Rabu, 29 Juni 2016

Hadist-hadist Palsu di Bulan Puasa (2)

Posting ini lanjutan posting sebelumnya. Untuk mendapatkan pemahaman yang lebih baik, sebaiknya bacalah posting sebelumnya terlbih dulu.

***

Sekarang kita lihat hadist lain yang tak kalah populer, karena kerap diocehkan orang-orang yang sok ustad:

مَنْ فَرِحَ بِدُخُوْلِ رَمَضَانَ حَرَّمَ اللهُ جَسَدَهُ عَلَى النِّيْرَانِ

“Barangsiapa yang bergembira dengan kedatangan bulan Ramadan, niscaya Allah mengharamkan jasadnya dari neraka.” (Disebutkan dalam Kitab Durratun Nashihin, tanpa sanad)

Terdengar sangat familier? Itu salah satu hadist yang sangat terkenal, populer, dan sering digembar-gemborkan setiap bulan puasa tiba... padahal hadist palsu!

Tidak sekadar palsu, hadist di atas bahkan masuk golongan “Laa ashlalahu” atau “tidak ada asal-usulnya”. Dengan kata lain, “lebih parah dari hadist palsu”. Dalam kitab Takhrijul Ihya, Al-Hafidz Al-Iraqi memasukkan hadist di atas sebagai dhaif, begitu pula Al-Albani dalam kitab Silsilah Adh-Dha’ifah.

Lihat pula hadist populer ini:

رَجَبٌ شَهْرُ الله، وشَعْبانُ شَهْرِي، وَرَمَضانُ شَهْرُ أُمَّتِي

“Rajab adalah bulan Allah, Sya’ban adalah bulanku, dan Ramadan adalah bulan umatku.” (HR. Ad-Dailami, Ibnu Asakir dalam Mu’jam Asy-Syuyukh)

Sama-sama populer, tapi juga sama palsu! Kepalsuan hadist ini bisa dipelajari lebih lanjut dalam kitab Lisanul Mizan karya Ibnu Hajar, As-Siyar karya Adz-Dzahabi, dan As-Silsilah Adh-Dha’ifah karya Asy-Syaikh Al-Albani.

Sekarang saya ingin mengisi kultum.

Dalam kultum (kuliah tujuh menit) yang biasa ada di mushala atau masjid, kita sering mendengar si kultumer (maksudnya orang yang mengisi kultum) ngoceh kira-kira begini, “Sepertiga awal bulan Ramadan adalah waktu kasih sayang Allah, sepertiga bulan selanjutnya adalah waktu ampunan Allah, dan sepertiga bulan terakhir Ramadan adalah pembebasan dari api neraka.” (Atau kira-kira semacam itu).

Kalian sudah biasa mendengarnya, kan? Oh, bukan hanya biasa mendengar, sebagian orang bahkan sudah hafal di luar kepala, karena kalimat semacam itu diocehkan di banyak tempat oleh para kultumer. Pertanyaannya, atas dasar apa ajaran tersebut? Jawabannya mengerikan, karena “ajaran” itu disandarkan pada hadist dhaif!

Oh, well, inilah hadist dhaif yang mereka gunakan:

يا أيها الناس انه قد أظلكم شهر عظيم شهر مبارك فيه ليلة خير من ألف شهر فرض الله صيامه وجعل قيام ليله تطوعا فمن تطوع فيه بخصلة من الخير كان كمن أدّى فريضة فما سواه … وهو شهر أوله رحمة وأوسطه مغفرة وآخره عتق من النار

“Wahai sekalian manusia, sungguh hampir datang kepada kalian bulan yang agung dan penuh berkah, di dalamnya terdapat satu malam yang lebih baik dari seribu bulan, Allah wajibkan untuk berpuasa pada bulan ini, dan Allah jadikan shalat pada malam harinya sebagai amalan yang sunah, barangsiapa yang rela melakukan kebajikan pada bulan itu, maka seperti menunaikan kewajiban pada selain bulan tersebut… dan dia merupakan bulan yang awalnya adalah kasih sayang, pertengahannya adalah ampunan, dan akhirnya adalah pembebasan dari api neraka.” (HR. Ibnu Khuzaimah, Al-Baihaqi dalam Syu’abul Iman)

Hadist tersebut masuk golongan munkar (lemah). Penjelasan mengenai hal itu bisa dilihat dalam kitab Dhaif At-Targhib dan kitab Silsilah Ahadits Dhaifah, yang ditulis Syaikh Al-Albaniy.

Yang benar, di seluruh waktu di bulan Ramadan terdapat rahmat, seluruhnya terdapat ampunan Allah, dan seluruhnya terdapat kesempatan bagi seorang mukmin untuk terbebas dari api neraka—tidak hanya sepertiganya. Salah satu dalil yang menunjukkan hal itu adalah hadist sahih yang diriwayatkan Bukhari dan Muslim berikut ini:

من صام رمضان إيمانا واحتسابا ، غفر له ما تقدم من ذنبه

“Orang yang puasa Ramadan karena iman dan mengharap pahala, akan diampuni dosa-dosanya yang telah lalu.” Dalam hadits itu, disebutkan bahwa ampunan Allah tidak dibatasi hanya pada pertengahan atau sepertiga Ramadan saja.

Lanjut. Hadist lain yang sama dhaif tapi populer:

من فطر صائما على طعام وشراب من حلال صلت عليه الملائكة في ساعات شهر رمضان وصلى عليه جبرائيل ليلة القدر

“Barangsiapa memberi hidangan berbuka puasa dengan makanan dan minuman yang halal, para malaikat bershalawat kepadanya selama bulan Ramadan, dan Jibril bershalawat kepadanya di malam lailatul qadar.” (HR. Ibnu Hibban dan Al-Baihaqi)

Hadist ini lemah, sebagaimana yang ditegaskan oleh Al-Mulla Ali Al-Qaari dalam kitab Mirqatul Mafatih Syarh Misykatul Mashabih. Yang benar, orang yang memberikan hidangan berbuka puasa akan mendapatkan pahala puasa orang yang diberi hidangan tadi, berdasarkan hadist, “Siapa saja yang memberikan hidangan berbuka puasa kepada orang lain yang berpuasa, ia akan mendapatkan pahala orang tersebut tanpa sedikit pun mengurangi pahalanya.” (HR. At-Tirmidzi, ia berkata, “Hasan shahih”)

Sekarang kita masuk pada sesuatu yang mungkin akan mengejutkan banyak orang, yaitu hadist mengenai doa berbuka puasa. Ada banyak sekali orang Islam yang meyakini bahwa hadist berikut ini merupakan doa berbuka puasa, hingga tanpa ragu mengajarkannya kepada orang-orang lain:

 اللهم لك صمت و بك امنت و على رزقك افطرت برحمتك يا ارحم الراحمين

Karena hadist/doa itu digunakan sangat banyak orang, saya tuliskan kalimat dalam bahasa Indonesia, agar semua bisa membaca lebih jelas, “Allahuma lakasumtu, wabika aamantu, wa’ala rizqika afthartu, birokhmatika ya arkhamar raakhimiin.”

Artinya: “Ya Allah, untuk-Mu aku berpuasa, kepada-Mu aku beriman, atas rezeki-Mu aku berbuka, aku memohon rahmat-Mu wahai Dzat yang Maha Penyayang.”

Meskipun kalimat itu memiliki arti yang baik, tetapi itu hadist palsu! Dalam kitab Al-Futuhat Ar-Rabbaniyyah, Ibnu Hajar Al-Asqalani berkata, “Hadits ini gharib, dan sanadnya lemah sekali”. Hadits itu juga di-dhaif-kan oleh Asy-Syaukani dalam kitab Nailul Authar, juga oleh Al-Albani dalam kitab Dhaif Al-Jami’. Dan doa dengan lafadz yang semisal, semua berkisar antara hadits lemah dan munkar.

Ada pula hadist/doa serupa, yang di dalamnya tidak terdapat kata “wabika aamantu”, dan hadist itu diketahui memiliki sanad yang berkisar lemah/sangat lemah. Penjelasan lebih lanjut mengenai hal ini bisa dirujuk ke kitab Tartibul Maudhu’at karya Adz-Dzahabi, Al-Manaarul Munif karya Ibnul Qayyim, Al-Maudhu’at karya Ash-Shaghani, serta kitab Tabyinul Ujab karya Ibnu Hajar Al-Asqalani.

Jadi, doa buka puasa sebagaimana yang disebut di atas bukanlah doa yang diajarkan Nabi Muhammad SAW! Jika kita ingin berdoa saat berbuka puasa, sebagaimana yang terdapat dalam hadist sahih—dalam arti dilakukan oleh Nabi Muhammad SAW—maka inilah doa yang benar:

 ذهب الظمأ وابتلت العروق وثبت الأجر إن شاء الله

Dalam bahasa Indonesia: "Dzahabaz zhamaa-u wabtalatil ‘uruuqu wa tsabatal ajru insyaa Allah." Artinya, “Rasa haus telah hilang, kerongkongan telah basah, semoga pahala didapatkan. Insya Allah.” (Doa ini terdapat dalam hadist sahih yang diriwayatkan oleh Abu Daud dan Ad-Daruquthni, dan di-hasan-kan oleh Ibnu Hajar Al-Asqalani).

Lanjut lagi. Perhatikan hadist populer ini:

 أن شهر رمضان متعلق بين السماء والأرض لا يرفع إلا بزكاة الفطر

“Bulan Ramadan bergantung di antara langit dan bumi. Tidak ada yang dapat mengangkatnya kecuali zakat fitri.” (Diriwayatkan Al-Mundziri dan Ibnu Syahin)

Hadist ini lemah. Penjelasan mengenai kelemahan hadist itu bisa dirujuk ke kitab Dhaif At-Targhib, dan kitab Silsilah Ahadits Dhaifah karya Syaikh al-Albaniy.

Omong-omong, semua kitab yang saya sebut dalam catatan ini bisa dicari di toko-toko buku, tapi menggunakan bahasa Arab. Jadi, harus menguasai bahasa Arab terlebih dulu, untuk bisa membaca dan mempelajarinya. In fact, untuk bisa mengetahui mana hadist sahih dan mana hadist palsu, orang harus menguasai bahasa Arab terlebih dulu, serta memahami ilmu hadist dan musthalah hadits.

Sebentar, saya mau nyulut rokok.

Ehmm... menjelang Ramadan, banyak sekali orang (yang tentunya Muslim) meminta maaf atau bermaaf-maafan dengan banyak orang. Ritual maaf-maafan semacam itu didasarkan pada sebuah hadist yang juga palsu, tapi diyakini sahih oleh banyak orang. Inilah hadistnya:

“Ketika Rasullullah sedang berkhutbah pada shalat Jum’at (di bulan Sya’ban), beliau mengatakan ‘Amin’ sampai tiga kali, dan—begitu mendengar Rasulullah mengatakan ‘Amin’—para sahabat terkejut, dan spontan mereka ikut mengatakan ‘Amin’. Tapi para sahabat bingung, kenapa Rasulullah berkata ‘Amin’ sampai tiga kali. Ketika selesai shalat Jum’at, para sahabat bertanya kepada Rasulullah, kemudian beliau menjelaskan, Ketika aku sedang berkhutbah, datang Malaikat Jibril dan berbisik, ‘Hai Rasullullah, aminkan doaku ini’. Doa Malaikat Jibril adalah, ‘Ya Allah, tolong abaikan puasa umat Muhammad, apabila sebelum memasuki bulan Ramadan tidak melakukan hal-hal berikut: 1) Tidak memohon maaf kepada kedua orang tuanya (jika masih ada); 2) Tidak bermaafan antara suami istri; 3) Tidak bermaafan dengan orang-orang sekitarnya'.

Berdasarkan hadist itulah, banyak orang Islam yang kemudian bermaaf-maafan dengan banyak orang, menjelang Ramadan. Padahal, itu hadist palsu! Bukan hanya palsu, bahkan teks Arabnya saja tidak ada, tak bisa ditemukan! Entah itu yang ngarang siapa, tapi yang jelas hadist hoax itu telah dipercaya banyak orang.

Mari kita luruskan.

Meminta maaf dan memberi maaf adalah hal baik. Islam pun mengajarkan untuk meminta maaf jika berbuat kesalahan kepada orang lain. Tetapi, meminta maaf tanpa sebab, dan dilakukan kepada semua orang yang ditemui, tidak pernah diajarkan oleh Islam!

....
....

Sebenarnya, di luar yang telah saya ocehkan di atas, masih banyak hadist lain, yang sebenarnya juga palsu, tapi diyakini sebagai hadist sahih, karena yang mengatakan adalah ustad seleb yang terkenal. Itu, demi segala demi, sangat memprihatinkan. Karena orang-orang awam percaya kepada mereka, sementara mereka kadang ngoceh seenaknya, tanpa dasar pengetahuan yang bisa dipertanggungjawabkan.

Akhirnya, apa yang bisa diambil sebagai pelajaran dari uraian yang cukup panjang ini?

Sederhana. Bahwa yang kita anggap bahkan yakini sebagai kebenaran, belum tentu memang benar. Karena itu, tidak usah ngotot, tidak usah merasa paling benar. Lebih penting lagi, tidak usah bertingkah sok ustad dengan menyebar-nyebarkan suatu ajaran jika tidak benar-benar memahami, karena dapat menyesatkan orang lain yang tidak tahu. Satu kesesatan yang tidak disadari, akan menimbulkan kesesatan pada pihak lain. Satu kesalahan yang tidak diverifikasi, akan melahirkan kesalahan-kesalahan lain.

Di internet banyak orang alim—yang benar-benar alim—dalam arti sungguh-sungguh mengetahui ajaran Islam, dan bukan sekadar memahami secara dangkal. Mereka telah menghabiskan waktu bertahun-tahun di pesantren, mempelajari ribuan hadist, mendaras banyak kitab yang ditulis para ulama, hingga pengetahuan keislaman mereka benar-benar dapat dipertanggungjawabkan.

Orang-orang alim itu juga banyak yang aktif di blog, di Twitter, di Facebook, dan mereka bersikap humble—rendah hati dalam arti sebenarnya—tidak sok suci, tidak sok-sokan menjadi ustad yang merasa paling benar. Karenanya, jika kalian meragukan yang saya uraikan dalam catatan ini, silakan konfirmasikan kepada mereka yang benar-benar alim itu, dan insya Allah mereka akan membenarkan yang saya katakan.

Akhirnya, jika ada kebenaran dari yang saya katakan, kebenaran itu tentu datang dari Sang Pemilik Kebenaran. Dan jika ada kesalahan atau kekeliruan dari yang saya katakan, kesalahan itu tentu datang dari kedaifan saya sebagai manusia. Akhirul kalam, wallahul muwaffiq ilaa aqwaamitthaariq, wassalaamu’alaikum warahmatullaahi wabarakaatuh.

....
....

Rokok saya mati.

Korek mana korek?

Hadist-hadist Palsu di Bulan Puasa (1)

مَنْ كَذَبَ عَلَيَّ مُتَعَمِّدًا فَلْيَتَبَوَّأْ مَقْعَدَهُ مِنْ النَّار

“Barangsiapa yang berdusta atas namaku dengan sengaja,
maka hendaknya dia mempersiapkan tempat duduknya di neraka.”
(Muttafaqun ‘Alaihi, dari Abu Hurairah,
Al-Mughirah bin Syu’bah, dan yang lainnya
)


Salah satu “hoax” di dunia hadist yang sangat terkenal, berbunyi, “Berbukalah dengan yang manis.” Hadist yang sebenarnya hoax itu menyiratkan agar umat Muslim berbuka puasa dengan makanan atau minuman yang manis-manis. Hadist hoax itu sering disebut-sebut saat bulan Ramadan tiba, dan ada banyak orang yang percaya itu benar-benar hadist. Oh, well, tampaknya itu bahkan menjadi hadist paling terkenal selama bulan puasa.

Padahal, sekali lagi, itu hanya hoax!

Saya sengaja menyebutnya “hoax”, bukan “hadist palsu”, karena kenyataannya memang tidak ada satu pun hadist yang menyatakan agar kita berbuka dengan yang manis. Sekadar catatan, “hadist palsu” adalah hadist yang bisa kita temukan, namun sebenarnya tidak pernah diucapkan Nabi Muhammad SAW. Karenanya, hadist palsu benar-benar ada, tapi tidak benar alias palsu. Sedangkan “berbukalah dengan yang manis” bukan hadist palsu, karena hadist itu tidak pernah ada. Karenanya saya sebut hoax!

Jadi, dari mana sebenarnya hoax itu bisa muncul hingga sangat terkenal?

Sebenarnya, terus terang, saya segan membahas hal-hal seperti ini. Karena saya bukan ustad, juga karena saya tidak ingin bertingkah sok ustad! Tetapi persoalan ini—dan beberapa persoalan lain terkait hadist populer di bulan puasa—telah lama menggelisahkan pikiran dan hati saya. Karenanya, sekarang, saya terpaksa menuliskannya di sini.

Mari kita mulai dengan hadist sahih berikut ini:

عَنْ أَنَسِ بْنِ مَالِكٍ قَالَ: كَانَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يُفْطِرُ قَبْلَ أَنْ يُصَلِّيَ عَلَى رُطَبَاتٍ، فَإِنْ لَمْ تَكُنْ رُطَبَاتٌ فَتُمَيْرَاتٌ، فَإِنْ لَمْ تَكُنْ تُمَيْرَاتٌ حَسَا حَسَوَاتٍ مِنْ مَاءٍ

“Dari Anas bin Malik, ia berkata: Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam biasa berbuka puasa sebelum shalat dengan ruthab (kurma basah), jika tidak ada ruthab beliau berbuka dengan tamr (kurma kering), dan jika tidak ada tamr beliau meminum seteguk air.”

Selain hadist di atas, ada varian hadist lain yang sama-sama sahih, dan isi hadist-hadist tersebut bisa dibilang tidak jauh berbeda dengan hadist di atas. Point penting yang perlu diperhatikan dalam hadist tersebut adalah ruthab, tamr, dan air.

“Ruthab” adalah kurma muda, atau kurma segar, yang masih berair, sehingga biasa disebut kurma basah. Sedangkan “tamr” adalah kurma kering seperti yang biasa kita lihat di pasaran. Sementara “air” yang dimaksud dalam hadist tersebut tentu air putih, bukan teh manis atau jus avokad atau kolak atau bubur kacang ijo.

Berdasarkan hadist tersebut, apakah kita menemukan kata atau kalimat atau frasa atau ungkapan “yang manis”? Tidak! Tetapi, hoax berbunyi “berbukalah dengan yang manis” berpangkal tolak dari hadist tersebut. Jadi, mari kita telusuri sumbernya.

Ar-Rauyani, seorang ulama Syafi’iyah, meng-qiyas-kan “kurma” pada hadist di atas dengan “sesuatu yang manis”. Hal itu dinyatakan Taqiyuddin Al-Hushni, saat menulis kitab Kifayatul Akhyar. Taqiyuddin Al-Hushni menyatakan kalimat berikut:

وَيسْتَحب أَن يفْطر على تمر وَإِلَّا فعلى مَاء للْحَدِيث وَلِأَن الحلو يُقَوي وَالْمَاء يطهر وَقَالَ الرَّوْيَانِيّ إِن لم يجد التَّمْر فعلى حُلْو لِأَن الصَّوْم ينقص الْبَصَر وَالتَّمْر يردهُ فالحلو فِي مَعْنَاهُ

Artinya: “Dianjurkan berbuka dengan kurma, atau jika tidak ada maka dengan air, berdasarkan hadist ini. Karena yang manis-manis itu menguatkan tubuh, dan air membersihkan tubuh. Ar-Rauyani berkata, ‘Kalau tidak ada kurma, maka dengan yang manis-manis. Karena puasa melemahkan pandangan, dan kurma menguatkan, dan yang manis-manis semakna dengan kurma’.” (Kifayatul Akhyar).

Inilah asal usul hoax “berbukalah dengan yang manis”, yaitu qiyas yang dilakukan Ar-Rauyani terhadap hadist sahih di atas. Yang menjadi masalah, qiyas tersebut telah dibantah oleh mayoritas ulama, termasuk para ulama dari kalangan Syafi’iyah sendiri. Dengan kata lain, pendapat atau qiyas Ar-Rauyani gugur.

Zainuddin Al-Malibari, dalam kitab Fathul Mu’in, menjelaskan, “Syaikhan (An-Nawawi dan Ar-Rafi’i) mengatakan: ‘Tidak ada yang lebih afdal dari kurma selain air minum’. Pendapat Ar-Rauyani bahwa makanan manis lebih afdal dari air adalah pendapat yang lemah.” Pendapat tersebut juga didukung oleh banyak ulama lain yang sama-sama menyatakan bahwa pendapat atau qiyas Ar-Rauyani lemah.

(Penjelasan mengenai hal ini—qiyas dan segala macam terkait hadist—sebenarnya bisa panjang lebar. Tetapi catatan ini bisa sangat panjang sekali jika saya harus menjelaskannya sampai detail, dan saya ingat bahwa blog ini bukan forum bahtsul masa’il).

Sekarang, kita masuk poin penting mengenai hoax “berbukalah dengan yang manis”. Kenapa “hadist hoax” itu perlu dibahas dan dipikirkan? Karena “hadist hoax” itu sesat dan menyesatkan!

Ketika berpuasa seharian, dan tidak makan serta tidak minum apa pun, kadar gula dalam tubuh kita turun. Jika kita berbuka puasa dengan yang manis-manis, kadar gula kita akan langsung melonjak, dan itu tidak baik, karena sangat tidak sehat. Karenanya, hoax yang menyatakan “berbukalah dengan yang manis” adalah hoax yang sesat sekaligus menyesatkan.

Lalu bagaimana dengan kurma? Bukankah kurma juga manis? Kurma adalah karbohidrat kompleks (complex carbohydrate). Ketika dimakan saat berbuka puasa, kurma—yang merupakan karbohidrat kompleks—membutuhkan proses pencernaan yang lama. Karenanya, kadar gula dalam tubuh kita tidak langsung melonjak.

Sebaliknya, makanan atau minuman manis—yang umumnya menggunakan gula—adalah karbohidrat sederhana (simple carbohydrate) yang sangat cepat tercerna. Ketika makanan atau minuman semacam itu digunakan untuk berbuka puasa, maka gula darah dalam tubuh kita seketika melonjak. Dan, sekali lagi, itu tidak sehat, bahkan merusak kesehatan.

Jadi, kita lihat, “berbukalah dengan yang manis” itu hoax! Sesat sekaligus menyesatkan!

Lalu kenapa ungkapan itu dipercaya banyak orang sebagai hadist? Jawabannya merujuk pada penjelasan di atas. Yang menjadi masalah di sini, ada ustad seleb yang kebetulan menggunakan qiyas atas hadist di atas, dalam ceramah-ceramahnya di televisi. Ustad seleb tersebut sama sekali tidak paham—atau tidak tahu—bahwa qiyas terhadap hadist sahih itu telah dibantah mayoritas ulama, sehingga tidak bisa digunakan. Yeah, namanya juga ustad seleb!

Dari ustad seleb itu pulalah, orang-orang kemudian percaya bahwa “berbukalah dengan yang manis” benar-benar hadist. Kita lihat...? Hanya karena ada orang yang tidak belajar dengan benar—tapi terkenal—ada jutaan orang yang tersesat!

Ustad seleb itu—dan para pengikutnya—mungkin tidak tahu bahwa:

كَفَى بِالمَرْءِ إِثْمًا أنْ يُحَدِّثَ بكلِّ ما سمعَ

“Cukuplah seseorang dikatakan pendusta, jika ia menyampaikan setiap apa yang ia dengar.” (Hadist riwayat Abu Daud, disahihkan Al-Albani dalam Silsilah Ash-Shahihah)

Maksud hadist tersebut adalah, "Sebelum menyampaikan sesuatu kepada orang lain, lakukan klarifikasi terlebih dulu, agar yang kita sampaikan benar-benar bisa dipertanggungjawabkan, sehingga bukan malah menyesatkan." Karena benar dan tampak benar adalah dua hal yang berbeda.

Selain hadist hoax di atas, ada cukup banyak hadist lain, yang bisa dibilang sangat populer—khususnya di bulan puasa—padahal hadist-hadist palsu, atau setidaknya hadist lemah. Orang-orang yang sok ustad sering menggunakan hadist-hadist palsu itu dalam ceramah mereka, tanpa menyadari bahwa itu sebenarnya hadist palsu atau hadist lemah (dhaif).

Sekali lagi, uraian dan penjelasan mengenai apa itu hadist palsu serta hadist lemah, dan konsekuensi serta implikasinya, bisa sangat panjang sekali jika saya harus menjelaskannya di sini. Jadi, mari kita langsung melihat hadist-hadist populer, yang diyakini banyak orang sebagai hadist sahih, tapi sebenarnya palsu atau lemah. Kita mulai dari hadist ini:

صُومُوا تَصِحُّوا

“Berpuasalah, maka kalian akan sehat.” (HR. Abu Nu’aim)

Hadist ini lemah atau dhaif. Kenyataan itu telah ditegaskan oleh Al-Hafidz Al-Iraqi dalam kitab Takhrijul Ihya, juga oleh Al-Albani dalam kitab Silsilah Adh-Dha’ifah. Ash-Shaghani bahkan mengatakan hadits itu maudhu (palsu) dalam kitabnya, Maudhu’at Ash-Shaghani.

Karenanya, jika memang penelitian ilmiah dari para ahli medis atau ilmuwan menemukan bahwa puasa memang dapat menyehatkan tubuh, maka makna hadist ini benar. Meski begitu, hadist ini tidak boleh dianggap atau disebut sebagai hadist Nabi, karena para ulama telah menegaskan itu hadist dhaif. (Perhatikan, bahkan umpama memiliki makna atau kandungan yang benar, sesuatu tidak bisa disebut hadist, jika kadar kesahihannya meragukan.)

Sekarang, lihat hadist yang sangat populer ini:

نَوْمُ الصَّائِمِ عِبَادَةٌ ، وَصُمْتُهُ تَسْبِيْحٌ ، وَدُعَاؤُهُ مُسْتَجَابٌ ، وَعَمَلُهُ مُضَاعَفٌ

“Tidurnya orang yang berpuasa adalah ibadah, diamnya adalah tasbih, doanya dikabulkan, dan amalannya akan dilipatgandakan pahalanya.” (HR. Al-Baihaqi dalam Syu’abul Iman)

Sama seperti hadist sebelumnya, hadist ini juga dhaif atau lemah. Al-Hafidz Al-Iraqi dalam Takhrijul Ihya, dan Al-Albani dalam Silsilah Adh-Dha’ifah telah menegaskan hadist itu dhaif.

Selain hadist di atas, ada pula riwayat lain:

الصائم في عبادة و إن كان راقدا على فراشه

“Orang yang berpuasa senantiasa dalam ibadah, meskipun sedang tidur di atas ranjangnya.”

Hadits ini diriwayatkan oleh Tammam, dan telah dinyatakan sebagai hadist dhaif oleh Al-Albani dalam kitab Silsilah Adh-Dhaifah.

Yang benar, tidur adalah perkara mubah (boleh) dan bukan ritual ibadah. Karenanya, sebagaimana perkara mubah yang lain, tidur dapat bernilai ibadah jika diniatkan sebagai sarana penunjang ibadah. Misalnya, seseorang tidur karena khawatir tergoda untuk berbuka sebelum waktunya, atau tidur untuk mengistirahatkan tubuh agar kuat dalam beribadah.

Sebaliknya, tidak setiap tidur orang berpuasa pasti bernilai ibadah. Orang yang tidur karena memang malas, tidak bisa disebut ibadah. Malas kok ibadah!

Lanjut. Perhatikan hadist populer ini:

لَوْ يَعْلَمُ الْعِبَادُ مَا فِي رَمَضَانَ لَتَمَنَّتْ أُمَّتِي أَنْ يَكُوْنَ السَّنَة كُلّهَا

“Seandainya hamba-hamba itu tahu apa yang ada pada bulan Ramadan (keutamaannya), niscaya umatku akan berangan-angan bahwa satu tahun adalah bulan Ramadan seluruhnya.” (HR. Ibnu Khuzaimah)

Pernah mendengar hadist itu? Kemungkinan besar pernah, karena hadist itu biasa diocehkan ustad-ustad seleb di televisi saat bulan puasa tiba. Padahal, itu hadist palsu!

Dalam sanad hadist di atas terdapat nama Jarir bin Ayyub, sebagai salah satu rawi (orang yang meriwayatkan hadist). Dia tidak bisa dipercaya sebagai rawi. Ibnul Jauzi, dalam kitab Al-Maudhu’at, dan Asy-Syaukani dalam Al-Fawa’id Al-Majmu’ah, menghukumi Jarir bin Ayyub sebagai perawi yang suka memalsukan hadist (pendusta). Lebih lanjut mengenai hal ini bisa dilihat di dalam kitab Lisanul Mizan karya Ibnu Hajar.

Lanjut ke sini: Hadist-hadist Palsu di Bulan Puasa (2)

Agama dan Moralitas

Salah satu masalah umum manusia di Indonesia
mungkin kebingungan membedakan moralitas dan agama.
—Twitter, 8 Juni 2016

Kebanyakan orang tampaknya menganggap moral dan agama satu paket,
padahal moralitas dan agama adalah dua hal yang berbeda.
—Twitter, 8 Juni 2016

Anggapan atau persepsi umum bahwa moralitas dan agama adalah satu paket,
menjadikan agama sering dimanfaatkan orang-orang tak bermoral.
—Twitter, 8 Juni 2016

Ada orang-orang bermoral tapi tidak beragama,
sebaliknya juga ada orang-orang beragama tapi tidak bermoral.
—Twitter, 8 Juni 2016

Menganggap orang tak beragama sebagai tak bermoral,
sama naifnya dengan menganggap semua orang beragama pasti bermoral.
—Twitter, 8 Juni 2016

Saat orang berbuat kebaikan kepada sesama, orang-orang lain
tidak pernah meributkan apa agama mereka. Pun sebaliknya.
—Twitter, 8 Juni 2016

Yang paling menjijikkan adalah orang-orang tak bermoral, tapi merasa mulia
hanya karena beragama dan membawa-bawa simbol agama.
—Twitter, 8 Juni 2016

Karena agama kerap diidentikkan dengan moralitas, sebagian orang
tak bermoral memanfaatkan persepsi itu untuk tindakan amoral mereka.
—Twitter, 8 Juni 2016

Ada yang menggunakan agama untuk tindakan anarki. Ada yang tampak
rajin ke musala sebagai cara untuk menutupi keburukan diri.
—Twitter, 8 Juni 2016

Yang paling rendah selalu berusaha menunjukkan dirinya paling tinggi.
Yang benar-benar tinggi tidak pernah berusaha menunjukkan apa-apa.
—Twitter, 8 Juni 2016

Yang paling hina selalu berusaha membuktikan dirinya paling mulia.
Yang benar-benar mulia tidak merasa perlu membuktikan apa-apa.
—Twitter, 8 Juni 2016


*) Ditranskrip dari timeline @noffret.

Rabu, 22 Juni 2016

Hening Sejenak

“Oh, Tuhan, selamatkanlah jiwaku yang malang.”
Edgar Allan Poe membisikkan kata-kata itu di akhir hidupnya.
Dia telah tahu arti hidup.
@noffret


Di sebuah proyek konstruksi yang sedang dibangun, seorang mandor di lantai 5 memanggil-manggil salah satu pekerja yang sedang bekerja di lantai bawah. Meski sudah dipanggil berkali-kali, si pekerja tidak juga mendengar, karena tempat itu sangat bising oleh suara-suara mesin konstruksi, juga karena si pekerja sedang khusyuk mengurusi pekerjaannya. Jadi, suara si mandor tenggelam oleh suara mesin-mesin berat.

Karena si pekerja tidak juga menengok ke atas, si mandor akhirnya mencoba melemparkan koin seribu rupiah, tepat di dekat si pekerja. Pikir si mandor, mungkin si pekerja akan kaget mendapati koin jatuh, dan tergoda untuk menengok ke atas. Tetapi harapan si mandor tidak terwujud. Koin seribu rupiah itu tepat jatuh di dekat si pekerja. Tetapi, bukannya menengok ke atas, si pekerja cuma memungut koin itu, memasukkannya ke saku, lalu terus bekerja.

Si mandor mencoba bersabar. Sekali lagi dia mencoba. Kali ini dia mengambil selembar uang seratusan ribu, lalu menjatuhkannya, sambil berharap si pekerja menengok ke atas “sebentar saja”. Sekali lagi uang itu jatuh di dekat si pekerja. Tetapi, dia tetap tidak menengok ke atas sebagaimana yang diharapkan si mandor. Dia hanya memungut lembaran uang itu, memeriksanya sejenak, lalu memasukkannya ke saku, dan melanjutkan pekerjaannya.

Akhirnya si mandor dongkol. Kali ini, dia mengambil kerikil, dan menjatuhkannya hingga mengenai kepala si pekerja. Kesakitan karena kepalanya terkena kerikil, si pekerja seketika menengok ke atas. Baru setelah itu dia melihat mandornya, dan mereka pun akhirnya bisa berkomunikasi.

Kisah itu, bisa jadi, miniatur kehidupan manusia yang lebih luas. Jika “si pekerja” adalah kita, “konstruksi bangunan” adalah kehidupan yang kita jalani. Dan “si mandor”, oh, well, tentunya dia pengawas pekerjaan kita.

Dalam menjalani pekerjaan dan kehidupan yang bising, sering kali kita lupa untuk hening sejenak. Berbagai suara terus berdentam, tumpukan tugas terus mengejar, sementara waktu semakin sempit. Kita tidak lagi punya waktu untuk hening sejenak, untuk meninggalkan segala kesibukan dan kebisingan, karena energi dan waktu kita sudah habis sehabis-habisnya. Untuk kehidupan, untuk pekerjaan, untuk kebisingan.

Di antara kehidupan, pekerjaan, dan kebisingan, sekali waktu kita menemukan sesuatu yang menyenangkan, seperti durian runtuh, atau rezeki yang seolah turun dari langit. Dan apa yang kita lakukan? Kita segera mengambil rezeki yang datang dengan rakus, menerimanya dengan girang, sampai tidak sempat memikirkan dari mana rezeki itu datang. Kita terlalu sibuk. Oh, well, terlalu sibuk, hingga tak pernah punya waktu untuk hening sejenak. Untuk berpikir. Dan merenung. Atau, setidaknya, untuk menyadari dari mana hal-hal baik yang kita peroleh.

Saat hal-hal yang dianggap baik datang, kita bisa menerima sambil bersikap seolah semuanya baik-baik saja. Kita tidak pernah meluangkan waktu untuk berpikir, apakah hal baik itu memang baik, ataukah hal buruk yang tampak baik? Seperti pekerja dalam kisah di atas. Dia menerima koin seribu rupiah, menganggapnya hal baik, dan langsung memasukkannya ke saku tanpa sempat berpikir dari mana koin itu datang. Lalu datang lagi rezeki yang lebih besar, bahkan berkali lipat dari rezeki pertama, dan dia juga langsung terlena, tanpa mau memikirkan dari mana rezeki itu datang.

Tetapi, begitu terkena lemparan kerikil, dan merasa kesakitan, si pekerja baru menengok ke atas, dan baru menyadari bahwa sejak tadi dia dilempari uang dengan tujuan agar menengok ke atas, karena mandornya ingin bicara.

Mungkin, begitu pula kita, kebanyakan manusia. Saat menghadapi hal-hal yang kita anggap baik, kita lupa dari mana hal-hal baik itu datang, dan mengapa hal-hal baik itu datang kepada kita. Padahal, tidak selamanya hal baik memang sebaik kelihatannya. Kadang-kadang, kita dianugerahi hal-hal yang terasa baik—bukan sebagai kesenangan, melainkan sebagai teguran. Agar kita menengok ke atas.

Sayangnya, manusia mudah terlena pada hal-hal yang menurutnya baik. Jangankan hal baik yang tampak baik, untuk hal buruk yang tampak baik pun bisa membuat manusia lupa diri. Bahkan, dalam urusan semacam itu, manusia selalu bisa melakukan justifikasi, agar hal-hal buruk bisa terasa baik, atau agar tampak baik. Justifikasi adalah keahlian manusia, hingga selalu punya alasan untuk melakukan apa pun asal menurutnya baik, meski sebenarnya tidak!

Orang bisa menipu sambil berdalih “membantu”. Itu praktik yang banyak dilakukan manusia, dalam berbagai modus, dalam berbagai bentuk, yang bahkan mungkin akrab dalam kehidupan kita. Seperti money game yang mampu membuat uang kita berlipat secara tak wajar, padahal hasil yang kita peroleh adalah uang milik anggota baru yang dirampas diam-diam.

Tapi kita bisa melakukan praktik semacam itu sambil “menipu diri sendiri”, dengan mengatakan bahwa itu program saling membantu. Padahal, kita tahu, itu sama sekali tidak membantu, khususnya bagi anggota baru! Untuk setiap sesuatu yang diperoleh dengan cara tidak benar, selalu ada korban.

Begitu pula, orang bisa mencuri dan memperdagangkan hak milik orang lain sambil berdalih “berbagi”. Sebegitu percaya pada dalih diri sendiri, sampai-sampai tidak takut dituntut atau khawatir dituduh sebagai pencuri. Padahal, kalau memang tujuannya berbagi, mestinya yang ia bagi miliknya sendiri, bukan milik orang lain. Lagi pula, berbagi kok ngotot, sampai menawar-nawarkan di berbagai tempat, dalam aneka sarana, bahkan menghalalkan segala cara.

Justifikasi, itulah keahlian manusia dalam mengelabui diri sendiri. Yang sebenarnya buruk bisa tampak dan terasa baik, karena kita mengatakan pada diri sendiri bahwa itu baik. Bahkan Hitler pun tahu, kebohongan yang dikatakan terus menerus akan menjadi kebenaran. Hal buruk—bahkan kejahatan—yang kita lakukan terus menerus, lama-lama akan terasa biasa. Saat menerima sesuatu yang sebenarnya bukan hak kita, sangat mudah untuk mengatakan bahwa kita sedang beruntung.

Tetapi apakah itu benar keberuntungan? Atau jangan-jangan sesuatu yang sama sekali tak menguntungkan, tapi tampak sebagai keberuntungan?

Seperti pekerja di konstruksi bangunan yang menerima koin dan lembaran uang, dia tidak sempat memikirkan dari mana keberuntungan itu datang. Yang ia tahu, itu bagus untuk dirinya. Oh, dia bisa saja mengatakan itu hoki, keberuntungan, rezeki dari langit, dan lain-lain, dan sebagainya. Tapi apakah begitu kenyataannya? Tidak, karena kita tahu, koin dan lembaran uang itu jatuh kepada dirinya, dengan maksud tertentu. Itu teguran si mandor!

Lalu, saat kesakitan karena dilempari batu, si pekerja baru menghentikan pekerjaannya, dan menengok ke atas, dan menyadari bahwa sejak tadi si mandor memanggil-manggilnya, tapi dia tidak juga mendengar karena dikepung kebisingan dan kesibukan. Kesibukan dan kebisingan.

Mungkin, begitu pula kita, kebanyakan manusia. Saat menghadapi masalah, saat menerima musibah, kita baru ingat untuk berhenti sejenak, dan berpikir, dan merenung, dan biasanya baru sadar untuk menengok ke atas, dan menyadari kesalahan kita.

Saat menghadapi hal-hal menyenangkan, kita lupa, tak peduli. Saat menghadapi hal-hal menyusahkan, kita baru ingat, dan baru introspeksi.

Untung, si mandor cuma menjatuhkan kerikil, untuk membuat si pekerja berhenti sejenak, dan menengok ke atas. Kalau dilempar kerikil tetap saja ndableg, tidak menutup kemungkinan si mandor jadi marah dan melemparkan batu besar. Hasilnya, si pekerja tidak cuma merasa sakit... tapi langsung modyar.

Sampeyan Gusti Allah Opo Piye?

Seorang lelaki tua bertanya dengan nada jumawa kepada seorang bocah, “Kowe pasa ora, Le?” (“Kamu puasa atau tidak, Nak?”)

Si bocah menjawab, “Sampeyan Gusti Allah opo piye? Kok takon-takon aku pasa opo ora.” (“Anda Gusti Allah atau bagaimana, kok tanya-tanya saya puasa atau tidak?”)

....
....

Melihat itu, saya mati-matian menahan ngakak. Ingin sekali saya mencium tangan si bocah.

Merindukan Hening

Pagi bising, siang bising, sore bising, malam bising.
Ya Tuhan, di manakah Keheningan?
—Twitter, 9 Juni 2016

Ujian terbesar bulan puasa, bagiku, bukan apa pun.
Tapi kebisingan luar biasa yang ditimbulkannya.
—Twitter, 20 Juni 2016

Selama bulan puasa, aku sulit sekali menikmati keheningan, karena
setiap waktu, setiap saat, udara dikepung suara, TOA, dan kebisingan.
—Twitter, 20 Juni 2016

Dari pagi sampai pagi lagi, nyaris tidak ada jeda. Semuanya terus
menerus diserbu kebisingan, kebisingan, dan kebisingan.
—Twitter, 20 Juni 2016

Aku khawatir, lama-lama orang akan memaknai bulan puasa sebagai waktu
untuk mengumbar kebisingan, sehingga makin jauh dari keheningan.
—Twitter, 20 Juni 2016

Anak-anak meledakkan petasan, orang-orang dewasa mengambil TOA
dan mengumbar kebisingan, sementara teriakan-teriakan terus memecah malam.
—Twitter, 20 Juni 2016

Ramadan pasti akan jauh lebih khusyuk, kalau saja manusia bisa
menikmatinya dalam keheningan, dan menjalaninya dengan keheningan.
—Twitter, 20 Juni 2016

Hakikat puasa sebenarnya ibadah hening, karena tidak membutuhkan
suara atau apa pun, selain urusan internal manusia dengan Tuhannya.
—Twitter, 20 Juni 2016

Tapi manusia tampaknya telah mencandu kebisingan, sehingga ibadah
yang hening sekali pun harus dirayakan dengan aneka suara dan kebisingan.
—Twitter, 20 Juni 2016

Manusia sepertinya belum merasa hidup, bahkan belum merasa beribadah,
sebelum memekakkannya dalam aneka suara dan kebisingan.
—Twitter, 20 Juni 2016

Ya Tuhan, aku merindukan heningku. Aku merindukan keheninganku.
—Twitter, 20 Juni 2016


*) Ditranskrip dari timeline @noffret.

Sabtu, 18 Juni 2016

Jika Akhirat Tidak Ada

Untuk setiap pohon yang ditebang, jumlah oksigen
berkurang. Setiap kali kita mengambil dengan tidak benar,
ada milik kita yang menghilang.
@noffret


Salah satu hukum yang ditetapkan bumi tempat kita hidup adalah keadilan dan keseimbangan. Di antara sekian miliar manusia yang pernah hidup, sedang hidup, atau akan hidup, tidak ada satu pun yang mampu menipu bumi. Sebagai contoh mudah, cobalah tanam biji mangga. Apa yang kemudian dihasilkan bumi? Pohon mangga! Atau sebarkan biji-biji cabai ke tanah. Apa yang kemudian muncul? Pohon cabai!

Tak peduli direkayasa dengan cara apa pun, tak peduli diusahakan dengan cara apa pun, biji mangga akan tetap tumbuh sebagai pohon mangga, biji cabai akan menjadi pohon cabai, begitu pula benih atau biji lain yang coba kita tanamkan. Tidak ada yang bisa menipu bumi. Setiap kali manusia berpikir telah menipu bumi, dia sedang menipu dirinya sendiri. Meski mungkin tak menyadari.

Bukan hanya biji atau benih, bumi yang kita tinggali bahkan mampu mengingat hal-hal yang kita lakukan, yang mungkin kita sembunyikan, yang kita tutup rapat-rapat, kemudian bumi mengembalikannya kepada kita dalam bentuk serupa. Sebagian orang yang cukup peka kadang menyadari hal ini, tetapi sebagian lain terlalu ndableg hingga tidak pernah menyadari. 

Setiap kali manusia melakukan sesuatu, perbuatan itu tak jauh beda dengan menanam benih, dan bumi akan menumbuhkan, untuk kemudian mengembalikan. Kadang-kadang, bumi “mengembalikan” yang kita lakukan dalam waktu relatif cepat, hingga kita pun langsung menyadari. Tetapi, sering kali, bumi “mengembalikan” yang kita lakukan dalam waktu lama, sampai bertahun-tahun, hingga kita tidak menyadari.

Bumi adalah sosok pendendam. Dan tidak ada yang lebih berbahaya dibanding dendam bumi, karena ia selalu membalas... bagaimana pun caranya, kapan pun waktunya, di tempat mana pun kita berada, dengan cara yang sering kali tak pernah kita sangka.

Belum lama, ada berita “lucu” tentang seorang penipu yang tertipu. Lokasinya di Bogor. Berdasarkan berita-berita yang saya baca, ada seorang wanita berusia 37 tahun—sebut saja Z—yang menipu beberapa orang. Modusnya adalah menjanjikan bisnis pengadaan barang untuk instansi pemerintah. Dengan modus itu, Z menawari beberapa orang untuk berinvestasi, yang nantinya akan dikembalikan dengan keuntungan berlipat.

Tergiur iming-iming Z, ada cukup banyak orang yang tertipu, dan mereka menyerahkan sejumlah uang yang dimaksudkan untuk berinvestasi dalam bisnis Z. Total uang yang berhasil dikumpulkan Z mencapai 14 miliar rupiah. Hasil akhirnya bisa ditebak. Z menghilang bersama uang yang berhasil dikumpulkannya, dan orang-orang pun sadar kalau mereka telah tertipu. Beberapa orang itu lalu melapor polisi, dan polisi melakukan pengejaran terhadap Z.

Lalu bagaimana dengan Z? Berhasil menipu banyak orang hingga mengumpulkan 14 miliar, Z pergi ke Cilacap, menemui seorang dukun yang konon bisa menggandakan uang. Z menemui dukun tersebut, dengan maksud menggandakan uang yang baru ia peroleh dari hasil menipu. Mungkin, pikir Z, setelah berhasil menggandakan uang tersebut, dia bisa mengembalikan uang 14 miliar tadi kepada orang-orang yang ditipunya, sekaligus dapat mengantongi keuntungan dari hasil penggandaan.

Apakah Z berhasil? Tidak, karena alih-alih menggandakan uang milik Z, dukun yang konon bisa menggandakan uang itu justru kabur dengan membawa uang Z! Ketika Z ditangkap polisi di Cilacap, Z kebingungan. Bingung karena penipuannya terbongkar, dan bingung karena dia juga menjadi korban penipuan si dukun.

Z mungkin bisa introspeksi, dan mungkin menyadari bahwa tindak kejahatan yang menimpa dirinya adalah balasan atas tindak kejahatan yang dia lakukan terhadap orang-orang lain. Itu sangat mudah dipahami, karena peristiwanya berjalan cepat—satu perbuatan dibalas perbuatan serupa. Dalam hal ini, bumi melakukan pembalasan dalam waktu nyaris seketika. Tetapi, sering kali, bumi menunggu sampai puluhan tahun untuk melakukan pembalasan, hingga pihak yang terbalas kadang telah lupa perbuatannya.

Ada orang kaya yang selama puluhan tahun menjalani kehidupan menyenangkan, dengan harta benda yang serba berlimpah, hingga tidak sempat memikirkan bahwa suatu saat akan terjadi masalah. Sampai kemudian dia jatuh sakit, parah, dan menghabiskan seluruh kekayaannya, dan sakitnya tidak juga sembuh. Harta bendanya habis, ludes, tak bersisa, sementara tubuhnya masih terus digerogoti penyakit. (Kisah selengkapnya, baca di sini).

Dalam keadaan sekarat, manusia kadang mulai sadar, lalu teringat... berpuluh tahun lalu dia pernah merampas hak milik orang lain dengan cara tidak benar, hingga menyebabkan orang lain menderita akibat perbuatannya. Karena dia telah merampas milik orang lain, bumi membalas perbuatannya, dengan cara merampas seluruh miliknya—kekayaan, kesehatan, kesenangan, ketenangan. Perbuatan jahat bisa tersembunyi sampai puluhan tahun... tapi bumi adalah pendendam yang berbahaya.

Saat saya menulis catatan ini, ada sesuatu yang sedang menimpa seseorang yang semula cukup aktif di internet. Kita sebut saja X. (Saya tahu kisah ini, karena sekelompok orang membicarakannya di forum).

Selama bertahun-tahun, X melakukan sesuatu yang tercela terkait bisnis yang dijalankannya, tapi dia bisa menutupinya dengan sangat rapi. Sebegitu rapi, hingga jejak-jejak kecurangannya sulit diungkap, karena semuanya terlihat wajar, khususnya di mata orang awam. Alih-alih ketahuan melakukan hal tercela, Si X ini justru terkesan sebagai orang baik, dan orang-orang menghormatinya. Segelintir orang mengetahui praktik tercela yang dilakukan X selama ini, tapi tidak bisa apa-apa, karena kenyataannya X sangat pintar menutupi perbuatannya.

Dia juga dulu aktif di internet, di berbagai media sosial, hingga banyak orang di dunia maya mengenalnya. Di internet, sebagaimana di dunia nyata, dia bertingkah seperti orang baik, bahkan terkesan alim, meski diam-diam terus melakukan kejahatan yang disembunyikan dan dirahasiakannya.

Lalu, suatu hari, sesuatu terjadi. Bukan terungkapnya kejahatan yang dilakukannya, melainkan sesuatu yang lebih berbahaya. Si X menghadapi musibah, yang mungkin tak pernah dibayangkannya. Penyakit, konflik keluarga, anak bermasalah, dan lain-lain, yang semuanya seolah datang serentak dan tiba-tiba. Kekayaannya—yang ia bangun bertahun-tahun—runtuh seketika, harta bendanya lenyap, sementara masalah terus berdatangan. Sejak itu, X tidak lagi punya waktu untuk muncul di dunia maya, karena harus pusing menghadapi hidupnya di dunia nyata.

Sedikit yang ia curi, bumi menagih lebih banyak. Orang-orang mungkin tidak tahu kejahatannya, tapi bumi adalah pendendam paling berbahaya, karena ia selalu tahu dan tak pernah lupa.

....
....

Sering kali, saat melakukan suatu kejahatan, manusia melakukan justifikasi atas diri dan perbuatannya sendiri. Justifikasi adalah proses pembentukan alasan, supaya suatu tindakan (yang sebenarnya tidak benar) menjadi benar—atau terasa benar—untuk dilakukan.

Misalnya, seorang miskin yang mencuri milik orang lain, mungkin bisa berpikir, “Aku miskin, dan aku kesulitan mendapat pekerjaan, sementara aku butuh makan. Apa salahnya kalau aku mencuri sedikit?” Itu bentuk justifikasi yang tampak benar dan terasa benar, meski sebenarnya tetap salah.

Orang miskin yang mencuri karena merasa miskin, sama artinya memanfatkan kondisi kemiskinannya untuk melakukan kejahatan. Itu sama buruk dengan pejabat yang merasa berkuasa, dan memanfaatkan kekuasaannya untuk menindas orang lain. Atau orang cacat yang memanfaatkan kecacatannya, untuk memanipulasi orang lain demi keuntungan pribadi. Sama-sama buruk. Sama-sama kejahatan. Tidak ada yang lebih baik.

Ada sebagian orang yang berpikir, “Jika akhirat tidak ada, lalu siapa yang akan membalas kejahatan dan perbuatan jahat yang pernah dilakukan manusia?”

Terus terang, saya tidak terlalu khawatir. Karena bahkan jika akhirat ternyata tidak ada, sebenarnya manusia tetap akan menerima balasan perbuatannya saat masih hidup. Meski mungkin tidak menyadari, meski mungkin orang-orang lain tidak tahu, meski mungkin balasan yang terjadi sangat samar. Ada banyak balasan yang bisa terjadi... oh, well, teramat sangat banyak! Sebegitu banyak, hingga kebanyakan orang tidak sempat memahami, seolah segala hal dalam hidup tidak saling terkait.

Dalam teori Butterfly Effect, satu kepakan sayap kupu-kupu di New Delhi, bisa mengakibatkan badai di New York. Mungkin terdengar mustahil, tidak mungkin, absurd, tidak masuk akal, dan lain-lain. Tapi para ilmuwan telah membenarkan kenyataan itu, berdasarkan penelitian-penelitian rumit yang mereka lakukan bertahun-tahun. Satu sebab akan menimbulkan akibat. Meski tampak tak saling terkait.

Selama berabad-abad, para filsuf agung dan bijaksana telah memahami adanya daya yang saling terikat dan mengikat antara manusia dan bumi tempat tinggalnya. Bumi akan merefleksikan diri kita, persis seperti cermin berhadapan dengan sosok manusia. Kenyataan itu dikembangkan para pakar psikologi modern, hingga lahir sesuatu yang disebut “hukum tarik menarik” (law of attraction). Belakangan, teori ini populer setelah para motivator sering menyebutnya.

Hukum tarik menarik antara manusia dan bumi tidak sebatas hal-hal positif, tapi juga negatif. Tidak hanya sebatas hal-hal dalam pikiran, tapi juga pada yang kita lakukan dalam bentuk perbuatan. Apa yang kita pikirkan, itulah yang akan kita terima. Apa yang kita kerjakan, itulah yang akan kita dapat. Apa yang kita lakukan, itulah yang akan kita lihat. Apa yang kita tanam, itulah yang akan kita tuai. Terlepas manusia percaya atau tidak, hukum ini terus bekerja dan akan terus bekerja.

Seseorang mungkin merasa beruntung karena bisa mencuri tanpa ketahuan. Tapi kemudian dia menghadapi masalah yang mengharuskannya kehilangan sesuatu yang telah ia curi, bahkan jauh lebih besar. Mungkin penyakit, mungkin musibah, mungkin masalah, mungkin apa pun. Sedikit yang ia curi, bumi menuntut pengembalian lebih besar. Selalu begitu.

Seseorang mungkin merasa tidak apa-apa berbohong dan memanipulasi orang lain demi keuntungan pribadi. Menipu sambil mengatakan “membantu” terdengar baik dilakukan. Atau mencuri sambil mengatakan “berbagi” juga kedengarannya baik-baik saja. Tapi kemudian dia menghadapi petaka yang mengharuskannya menderita. Mungkin kehilangan harta benda, sakit parah, kecelakaan, anak bermasalah, dipecat dari pekerjaan, atau apa pun. Sedikit yang ia curi, bumi menuntut pengembalian lebih besar. Selalu begitu.

Jika kepakan sayap kupu-kupu saja bisa menimbulkan badai, apalagi kepakan sayap rajawali? Jika hal-hal kecil saja bisa berdampak besar, apalagi sesuatu yang jelas-jelas besar? Jika kejahatan kecil yang terasa benar saja bisa mendatangkan petaka dan penderitaan, apalagi kejahatan yang jelas-jelas kejahatan?

Sebagaimana biji mangga yang kecil bisa menumbuhkan pohon mangga yang sangat besar, begitulah bumi mengembalikan yang kita lakukan dalam bentuk balasan. Kadang lama... sangat lama... sampai kita lupa. Tetapi, sayangnya, bumi adalah pendendam yang tak pernah lupa. Kepada kebaikan, pun kepada kejahatan.

Siapa pun yang menyadari kenyataan ini, tidak akan punya waktu mengurusi perbuatan orang lain, karena akan terlalu sibuk memikirkan dan mengingat dan introspeksi diri sendiri. Siapa pun yang menyadari hukum bumi, tidak akan mengambil apa pun yang bukan miliknya, tidak akan mencuri sambil berusaha membenarkan diri, tidak akan memanipulasi orang lain demi keuntungan pribadi, tidak akan melakukan apa pun tanpa hati-hati.

Karena bahkan umpama akhirat tidak ada, bumi selalu tahu cara membalas perbuatan manusia. Dengan balasan lebih besar, untuk setiap kebaikan ataupun kejahatan. Bumi adalah pendendam... dan ia pendendam yang tak pernah lupa. Dan hukum yang ia jalankan berlangsung dalam sunyi, tanpa ribut-ribut, tanpa suara.

Terlalu Banyak Asu

Terlalu banyak asu di dunia ini. Yang sangat pandai menggonggong orang lain, tapi tak bisa menggonggong diri sendiri.

Asu!

Dulu Pernah Nulis Catatan Berjudul Paham, dan Sekarang Ingin Nulis Catatan Lagi Berjudul Paham

Iya.

Soalnya paham.

Oh, oh.

Selasa, 14 Juni 2016

Yang Tersendiri

Hanya sunyi yang tak pernah melukai.
@noffret


“Sekarang aku bisa menjalani kehidupan dengan caraku sendiri.” Bian mengatakan kalimat itu, saat kami duduk di teras rumahnya yang sunyi.

Semula, Bian tinggal di sebuah komplek perumahan tradisional, dan merasa tidak cocok dengan lingkungannya. Suatu hari, dia mendengar sebuah lokasi baru dibuka untuk dijadikan komplek hunian. Bian mendatangi lokasi tersebut, diberitahu bahwa di lokasi itu hanya akan ada sedikit rumah, dan seketika Bian tertarik. Dia memesan satu rumah, dan setengah tahun kemudian rumah itu pun selesai dibangun.

Malam itu, saya duduk bersama Bian di teras rumahnya yang baru. Suasana di tempat itu benar-benar sunyi. Tidak ada suara-suara yang biasa muncul di komplek perumahan tradisional—tidak ada suara TOA, tidak ada suara anak-anak berteriak, tidak ada suara kendaraan, bahkan bisa dibilang tidak ada suara manusia. Sunyi.

“Ini kehidupan ideal seperti yang kubayangkan,” ujar Bian mengomentari suasana tempat tinggalnya yang baru.

Saya mengangguk. Memahami.

Masalah umum yang dihadapi orang-orang yang otaknya sangat berkembang adalah ketimpangan dalam kemampuan sosial. Bian pun menghadapi hal itu. Dalam urusan pekerjaan, dia sering dipuji sebagai pemikir dan perencana yang sangat hebat. Berikan suatu tugas untuknya, yang membutuhkan pemikiran dan perencanaan, dan Bian akan menyelesaikannya dengan solusi terencana yang menakjubkan. Dalam urusan pekerjaan otak, dia benar-benar hebat.

Tetapi, dalam urusan sosial, kemampuan Bian bisa dibilang nol. Dia tidak bisa bersosialisasi, tidak mampu menjalin hubungan, dan benar-benar gagap jika diminta berbasa-basi dengan orang lain. Karena ketidakmampuan dalam urusan sosial itu pula, Bian bisa dibilang tidak memiliki teman. Jumlah temannya hanya segelintir, dan terbatas pada mereka yang benar-benar bisa memahami Bian seutuhnya.

Sebagai pribadi, Bian adalah orang yang lurus. Dalam arti, dia tidak suka mengganggu atau mengusik orang lain, tidak ingin bermasalah dengan orang lain, dan dia menjalani hidup dengan baik. Jika dia berjanji, dia akan menepati. Jika dia menceritakan apa pun, bisa dipastikan ceritanya jujur. Jika dia mengatakan bisa, dia benar-benar bisa. Sebaliknya, jika mengatakan tidak bisa, dia benar-benar tidak bisa, dan tidak bisa dipaksa dengan cara apa pun, karena kenyataannya memang tidak bisa.

Lurusnya kepribadian itu menjadikan Bian sebagai orang baik, bahkan benar-benar baik. Tetapi, dalam kehidupan sosial atau antarmanusia, sosok Bian sering dinilai kaku, bahkan egois. Kenyataannya, Bian memang cenderung kaku, dan jauh dari kesan luwes. Saya memahami sepenuhnya, kenyataan itu dipengaruhi oleh perkembangan otaknya yang sangat pesat, sementara kemampuan sosial di dalam dirinya tidak mampu mengimbangi. Yang menjadi persoalan, tidak setiap orang bisa memahami hal tersebut.

Jika diilustrasikan secara mudah, pada diri masing-masing manusia ada dua bagan. Bagan pertama adalah bagian intelektual (berhubungan dengan kecerdasan dan semacamnya), sementara bagan kedua adalah bagian sosial (berhubungan dengan kemampuan sosial dan semacamnya). Jika satu bagan berkembang sangat pesat (entah bagan intelektual atau bagan sosial), maka satu bagan lainnya akan kesulitan untuk mengimbangi. Itu masalah klasik manusia sejak zaman dahulu kala.

Kebanyakan orang tumbuh dengan dua bagan yang berkembang seimbang—kemampuan intelektualnya tumbuh seiring kemampuan sosial. Atau kemampuan sosialnya terus meningkat seiring kemampuan intelektual. Kebanyakan orang di lingkungan kita semacam itu, sehingga mereka dapat berpikir dengan relatif baik, dan dapat bersosialisasi dengan relatif baik pula. Bisa dibilang, orang-orang itu tidak terlalu menghadapi banyak masalah.

Tetapi, ada segelintir orang yang mengalami perkembangan pesat pada satu bagan (umumnya bagan intelektual). Sebegitu pesat perkembangan yang terjadi, hingga bagan sosial di dalam dirinya tidak mampu mengimbangi. Akibatnya, orang-orang itu memiliki kemampuan berpikir atau intelektual yang sangat hebat, tetapi tidak tahu cara bersosialisasi atau berhubungan dengan orang lain. Bian adalah salah satu orang yang mengalami hal tersebut.

Karena memiliki kemampuan intelektual yang sangat tinggi, dia pun menjalani kehidupan dengan baik, lurus, dan disiplin. Tetapi kecenderungannya yang semacam itu menjadikan Bian dicap kaku oleh orang lain, hingga banyak orang yang lebih memilih untuk tidak berhubungan dengannya.

Sebagai contoh, Bian selalu berusaha menepati janji. Jika dia mengatakan akan datang besok sore ke rumah saya, maka dia akan datang, apa pun yang terjadi. Jika ternyata dia benar-benar tidak bisa datang—karena alasan yang benar-benar kuat—dia akan mengabari saya, dan menyatakan terpaksa membatalkan janji. (Berkaitan dengan saya, sampai saat ini Bian belum pernah melanggar satu janji pun. Semua janji yang pernah diucapkannya benar-benar ditepati).

Jika dilihat dari sisi tersebut, kita tentu mengagumi Bian, karena dia sosok yang terpuji, yang bisa dipercaya dalam urusan janji. Kenyataannya, saya pun memuji Bian sebagai orang yang benar-benar bisa dipercaya. Tetapi... Bian menginginkan semua orang juga seperti dirinya. Artinya, jika orang lain mengucap janji kepadanya, Bian mengharapkan orang itu benar-benar menepatinya. Bian bisa marah jika seseorang ingkar janji kepadanya—misal berkata akan datang ke rumahnya nanti malam, tapi ternyata tidak datang.

Saya sering mendengar orang berkata, “Sebaiknya tidak usah janji apa pun dengan Bian.” Mereka yang ketakutan membuat janji dengan Bian umumnya memang orang-orang yang tidak terlalu bisa dipercaya—tipe yang mudah mengucap janji, lalu mengingkari tanpa merasa bersalah. Dalam hal ini, saya justru senang berurusan janji dengan Bian, karena saya tahu ucapan atau janjinya benar-benar bisa dipegang.

Sebenarnya, Bian tidak mempermasalahkan orang tidak menepati janji, asal memberitahukan hal tersebut baik-baik. Misal ada keperluan mendadak, dan lain-lain. Jika alasannya masuk akal, Bian pun tidak mempermasalahkan. Yang jadi masalah, kenyataannya banyak orang yang memang mudah mbacot macam-macam, tapi tidak punya tanggung jawab pada bacotannya. Janji akan datang, tapi tidak datang, dan tidak merasa bersalah. Bagi orang lain, mungkin itu hal biasa. Bagi Bian, itu kesalahan.

Itu contoh mudah untuk mengilustrasikan bagaimana Bian menjalani kehidupannya. Dia orang lurus, benar-benar lurus. Dia orang baik yang bisa dipercaya. Tetapi, ternyata, kebanyakan orang justru ketakutan saat berurusan dengan orang semacam itu. Jadi, di luar urusan kerja, bisa dibilang Bian tidak memiliki teman. Karena orang-orang yang mengenalnya bisa dibilang menjaga jarak dengannya. Ironis, kalau dipikir-pikir, mengingat Bian dijauhi bukan karena dia jahat, tapi justru karena dia sangat baik.

Di antara segelintir orang yang berteman dengan Bian, saya salah satunya. Saya merasa bisa memahami Bian seutuhnya—kecenderungan hidupnya yang kaku, ketidakmampuan dalam bersosialisasi, ketertiban dan keteraturan dalam melakukan apa pun—saya merasa senasib dengannya.

“Sebenarnya, aku tidak suka macam-macam,” ujar Bian. “Aku hanya ingin menjalani kehidupan dengan baik, lurus, teratur. Jika orang lain bisa mengikuti cara hidupku, mari berteman. Tetapi kalau tidak bisa, aku juga tidak butuh mereka.”

Kecenderungan sikap semacam itu juga diterapkan Bian dalam lingkungan hidupnya. Seperti yang disinggung di atas, semula Bian tinggal di komplek perumahan tradisional. Beberapa tahun sebelumnya, dia membeli rumah yang kebetulan dijual pemiliknya, lalu menempati rumah tersebut. Karena komplek tradisional, kehidupan di sana pun bisa dibilang tradisional—semua penduduk saling kenal, orang-orang saling bersosialisasi, dan lain-lain.

Bian jarang keluar rumah, karena tidak bisa bersosialisasi. Meski begitu, jika diundang acara ke rumah tetangga—misal ada tasyakuran, perkawinan, atau lain-lain—dia selalu datang. Memenuhi undangan, bagi Bian, adalah kewajiban. Tetapi, di luar itu, Bian tidak tahu apa yang harus dilakukan dengan tetangga-tetangganya, karena kemampuan sosialnya yang sangat rendah.

Kenyataan itu bertolak belakang dengan kebiasaan masyarakat di sana yang bisa dibilang senang bersosialisasi, mengobrol dengan sesama tetangga, atau setidaknya duduk-duduk di depan rumah dan berbasa-basi dengan siapa pun yang lewat.

Sebenarnya, Bian tidak mempermasalahkan hal itu. Tetapi orang-orang di sana yang mempermasalahkan Bian. Karena tidak bisa bersosialisasi, Bian jarang terlihat keluar rumah. Hal itu memunculkan anggapan kalau Bian tidak mau bersosialisasi dengan tetangga. Padahal, Bian benar-benar tidak bisa, bukan tidak mau. Yang jadi masalah, kebanyakan orang—masyarakat—lebih tahu cara menghakimi daripada berusaha memahami.

Karena kenyataan itu pulalah, akhirnya Bian memutuskan untuk meninggalkan rumahnya yang lama, dan pindah ke rumah baru yang kini ditempatinya. Di rumahnya yang baru, sebagaimana yang dikatakannya, “Sekarang aku bisa menjalani kehidupan dengan caraku sendiri.”

“Kehidupan dengan caraku sendiri”—dalam maksud Bian—adalah hidup dengan baik, lurus, tertib, teratur, dan tidak mengusik orang lain, selama orang lain menjalani hidupnya sendiri dengan baik. Sebenarnya, itu pola pikir dan gaya hidup yang sederhana. Yaitu hidup dengan baik tanpa mengusik atau mengganggu orang lain, selama orang lain juga menjalani hidup dengan baik serta tidak mengganggu. Sederhana, sangat sederhana.

Ironisnya, setidaknya dalam kasus Bian, kebanyakan orang tidak bisa hidup dengan cara itu. Kebanyakan orang rupanya lebih tahu cara menilai kehidupan orang lain daripada kehidupannya sendiri. Kebanyakan orang tampaknya lebih suka berjanji lalu ingkar, daripada berusaha menepati. Kebanyakan orang sepertinya lebih tahu cara mengurusi orang lain daripada mengurusi diri sendiri.

Bian adalah contoh orang yang dianggap salah oleh lingkungan—bukan karena dia buruk, tapi justru karena dia berusaha menjalani hidup dengan baik. Bian adalah contoh sosok yang dijauhi orang-orang—bukan karena dia tidak bisa menepati janji, tapi justru karena sangat hati-hati dalam berjanji, sehingga selalu menepati. Bian adalah contoh orang yang tidak punya kawan—bukan karena dia jahat, tapi justru karena dia istimewa.

Ironis, kalau dipikir-pikir... Oh, well, ironis sungguh ironis.

Noffret’s Note: Kegilaan

Kita semua terlahir waras. Sayangnya, hanya sedikit yang masih begitu.
—Twitter, 24 Juli 2015

Di lubuk terdalam setiap manusia, mereka menyimpan kegilaan.
Dan orang yang tidak menyadarinya adalah yang paling berbahaya.
—Twitter, 22 Juli 2015

Yang mengerikan sebenarnya bukan kegilaan. Tapi kegilaan yang tak
disadari, atau orang gila yang menganggap dirinya paling waras sendiri.
—Twitter, 21 Juli 2015

“Tidak ada orang yang waras,” kata Freud. “Kita semua
sebenarnya gila.” Sayangnya, dia tidak sedang bercanda.
—Twitter, 21 Juli 2015

Lebih banyak kegilaan yang tidak disadari,
daripada yang disadari. Dan itu mengerikan.
—Twitter, 21 Juli 2015

Tanggung jawab setiap manusia seharusnya memastikan terlebih dulu
dirinya tidak gila, sebelum memberanikan diri mengklaim apa saja.
—Twitter, 21 Juli 2015

Kita hidup di zaman ironi yang mengerikan, ketika orang-orang gila
tidak menyadari kegilaannya, dan orang-orang waras menjadi minoritas.
—Twitter, 21 Juli 2015

Setiap bayi terlahir waras. Tapi peradaban manusia dan dunia yang makin tua
membuatnya hilang kewarasan perlahan-lahan... perlahan-lahan...
—Twitter, 21 Juli 2015


*) Ditranskrip dari timeline @noffret.
 

(Bukan) Jawaban TTS

Mendatar
  1. Urf
  2. Sinna
  3. Japaki
  4. Ulrep
  5. Tempat
  6. Yokan
  7. Tatak
  8. Penyl
  9. Pengapuran
  10. Menggedo

Menurun
  1. Utepi
  2. Deli
  3. Huruf
  4. Utama
  5. Fak
  6. Tadu
  7. Hutan
  8. Lam
  9. Inggang
  10. Kam

Menyamping
  1. Migill
  2. Undo
  3. Kando
  4. Domasq
  5. Duo
  6. Temu
  7. Sobe
  8. Tertinggal
  9. Baas
  10. Cenbi

Noffret’s Note: Iri

Aku iri pada orang-orang yang bisa mengurusi hal-hal remeh sepanjang hari, setiap hari, tanpa henti, seolah mereka tidak akan pernah mati.
—Twitter, 12 Januari 2016

Aku iri pada orang-orang yang bisa asyik nonton televisi, lalu ngetwit, lalu main game, lalu hura-hura, seolah mereka akan hidup selamanya.
—Twitter, 12 Januari 2016

Aku iri pada orang-orang yang bisa serius, berapi-api, memperdebatkan hal-hal remeh temeh, seolah tidak ada hal lain yang lebih penting.
—Twitter, 12 Januari 2016


*) Ditranskrip dari timeline @noffret.

Kamis, 09 Juni 2016

Urusan Paha

Godaan terbesar di mall bukan big sale
atau diskon, tapi... yang putih-putih.
@noffret


Tukul Arwana pernah mengaku, dia sangat suka kaki yang indah. Kaki yang dia maksud tentu kaki wanita. Orlando Bloom juga pernah terang-terangan mengatakan, dia sangat menyukai lengan yang indah. Lagi-lagi, lengan yang dia maksud tentu lengan wanita. Dan saya? Oh, well, terus terang, saya menyukai paha yang indah. Dan, kita tahu, paha yang saya maksud tentu paha wanita.

Itu kecenderungan-kecenderungan umum yang biasa dirasakan lelaki heteroseksual terhadap lawan jenis. Hampir bisa dipastikan, setiap lelaki yang menyukai lawan jenis memiliki kecenderungan tertentu terhadap bagian tubuh lawan jenis, dan itu wajar. Sebagaimana Tukul Arwana menyukai kaki wanita, Orlando Bloom menyukai lengan wanita, dan saya menyukai paha wanita, lelaki lain juga begitu. Tinggal mereka mau mengakui secara jujur atau tidak. Tetapi, lagi-lagi, itu bukan masalah, karena wajar dan alamiah.

Wanita pun sebenarnya begitu—mereka memiliki kecenderungan tertentu pada bagian tubuh lawan jenis, diakui atau tidak. Jadi, ketertarikan atau kecenderungan seseorang—laki-laki maupun perempuan—terhadap tubuh lawan jenis adalah sesuatu yang normal dan alamiah. Kenyataan itu tak jauh beda dengan kenyataan lain yang biasa dialami manusia, seperti kecenderungan pada makanan enak, kecenderungan pada benda yang indah, dan lain-lain.

Kembali ke paha.

Sebagai lelaki yang menyukai lawan jenis, saya tentu menyukai semua yang ada pada tubuh wanita, dan tidak ada yang bisa menyalahkan saya atas hal itu. Saya lelaki normal, dalam arti menyukai lawan jenis, dan tubuh saya dilengkapi impuls-impuls ketertarikan kepada wanita. Dan paha, di mata saya, adalah bagian tubuh wanita yang sering kali menyedot perhatian secara paksa.

Kadang, saat jalan-jalan di swalayan, tanpa sengaja saya mendapati seorang atau beberapa orang wanita sedang duduk-duduk—biasanya di dekat konter—dan mereka memakai rok mini di atas lutut, hingga memamerkan sepasang paha yang putih mulus. Setiap kali melihat pemandangan putih-putih semacam itu, perhatian saya biasanya tersedot, meski hanya beberapa detik. Dan, selama beberapa detik itu, saya berpikir, “Wanita yang kulitnya putih mulus gitu tuh mandinya pakai apa, ya?”

Mungkin pikiran saya tidak ilmiah. Tapi pemandangan indah semacam itu kadang bisa membuat lelaki kehilangan akal sehat, meski sejenak. Seperti saya. Tetapi, kemudian, saat memalingkan mata dan meninggalkan pemandangan indah itu, saya pun kembali bisa mengendalikan pikiran waras. Meski sejujurnya saya ingin kembali menatap pemandangan tadi.

Well, ada beberapa hal penting yang terjadi ketika saya—tanpa sengaja—melihat sepasang paha, seperti kasus di swalayan tadi. Beberapa hal ini begitu penting, hingga layak kita pikirkan secara ilmiah dan akademis.

Pertama, saya tidak datang ke swalayan untuk tujuan melihat paha. Sepasang paha indah itu terpapar ke mata saya tanpa sengaja, tanpa saya inginkan, dan wanita pemilik paha itu pun tentunya tidak bermaksud menyuguhkan keindahan pahanya untuk saya. Fakta bahwa saya kemudian sempat melihat keindahan sepasang paha miliknya, well, itu accident.

Kedua, sebagai lelaki, saya menyadari diri saya tertarik pada lawan jenis, termasuk memiliki kecenderungan terhadap tubuh lawan jenis. Kesadaran itu menjadikan saya “tidak kaget” ketika perhatian saya tiba-tiba tertarik pada bagian tubuh wanita—dalam hal ini paha—yang tanpa sengaja saya lihat.

Kalau kemudian wanita pemilik paha itu sempat menangkap tatapan saya terhadap pahanya, saya berharap dia memaklumi hal tersebut, dan juga “tidak kaget”. Wong nyatanya dia memakai rok mini yang memamerkan pahanya yang indah. Sebagai lelaki, tentu wajar kalau saya sempat menatap, meski hanya beberapa detik.

Ketiga, sebagai manusia waras, saya menyadari bahwa sepasang paha yang saya saksikan itu bukan milik saya, tapi milik si wanita. Artinya, meski saya tertarik luar biasa terhadap pahanya, saya tidak punya hak untuk... well, melanggar kepemilikannya. Maksud saya, meski sangat tertarik, saya toh tidak bisa apa-apa, karena itu bukan milik saya.

Tak jauh beda kalau kebetulan saya melihat motor atau mobil yang sangat menarik perhatian. Di banyak tempat, sering saya mendapati mobil atau motor yang sangat saya sukai sedang diparkir pemiliknya, dan saya pun—tanpa bisa ditahan—memperhatikan dengan ketakjuban. Tetapi, tak jauh beda saat melihat sepasang paha indah, saya pun menyadari bahwa mobil atau motor yang saya saksikan bukan milik saya—itu milik orang lain. Dengan kata lain, saya tidak punya hak untuk melanggar hak kepemilikan orang lain.

Tak peduli setertarik apa pun, saya selalu berusaha menahan diri, dan menyadari, bahwa mobil, motor, atau paha, yang saya saksikan, bukan milik saya. Karena kesadaran itu, saya pun memahami bahwa saya tidak berhak menyentuh apalagi merampas kendaraan milik orang lain dengan alasan tertarik. Pasti lucu dan bangsat kalau misalnya saya mencuri mobil seseorang, lalu ditanya hakim di pengadilan, “Kenapa Anda mencuri mobil orang lain?”

Dan saya, dengan lucu campur bangsat, menjawab, “Karena mobilnya sangat menggoda, Pak Hakim, jadi saya tergoda untuk mencurinya.”

Begitu pula dengan paha. Setiap kali melihat sepasang paha indah, akal sehat saya—meski hanya beberapa detik—hilang. Dan saya tiba-tiba ingin... well, menjerumuskan diri ke dalamnya. Tetapi saya tentu tidak bisa melakukan itu, karena menyadari tidak punya hak.

Keempat, saya menyadari bahwa wanita pemilik paha yang saya saksikan berhak memperlakukan miliknya sesuai selera. Wanita pemilik paha itu punya hak untuk menutupi pahanya secara rapat, dengan berbagai sebab dan alasan, juga punya hak untuk membukanya hingga menggoda, dengan berbagai sebab dan alasan. Wong itu miliknya, tentu dia berhak dan bebas memperlakukan miliknya seperti apa pun. Persoalan para lelaki kemudian hilang akal saat melihat pahanya, itu urusan lain.

Sama saja umpama saya punya mobil sport dengan tampilan mewah. Saya memiliki mobil itu secara sah, dan mobil itu benar-benar milik saya. Sebagai pemilik mobil, saya tentu punya hak untuk membawanya ke mana saja, tergantung keperluan. Saya bisa membawanya ke tempat ibadah, ke tempat hiburan, atau untuk belanja ke swalayan. Bebas, wong itu mobil saya, kok. Kalau kemudian orang lain ngiler melihat mobil saya, itu urusan lain.

Kalau kemudian ada keparat yang tak tahan melihat mobil saya, lalu mencongkel pintunya untuk dibawa pergi, maka saya akan menuntutnya. Oh, well, yang dia lakukan kejahatan, siapa pun tahu!

Begitu pun, kalau saya tidak tahan melihat paha yang indah, lalu mencoba merampasnya—melanggar hak kepemilikan si wanita—tentu wajar kalau saya dianggap bersalah. Saya juga tidak akan menyalahkan si wanita kalau dia menuntut saya, karena yang saya lakukan memang kejahatan, yaitu melanggar hak miliknya.

Orang tidak bisa memaksa siapa pun menyembunyikan mobil mewah hanya karena dianggap menggoda, sebagaimana orang tidak bisa memaksa wanita untuk menyembunyikan pahanya karena dianggap menggoda. Yang jadi persoalan penting di sini bukan mobil mewah atau paha yang indah, melainkan bagaimana respons sehat—didasari akal waras—terhadap apa yang kita lihat.

Jika seseorang mencuri mobil dengan alasan mobil itu menggoda, siapakah yang salah? Wujud mobil, ataukah si pencuri? Orang waras mana pun tahu jawabannya. Begitu pun, kalau seseorang melanggar hak milik tubuh wanita dengan alasan itu menggoda, siapakah yang salah? Si wanita, ataukah yang merampas hak milik tubuhnya? Sekali lagi, orang waras mana pun tahu jawabannya.

Tak peduli secinta apa pun pada kaki wanita, sampai saat ini Tukul Arwana tidak pernah terdengar melanggar hak kepemilikan kaki wanita mana pun. Tak peduli secinta apa pun pada lengan wanita, sampai saat ini Orlando Bloom tidak pernah terdengar melanggar hak kepemilikan lengan wanita mana pun. Itu contoh mudah kesadaran dan pengendalian diri dalam menyadari bahwa orang tidak bisa seenaknya melanggar hak milik orang lain, hanya karena alasan suka atau tergoda.

Yang masih jadi masalah, beberapa orang kadang tidak memiliki kesadaran dan pengendalian diri yang baik, hingga kehilangan akal sehat gara-gara tergoda. Dalam hal ini, saya teringat adik saya.

Adik saya bekerja di luar kota, dan kadang-kadang pulang saat tanggal merah atau libur panjang. Untuk urusan pulang dan pergi itu, dia biasa menunggu bus di terminal, dan—selama menunggu—dia biasa bermain-main ponselnya yang mahal. Suatu waktu, nyokap pernah menasihati adik saya, “Kalau berada di tempat-tempat yang rawan, sebaiknya simpan saja ponselmu, karena bisa mengundang kejahatan.”

Meski nasihat itu ditujukan untuk adik saya, tapi saya ikut mendengarkan, dan—diam-diam—saya mengikuti nasihat tersebut. Saat berada di tempat-tempat rawan yang memungkinkan kejahatan terjadi, saya menyimpan barang-barang yang mungkin dapat menggoda orang lain. Meski saya menyadari barang-barang itu milik saya sepenuhnya, tetapi saya tidak ingin memberi kesempatan orang lain untuk menjadi penjahat. Karena, sebagaimana yang sering kita dengar, kejahatan terjadi bukan sekadar karena adanya niat, tapi juga kesempatan.

Bocah yang Selalu Kangen Mbakyunya

Seorang bocah berbicara sendiri, “Aku ini diapain sih, sama mbakyuku? Tiap hari, tiap malam, rasanya kangeeeeeeeeen terus.”

....
....

Aku ingin sekali menjadi bocah itu.

Syarat Mutlak Untuk Nikmat

Pagi bising, siang bising, sore bising, malam bising.
Ya Tuhan, di manakah Keheningan?
@noffret 


Dalam hidup, salah satu barang mewah yang mungkin jarang kita sadari adalah “kekhusyukan”. Kita seperti dikejar-kejar waktu setiap hari, sehingga kita mengerjakan segala sesuatu dengan buru-buru, tanpa menikmati apalagi menghayatinya. Padahal, esensi dari segala sesuatu yang kita lakukan ada dalam kekhusyukan.

Tanpa kekhusyukan, mengerjakan sesuatu yang senikmat apa pun akan terasa hambar. Sebaliknya, segala sesuatu yang kita lakukan akan terasa nikmat dan lebih berarti jika kita mengerjakannya dengan khusyuk. Karena itulah, saya pikir, kita dituntut beribadah secara khusyuk—bukan hanya sebagai ketundukan kepada Sang Pencipta, namun juga agar kita nikmat ketika melakukannya.

Filsuf Prancis, Montaigne, menyatakan, “Ketika saya menari, saya menari. Ketika saya makan, saya makan.”

Montaigne sedang berbicara tentang kekhusyukan. Tetapi, sebagian besar kita tidak mampu melakukannya. Ketika sedang makan, pikiran kita mengembara ke mana-mana. Ketika sedang mandi, pikiran kita bisa ada di swalayan. Ketika sedang beribadah, pikiran kita bisa ada di diskotik.

Padahal, sekali lagi, kekhusyukan adalah syarat mutlak untuk nikmat. Lebih dari itu, kekhusyukan juga pintu gerbang untuk memperoleh manfaat dari segala sesuatu yang kita lakukan. Ketika membaca buku, misalnya, kita akan mendapat manfaat yang jauh lebih banyak jika kita fokus dan khusyuk ketika membaca, daripada jika tidak fokus dan khusyuk. Itu ilustrasi mudahnya.

Yang jadi masalah, kekhusyukan pada saat ini adalah barang mewah. Dalam hidup sehari-hari, kita seperti digempur berbagai kesibukan, kebisingan, dan ketergesa-gesaan. Dan gaya hidup semacam itu telah mencengkeram kita selama bertahun-tahun, meski mungkin tidak kita sadari. Akibatnya, kita pun—sadar atau tidak—telah asing dengan keheningan, dengan kekhusyukan.

Kekhusyukan mungkin tidak harus dalam keheningan. Namun, cara mudah untuk membangun kekhusyukan ada dalam keheningan. Setidaknya, hati kita merasa hening. Dalam kebisingan seperti apa pun, kita tetap dapat khusyuk jika hati kita hening. Dan jika kita bisa khusyuk ketika melakukan segala sesuatu, kita akan mendapatkan manfaat yang jauh lebih besar dari segala sesuatu yang kita lakukan, sekaligus merasa nikmat ketika melakukan.

Sabtu, 04 Juni 2016

Hukuman untuk Pemerkosa (2)

Catatan ini lanjutan catatan sebelumnya. Untuk mendapatkan pemahaman yang lebih baik, sebaiknya bacalah catatan sebelumnya terlebih dulu.

***

Hal kedua yang juga perlu dikhawatirkan adalah kemarahan masyarakat. Jika hukuman pada para pemerkosa tidak mampu memberi efek jera, kasus perkosaan akan terus terjadi. Jika kasus perkosaan terus terjadi, dan masyarakat terus disuguhi berita perkosaan setiap hari, mereka akan jenuh. Dan muak. Dan marah. Dan jika masyarakat marah... tidak ada siapa pun yang akan mampu menghentikan mereka.

Pada November 2010, terjadi keramaian di Kota Ganganagar, India. Bukan sekadar keramaian biasa, hari itu masyarakat di sana bersatu menghukum seorang pemerkosa. Bajingan yang apes hari itu adalah Shabat, lelaki berusia 50 tahun yang memperkosa seorang wanita.

Semula, Shabat menyekap seorang wanita di sebuah gang yang sepi, kemudian memperkosanya. Ketika aksi perkosaan itu terjadi, seseorang memergoki. Dia lalu memanggil dan mengumpulkan masyarakat. Daripada ditangkap dan diserahkan ke polisi, mereka pikir akan lebih bagus jika bangsat pemerkosa itu mereka hukum sendiri. Jadi, itulah yang terjadi.

Orang-orang di sana pun berdatangan ke tempat Shabat menyekap korbannya. Ada yang membawa pentungan, ada yang membawa batu, dan lain-lain. Di gang itu, masyarakat yang marah menghajar Shabat habis-habisan hingga lelaki itu babak belur dan berdarah-darah. Belum puas, masyarakat menyeret tubuh Shabat ke tempat yang lebih terbuka, sehingga lebih banyak yang melihat, lalu mereka menebas penis si pemerkosa.

Aamir Dhawan, salah satu warga yang ikut dalam keramaian itu, menyatakan kepada polisi dan wartawan bahwa dia tidak tahu siapa yang memulai pengeroyokan, dan siapa yang memotong penis Shabat. Menurutnya, warga sudah muak mendengar berita perkosaan di India, sehingga memutuskan untuk menghukum si pemerkosa agar dapat memberi efek jera bagi yang lain.

“Sudah terlalu banyak kasus penyerangan terhadap wanita di negara ini,” ujar Aamir Dhawan. “Terlalu sering kita mendengar wanita diperkosa, digantung, disiksa. Ini saatnya semua itu dihentikan. Pemotongan penis ini mengirim pesan kuat buat semua pemerkosa; kalau kau nekat berbuat, kau akan mendapat balasannya!”

Sebelum peristiwa di Kota Ganganagar itu terjadi, ada peristiwa serupa yang menimpa seorang pemerkosa lain. Terjadi di Desa Kasturba Nagar, India, yang menjadi sasaran kemarahan masyarakat adalah Akku Yadav, seorang preman kelas teri yang kebetulan bergabung dengan sebuah komplotan penjahat.

Yadav sebenarnya preman kampung. Tapi karena bergabung dengan komplotan penjahat yang berpusat di New Delhi, dia berani melakukan berbagai kejahatan, termasuk merampok, membunuh, hingga memperkosa. Dia telah bolak-balik masuk penjara, dan tak berhenti melakukan kejahatan.

Kemurkaan masyarakat terhadap Yadav terjadi ketika bajingan itu, suatu siang, mendatangi sebuah rumah yang kebetulan sedang sepi, lalu menyeret seorang gadis berusia 12 tahun dari rumah itu, dan memperkosanya. Bukan hanya memperkosa, Yadav juga menyiksa gadis korbannya, bahkan menyuruh teman-temannya untuk memperkosa gadis tersebut. 

Saat peristiwa perkosaan biadab itu terjadi, seorang wanita melihat. Dia lalu mengumpulkan ibu-ibu di sana (waktu itu para lelaki sedang bekerja). Dengan kemarahan tak tertahan, sebanyak 200 ibu rumah tangga mendatangi lokasi perkosaan. Teman-teman Yadav sempat kabur. Tapi Yadav tertangkap. Sekuat apa pun bajingan itu mencoba meloloskan diri, dia jelas bukan tandingan 200 ibu-ibu yang sedang murka.

Jadi, ibu-ibu itu menyeret Yadav ke pematang sawah, kemudian mengeroyoknya di sana. Beberapa wanita pulang ke rumah untuk mengambil bubuk cabai, lalu bubuk cabai itu disiramkan ke muka si pemerkosa. Sementara Yadav kelojotan merasakan panas luar biasa pada wajahnya, ibu-ibu itu melemparkan batu-batu ke tubuh Yadav.

Kisah itu belum selesai. Seorang wanita mengambil pisau sayur, lalu memotong penis Yadav. Setelah itu, ibu-ibu lain menusuk tubuh Yadav beramai-ramai. Saat bajingan pemerkosa itu tewas, pihak forensik menyatakan ada 70 tusukan di tubuh Yadav, selain penisnya hilang karena dipotong.

Yang menakjubkan, ibu-ibu yang terlibat dalam peristiwa itu sepakat bungkam saat kepolisian setempat mendatangi mereka. Tidak ada yang mau menjawab atau menyebutkan nama rekan/tetangga mereka, dan hanya menyebutkan bahwa peristiwa itu kejadian spontan, sehingga tidak ada yang tahu siapa yang memulai, siapa yang menusuk, siapa yang memotong. Oh, well, jangan main-main dengan ibu-ibu yang murka!

Masih di India, tepatnya di Punjab, seorang pemerkosa juga mengalami nasib mengerikan. Pemerkosa itu berusia 17 tahun, dan dia memperkosa seorang bayi yang baru berusia 7 bulan. Pada April 2014, remaja bejat itu pun ditangkap.

Sambil menunggu proses pengadilan, penjahat itu dijebloskan ke tahanan remaja. Lalu datang Parminder Singh. Parminder Singh adalah ayah bayi yang diperkosa oleh si remaja. Parminder Singh mengatakan, dia bermaksud menyelesaikan kasus itu secara kekeluargaan, mengingat si pemerkosa terhitung masih remaja. Polisi pun menyetujui usul itu, terlebih juga karena mungkin sudah bosan menghadapi kasus perkosaan.

Jadi, Parminder Singh kemudian mengajak si pemerkosa keluar dari tahanan, untuk “menyelesaikan masalah secara kekeluargaan”. Dengan lugu, si pemerkosa mengikuti. Parminder Singh membawa keparat itu ke dekat kanal yang sepi, mengikatnya ke sebuah pohon, lalu menghajarnya habis-habisan. Setelah si remaja pemerkosa hampir sekarat, Parminder Singh memotong kedua tangan pemerkosa itu, dan meninggalkannya di sana.

Itu segelintir contoh nyata yang terjadi akibat kemuakan masyarakat terhadap kasus perkosaan yang terus terjadi, yang makin hari makin memuakkan. Jika contoh-contoh itu mau diteruskan, saya bisa menceritakan kisah-kisah pembalasan lain yang tak kalah mengerikan, akibat masyarakat yang muak. Mereka frustrasi menghadapi para pemerkosa, mereka frustrasi menghadapi sistem hukum, mereka frustrasi mendengar celoteh omong kosong hak asasi manusia.

Dari India, sekarang kita akan melihat yang terjadi di Afrika. Seperti yang telah disinggung di atas, kasus perkosaan di Afrika setali tiga uang dengan yang terjadi di India. Karenanya tidak heran jika masyarakat Afrika sama muak terhadap para pemerkosa, dan mereka pun melakukan pembalasan yang mereka anggap sebagai hukuman setimpal.

Di Mandela Park, dekat Ibu Kota Johannesburg, Afrika, seorang lelaki berusia 26 tahun memperkosa seorang anak perempuan berusia 5 tahun. Aksi perkosaan itu dipergoki famili korban, yang langsung mengumpulkan orang-orang di sana. Dalam waktu seketika, masyarakat yang marah pun berkumpul dan menghajar si pemerkosa habis-habisan. Puncaknya, mereka memotong penis si pelaku, dan membuangnya ke tempat sampah.

Ketika kepolisian datang ke sana, dan berceramah tentang “jangan main hakim sendiri”, masyarakat di sana kompak tutup mulut. Kepala Polisi Mandela Park, Zithini Dlamini, menyatakan bahwa aksi masyarakat tersebut sebenarnya melanggar hukum. Tapi pihaknya juga kesulitan menangkap pelaku karena orang-orang yang terlibat kompak tutup mulut, dan tidak ada yang mau bicara. Peristiwa itu sudah lama terjadi, dan sampai saat ini tidak ada satu pun dari masyarakat di sana yang ditangkap.

Lalu bagaimana dengan si pelaku perkosaan? Oh, dia masih hidup. Saat pengeroyokan terjadi, polisi datang, dan masyarakat langsung bubar. Jadi, si pemerkosa selamat, meski tubuhnya babak belur. Tapi dia kehilangan penisnya, yang telah dibuang entah ke mana. Dia dibawa ke rumah sakit, lalu digelandang ke penjara setelah kondisi fisiknya dinyatakan pulih. Tetapi, sekali lagi, penisnya entah ada di mana.

Dari Afrika, sekarang kita terbang ke Brasil. Di Brasil, tepatnya di Kota Barretos, ada lelaki bejat bernama Francisco de Souza. Dia memperkosa seorang balita yang kebetulan ada di dekat tempat kerjanya. Ulahnya dipergoki warga, yang seketika mengumpulkan massa. Warga yang murka beramai-ramai menghajar Francisco hingga babak belur. Selain membuat si pemerkosa berdarah-darah, massa yang marah juga memotong tiga jari tangan dan penis si pemerkosa.

Penjahat pemerkosa itu selamat, karena polisi datang sebelum masyarakat membunuhnya. Francisco yang sekarat kemudian dibawa ke Rumah Sakit Santa Casa de Misericordia. Dokter di sana berhasil menyambung kembali tiga jarinya yang putus, tetapi... tidak bisa menyambung kembali penisnya!

Sama seperti di India, sama seperti di Afrika, masyarakat di Brasil bungkam ketika polisi datang untuk menyelidiki kasus amuk massa itu. Mereka telanjur muak dengan kejahatan biadab itu, mereka telah murka terhadap kebejatan manusia, dan lebih lagi... mereka muak terhadap sistem hukum yang mereka anggap tidak mampu membuat jera.

Kasus-kasus serupa juga terjadi di Pakistan, tempat yang juga memiliki kasus perkosaan sangat tinggi. Untuk Pakistan, saya sudah pernah menceritakan kondisi di sana panjang lebar, bahkan detail, lengkap dengan perjuangan seorang wanita yang bertekad mengubah kondisi negaranya yang mengerikan, dan kalian bisa membacanya secara tuntas di sini.

Sekarang, di Indonesia, amuk massa terhadap pemerkosa sudah mulai terjadi. Salah satu contoh terbaru terjadi di Bone, Sulawesi Selatan. Pada 3 Juni 2016 kemarin, seorang remaja berusia 17 tahun hendak memperkosa seorang wanita berusia 26 tahun. Untung, sebelum perkosaan terjadi, si wanita berteriak-teriak minta tolong, dan teriakannya didengar orang-orang.

Warga pun berdatangan, dan—dengan penuh kemurkaan—mereka menghajar si pemerkosa habis-habisan, meski masih terhitung remaja. Aksi pengeroyokan itu bahkan masih terus berlangsung saat pasukan kepolisian datang. Puluhan aparat yang datang ke lokasi sampai harus mengeluarkan tembakan peringatan untuk membubarkan aksi tersebut.

Akhirnya, catatan panjang ini hanya ingin menunjukkan bahwa ada ancaman tersembunyi jika kasus-kasus perkosaan terus terjadi di negeri ini, jika para pelaku perkosaan tidak mendapat hukuman setimpal, jika sistem hukum tidak mampu menjawab masyarakat yang marah, jika orang-orang hanya bisa berteriak hak asasi untuk para pelaku kejahatan tapi bungkam terhadap korban.

Indonesia, disadari atau tidak, sedang menyulut bom waktu, dan menyimpan bara dalam sekam. Akan tiba suatu masa ketika masyarakat tak mampu lagi menahan kemarahan, dan mereka memutuskan untuk menggunakan tangan mereka sendiri untuk menghukum para bajingan... demi menghentikan kejahatan yang telanjur memuakkan. 

Hukuman untuk Pemerkosa (1)

Luka sebuah bangsa menjadi sejarah,
luka seorang manusia hanya menjadi cerita.
Bahkan di hadapan luka sejarah, kita mudah lupa.
@noffret


Akibat makin banyak kasus perkosaan yang kian hari kian mengkhawatirkan, sebagian pihak mengusulkan hukuman yang lebih berat untuk pelaku pemerkosaan. Presiden Jokowi pun sudah menandatangani keputusan tersebut, yakni menaikkan/memberatkan hukuman untuk pemerkosa.

Yang masih menjadi polemik adalah soal hukuman kebiri bagi pelaku pemerkosaan. Sebagian pihak menganggap hukuman kebiri layak diberlakukan, sementara sebagian lain menganggap hukuman kebiri termasuk pelanggaran hak asasi manusia.

Menyangkut hukuman kebiri yang rencana akan dilakukan di Indonesia, sebenarnya bukan kebiri fisik (menghilangkan testis atau alat kelamin), melainkan kebiri kimia (menyuntikkan zat penurun libido ke tubuh pemerkosa). Tampaknya, sebagian orang yang menentang hukuman kebiri terhadap pemerkosa tidak memahami konteks seutuhnya, hingga menatap hal tersebut secara berlebihan.

Sebenarnya, kebiri kimia—sebagaimana yang akan diberlakukan di Indonesia—tidak bisa seratus persen disebut hukuman, karena proses tersebut hanya menurunkan libido si pelaku. Dengan kata lain, si pelaku tetap memiliki nafsu atau libido, meski telah dikebiri secara kimia. Lebih dari itu, kebiri kimia bahkan tidak bisa berlangsung selamanya.

Dalam jangka waktu tertentu, pengaruh zat yang disuntikkan ke tubuh akan hilang, dan taraf libido si pelaku/pemerkosa akan kembali normal seperti sedia kala. Karena itu pula, kebiri kimia harus dilakukan secara berkelanjutan. Dalam hal ini, sebenarnya, kebiri kimia lebih tepat disebut “terapi” daripada “hukuman”. Tetapi, sekali lagi, orang-orang yang meributkan itu mungkin tidak memahami konteks dan keseluruhan masalah, dan buru-buru meributkan hak asasi manusia.

Menyangkut orang-orang yang menentang kebiri kimia dengan alasan melanggar hak asasi manusia, terus terang saya bingung. Mereka yang menentang kebiri mungkin para pembela hak asasi manusia yang sangat gigih membela hak-hak manusia. Sehingga pemberlakuan hukuman yang bisa dibilang ringan (seperti kebiri kimia) pun langsung membuat mereka berteriak, “Itu melanggar hak asasi manusia!”

Lalu bagaimana komentar mereka terhadap perbuatan para pelaku pemerkosaan yang mereka bela? Apakah keparat-keparat pemerkosa itu tidak melanggar hak asasi korbannya? Kenapa para pembela hak asasi itu tidak memikirkan korban perkosaan yang hak asasinya diinjak-injak, dihina, dan dinistakan? Kenapa mereka tidak mengacungkan jari kepada para pemerkosa, dan baru berteriak hak asasi saat para pemerkosa akan dihukum?

Sebenarnya, saya tidak bermaksud meributkan hukuman apa untuk para pemerkosa. Kebiri atau bukan kebiri, bukan itu yang ingin saya persoalkan.

Yang saya khawatirkan, jika para pemerkosa tidak dihukum seberat-beratnya, maka kasus kejahatan perkosaan akan semakin menggila. Indonesia, diakui atau tidak, sedang mengalami darurat perkosaan, bahkan krisis kemanusiaan. Nyaris setiap hari, selalu ada berita perkosaan, di berbagai tempat, menimpa banyak korban, dan itu tidak juga berhenti. Siapa pun tahu, itu sangat mengkhawatirkan.

Jika kasus-kasus perkosaan terus terjadi, sementara hukuman yang diterapkan tidak berkeadilan (khususnya dilihat dari sudut pandang masyarakat luas), maka bisa jadi timbul amuk massa yang sangat mengerikan. Afrika dan India adalah contoh negara yang masyarakatnya sudah muak terhadap kasus perkosaan, sehingga mereka memutuskan untuk turun langsung menghukum para pelaku perkosaan. Ada banyak kasus pembalasan mengerikan yang menimpa para pemerkosa di India dan Afrika, yang nanti akan saya kisahkan di catatan ini.

Namun, sebelum masuk ke kisah-kisah pembalasan mengerikan di India dan Afrika, saya ingin mengisahkan hal lain terlebih dulu.

Dua minggu yang lalu, saya menikmati makan siang di tempat ini. Sendirian, saya duduk di salah satu tempat, dan kebetulan di samping saya ada dua lelaki yang juga menikmati makan siang. Seusai makan, saya menikmati rokok sendirian, sementara dua lelaki di samping saya bercakap-cakap. Karena jarak kami dekat, dan suasana di tempat itu juga hening, saya pun bisa mendengarkan percakapan mereka dengan sangat jelas, meski tidak bermaksud menguping.

Dua lelaki itu membicarakan kasus-kasus perkosaan yang tengah ramai di Indonesia, termasuk kasus Yuyun, Eno, dan lainnya. Setelah cukup lama bercakap-cakap seputar kasus itu, Lelaki Pertama berkata, “Menurutmu, apa hukuman terbaik bagi para pemerkosa yang bejat itu?”

Lelaki Kedua menjawab serius, “Jika aku diberi wewenang memberi hukuman bagi para pemerkosa, inilah yang akan kulakukan. Aku akan mengumpulkan para pemerkosa di Monas, mengikatkan petasan besar ke penis mereka, membiarkan petasan-petasan itu meledak, lalu lihat hasilnya. Jika mereka mati, bagus. Jika mereka masih hidup, tidak apa-apa. Itu hukuman setimpal bagi para pemerkosa. Kalau pun mereka masih hidup, toh mereka tidak akan bisa lagi memperkosa, karena tentu penis mereka telah hancur akibat ledakan.”

Saya mengisap rokok di samping mereka, sambil diam-diam membayangkan para pemerkosa diarak ke Monas, masyarakat berduyun-duyun menonton, kamera-kamera televisi menyorot, dan hukuman itu dilakukan. Oh, well, pasti menyenangkan kalau saya bisa menggelar tikar di Monas, duduk damai sambil merokok, lalu menyaksikan selangkangan para pemerkosa meledak. Saya janji tidak akan memalingkan muka meski menyaksikan darah bermuncratan... kalau itu benar-benar terjadi.

Kalau itu benar-benar terjadi... oh, well, pasti akan menjadi shock therapy yang ampuh bagi siapa pun. Orang akan berpikir seribu kali, bahkan sejuta kali, sebelum nekat melakukan perkosaan. Menyaksikan selangkangan meledak dan penis hancur berantakan, pasti akan menjadi pemandangan “mempesona” yang akan terus membayangi siapa pun, sehingga orang akan lebih berhati-hati menjaga diri.

Apakah yang saya uraikan di atas terdengar mengerikan? Tunggu, kalian belum mendengar kelanjutannya.

Dua lelaki di samping saya masih bercakap-cakap. Kali ini, Lelaki Kedua yang bertanya, “Umpama—sekali lagi, umpama—ada anggota keluargamu, atau pacarmu, yang diperkosa, apa yang akan kamu lakukan?”

Lelaki Pertama menjawab, “Aku akan membunuh si pemerkosa, bagaimana pun caranya. Jika aku bisa menemukannya sebelum dia tertangkap polisi, aku akan langsung membantainya. Perkara aku kemudian dihukum karena pembunuhan, persetan! Membunuh pemerkosa, bagiku, lebih mulia daripada menjadi pelaku pemerkosaan. Bajingan-bajingan di penjara pun pasti memahami hal itu.”

Lelaki Kedua kembali bertanya, “Bagaimana kalau ternyata si pemerkosa keburu tertangkap polisi, sebelum kamu menemukannya?”

“Maka aku akan menunggu si pemerkosa keluar dari penjara, lalu menghabisinya,” jawab Lelaki Pertama. “Jika itu terlalu lama, maka aku yang akan masuk ke penjara, dan menghabisinya di sana.”

Saya hanya mendengarkan... membiarkan dua lelaki itu bercakap-cakap. Oh, saya tidak mengenal mereka, sebagaimana mereka tidak mengenal saya.

Sebagian orang mungkin menilai dua lelaki itu berpotensi melanggar hak asasi manusia. Tetapi, pernahkah kita membayangkan bahwa bisa jadi banyak orang yang berpikir seperti mereka?

Dalam banyak kasus perkosaan yang terus terjadi di Indonesia, ada dua hal yang patut dikhawatirkan. Pertama, jika para pemerkosa tidak dihukum seberat-beratnya, maka kasus-kasus perkosaan bisa jadi akan terus muncul. Sekali lagi, Afrika dan India, juga Pakistan, bisa menjadi contoh nyata dalam hal ini. Sebagai ilustrasi, pada 2012 terjadi 24.923 kasus pemerkosaan di India, dan hampir sepertiga korban berusia di bawah 18 tahun. Angka itu menunjukkan bahwa di India ada 68 kasus perkosaan yang terjadi setiap hari!

Di India, pemerkosaan bisa dibilang “menu harian” akibat banyaknya kasus perkosaan yang terjadi di sana. Setali tiga uang dengan Afrika. Sementara di Pakistan, pelaku pemerkosaan menganggap perkosaan terhadap wanita sebagai “olahraga ringan”. Itu contoh-contoh nyata sekaligus mengerikan yang telah terjadi, akibat pemerkosa merasa “aman-aman saja” melakukan kejahatan perkosaan.

Lanjut ke sini: Hukuman untuk Pemerkosa (2)

 
;