Kamis, 09 Juni 2016

Urusan Paha

Godaan terbesar di mall bukan big sale
atau diskon, tapi... yang putih-putih.
@noffret


Tukul Arwana pernah mengaku, dia sangat suka kaki yang indah. Kaki yang dia maksud tentu kaki wanita. Orlando Bloom juga pernah terang-terangan mengatakan, dia sangat menyukai lengan yang indah. Lagi-lagi, lengan yang dia maksud tentu lengan wanita. Dan saya? Oh, well, terus terang, saya menyukai paha yang indah. Dan, kita tahu, paha yang saya maksud tentu paha wanita.

Itu kecenderungan-kecenderungan umum yang biasa dirasakan lelaki heteroseksual terhadap lawan jenis. Hampir bisa dipastikan, setiap lelaki yang menyukai lawan jenis memiliki kecenderungan tertentu terhadap bagian tubuh lawan jenis, dan itu wajar. Sebagaimana Tukul Arwana menyukai kaki wanita, Orlando Bloom menyukai lengan wanita, dan saya menyukai paha wanita, lelaki lain juga begitu. Tinggal mereka mau mengakui secara jujur atau tidak. Tetapi, lagi-lagi, itu bukan masalah, karena wajar dan alamiah.

Wanita pun sebenarnya begitu—mereka memiliki kecenderungan tertentu pada bagian tubuh lawan jenis, diakui atau tidak. Jadi, ketertarikan atau kecenderungan seseorang—laki-laki maupun perempuan—terhadap tubuh lawan jenis adalah sesuatu yang normal dan alamiah. Kenyataan itu tak jauh beda dengan kenyataan lain yang biasa dialami manusia, seperti kecenderungan pada makanan enak, kecenderungan pada benda yang indah, dan lain-lain.

Kembali ke paha.

Sebagai lelaki yang menyukai lawan jenis, saya tentu menyukai semua yang ada pada tubuh wanita, dan tidak ada yang bisa menyalahkan saya atas hal itu. Saya lelaki normal, dalam arti menyukai lawan jenis, dan tubuh saya dilengkapi impuls-impuls ketertarikan kepada wanita. Dan paha, di mata saya, adalah bagian tubuh wanita yang sering kali menyedot perhatian secara paksa.

Kadang, saat jalan-jalan di swalayan, tanpa sengaja saya mendapati seorang atau beberapa orang wanita sedang duduk-duduk—biasanya di dekat konter—dan mereka memakai rok mini di atas lutut, hingga memamerkan sepasang paha yang putih mulus. Setiap kali melihat pemandangan putih-putih semacam itu, perhatian saya biasanya tersedot, meski hanya beberapa detik. Dan, selama beberapa detik itu, saya berpikir, “Wanita yang kulitnya putih mulus gitu tuh mandinya pakai apa, ya?”

Mungkin pikiran saya tidak ilmiah. Tapi pemandangan indah semacam itu kadang bisa membuat lelaki kehilangan akal sehat, meski sejenak. Seperti saya. Tetapi, kemudian, saat memalingkan mata dan meninggalkan pemandangan indah itu, saya pun kembali bisa mengendalikan pikiran waras. Meski sejujurnya saya ingin kembali menatap pemandangan tadi.

Well, ada beberapa hal penting yang terjadi ketika saya—tanpa sengaja—melihat sepasang paha, seperti kasus di swalayan tadi. Beberapa hal ini begitu penting, hingga layak kita pikirkan secara ilmiah dan akademis.

Pertama, saya tidak datang ke swalayan untuk tujuan melihat paha. Sepasang paha indah itu terpapar ke mata saya tanpa sengaja, tanpa saya inginkan, dan wanita pemilik paha itu pun tentunya tidak bermaksud menyuguhkan keindahan pahanya untuk saya. Fakta bahwa saya kemudian sempat melihat keindahan sepasang paha miliknya, well, itu accident.

Kedua, sebagai lelaki, saya menyadari diri saya tertarik pada lawan jenis, termasuk memiliki kecenderungan terhadap tubuh lawan jenis. Kesadaran itu menjadikan saya “tidak kaget” ketika perhatian saya tiba-tiba tertarik pada bagian tubuh wanita—dalam hal ini paha—yang tanpa sengaja saya lihat.

Kalau kemudian wanita pemilik paha itu sempat menangkap tatapan saya terhadap pahanya, saya berharap dia memaklumi hal tersebut, dan juga “tidak kaget”. Wong nyatanya dia memakai rok mini yang memamerkan pahanya yang indah. Sebagai lelaki, tentu wajar kalau saya sempat menatap, meski hanya beberapa detik.

Ketiga, sebagai manusia waras, saya menyadari bahwa sepasang paha yang saya saksikan itu bukan milik saya, tapi milik si wanita. Artinya, meski saya tertarik luar biasa terhadap pahanya, saya tidak punya hak untuk... well, melanggar kepemilikannya. Maksud saya, meski sangat tertarik, saya toh tidak bisa apa-apa, karena itu bukan milik saya.

Tak jauh beda kalau kebetulan saya melihat motor atau mobil yang sangat menarik perhatian. Di banyak tempat, sering saya mendapati mobil atau motor yang sangat saya sukai sedang diparkir pemiliknya, dan saya pun—tanpa bisa ditahan—memperhatikan dengan ketakjuban. Tetapi, tak jauh beda saat melihat sepasang paha indah, saya pun menyadari bahwa mobil atau motor yang saya saksikan bukan milik saya—itu milik orang lain. Dengan kata lain, saya tidak punya hak untuk melanggar hak kepemilikan orang lain.

Tak peduli setertarik apa pun, saya selalu berusaha menahan diri, dan menyadari, bahwa mobil, motor, atau paha, yang saya saksikan, bukan milik saya. Karena kesadaran itu, saya pun memahami bahwa saya tidak berhak menyentuh apalagi merampas kendaraan milik orang lain dengan alasan tertarik. Pasti lucu dan bangsat kalau misalnya saya mencuri mobil seseorang, lalu ditanya hakim di pengadilan, “Kenapa Anda mencuri mobil orang lain?”

Dan saya, dengan lucu campur bangsat, menjawab, “Karena mobilnya sangat menggoda, Pak Hakim, jadi saya tergoda untuk mencurinya.”

Begitu pula dengan paha. Setiap kali melihat sepasang paha indah, akal sehat saya—meski hanya beberapa detik—hilang. Dan saya tiba-tiba ingin... well, menjerumuskan diri ke dalamnya. Tetapi saya tentu tidak bisa melakukan itu, karena menyadari tidak punya hak.

Keempat, saya menyadari bahwa wanita pemilik paha yang saya saksikan berhak memperlakukan miliknya sesuai selera. Wanita pemilik paha itu punya hak untuk menutupi pahanya secara rapat, dengan berbagai sebab dan alasan, juga punya hak untuk membukanya hingga menggoda, dengan berbagai sebab dan alasan. Wong itu miliknya, tentu dia berhak dan bebas memperlakukan miliknya seperti apa pun. Persoalan para lelaki kemudian hilang akal saat melihat pahanya, itu urusan lain.

Sama saja umpama saya punya mobil sport dengan tampilan mewah. Saya memiliki mobil itu secara sah, dan mobil itu benar-benar milik saya. Sebagai pemilik mobil, saya tentu punya hak untuk membawanya ke mana saja, tergantung keperluan. Saya bisa membawanya ke tempat ibadah, ke tempat hiburan, atau untuk belanja ke swalayan. Bebas, wong itu mobil saya, kok. Kalau kemudian orang lain ngiler melihat mobil saya, itu urusan lain.

Kalau kemudian ada keparat yang tak tahan melihat mobil saya, lalu mencongkel pintunya untuk dibawa pergi, maka saya akan menuntutnya. Oh, well, yang dia lakukan kejahatan, siapa pun tahu!

Begitu pun, kalau saya tidak tahan melihat paha yang indah, lalu mencoba merampasnya—melanggar hak kepemilikan si wanita—tentu wajar kalau saya dianggap bersalah. Saya juga tidak akan menyalahkan si wanita kalau dia menuntut saya, karena yang saya lakukan memang kejahatan, yaitu melanggar hak miliknya.

Orang tidak bisa memaksa siapa pun menyembunyikan mobil mewah hanya karena dianggap menggoda, sebagaimana orang tidak bisa memaksa wanita untuk menyembunyikan pahanya karena dianggap menggoda. Yang jadi persoalan penting di sini bukan mobil mewah atau paha yang indah, melainkan bagaimana respons sehat—didasari akal waras—terhadap apa yang kita lihat.

Jika seseorang mencuri mobil dengan alasan mobil itu menggoda, siapakah yang salah? Wujud mobil, ataukah si pencuri? Orang waras mana pun tahu jawabannya. Begitu pun, kalau seseorang melanggar hak milik tubuh wanita dengan alasan itu menggoda, siapakah yang salah? Si wanita, ataukah yang merampas hak milik tubuhnya? Sekali lagi, orang waras mana pun tahu jawabannya.

Tak peduli secinta apa pun pada kaki wanita, sampai saat ini Tukul Arwana tidak pernah terdengar melanggar hak kepemilikan kaki wanita mana pun. Tak peduli secinta apa pun pada lengan wanita, sampai saat ini Orlando Bloom tidak pernah terdengar melanggar hak kepemilikan lengan wanita mana pun. Itu contoh mudah kesadaran dan pengendalian diri dalam menyadari bahwa orang tidak bisa seenaknya melanggar hak milik orang lain, hanya karena alasan suka atau tergoda.

Yang masih jadi masalah, beberapa orang kadang tidak memiliki kesadaran dan pengendalian diri yang baik, hingga kehilangan akal sehat gara-gara tergoda. Dalam hal ini, saya teringat adik saya.

Adik saya bekerja di luar kota, dan kadang-kadang pulang saat tanggal merah atau libur panjang. Untuk urusan pulang dan pergi itu, dia biasa menunggu bus di terminal, dan—selama menunggu—dia biasa bermain-main ponselnya yang mahal. Suatu waktu, nyokap pernah menasihati adik saya, “Kalau berada di tempat-tempat yang rawan, sebaiknya simpan saja ponselmu, karena bisa mengundang kejahatan.”

Meski nasihat itu ditujukan untuk adik saya, tapi saya ikut mendengarkan, dan—diam-diam—saya mengikuti nasihat tersebut. Saat berada di tempat-tempat rawan yang memungkinkan kejahatan terjadi, saya menyimpan barang-barang yang mungkin dapat menggoda orang lain. Meski saya menyadari barang-barang itu milik saya sepenuhnya, tetapi saya tidak ingin memberi kesempatan orang lain untuk menjadi penjahat. Karena, sebagaimana yang sering kita dengar, kejahatan terjadi bukan sekadar karena adanya niat, tapi juga kesempatan.

 
;