Selasa, 14 Juni 2016

Yang Tersendiri

Hanya sunyi yang tak pernah melukai.
@noffret


“Sekarang aku bisa menjalani kehidupan dengan caraku sendiri.” Bian mengatakan kalimat itu, saat kami duduk di teras rumahnya yang sunyi.

Semula, Bian tinggal di sebuah komplek perumahan tradisional, dan merasa tidak cocok dengan lingkungannya. Suatu hari, dia mendengar sebuah lokasi baru dibuka untuk dijadikan komplek hunian. Bian mendatangi lokasi tersebut, diberitahu bahwa di lokasi itu hanya akan ada sedikit rumah, dan seketika Bian tertarik. Dia memesan satu rumah, dan setengah tahun kemudian rumah itu pun selesai dibangun.

Malam itu, saya duduk bersama Bian di teras rumahnya yang baru. Suasana di tempat itu benar-benar sunyi. Tidak ada suara-suara yang biasa muncul di komplek perumahan tradisional—tidak ada suara TOA, tidak ada suara anak-anak berteriak, tidak ada suara kendaraan, bahkan bisa dibilang tidak ada suara manusia. Sunyi.

“Ini kehidupan ideal seperti yang kubayangkan,” ujar Bian mengomentari suasana tempat tinggalnya yang baru.

Saya mengangguk. Memahami.

Masalah umum yang dihadapi orang-orang yang otaknya sangat berkembang adalah ketimpangan dalam kemampuan sosial. Bian pun menghadapi hal itu. Dalam urusan pekerjaan, dia sering dipuji sebagai pemikir dan perencana yang sangat hebat. Berikan suatu tugas untuknya, yang membutuhkan pemikiran dan perencanaan, dan Bian akan menyelesaikannya dengan solusi terencana yang menakjubkan. Dalam urusan pekerjaan otak, dia benar-benar hebat.

Tetapi, dalam urusan sosial, kemampuan Bian bisa dibilang nol. Dia tidak bisa bersosialisasi, tidak mampu menjalin hubungan, dan benar-benar gagap jika diminta berbasa-basi dengan orang lain. Karena ketidakmampuan dalam urusan sosial itu pula, Bian bisa dibilang tidak memiliki teman. Jumlah temannya hanya segelintir, dan terbatas pada mereka yang benar-benar bisa memahami Bian seutuhnya.

Sebagai pribadi, Bian adalah orang yang lurus. Dalam arti, dia tidak suka mengganggu atau mengusik orang lain, tidak ingin bermasalah dengan orang lain, dan dia menjalani hidup dengan baik. Jika dia berjanji, dia akan menepati. Jika dia menceritakan apa pun, bisa dipastikan ceritanya jujur. Jika dia mengatakan bisa, dia benar-benar bisa. Sebaliknya, jika mengatakan tidak bisa, dia benar-benar tidak bisa, dan tidak bisa dipaksa dengan cara apa pun, karena kenyataannya memang tidak bisa.

Lurusnya kepribadian itu menjadikan Bian sebagai orang baik, bahkan benar-benar baik. Tetapi, dalam kehidupan sosial atau antarmanusia, sosok Bian sering dinilai kaku, bahkan egois. Kenyataannya, Bian memang cenderung kaku, dan jauh dari kesan luwes. Saya memahami sepenuhnya, kenyataan itu dipengaruhi oleh perkembangan otaknya yang sangat pesat, sementara kemampuan sosial di dalam dirinya tidak mampu mengimbangi. Yang menjadi persoalan, tidak setiap orang bisa memahami hal tersebut.

Jika diilustrasikan secara mudah, pada diri masing-masing manusia ada dua bagan. Bagan pertama adalah bagian intelektual (berhubungan dengan kecerdasan dan semacamnya), sementara bagan kedua adalah bagian sosial (berhubungan dengan kemampuan sosial dan semacamnya). Jika satu bagan berkembang sangat pesat (entah bagan intelektual atau bagan sosial), maka satu bagan lainnya akan kesulitan untuk mengimbangi. Itu masalah klasik manusia sejak zaman dahulu kala.

Kebanyakan orang tumbuh dengan dua bagan yang berkembang seimbang—kemampuan intelektualnya tumbuh seiring kemampuan sosial. Atau kemampuan sosialnya terus meningkat seiring kemampuan intelektual. Kebanyakan orang di lingkungan kita semacam itu, sehingga mereka dapat berpikir dengan relatif baik, dan dapat bersosialisasi dengan relatif baik pula. Bisa dibilang, orang-orang itu tidak terlalu menghadapi banyak masalah.

Tetapi, ada segelintir orang yang mengalami perkembangan pesat pada satu bagan (umumnya bagan intelektual). Sebegitu pesat perkembangan yang terjadi, hingga bagan sosial di dalam dirinya tidak mampu mengimbangi. Akibatnya, orang-orang itu memiliki kemampuan berpikir atau intelektual yang sangat hebat, tetapi tidak tahu cara bersosialisasi atau berhubungan dengan orang lain. Bian adalah salah satu orang yang mengalami hal tersebut.

Karena memiliki kemampuan intelektual yang sangat tinggi, dia pun menjalani kehidupan dengan baik, lurus, dan disiplin. Tetapi kecenderungannya yang semacam itu menjadikan Bian dicap kaku oleh orang lain, hingga banyak orang yang lebih memilih untuk tidak berhubungan dengannya.

Sebagai contoh, Bian selalu berusaha menepati janji. Jika dia mengatakan akan datang besok sore ke rumah saya, maka dia akan datang, apa pun yang terjadi. Jika ternyata dia benar-benar tidak bisa datang—karena alasan yang benar-benar kuat—dia akan mengabari saya, dan menyatakan terpaksa membatalkan janji. (Berkaitan dengan saya, sampai saat ini Bian belum pernah melanggar satu janji pun. Semua janji yang pernah diucapkannya benar-benar ditepati).

Jika dilihat dari sisi tersebut, kita tentu mengagumi Bian, karena dia sosok yang terpuji, yang bisa dipercaya dalam urusan janji. Kenyataannya, saya pun memuji Bian sebagai orang yang benar-benar bisa dipercaya. Tetapi... Bian menginginkan semua orang juga seperti dirinya. Artinya, jika orang lain mengucap janji kepadanya, Bian mengharapkan orang itu benar-benar menepatinya. Bian bisa marah jika seseorang ingkar janji kepadanya—misal berkata akan datang ke rumahnya nanti malam, tapi ternyata tidak datang.

Saya sering mendengar orang berkata, “Sebaiknya tidak usah janji apa pun dengan Bian.” Mereka yang ketakutan membuat janji dengan Bian umumnya memang orang-orang yang tidak terlalu bisa dipercaya—tipe yang mudah mengucap janji, lalu mengingkari tanpa merasa bersalah. Dalam hal ini, saya justru senang berurusan janji dengan Bian, karena saya tahu ucapan atau janjinya benar-benar bisa dipegang.

Sebenarnya, Bian tidak mempermasalahkan orang tidak menepati janji, asal memberitahukan hal tersebut baik-baik. Misal ada keperluan mendadak, dan lain-lain. Jika alasannya masuk akal, Bian pun tidak mempermasalahkan. Yang jadi masalah, kenyataannya banyak orang yang memang mudah mbacot macam-macam, tapi tidak punya tanggung jawab pada bacotannya. Janji akan datang, tapi tidak datang, dan tidak merasa bersalah. Bagi orang lain, mungkin itu hal biasa. Bagi Bian, itu kesalahan.

Itu contoh mudah untuk mengilustrasikan bagaimana Bian menjalani kehidupannya. Dia orang lurus, benar-benar lurus. Dia orang baik yang bisa dipercaya. Tetapi, ternyata, kebanyakan orang justru ketakutan saat berurusan dengan orang semacam itu. Jadi, di luar urusan kerja, bisa dibilang Bian tidak memiliki teman. Karena orang-orang yang mengenalnya bisa dibilang menjaga jarak dengannya. Ironis, kalau dipikir-pikir, mengingat Bian dijauhi bukan karena dia jahat, tapi justru karena dia sangat baik.

Di antara segelintir orang yang berteman dengan Bian, saya salah satunya. Saya merasa bisa memahami Bian seutuhnya—kecenderungan hidupnya yang kaku, ketidakmampuan dalam bersosialisasi, ketertiban dan keteraturan dalam melakukan apa pun—saya merasa senasib dengannya.

“Sebenarnya, aku tidak suka macam-macam,” ujar Bian. “Aku hanya ingin menjalani kehidupan dengan baik, lurus, teratur. Jika orang lain bisa mengikuti cara hidupku, mari berteman. Tetapi kalau tidak bisa, aku juga tidak butuh mereka.”

Kecenderungan sikap semacam itu juga diterapkan Bian dalam lingkungan hidupnya. Seperti yang disinggung di atas, semula Bian tinggal di komplek perumahan tradisional. Beberapa tahun sebelumnya, dia membeli rumah yang kebetulan dijual pemiliknya, lalu menempati rumah tersebut. Karena komplek tradisional, kehidupan di sana pun bisa dibilang tradisional—semua penduduk saling kenal, orang-orang saling bersosialisasi, dan lain-lain.

Bian jarang keluar rumah, karena tidak bisa bersosialisasi. Meski begitu, jika diundang acara ke rumah tetangga—misal ada tasyakuran, perkawinan, atau lain-lain—dia selalu datang. Memenuhi undangan, bagi Bian, adalah kewajiban. Tetapi, di luar itu, Bian tidak tahu apa yang harus dilakukan dengan tetangga-tetangganya, karena kemampuan sosialnya yang sangat rendah.

Kenyataan itu bertolak belakang dengan kebiasaan masyarakat di sana yang bisa dibilang senang bersosialisasi, mengobrol dengan sesama tetangga, atau setidaknya duduk-duduk di depan rumah dan berbasa-basi dengan siapa pun yang lewat.

Sebenarnya, Bian tidak mempermasalahkan hal itu. Tetapi orang-orang di sana yang mempermasalahkan Bian. Karena tidak bisa bersosialisasi, Bian jarang terlihat keluar rumah. Hal itu memunculkan anggapan kalau Bian tidak mau bersosialisasi dengan tetangga. Padahal, Bian benar-benar tidak bisa, bukan tidak mau. Yang jadi masalah, kebanyakan orang—masyarakat—lebih tahu cara menghakimi daripada berusaha memahami.

Karena kenyataan itu pulalah, akhirnya Bian memutuskan untuk meninggalkan rumahnya yang lama, dan pindah ke rumah baru yang kini ditempatinya. Di rumahnya yang baru, sebagaimana yang dikatakannya, “Sekarang aku bisa menjalani kehidupan dengan caraku sendiri.”

“Kehidupan dengan caraku sendiri”—dalam maksud Bian—adalah hidup dengan baik, lurus, tertib, teratur, dan tidak mengusik orang lain, selama orang lain menjalani hidupnya sendiri dengan baik. Sebenarnya, itu pola pikir dan gaya hidup yang sederhana. Yaitu hidup dengan baik tanpa mengusik atau mengganggu orang lain, selama orang lain juga menjalani hidup dengan baik serta tidak mengganggu. Sederhana, sangat sederhana.

Ironisnya, setidaknya dalam kasus Bian, kebanyakan orang tidak bisa hidup dengan cara itu. Kebanyakan orang rupanya lebih tahu cara menilai kehidupan orang lain daripada kehidupannya sendiri. Kebanyakan orang tampaknya lebih suka berjanji lalu ingkar, daripada berusaha menepati. Kebanyakan orang sepertinya lebih tahu cara mengurusi orang lain daripada mengurusi diri sendiri.

Bian adalah contoh orang yang dianggap salah oleh lingkungan—bukan karena dia buruk, tapi justru karena dia berusaha menjalani hidup dengan baik. Bian adalah contoh sosok yang dijauhi orang-orang—bukan karena dia tidak bisa menepati janji, tapi justru karena sangat hati-hati dalam berjanji, sehingga selalu menepati. Bian adalah contoh orang yang tidak punya kawan—bukan karena dia jahat, tapi justru karena dia istimewa.

Ironis, kalau dipikir-pikir... Oh, well, ironis sungguh ironis.

 
;