrong. Karena saya juga tidak tahu siapa nama mereka, kita sebut saja Si Klimis dan Si Gondrong. Dua laki-laki itu tampaknya berteman, atau setidaknya saling kenal, karena mereka tampak ngemeng-ngemeng sesuatu layaknya dua orang yang saling kenal.

Tepat di belakang Si Klimis dan Si Gondrong, saya berdiri sendirian. Sebut saja saya Si Bocah.

Si Klimis di depan saya menyulut rokok. Baru beberapa isapan, Si Jenggot menengok ke arah Si Klimis, dan menegur, “Mas, tolong rokoknya.”

Si Klimis tampaknya tidak paham maksud Si Jenggot. Dia mungkin mengira Si Jenggot bermaksud meminjam korek api. Jadi, Si Klimis merogoh saku, lalu menyodorkan korek api pada Si Jenggot dengan sikap sopan.

Disodori korek api, Si Jenggot menatap Si Klimis. “Maksud saya, itu asap rokoknya jangan sampai ke sini,” ujar Si Jenggot sambil menampakkan sikap seolah alergi.

Si Klimis kembali memasukkan korek api ke dalam saku. Tapi dia tetap merokok di tempatnya semula, meski tampak berusaha agar asap rokoknya tidak sampai mengganggu Si Jenggot.

Selama beberapa saat, tidak ada kejadian apa-apa. Si Jenggot masih duduk di depan petugas wanita yang mengetik di komputer. Si Mbakyu masih berdiri di belakang Si Jenggot. Si Klimis masih mengisap rokok. Si Gondrong masih berdiri di samping Si Klimis. Dan saya, Si Bocah, masih bernapas dengan baik di belakang mereka.

Beberapa menit kemudian, urusan Si Jenggot selesai. Dia bangkit dari tempat duduk, lalu melangkah pergi. Si Mbakyu, yang semula ada di belakang Si Jenggot, kini menduduki kursi, dan menghadapi petugas pengiriman barang. Maka, kini tinggallah Si Klimis, Si Gondrong, dan Si Bocah, yang masih berdiri.

Si Klimis berkata pada Si Gondrong, “Laki-laki muda yang sehat tapi alergi dengan asap rokok, seharusnya tinggal saja di rumah... atau di rumah sakit!” Tentu saja yang dia maksud adalah Si Jenggot, yang tadi meminta menjauhkan asap rokoknya.

Si Gondrong tersenyum, memahami maksud Si Klimis. Dia juga berujar, “Mbak ini saja tidak sampai segitunya, ya.” Sambil menunjuk Si Mbakyu yang masih duduk di kursi di hadapan petugas pengiriman barang.

“Kalau orang tadi alergi dengan asap rokokku,” ujar Si Klimis, “sebenarnya aku juga alergi dengan jenggotnya. Tapi aku kan tidak mungkin memintanya memotong jenggot hanya karena aku tidak suka melihat jenggotnya!”

Mungkin analogi itu tidak seratus persen tepat, tapi Si Klimis tampaknya sedang emosi, jadi mungkin tidak sempat memikirkan analogi yang lebih intelek.

Si Gondrong berkata pada Si Klimis, “Kenapa tadi kamu tidak bilang begitu sama orangnya?”

“Karena aku berusaha bersikap sopan,” sahut Si Klimis. Kemudian, setelah mengisap rokoknya, dia melanjutkan, “Kita manusia punya kesukaan dan punya ketidaksukaan. Yang disukai seseorang, belum tentu disukai orang lain. Yang tidak disukai seseorang, bisa jadi disukai orang lain. Seperti asap rokok, atau jenggot. Mungkin dia tidak suka rokok, tapi aku suka. Sebaliknya, dia mungkin suka jenggot, tapi aku tidak suka.”

Si Bocah—maksudnya, saya—diam-diam mendengarkan.

Si Klimis melanjutkan, “Kesadaran dan pengertian semacam itu seharusnya membuat kita saling menghormati. Karena yang tidak kita suka bisa jadi merupakan kesukaan orang lain. Jarakku dengan dia tadi agak jauh, jadi kupikir agak keterlaluan kalau dia mempersoalkan asap rokokku. Wong mbak ini, yang tadi tepat di sebelahku, juga tidak ribut, kok.” Sambil menunjuk Si Mbakyu yang masih duduk di depan petugas pengiriman.

Si Gondrong menyahut, “Iya, orang tadi memang agak keterlaluan.”

Si Klimis melanjutkan ceramah, “Kalau mau bicara soal tidak suka, aku juga punya banyak ketidaksukaan. Aku tidak suka melihat ibu-ibu naik motor matic, karena mereka suka seenaknya sendiri. Aku tidak suka melihat ABG-ABG naik motor, karena mereka pecicilan tapi tidak hati-hati. Dua contoh itu bisa membahayakan diri sendiri dan orang lain. Tapi, apa aku harus menghentikan ibu-ibu atau para ABG yang naik motor, hanya karena aku tidak suka pada mereka? Apa iya, aku harus bilang pada mereka, ‘Bu, tolong motornya.’ Atau ‘Dik, tolong motornya.’ Apa iya, aku harus begitu?”

Si Gondrong manggut-manggut, entah paham atau tidak.

Saya masih diam, dan—mau tidak mau—terus mendengarkan.

Si Klimis menampakkan muka mengerut, dan kembali berkata, “Orang kadang terlalu memikirkan diri sendiri, sampai menganggap di dunia ini cuma ada diri sendiri. Semua orang harus sama seperti dirinya, semua orang harus menyukai yang disukainya, semua orang harus tidak suka pada yang tidak dia suka. Semua orang harus sesuai seleranya, dan berharap semua orang menjalani hidup seperti dirinya. Seperti Si Jenggot tadi. Dia mungkin alergi dengan asap rokok, tapi dia mungkin tidak pernah berpikir bahwa orang lain bisa jadi alergi dengan jenggot!”

Si Gondrong menyahut, “Tapi, uhm... jenggot dan asap rokok kan beda?”

“Tentu saja beda!” sahut Si Klimis. “Sungguh aneh kalau kamu berpikir rokok dan jenggot adalah hal sama.”

Diam-diam saya mulai bingung dengan alur logika percakapan itu. Tapi siapalah saya ini, wong saya cuma bocah.

Si Gondrong bertanya, “Jadi, maksudnya gimana? Uhm, maksudku, dua benda itu kan beda? Rokok dan jenggot?”

“Lha iya, beda,” jawab Si Klimis. “Jenggot, rokok, motor, ibu-ibu, ABG, semuanya beda. Karena masing-masing kita memang beda. Itulah kenapa aku bingung campur jengkel, setiap mendapati orang berpikir semua orang harus sama seperti dirinya.”

Si Klimis ini mungkin genius, pikir saya diam-diam.

“Jadi, maksudnya gimana?” tanya Si Gondrong lagi.

“Sederhana,” jawab Si Klimis. “Bahwa kalau dia alergi dengan asap rokokku, aku juga alergi dengan jenggotnya.”

Sebenarnya, Si Klimis mungkin akan melanjutkan ceramah, tapi Si Mbakyu sudah bangkit dari tempat duduk, dan kini giliran Si Klimis yang duduk di kursi, menghadapi petugas pengiriman. Percakapan tingkat tinggi yang saya dengarkan itu pun selesai sampai di situ.

Si Gondrong masih berdiri. Diam.

Saya masih berdiri di dekatnya. Juga diam.

Dalam diam itu, saya terus memikirkan ucapan Si Klimis. Bahwa kalau kita alergi pada seseorang, bisa jadi orang lain sebenarnya juga alergi kepada kita. Mungkin orang lain tidak mengatakan terus terang, karena ingin menjaga sopan santun, khususnya di depan kita. Sebagai bocah, diam-diam saya merasa telah menemukan pelajaran yang sangat berharga.

 
;