Sabtu, 18 Juni 2016

Jika Akhirat Tidak Ada

Untuk setiap pohon yang ditebang, jumlah oksigen
berkurang. Setiap kali kita mengambil dengan tidak benar,
ada milik kita yang menghilang.
@noffret


Salah satu hukum yang ditetapkan bumi tempat kita hidup adalah keadilan dan keseimbangan. Di antara sekian miliar manusia yang pernah hidup, sedang hidup, atau akan hidup, tidak ada satu pun yang mampu menipu bumi. Sebagai contoh mudah, cobalah tanam biji mangga. Apa yang kemudian dihasilkan bumi? Pohon mangga! Atau sebarkan biji-biji cabai ke tanah. Apa yang kemudian muncul? Pohon cabai!

Tak peduli direkayasa dengan cara apa pun, tak peduli diusahakan dengan cara apa pun, biji mangga akan tetap tumbuh sebagai pohon mangga, biji cabai akan menjadi pohon cabai, begitu pula benih atau biji lain yang coba kita tanamkan. Tidak ada yang bisa menipu bumi. Setiap kali manusia berpikir telah menipu bumi, dia sedang menipu dirinya sendiri. Meski mungkin tak menyadari.

Bukan hanya biji atau benih, bumi yang kita tinggali bahkan mampu mengingat hal-hal yang kita lakukan, yang mungkin kita sembunyikan, yang kita tutup rapat-rapat, kemudian bumi mengembalikannya kepada kita dalam bentuk serupa. Sebagian orang yang cukup peka kadang menyadari hal ini, tetapi sebagian lain terlalu ndableg hingga tidak pernah menyadari. 

Setiap kali manusia melakukan sesuatu, perbuatan itu tak jauh beda dengan menanam benih, dan bumi akan menumbuhkan, untuk kemudian mengembalikan. Kadang-kadang, bumi “mengembalikan” yang kita lakukan dalam waktu relatif cepat, hingga kita pun langsung menyadari. Tetapi, sering kali, bumi “mengembalikan” yang kita lakukan dalam waktu lama, sampai bertahun-tahun, hingga kita tidak menyadari.

Bumi adalah sosok pendendam. Dan tidak ada yang lebih berbahaya dibanding dendam bumi, karena ia selalu membalas... bagaimana pun caranya, kapan pun waktunya, di tempat mana pun kita berada, dengan cara yang sering kali tak pernah kita sangka.

Belum lama, ada berita “lucu” tentang seorang penipu yang tertipu. Lokasinya di Bogor. Berdasarkan berita-berita yang saya baca, ada seorang wanita berusia 37 tahun—sebut saja Z—yang menipu beberapa orang. Modusnya adalah menjanjikan bisnis pengadaan barang untuk instansi pemerintah. Dengan modus itu, Z menawari beberapa orang untuk berinvestasi, yang nantinya akan dikembalikan dengan keuntungan berlipat.

Tergiur iming-iming Z, ada cukup banyak orang yang tertipu, dan mereka menyerahkan sejumlah uang yang dimaksudkan untuk berinvestasi dalam bisnis Z. Total uang yang berhasil dikumpulkan Z mencapai 14 miliar rupiah. Hasil akhirnya bisa ditebak. Z menghilang bersama uang yang berhasil dikumpulkannya, dan orang-orang pun sadar kalau mereka telah tertipu. Beberapa orang itu lalu melapor polisi, dan polisi melakukan pengejaran terhadap Z.

Lalu bagaimana dengan Z? Berhasil menipu banyak orang hingga mengumpulkan 14 miliar, Z pergi ke Cilacap, menemui seorang dukun yang konon bisa menggandakan uang. Z menemui dukun tersebut, dengan maksud menggandakan uang yang baru ia peroleh dari hasil menipu. Mungkin, pikir Z, setelah berhasil menggandakan uang tersebut, dia bisa mengembalikan uang 14 miliar tadi kepada orang-orang yang ditipunya, sekaligus dapat mengantongi keuntungan dari hasil penggandaan.

Apakah Z berhasil? Tidak, karena alih-alih menggandakan uang milik Z, dukun yang konon bisa menggandakan uang itu justru kabur dengan membawa uang Z! Ketika Z ditangkap polisi di Cilacap, Z kebingungan. Bingung karena penipuannya terbongkar, dan bingung karena dia juga menjadi korban penipuan si dukun.

Z mungkin bisa introspeksi, dan mungkin menyadari bahwa tindak kejahatan yang menimpa dirinya adalah balasan atas tindak kejahatan yang dia lakukan terhadap orang-orang lain. Itu sangat mudah dipahami, karena peristiwanya berjalan cepat—satu perbuatan dibalas perbuatan serupa. Dalam hal ini, bumi melakukan pembalasan dalam waktu nyaris seketika. Tetapi, sering kali, bumi menunggu sampai puluhan tahun untuk melakukan pembalasan, hingga pihak yang terbalas kadang telah lupa perbuatannya.

Ada orang kaya yang selama puluhan tahun menjalani kehidupan menyenangkan, dengan harta benda yang serba berlimpah, hingga tidak sempat memikirkan bahwa suatu saat akan terjadi masalah. Sampai kemudian dia jatuh sakit, parah, dan menghabiskan seluruh kekayaannya, dan sakitnya tidak juga sembuh. Harta bendanya habis, ludes, tak bersisa, sementara tubuhnya masih terus digerogoti penyakit. (Kisah selengkapnya, baca di sini).

Dalam keadaan sekarat, manusia kadang mulai sadar, lalu teringat... berpuluh tahun lalu dia pernah merampas hak milik orang lain dengan cara tidak benar, hingga menyebabkan orang lain menderita akibat perbuatannya. Karena dia telah merampas milik orang lain, bumi membalas perbuatannya, dengan cara merampas seluruh miliknya—kekayaan, kesehatan, kesenangan, ketenangan. Perbuatan jahat bisa tersembunyi sampai puluhan tahun... tapi bumi adalah pendendam yang berbahaya.

Saat saya menulis catatan ini, ada sesuatu yang sedang menimpa seseorang yang semula cukup aktif di internet. Kita sebut saja X. (Saya tahu kisah ini, karena sekelompok orang membicarakannya di forum).

Selama bertahun-tahun, X melakukan sesuatu yang tercela terkait bisnis yang dijalankannya, tapi dia bisa menutupinya dengan sangat rapi. Sebegitu rapi, hingga jejak-jejak kecurangannya sulit diungkap, karena semuanya terlihat wajar, khususnya di mata orang awam. Alih-alih ketahuan melakukan hal tercela, Si X ini justru terkesan sebagai orang baik, dan orang-orang menghormatinya. Segelintir orang mengetahui praktik tercela yang dilakukan X selama ini, tapi tidak bisa apa-apa, karena kenyataannya X sangat pintar menutupi perbuatannya.

Dia juga dulu aktif di internet, di berbagai media sosial, hingga banyak orang di dunia maya mengenalnya. Di internet, sebagaimana di dunia nyata, dia bertingkah seperti orang baik, bahkan terkesan alim, meski diam-diam terus melakukan kejahatan yang disembunyikan dan dirahasiakannya.

Lalu, suatu hari, sesuatu terjadi. Bukan terungkapnya kejahatan yang dilakukannya, melainkan sesuatu yang lebih berbahaya. Si X menghadapi musibah, yang mungkin tak pernah dibayangkannya. Penyakit, konflik keluarga, anak bermasalah, dan lain-lain, yang semuanya seolah datang serentak dan tiba-tiba. Kekayaannya—yang ia bangun bertahun-tahun—runtuh seketika, harta bendanya lenyap, sementara masalah terus berdatangan. Sejak itu, X tidak lagi punya waktu untuk muncul di dunia maya, karena harus pusing menghadapi hidupnya di dunia nyata.

Sedikit yang ia curi, bumi menagih lebih banyak. Orang-orang mungkin tidak tahu kejahatannya, tapi bumi adalah pendendam paling berbahaya, karena ia selalu tahu dan tak pernah lupa.

....
....

Sering kali, saat melakukan suatu kejahatan, manusia melakukan justifikasi atas diri dan perbuatannya sendiri. Justifikasi adalah proses pembentukan alasan, supaya suatu tindakan (yang sebenarnya tidak benar) menjadi benar—atau terasa benar—untuk dilakukan.

Misalnya, seorang miskin yang mencuri milik orang lain, mungkin bisa berpikir, “Aku miskin, dan aku kesulitan mendapat pekerjaan, sementara aku butuh makan. Apa salahnya kalau aku mencuri sedikit?” Itu bentuk justifikasi yang tampak benar dan terasa benar, meski sebenarnya tetap salah.

Orang miskin yang mencuri karena merasa miskin, sama artinya memanfatkan kondisi kemiskinannya untuk melakukan kejahatan. Itu sama buruk dengan pejabat yang merasa berkuasa, dan memanfaatkan kekuasaannya untuk menindas orang lain. Atau orang cacat yang memanfaatkan kecacatannya, untuk memanipulasi orang lain demi keuntungan pribadi. Sama-sama buruk. Sama-sama kejahatan. Tidak ada yang lebih baik.

Ada sebagian orang yang berpikir, “Jika akhirat tidak ada, lalu siapa yang akan membalas kejahatan dan perbuatan jahat yang pernah dilakukan manusia?”

Terus terang, saya tidak terlalu khawatir. Karena bahkan jika akhirat ternyata tidak ada, sebenarnya manusia tetap akan menerima balasan perbuatannya saat masih hidup. Meski mungkin tidak menyadari, meski mungkin orang-orang lain tidak tahu, meski mungkin balasan yang terjadi sangat samar. Ada banyak balasan yang bisa terjadi... oh, well, teramat sangat banyak! Sebegitu banyak, hingga kebanyakan orang tidak sempat memahami, seolah segala hal dalam hidup tidak saling terkait.

Dalam teori Butterfly Effect, satu kepakan sayap kupu-kupu di New Delhi, bisa mengakibatkan badai di New York. Mungkin terdengar mustahil, tidak mungkin, absurd, tidak masuk akal, dan lain-lain. Tapi para ilmuwan telah membenarkan kenyataan itu, berdasarkan penelitian-penelitian rumit yang mereka lakukan bertahun-tahun. Satu sebab akan menimbulkan akibat. Meski tampak tak saling terkait.

Selama berabad-abad, para filsuf agung dan bijaksana telah memahami adanya daya yang saling terikat dan mengikat antara manusia dan bumi tempat tinggalnya. Bumi akan merefleksikan diri kita, persis seperti cermin berhadapan dengan sosok manusia. Kenyataan itu dikembangkan para pakar psikologi modern, hingga lahir sesuatu yang disebut “hukum tarik menarik” (law of attraction). Belakangan, teori ini populer setelah para motivator sering menyebutnya.

Hukum tarik menarik antara manusia dan bumi tidak sebatas hal-hal positif, tapi juga negatif. Tidak hanya sebatas hal-hal dalam pikiran, tapi juga pada yang kita lakukan dalam bentuk perbuatan. Apa yang kita pikirkan, itulah yang akan kita terima. Apa yang kita kerjakan, itulah yang akan kita dapat. Apa yang kita lakukan, itulah yang akan kita lihat. Apa yang kita tanam, itulah yang akan kita tuai. Terlepas manusia percaya atau tidak, hukum ini terus bekerja dan akan terus bekerja.

Seseorang mungkin merasa beruntung karena bisa mencuri tanpa ketahuan. Tapi kemudian dia menghadapi masalah yang mengharuskannya kehilangan sesuatu yang telah ia curi, bahkan jauh lebih besar. Mungkin penyakit, mungkin musibah, mungkin masalah, mungkin apa pun. Sedikit yang ia curi, bumi menuntut pengembalian lebih besar. Selalu begitu.

Seseorang mungkin merasa tidak apa-apa berbohong dan memanipulasi orang lain demi keuntungan pribadi. Menipu sambil mengatakan “membantu” terdengar baik dilakukan. Atau mencuri sambil mengatakan “berbagi” juga kedengarannya baik-baik saja. Tapi kemudian dia menghadapi petaka yang mengharuskannya menderita. Mungkin kehilangan harta benda, sakit parah, kecelakaan, anak bermasalah, dipecat dari pekerjaan, atau apa pun. Sedikit yang ia curi, bumi menuntut pengembalian lebih besar. Selalu begitu.

Jika kepakan sayap kupu-kupu saja bisa menimbulkan badai, apalagi kepakan sayap rajawali? Jika hal-hal kecil saja bisa berdampak besar, apalagi sesuatu yang jelas-jelas besar? Jika kejahatan kecil yang terasa benar saja bisa mendatangkan petaka dan penderitaan, apalagi kejahatan yang jelas-jelas kejahatan?

Sebagaimana biji mangga yang kecil bisa menumbuhkan pohon mangga yang sangat besar, begitulah bumi mengembalikan yang kita lakukan dalam bentuk balasan. Kadang lama... sangat lama... sampai kita lupa. Tetapi, sayangnya, bumi adalah pendendam yang tak pernah lupa. Kepada kebaikan, pun kepada kejahatan.

Siapa pun yang menyadari kenyataan ini, tidak akan punya waktu mengurusi perbuatan orang lain, karena akan terlalu sibuk memikirkan dan mengingat dan introspeksi diri sendiri. Siapa pun yang menyadari hukum bumi, tidak akan mengambil apa pun yang bukan miliknya, tidak akan mencuri sambil berusaha membenarkan diri, tidak akan memanipulasi orang lain demi keuntungan pribadi, tidak akan melakukan apa pun tanpa hati-hati.

Karena bahkan umpama akhirat tidak ada, bumi selalu tahu cara membalas perbuatan manusia. Dengan balasan lebih besar, untuk setiap kebaikan ataupun kejahatan. Bumi adalah pendendam... dan ia pendendam yang tak pernah lupa. Dan hukum yang ia jalankan berlangsung dalam sunyi, tanpa ribut-ribut, tanpa suara.

 
;