Rabu, 29 Juni 2016

Hadist-hadist Palsu di Bulan Puasa (2)

Posting ini lanjutan posting sebelumnya. Untuk mendapatkan pemahaman yang lebih baik, sebaiknya bacalah posting sebelumnya terlbih dulu.

***

Sekarang kita lihat hadist lain yang tak kalah populer, karena kerap diocehkan orang-orang yang sok ustad:

مَنْ فَرِحَ بِدُخُوْلِ رَمَضَانَ حَرَّمَ اللهُ جَسَدَهُ عَلَى النِّيْرَانِ

“Barangsiapa yang bergembira dengan kedatangan bulan Ramadan, niscaya Allah mengharamkan jasadnya dari neraka.” (Disebutkan dalam Kitab Durratun Nashihin, tanpa sanad)

Terdengar sangat familier? Itu salah satu hadist yang sangat terkenal, populer, dan sering digembar-gemborkan setiap bulan puasa tiba... padahal hadist palsu!

Tidak sekadar palsu, hadist di atas bahkan masuk golongan “Laa ashlalahu” atau “tidak ada asal-usulnya”. Dengan kata lain, “lebih parah dari hadist palsu”. Dalam kitab Takhrijul Ihya, Al-Hafidz Al-Iraqi memasukkan hadist di atas sebagai dhaif, begitu pula Al-Albani dalam kitab Silsilah Adh-Dha’ifah.

Lihat pula hadist populer ini:

رَجَبٌ شَهْرُ الله، وشَعْبانُ شَهْرِي، وَرَمَضانُ شَهْرُ أُمَّتِي

“Rajab adalah bulan Allah, Sya’ban adalah bulanku, dan Ramadan adalah bulan umatku.” (HR. Ad-Dailami, Ibnu Asakir dalam Mu’jam Asy-Syuyukh)

Sama-sama populer, tapi juga sama palsu! Kepalsuan hadist ini bisa dipelajari lebih lanjut dalam kitab Lisanul Mizan karya Ibnu Hajar, As-Siyar karya Adz-Dzahabi, dan As-Silsilah Adh-Dha’ifah karya Asy-Syaikh Al-Albani.

Sekarang saya ingin mengisi kultum.

Dalam kultum (kuliah tujuh menit) yang biasa ada di mushala atau masjid, kita sering mendengar si kultumer (maksudnya orang yang mengisi kultum) ngoceh kira-kira begini, “Sepertiga awal bulan Ramadan adalah waktu kasih sayang Allah, sepertiga bulan selanjutnya adalah waktu ampunan Allah, dan sepertiga bulan terakhir Ramadan adalah pembebasan dari api neraka.” (Atau kira-kira semacam itu).

Kalian sudah biasa mendengarnya, kan? Oh, bukan hanya biasa mendengar, sebagian orang bahkan sudah hafal di luar kepala, karena kalimat semacam itu diocehkan di banyak tempat oleh para kultumer. Pertanyaannya, atas dasar apa ajaran tersebut? Jawabannya mengerikan, karena “ajaran” itu disandarkan pada hadist dhaif!

Oh, well, inilah hadist dhaif yang mereka gunakan:

يا أيها الناس انه قد أظلكم شهر عظيم شهر مبارك فيه ليلة خير من ألف شهر فرض الله صيامه وجعل قيام ليله تطوعا فمن تطوع فيه بخصلة من الخير كان كمن أدّى فريضة فما سواه … وهو شهر أوله رحمة وأوسطه مغفرة وآخره عتق من النار

“Wahai sekalian manusia, sungguh hampir datang kepada kalian bulan yang agung dan penuh berkah, di dalamnya terdapat satu malam yang lebih baik dari seribu bulan, Allah wajibkan untuk berpuasa pada bulan ini, dan Allah jadikan shalat pada malam harinya sebagai amalan yang sunah, barangsiapa yang rela melakukan kebajikan pada bulan itu, maka seperti menunaikan kewajiban pada selain bulan tersebut… dan dia merupakan bulan yang awalnya adalah kasih sayang, pertengahannya adalah ampunan, dan akhirnya adalah pembebasan dari api neraka.” (HR. Ibnu Khuzaimah, Al-Baihaqi dalam Syu’abul Iman)

Hadist tersebut masuk golongan munkar (lemah). Penjelasan mengenai hal itu bisa dilihat dalam kitab Dhaif At-Targhib dan kitab Silsilah Ahadits Dhaifah, yang ditulis Syaikh Al-Albaniy.

Yang benar, di seluruh waktu di bulan Ramadan terdapat rahmat, seluruhnya terdapat ampunan Allah, dan seluruhnya terdapat kesempatan bagi seorang mukmin untuk terbebas dari api neraka—tidak hanya sepertiganya. Salah satu dalil yang menunjukkan hal itu adalah hadist sahih yang diriwayatkan Bukhari dan Muslim berikut ini:

من صام رمضان إيمانا واحتسابا ، غفر له ما تقدم من ذنبه

“Orang yang puasa Ramadan karena iman dan mengharap pahala, akan diampuni dosa-dosanya yang telah lalu.” Dalam hadits itu, disebutkan bahwa ampunan Allah tidak dibatasi hanya pada pertengahan atau sepertiga Ramadan saja.

Lanjut. Hadist lain yang sama dhaif tapi populer:

من فطر صائما على طعام وشراب من حلال صلت عليه الملائكة في ساعات شهر رمضان وصلى عليه جبرائيل ليلة القدر

“Barangsiapa memberi hidangan berbuka puasa dengan makanan dan minuman yang halal, para malaikat bershalawat kepadanya selama bulan Ramadan, dan Jibril bershalawat kepadanya di malam lailatul qadar.” (HR. Ibnu Hibban dan Al-Baihaqi)

Hadist ini lemah, sebagaimana yang ditegaskan oleh Al-Mulla Ali Al-Qaari dalam kitab Mirqatul Mafatih Syarh Misykatul Mashabih. Yang benar, orang yang memberikan hidangan berbuka puasa akan mendapatkan pahala puasa orang yang diberi hidangan tadi, berdasarkan hadist, “Siapa saja yang memberikan hidangan berbuka puasa kepada orang lain yang berpuasa, ia akan mendapatkan pahala orang tersebut tanpa sedikit pun mengurangi pahalanya.” (HR. At-Tirmidzi, ia berkata, “Hasan shahih”)

Sekarang kita masuk pada sesuatu yang mungkin akan mengejutkan banyak orang, yaitu hadist mengenai doa berbuka puasa. Ada banyak sekali orang Islam yang meyakini bahwa hadist berikut ini merupakan doa berbuka puasa, hingga tanpa ragu mengajarkannya kepada orang-orang lain:

 اللهم لك صمت و بك امنت و على رزقك افطرت برحمتك يا ارحم الراحمين

Karena hadist/doa itu digunakan sangat banyak orang, saya tuliskan kalimat dalam bahasa Indonesia, agar semua bisa membaca lebih jelas, “Allahuma lakasumtu, wabika aamantu, wa’ala rizqika afthartu, birokhmatika ya arkhamar raakhimiin.”

Artinya: “Ya Allah, untuk-Mu aku berpuasa, kepada-Mu aku beriman, atas rezeki-Mu aku berbuka, aku memohon rahmat-Mu wahai Dzat yang Maha Penyayang.”

Meskipun kalimat itu memiliki arti yang baik, tetapi itu hadist palsu! Dalam kitab Al-Futuhat Ar-Rabbaniyyah, Ibnu Hajar Al-Asqalani berkata, “Hadits ini gharib, dan sanadnya lemah sekali”. Hadits itu juga di-dhaif-kan oleh Asy-Syaukani dalam kitab Nailul Authar, juga oleh Al-Albani dalam kitab Dhaif Al-Jami’. Dan doa dengan lafadz yang semisal, semua berkisar antara hadits lemah dan munkar.

Ada pula hadist/doa serupa, yang di dalamnya tidak terdapat kata “wabika aamantu”, dan hadist itu diketahui memiliki sanad yang berkisar lemah/sangat lemah. Penjelasan lebih lanjut mengenai hal ini bisa dirujuk ke kitab Tartibul Maudhu’at karya Adz-Dzahabi, Al-Manaarul Munif karya Ibnul Qayyim, Al-Maudhu’at karya Ash-Shaghani, serta kitab Tabyinul Ujab karya Ibnu Hajar Al-Asqalani.

Jadi, doa buka puasa sebagaimana yang disebut di atas bukanlah doa yang diajarkan Nabi Muhammad SAW! Jika kita ingin berdoa saat berbuka puasa, sebagaimana yang terdapat dalam hadist sahih—dalam arti dilakukan oleh Nabi Muhammad SAW—maka inilah doa yang benar:

 ذهب الظمأ وابتلت العروق وثبت الأجر إن شاء الله

Dalam bahasa Indonesia: "Dzahabaz zhamaa-u wabtalatil ‘uruuqu wa tsabatal ajru insyaa Allah." Artinya, “Rasa haus telah hilang, kerongkongan telah basah, semoga pahala didapatkan. Insya Allah.” (Doa ini terdapat dalam hadist sahih yang diriwayatkan oleh Abu Daud dan Ad-Daruquthni, dan di-hasan-kan oleh Ibnu Hajar Al-Asqalani).

Lanjut lagi. Perhatikan hadist populer ini:

 أن شهر رمضان متعلق بين السماء والأرض لا يرفع إلا بزكاة الفطر

“Bulan Ramadan bergantung di antara langit dan bumi. Tidak ada yang dapat mengangkatnya kecuali zakat fitri.” (Diriwayatkan Al-Mundziri dan Ibnu Syahin)

Hadist ini lemah. Penjelasan mengenai kelemahan hadist itu bisa dirujuk ke kitab Dhaif At-Targhib, dan kitab Silsilah Ahadits Dhaifah karya Syaikh al-Albaniy.

Omong-omong, semua kitab yang saya sebut dalam catatan ini bisa dicari di toko-toko buku, tapi menggunakan bahasa Arab. Jadi, harus menguasai bahasa Arab terlebih dulu, untuk bisa membaca dan mempelajarinya. In fact, untuk bisa mengetahui mana hadist sahih dan mana hadist palsu, orang harus menguasai bahasa Arab terlebih dulu, serta memahami ilmu hadist dan musthalah hadits.

Sebentar, saya mau nyulut rokok.

Ehmm... menjelang Ramadan, banyak sekali orang (yang tentunya Muslim) meminta maaf atau bermaaf-maafan dengan banyak orang. Ritual maaf-maafan semacam itu didasarkan pada sebuah hadist yang juga palsu, tapi diyakini sahih oleh banyak orang. Inilah hadistnya:

“Ketika Rasullullah sedang berkhutbah pada shalat Jum’at (di bulan Sya’ban), beliau mengatakan ‘Amin’ sampai tiga kali, dan—begitu mendengar Rasulullah mengatakan ‘Amin’—para sahabat terkejut, dan spontan mereka ikut mengatakan ‘Amin’. Tapi para sahabat bingung, kenapa Rasulullah berkata ‘Amin’ sampai tiga kali. Ketika selesai shalat Jum’at, para sahabat bertanya kepada Rasulullah, kemudian beliau menjelaskan, Ketika aku sedang berkhutbah, datang Malaikat Jibril dan berbisik, ‘Hai Rasullullah, aminkan doaku ini’. Doa Malaikat Jibril adalah, ‘Ya Allah, tolong abaikan puasa umat Muhammad, apabila sebelum memasuki bulan Ramadan tidak melakukan hal-hal berikut: 1) Tidak memohon maaf kepada kedua orang tuanya (jika masih ada); 2) Tidak bermaafan antara suami istri; 3) Tidak bermaafan dengan orang-orang sekitarnya'.

Berdasarkan hadist itulah, banyak orang Islam yang kemudian bermaaf-maafan dengan banyak orang, menjelang Ramadan. Padahal, itu hadist palsu! Bukan hanya palsu, bahkan teks Arabnya saja tidak ada, tak bisa ditemukan! Entah itu yang ngarang siapa, tapi yang jelas hadist hoax itu telah dipercaya banyak orang.

Mari kita luruskan.

Meminta maaf dan memberi maaf adalah hal baik. Islam pun mengajarkan untuk meminta maaf jika berbuat kesalahan kepada orang lain. Tetapi, meminta maaf tanpa sebab, dan dilakukan kepada semua orang yang ditemui, tidak pernah diajarkan oleh Islam!

....
....

Sebenarnya, di luar yang telah saya ocehkan di atas, masih banyak hadist lain, yang sebenarnya juga palsu, tapi diyakini sebagai hadist sahih, karena yang mengatakan adalah ustad seleb yang terkenal. Itu, demi segala demi, sangat memprihatinkan. Karena orang-orang awam percaya kepada mereka, sementara mereka kadang ngoceh seenaknya, tanpa dasar pengetahuan yang bisa dipertanggungjawabkan.

Akhirnya, apa yang bisa diambil sebagai pelajaran dari uraian yang cukup panjang ini?

Sederhana. Bahwa yang kita anggap bahkan yakini sebagai kebenaran, belum tentu memang benar. Karena itu, tidak usah ngotot, tidak usah merasa paling benar. Lebih penting lagi, tidak usah bertingkah sok ustad dengan menyebar-nyebarkan suatu ajaran jika tidak benar-benar memahami, karena dapat menyesatkan orang lain yang tidak tahu. Satu kesesatan yang tidak disadari, akan menimbulkan kesesatan pada pihak lain. Satu kesalahan yang tidak diverifikasi, akan melahirkan kesalahan-kesalahan lain.

Di internet banyak orang alim—yang benar-benar alim—dalam arti sungguh-sungguh mengetahui ajaran Islam, dan bukan sekadar memahami secara dangkal. Mereka telah menghabiskan waktu bertahun-tahun di pesantren, mempelajari ribuan hadist, mendaras banyak kitab yang ditulis para ulama, hingga pengetahuan keislaman mereka benar-benar dapat dipertanggungjawabkan.

Orang-orang alim itu juga banyak yang aktif di blog, di Twitter, di Facebook, dan mereka bersikap humble—rendah hati dalam arti sebenarnya—tidak sok suci, tidak sok-sokan menjadi ustad yang merasa paling benar. Karenanya, jika kalian meragukan yang saya uraikan dalam catatan ini, silakan konfirmasikan kepada mereka yang benar-benar alim itu, dan insya Allah mereka akan membenarkan yang saya katakan.

Akhirnya, jika ada kebenaran dari yang saya katakan, kebenaran itu tentu datang dari Sang Pemilik Kebenaran. Dan jika ada kesalahan atau kekeliruan dari yang saya katakan, kesalahan itu tentu datang dari kedaifan saya sebagai manusia. Akhirul kalam, wallahul muwaffiq ilaa aqwaamitthaariq, wassalaamu’alaikum warahmatullaahi wabarakaatuh.

....
....

Rokok saya mati.

Korek mana korek?

 
;