Selasa, 24 Mei 2016

Dendam dan Kehormatan

“Bagaimana bila para pemerkosa itu tidak
berniat jahat?” | Logika yang kacau. Wong memperkosa
jelas-jelas kejahatan, apa pun niatnya.
@noffret 


Dua ratus tahun sebelum Masehi, ada suatu wilayah bernama Galatian (yang sekarang disebut Turki). Pada masa itu, di Galatian ada suku bernama Tectosagi, yang dipimpin seorang lelaki bernama Orgiagon. Sang pemimpin suku memiliki istri bernama Chiomara. Karenanya, pasangan Orgiagon dan Chiomara dianggap sebagai kaum bangsawan di Tectosagi.

Pada tahun 189 SM, terjadi peperangan antara bangsa Galatian dengan bangsa Romawi. Suku Tectosagi, yang masuk dalam wilayah Galatian, ikut terlibat dalam peperangan tersebut, termasuk Orgiagon sang kepala suku. Singkat cerita, Galatian kalah dalam peperangan, dan para prajurit Romawi menjarah apa saja yang bisa dijarah di wilayah yang mereka taklukkan.

Seorang prajurit Romawi menemukan Chiomara, dan mencoba merayu. Mendapati rayuannya ditolak, prajurit Romawi itu menyeret Chiomara ke Roma, dan memperkosanya. Chiomara tak berdaya menghadapi perkosaan itu. Ia jauh dari kampung halaman, dan posisinya saat itu menjadi tawanan. Tapi diam-diam ia menyimpan dendam.

Seusai memperkosa Chiomara, si prajurit Romawi merasa bersalah. Mungkin, karena ingin menebus rasa bersalahnya, dia menawari Chiomara untuk dikembalikan kepada sukunya. Chiomara setuju. Maka dia pun diantarkan oleh si prajurit yang memperkosanya, ke kampung halaman Chiomara di Tectosagi. Sesampai di Tectosagi, saat disambut orang-orang di sana, Chiomara memerintahkan orang-orang sukunya agar memenggal kepala prajurit Romawi yang telah memperkosanya.

Kemudian, Chiomara menenteng kepala yang terpenggal itu, dan berkata, “Aku tidak akan membiarkan siapa pun menodai kehormatanku.”

Berabad-abad kemudian, wilayah Galatian telah terkubur menjadi puing-puing sejarah, dan wilayah itu berubah nama menjadi Turki, seperti yang kita kenal sekarang. Yang menarik, kisah dari masa lalu kembali terulang—kisah tentang seorang wanita yang membalas dendam demi kehormatannya, dengan cara yang sama.

Di barat daya Turki, ada sebuah desa kecil bernama Yalvac. Di desa itu hidup seorang wanita bernama Nevin Yildirim, berusia 26 tahun. Dia tinggal bersama suaminya, serta dua anak yang masih kecil (masing-masing berusia 6 dan 2 tahun). Mereka menjalani kehidupan yang damai dan tenteram, khas kehidupan desa kecil. Sebagian masyarakat di desa itu, khususnya yang pria, biasa mendapat pekerjaan musiman di kota, kadang sampai beberapa bulan. Begitu pula dengan suami Nevin Yildirim.

Pada Januari 2012, suami Nevin Yildirim berangkat ke kota untuk bekerja, dan Nevin Yildirim pun melepas kepergian suaminya seperti biasa. Tapi rupanya bencana mengintip seusai kepergian si suami.

Beberapa hari setelah kepergian suaminya, Nevin Yildirim diperkosa oleh seorang lelaki bernama Nurettin Gider. Lelaki itu menodongkan senjata api, dan memperkosa Nevin Yildirim yang ketakutan. Setelah itu, Nurettin Gider meninggalkan korbannya, dan mengancam akan membunuh anak-anak Nevin Yildirim jika wanita itu buka mulut atas perkosaan tersebut.

Merasa berhasil dengan aksinya, Nurettin Gider melanjutkan kejahatannya. Sejak itu, dia kerap memperkosa Nevin Yildirim, kapan saja dan di mana saja. Nevin Yildirim merasa tak berdaya, karena memikirkan nasib anak-anaknya.

Pada suatu siang, Nurettin Gider memasuki rumah Nevin Yildirim, dan kebetulan waktu itu Nevin Yildirim sedang tidur, dan pakaiannya tersingkap. Nurettin Gider—sang penjahat pemerkosa—memotret Nevin Yildirim yang nyaris telanjang, kemudian menggunakan foto itu untuk mengancam Nevin Yildirim. Kini, wanita itu semakin tak berdaya. Membayangkan anak-anaknya tercancam sudah membuatnya ketakutan, dan sekarang Nurettin Gider juga mengancam akan menyebarkan fotonya yang nyaris telanjang.

Selama berbulan-bulan kemudian, Nevin Yildirim terus ketakutan dan tak berdaya menghadapi kejahatan dan kekejian Nurettin Gider. Aksi perkosaan yang berawal pada Januari 2012 itu terus berlangsung hingga Agustus 2012. Selama waktu-waktu itu, Nevin Yildirim terus menerus dipaksa menerima perkosaan demi perkosaan yang dilakukan Nurettin Gider. Akibat perkosaan berulang-ulang itu, Nevin Yildirim pun hamil.

Tidak ada yang tahu kenyataan mengerikan itu, selain Nevin Yildirim, sang korban. Suaminya masih di luar kota untuk mencari nafkah. Anak-anaknya masih kecil. Semula, Nevin Yildirim berencana melaporkan kejahatan Nurettin Gider ke kepolisian, tapi dia menyadari bahwa wanita korban perkosaan menghadapi stigma mengerikan, yang kadang lebih mengerikan dari perkosaan yang dialami.

Jika dia melaporkan pemerkosanya, dan kasus itu kemudian diketahui masyarakat, dia akan menghadapi stigma sebagaimana yang dialami wanita-wanita lain yang menjadi korban perkosaan. Wanita-wanita yang menjadi korban perkosaan harus menanggung aib seumur hidup akibat kejahatan yang menimpa mereka, dan masyarakat menganggapnya sebagai perempuan hina. Sementara si pelaku perkosaan hanya menjalani hukuman beberapa tahun, lalu dapat melanjutkan hidup seolah tak terjadi apa-apa.

Lebih dari itu, Nevin Yildirim juga mengkhawatirkan nasib anak-anak serta keluarganya. Nurettin Gider, pemerkosanya, menyimpan foto Nevin Yildirim, dan ia takut jika foto yang tidak sopan itu sampai tersebar luas. Meski foto itu dibuat tanpa sepengetahuannya—karena dia masih tidur saat foto tersebut dibuat—namun Nevin Yildirim bisa membayangkan bagaimana reaksi orang-orang jika sampai melihat.

Kebingungan demi kebingungan itu terus menghantui Nevin Yildirim. Ia merasa ketakutan dan tak berdaya, sementara Nurettin Gider terus mendatanginya sewaktu-waktu, dan memperkosanya, sementara Nevin Yildirim tak memiliki keberanian untuk melawan. Puncaknya, dalam ketakutan dan kekalutan, Nevin Yildirim sempat memutuskan untuk bunuh diri, untuk mengakhiri semua penderitaan itu. Tetapi, lagi-lagi, dia memikirkan nasib anak-anaknya.

Sementara itu, kehamilan akibat perkosaan yang dialaminya semakin membesar.

Akhirnya, suatu hari, Nevin Yildirim menemukan cara untuk mengakhiri semua penderitaan yang dialaminya. Dia menemukan senjata api di rumah mertuanya, dan mendapati senjata api itu dilengkapi peluru serta bisa digunakan. Dia pun menyimpan senjata itu di dekat tempat tidurnya.

Suatu siang, pada 30 Agustus 2012, Nurettin Gider—seperti hari-hari sebelumnya—mendatangi rumah Nevin Yildirim untuk kembali memperkosa wanita itu. Kali ini, Nevin Yildirim sudah menguatkan tekad, dan dia telah bersiap menyambut kedatangan si bangsat pemerkosa. Begitu Nurettin Gider memasuki kamarnya, Nevin Yildirim meraih senjata api yang telah ia siapkan, lalu menembak dada Nurettin Gider.

Lelaki itu pun terjatuh, dengan dada berlubang. Tapi dia masih hidup. Bahkan, sambil menahan sakit akibat tertembak, Nurettin Gider memaki-maki Nevin Yildirim dengan begitu hina. Nevin Yildirim mendekati lelaki pemerkosanya, dan menembakkan serentetan peluru ke selangkangan Nurettin Gider. Total ada 8 peluru yang merobek selangkangan pemerkosa itu, dan 2 di dada. Belum puas, Nevin Yildirim mengambil pisau besar di dapur, lalu menghunjamkan pisau itu ke perut Nurettin Gider. Bajingan pemerkosa itu pun tewas bersimbah darah.

Setelah Nurettin Gider tewas, Nevin Yildirim memenggal leher Nurettin Gider, lalu menenteng kepala lelaki yang telah putus itu ke alun-alun desa, dengan darah segar menetes-netes.

Penduduk pun seketika gempar menyaksikan Nevin Yildirim menenteng kepala. Kepada orang-orang yang menyaksikannya dengan ngeri, Nevin Yildirim berkata, “Jangan berbicara di belakang punggungku, jangan pernah bermain-main dengan kehormatanku. Ini kepala orang yang mencoba mempermainkan kehormatanku.”

Setelah itu, Nevin Yildirim melemparkan kepala Nurettin Gider ke tanah.
 
Akibat aksinya yang mengerikan, Nevin Yildirim pun ditangkap polisi, dengan tuduhan pembunuhan.

Di pengadilan, Nevin Yildirim menyatakan, “Saya sempat berpikir untuk melaporkan dia (Nurettin Gider) ke polisi dan jaksa, tapi itu akan membuat saya sebagai seorang perempuan hina (akibat kasus perkosaan). Daripada saya akan mendapat aib, saya memutuskan untuk membersihkan kehormatan saya, dan membunuhnya. Saya sering berpikir untuk bunuh diri, tetapi saya tidak bisa melakukannya.”

Dia menambahkan, “Putri saya akan mulai sekolah tahun ini. Semua orang akan menghina anak-anak saya, jika saya diberitakan sebagai korban perkosaan. Sekarang tidak ada yang bisa menghina mereka. Saya menyelamatkan kehormatan saya. Mereka sekarang akan memanggil anak-anak ini sebagai anak-anak dari wanita yang menyelamatkan kehormatannya.”

Menyangkut kehamilan yang terjadi akibat perkosaan tersebut, Nevin Yildirim menuntut pemerintah agar mengizinkannya melakukan aborsi, meskipun usia kandungannya sudah lewat dari batas waktu yang ditentukan di Turki.

Kelompok-kelompok hak perempuan Turki memuji Nevin Yildirim sebagai pahlawan, meski mungkin pengadilan berkata lain. Bagaimana pun, wanita itu melakukan apa yang harus dilakukannya—mengakhiri kekejian dan perkosaan yang dialaminya—karena ia pikir itulah satu-satunya jalan.

Orang-orang—masyarakat—mungkin bisa saja mengatakan, “Seharusnya Nevin Yildirim tidak membunuh pemerkosanya.”

Kedengarannya mulia. Tapi bagaimana dengan si pelaku? Kenapa tidak ada yang berkata pada si pemerkosa, “Seharusnya Nurettin Gider tidak melakukan perkosaan.”

Lebih dari itu, jika si pemerkosa masih hidup, dan kasus perkosaan itu kemudian terungkap, kira-kira bagaimana sikap masyarakat terhadap Nevin Yildirim, si korban perkosaan?

Seperti umumnya wanita yang tinggal di pedesaan Turki, Nevin Yildirim biasa menjalani kehidupan sehari-hari dengan pakaian tertutup, plus kerudung. Artinya, perkosaan itu terjadi bukan karena dia memakai pakaian terbuka yang mungkin mengundang atau merangsang. Ketika perkosaan terjadi, Nurettin Gider juga dalam keadaan waras, dalam arti tidak sedang mabuk atau terpengaruh alkohol. Bahkan, Nurettin Gider melakukan kejahatan itu secara sadar, penuh perhitungan, hingga bisa terus melakukannya berbulan-bulan.

Jadi, kenapa tidak ada yang berkata kepada Nurettin Gider—atau kepada lelaki-lelaki bejat lain—“Seharusnya kalian tidak melakukan perkosaan.”

Sebagai lelaki, sebagai manusia, terus terang saya sulit menyalahkan Nevin Yildirim, mengingat bagaimana sikap masyarakat terhadap kasus perkosaan, terhadap si pelaku, dan kepada si korban. Mungkin aksi pembalasan dendam yang dilakukan Nevin Yildirim tergolong sadis dan mengerikan, tetapi—saya pikir—dia layak melakukannya.

Seperti yang dikatakan Nevin Yildirim, “Jika saya membiarkan pemerkosa itu hidup, dan kasus perkosaan ini diketahui masyarakat, maka sayalah yang akan menanggung aib atas kejahatan ini, bukan si pelaku. Padahal dia pelaku kejahatan, dan saya korbannya.”

Dengan membunuh si pemerkosa, Nevin Yildirim melakukan sesuatu yang ia pikir dapat membalik keadaan. Orang-orang tidak akan lagi menatapnya sebagai wanita hina karena menjadi korban perkosaan. Sebaliknya, orang-orang akan menilainya sebagai wanita yang melakukan sesuatu demi kehormatannya.

 
;