Senin, 25 Juli 2016

Ikutilah Kata Hatimu

Ada dua pilihan bagi setiap orang.
Menjalani hidup tanpa tujuan, atau bersedia mati
dengan tujuan. Aku memilih yang kedua.
@noffret


Siwon pernah janjian dengan Leeteuk dan Eunhyuk untuk berkumpul di sebuah taman. Pada waktu yang dijanjikan, Siwon datang ke taman itu mengendarai sepeda, dan dia sampai terlebih dulu. Tetapi, waktu itu, Siwon berpikir Leeteuk dan Eunhyuk sudah sampai di sana, karena melihat mobil milik Leeteuk. Ia mengira dua temannya masih menunggu di dalam mobil.

Siwon pun turun dari sepeda, lalu—dengan pede—menari-nari di depan mobil tersebut, dengan maksud membuat lelucon untuk dua temannya. Setelah cukup lama menari-nari, dua teman Siwon tidak juga keluar dari mobil. Biasanya mereka akan muncul sambil cekikikan, pikir Siwon. Karena Leeteuk dan Eunhyuk tidak juga keluar dari mobil, Siwon pun berteriak, “Hyung (Kakak), cepat keluar. Apa tarianku kurang seksi?”

Karena teman-temannya tidak juga keluar, Siwon kesal. Dia menghampiri mobil, dan mengetuk kacanya. Saat jendela mobil terbuka, ternyata yang di dalam mobil adalah wanita yang tidak dia kenal. Karena sangat malu, Siwon segera mengambil sepedanya dan pergi dari tempat itu.

Siwon yang ada di cerita itu adalah Siwon yang juga kalian kenal—anggota Super Junior yang populer di seluruh dunia, termasuk Leeteuk dan Eunhyuk. Siwon disebut-sebut sebagai salah satu lelaki sempurna di dunia, karena bisa dibilang memiliki semua kualitas unggul seorang manusia.

Secara fisik, dia sangat menarik. Wajahnya manis, dan tubuhnya atletis. Untuk membentuk tubuhnya seperti sekarang, Siwon menghabiskan waktu 4 tahun di bawah bimbingan pelatih gym. Siwon juga lulusan Inha University, salah satu universitas terbaik dan termahal di Korea Selatan. Karenanya, secara otak, Siwon tidak perlu diragukan. Dia juga memiliki kepribadian menyenangkan, ramah kepada siapa pun. Meski sikapnya sangat halus, dan tutur katanya sangat lembut, Siwon adalah pemegang sabuk hitam taekwondo.

Siwon juga sangat taat beragama. Ketika Cina dilanda gempa pada 2014, Siwon berada di Korea Selatan bersama teman-teman seasrama, sesama anggota Super Junior. Teman-temannya mendapati Siwon setiap hari menangis sendirian dengan sikap khusyuk. Ketika ditanya mengapa menangis sendirian, Siwon mengatakan dia sedang menangisi dan mendoakan saudara-saudaranya di Cina yang sedang tertimpa musibah. Bayangkan sehalus apa budi pekerti cowok ini.

Popularitas? Oh, memangnya siapa yang tidak mengenal Siwon? Kekayaan? Dia salah satu bocah terkaya di Korea Selatan! Bukan hanya dirinya, bahkan keluarganya pun salah satu konglomerat paling dihormati di Korea.

Jadi, bisa dibilang, kita sulit untuk mencari kekurangan atau kelemahan cowok ini, karena nyatanya dia memiliki semua keunggulan—terkait keluarga maupun pribadinya. Tampaknya, dia benar-benar merepresentasikan namanya, “Siwon”. Dalam bahasa Korea, “Siwon” memiliki arti kesempurnaan dan kebaikan, semangat, berpengetahuan, indah, dan suci.

Tetapi, yang membuat saya tertarik menulis tentang Siwon bukan karena semua itu. Saya tertarik menulis tentangnya, karena sesuatu yang tidak pernah dilihat siapa pun... sesuatu yang tersembunyi di balik sosoknya yang sempurna.

Ayah Siwon bernama Choi Ki Ho, yang menjabat sebagai presiden direktur perusahaan Korean Slim Fashion, CEO Boryung Medience, serta menjadi pemilik Hyundai Department Store. Itu adalah jaringan supermarket terbesar di Korea Selatan, yang memiliki 14 cabang di penjuru negara, dengan masing-masing mal terdiri dari 6-7 lantai. Setiap tahun, Hyundai Department Store memperoleh keuntungan sekitar US$542 juta atau sekitar 6 triliun rupiah.

Karena kenyataan itu, keluarga Siwon terkenal sebagai chaebol (istilah yang merujuk keluarga konglomerat di Korea). Selain memimpin dan mengendalikan perusahaan-perusahaan raksasa, ayah Siwon juga menjadi dosen luar biasa di Sungkonghae University, salah satu perguruan tinggi bergengsi di Korea Selatan. Sementara itu, ibu Siwon juga seorang aktivis pendidikan yang dihormati.

Jadi, kita lihat, Siwon lahir dan tumbuh di sebuah keluarga yang sangat kaya, yang memungkinkan dirinya untuk menjalani kehidupan hedonis seperti umumnya anak-anak miliuner lain di dunia—naik mobil sport, memikat cewek-cewek, mabuk semalaman, atau bahkan mencoba narkoba. Tapi apakah itu yang dilakukan Siwon? Tidak! Alih-alih memanfaatkan kekayaan orangtuanya yang luar biasa, Siwon justru menjalani kehidupan yang bisa dibilang sangat... sangat biasa.

Pada waktu SMA, Siwon pernah melamar kerja di sebuah pom bensin. Waktu itu, dia bermaksud menggunakan waktu luangnya sepulang sekolah untuk belajar mencari uang sendiri, dengan bekerja di pom bensin. Petugas yang menerima Siwon waktu itu tidak mengenali Siwon sebagai anak konglomerat terkaya di Korea, dan Siwon nyaris diterima bekerja di tempat itu. Tetapi, kebetulan, ayahnya melihat.

Waktu itu, sang ayah sedang mengisi bensin di pom tersebut. Dia duduk di jok belakang mobil, sementara sopirnya telah turun untuk mengisi bensin. Saat sedang memperhatikan lingkungan pom itu, ayah Siwon melihat anaknya sedang berdiri dan bercakap-cakap dengan seseorang, dan sang ayah curiga. Jadi, dia turun dari mobil, dan segera mendekati Siwon.

“Apa yang kaulakukan di sini?” tanya sang ayah dengan heran.

Siwon terkejut setengah mati mendapati ayahnya tiba-tiba muncul. Dengan jujur, Siwon menjawab dia bermaksud melamar kerja di sana. Sang ayah segera menariknya ke mobil, lalu mengomel sepanjang perjalanan. Bagaimana bisa anak konglomerat paling kaya di Korea bersusah-payah mencari kerja di pom bensin, pikir ayah Siwon dengan jengkel.

Sebenarnya, Siwon menyadari posisinya sebagai anak orang kaya-raya. Tetapi, jauh di lubuk hati, dia tidak menikmati keadaan tersebut. Ia tahu, kelak ayahnya akan memintanya meneruskan perusahaan keluarga, dan itu artinya Siwon harus menjadi pengusaha seperti ayahnya. Siwon tidak menginginkan itu. Dia memiliki impian lain, yang jauh dari dunia ayahnya, dan dia tidak ingin terikat dengan bisnis keluarga.

Waktu itu, dengan pikirannya yang lugu, Siwon bermaksud belajar mandiri, dengan bekerja di mana pun, agar dia punya alasan untuk menolak saat sang ayah memintanya bergabung dengan perusahaan keluarga. Lamarannya ke pom bensin dimaksudkan untuk itu. Siwon ingin dikenali sebagai dirinya sendiri, bukan sebagai anak ayahnya, bukan sebagai putra konglomerat. Bagi Siwon, lebih baik orang mengenalnya sebagai “Siwon petugas pom bensin” daripada dikenal sebagai “Siwon anak konglomerat”.

Berminggu-minggu setelah kejadian di pom bensin itu, sesuatu terjadi dalam hidup Siwon. Sepulang sekolah, dia berdiri di depan gerbang, menunggu temannya. Kebetulan, waktu itu, ada orang S.M. Entertaiment yang melihatnya. (S.M. Entertaiment adalah perusahaan hiburan terbesar di Korea Selatan, yang melahirkan group-group semacam EXO, Super Junior, SNSD, dan lain-lain.)

Saat itu, S.M. Entertaiment sedang bermaksud membentuk Super Junior, dan mereka tengah mencari cowok-cowok yang bisa dimasukkan sebagai anggota. Ketika melihat Siwon berdiri di gerbang sekolah, orang S.M. Entertaiment langsung tertarik. Maka dia pun menemui Siwon, dan menawari audisi. Siwon bersedia, dan—singkat cerita—dia lulus audisi, hingga bergabung dengan Super Junior. Dan selanjutnya adalah sejarah.

Orang pertama yang menentang keputusan Siwon terjun ke dunia entertainment adalah ayahnya. Ketika pertama kali mengetahui Siwon bergabung dengan Super Junior, ayahnya murka. Tepat seperti yang dibayangkan Siwon, ayahnya bermaksud memintanya meneruskan perusahaan keluarga. Tapi ayah Siwon tidak menyadari, bukan itu yang diinginkan anaknya. Siwon sama sekali tidak mengharapkan perusahaan keluarga, dia ingin menjadi dirinya sendiri, dan membangun hidupnya sendiri.

Pertentangan itu tidak segera berakhir. Sampai cukup lama, hubungan Siwon dengan ayahnya bisa dibilang tidak membaik. Saat mengikuti training Super Junior, Siwon harus meninggalkan rumah sampai beberapa tahun. Saat ia akhirnya pulang, ibu dan kakaknya menyambut dengan pelukan, sementara ayahnya hanya mengangguk dingin. Hubungan mereka masih buruk.

Karena hal itu pulalah, Siwon bisa dibilang tampak “paling miskin” di antara teman-temannya saat awal bergabung di Super Junior. Ayahnya tidak mau memfasilitasi apa pun, karena dia tidak setuju Siwon masuk dunia entertainment. Jadi, sementara teman-temannya di Super Junior biasa mengendarai mobil yang diberi keluarga mereka, Siwon ke mana-mana naik sepeda, sebagaimana kisah yang saya ceritakan di awal catatan ini.

Tapi Siwon telah menguatkan tekad. Dia telah menemukan jalan hidupnya, dan dia telah menjatuhkan pilihan. Dia akan terus mengikuti pilihannya, kata hatinya, dan tidak akan membiarkan siapa pun menghalangi. Jadi, Siwon terus aktif di Super Junior, dan dari waktu ke waktu group itu makin meraksasa, dan makin terkenal di dunia.

Seiring dengan itu, perlahan-lahan, sikap ayah Siwon mulai melunak. Mungkin, ayah Siwon mulai menyadari, bahwa anaknya berhak menentukan jalan hidup sendiri. Dan menyaksikan Siwon berhasil mandiri tanpa bantuannya sama sekali, ayah Siwon pun akhirnya mengakui anaknya layak didukung. Jika seluruh dunia memuja anaknya, kenapa ayahnya sendiri tidak mampu melakukan hal yang sama?

Suatu hari, ayah Siwon terlihat mendatangi konser Super Junior, dan kejadian itu menjadi peristiwa penting dalam hidup Siwon. Seusai konser, Siwon berlari ke belakang panggung, dan terisak. Sejak itu, kapan pun Siwon ditanya konser Super Junior manakah yang menurutnya terbaik, Siwon menjawab, “Yang dihadiri ayahku.”

Dalam sebuah wawancara, Siwon pernah ditanya, apa yang akan dilakukannya jika kelak Super Junior bubar? Siwon menjawab, “Aku akan tetap di dunia entertainment.” Saat ditanya, apa yang akan dilakukannya sepuluh tahun mendatang, Siwon memberi jawaban serupa. Dia telah menemukan jalan hidupnya, dan dia telah memilih takdirnya. Kini, dunia mengenalnya sebagai Siwon—sebagai dirinya sendiri—bukan sebagai apa pun yang terkait kekayaan keluarganya.

Salah satu anggota Super Junior adalah Eunhyuk, dan dia memiliki kakak perempuan yang sangat disayanginya, bernama Lee Sora. Dalam acara di Delicious TV, Eunhyuk secara terbuka mengatakan ingin mengenalkan Siwon dengan kakak perempuannya. Eunhyuk mengatakan, “Aku percaya, jika ada lelaki yang bisa memberikan kehidupan terbaik untuk kakak perempuanku, lelaki itu adalah Siwon.”

Bagi Siwon, itu pujian terbaik yang pernah didengarnya.

Sayur Lodeh dan Masalah Wanita Modern

Kangen sayur lodeh. Kangen sekangen-kangennya.
—Twitter, 28 Februari 2016

Aku akan menikah jika kutemukan wanita bijaksana yang bisa membuat
nasi keras, sayur lodeh yang nikmat, dan tempe goreng yang enak.
—Twitter, 28 Februari 2016

Setiap kali menyaksikan wanita mempesona, aku sering berpikir,
“Apakah dia bisa membuat sayur lodeh?”
—Twitter, 28 Februari 2016

Cinta datang dari mata turun ke hati. Itu cinta temporer.
Cinta sejati datang dari perut lalu naik ke hati.
—Twitter, 28 Februari 2016

Masalah terbesar wanita modern adalah... betapa sangat sedikit
dari mereka yang bisa membuat sayur lodeh.
—Twitter, 28 Februari 2016

Bahkan jika di rumahku ada selusin pembantu,
aku hanya mau makan masakan yang dibuat tangan istriku.
—Twitter, 28 Februari 2016

Madonna dan Lady Gaga tidak bisa membuat sayur lodeh. Dan itu
menyedihkan. Hidup tidak bisa dikenyangkan dengan nyanyian.
—Twitter, 28 Februari 2016

Aku berpikir setiap wanita seharusnya bisa membuat sayur lodeh,
sebagaimana seharusnya setiap lelaki bisa mencari nafkah.
—Twitter, 28 Februari 2016

Jika diminta memilih wanita cantik, atau wanita cantik yang
pintar masak, aku akan memilih yang kedua.
—Twitter, 28 Februari 2016

Cantik saja tak pernah tak cukup. Karena hidup juga membutuhkan
perut yang kenyang agar bisa mengecap ketenteraman.
—Twitter, 28 Februari 2016

Wanita mencari pasangan ganteng dan rajin bekerja. Apa salahnya
kalau aku berharap pasangan cantik dan pintar masak?
—Twitter, 28 Februari 2016


*) Ditranskrip dari timeline @noffret.

Persetan dengan Pokemon

Seorang bocah bertanya, “Kenapa kamu nggak minat main Pokemon Go? Asyik lho, nyari Pokemon.”

Dengan bingung saya menjawab, “Wong nyari pacar aja aku malas, apalagi nyari pokemon!”

Selasa, 19 Juli 2016

Memeluk Sunyi

Bunyi genta perlahan menjauh,
makin sayup... makin sayup.
Hanya sunyi yang abadi.
@noffret


Knight and Day adalah salah satu film favorit saya. Film action itu dibintangi Tom Cruise dan Cameron Diaz. Ada satu scene dalam film tersebut yang tak pernah bisa saya lupakan. Ketika sedang berkonfrontasi dengan penjahat, Tom Cruise sempat mengajak Cameron Diaz ke sebuah pulau kecil tak berpenghuni.

Di pulau itu, Tom Cruise memiliki rumah sederhana, menikmati makanan dari hasil laut, sementara di sekeliling pulau tumbuh pohon-pohon hijau dibatasi lautan lepas. Tidak ada apa-apa di sana, bahkan tidak ada siapa-siapa. Yang ada hanya sunyi.

Saat menyaksikan itu, saya membayangkan alangkah damai jika bisa menjalani dan menikmati kehidupan di tempat mirip pulau tersebut. Udaranya bersih, tidak ada polusi apa pun—karena tidak ada kendaraan—dan tempat itu juga sunyi karena tidak ada suara manusia. Oh, well, yang menjadikan bumi luar biasa bising adalah manusia. Jika manusia tidak ada, bumi menjadi tempat yang sunyi.

....
....

Saya tidak tahu apa yang terjadi dengan diri saya. Yang jelas, saya benar-benar tidak tahan dengan suara-suara keras atau kebisingan. Terus terang, kepala saya bisa sakit jika mendengar suara-suara bising, lalu emosi saya meletup. Akhirnya bisa menggumpal menjadi stres, atau ledakan amarah. Itu sering saya alami. Saya benar-benar tidak tahan dengan bising.

Setiap kali datang ke rumah orangtua, misalnya, kepala saya langsung sakit. Di rumah ortu selalu terdengar suara televisi yang—bagi saya—sangat keras. Dulu, saya belum memahami hal itu. Yang saya tahu, setiap kali datang ke rumah ortu, pikiran saya tidak pernah nyaman. Kepala sakit, rasanya ingin marah, dan tiba-tiba saya merasa stres. Itu membuat suasana pertemuan dengan ortu jadi tidak baik. Anehnya, begitu saya pulang, dan kembali ke rumah saya sendiri, semua perasaan tidak enak itu hilang.

Lama-lama saya menyadari, bahwa akar masalah yang saya alami di rumah orangtua adalah suara televisi di sana yang keras. Nyokap saya—seperti umumnya ibu-ibu lain—sangat akrab dengan televisi. Jadi, sejak pagi hari, televisi di rumah terus menyala sampai sore, sampai malam. Kadang televisi itu tidak ditonton, karena nyokap tentu tidak akan terus menerus duduk di depan televisi. Tetapi dia tidak pernah mematikan televisi. Karena, menurutnya, keseharian terasa kurang jika tidak ada suara televisi.

Jadi, setiap kali saya datang ke sana, seketika suara televisi menyambut. Dan itu membuat saya stres. Kini, setiap kali datang ke rumah ortu, saya pun selalu meminta nyokap—atau adik saya—untuk mematikan televisi, atau setidaknya melirihkan suaranya. Begitu televisi dimatikan, saya merasa “plong”—sejenis perasaan lega dan nyaman yang tak bisa diungkapkan kata-kata—dan kepala saya terasa ringan.

Bukan hanya suara televisi, saya juga sering tidak tahan dengan suara-suara lain yang sama keras atau bising. Seperti suara TOA, misalnya. Atau suara TOA. Atau, yeah... suara TOA.

Saya kerap membayangkan, bumi akan menjadi tempat yang jauh lebih hening, kalau saja tidak ada TOA. Tapi benda terkutuk itu sudah telanjur diciptakan, dan saya bisa apa?

Sebenarnya tidak ada yang salah dengan TOA, wong itu benda mati. Manusialah yang menggunakannya... atau yang menyalahgunakannya. Sebagai pengeras suara, TOA tentu saja memiliki manfaat. Seperti untuk memperdengarkan seruan azan bagi umat Muslim. Atau untuk menyiarkan berita warga yang meninggal dunia. Atau untuk mengabarkan sesuatu yang memang penting diketahui masyarakat luas dengan cepat.

Tetapi, di luar hal-hal semacam itu, saya tidak habis pikir kenapa masih menggunakan TOA. Akibatnya, udara dipenuhi polusi suara yang memekakkan telinga. Apalagi jika kebetulan lingkungan kita penuh TOA. Satu TOA di sana mati, TOA di sini menyala. TOA di sini mati, TOA di sono mengeluarkan suara. Dan begitu seterusnya. Ya Tuhan, kapan manusia—setidaknya saya—bisa sejenak menikmati keheningan?

Karenanya, saat melihat Tom Cruise berada di sebuah pulau sunyi tanpa penghuni, sebagaimana yang terlihat di film Knight and Day, saya membayangkan alangkah indah dan damai jika bisa hidup di tempat seperti itu. Tanpa TOA, tanpa suara, tanpa kebisingan yang memekakkan telinga.

Terkait kebisingan, saya sering tak habis pikir dengan kebanyakan orang. Apa mereka tidak budeg mendengar suara demi suara yang tak pernah berhenti? Apa telinga mereka tidak pekak dihujani kebisingan demi kebisingan setiap hari? Di atas semua itu, mungkinkah mereka dapat berpikir jernih, jika kepala mereka terus dihantam kebisingan tanpa usai?

Saya tidak tahu. Yang saya tahu, kepala saya sakit setiap kali mendengar kebisingan tanpa henti, dan mood saya rusak. Karenanya, saat mendengar suara bising, saya mudah stres dan gampang marah.

Itu latar belakang kenapa saya selalu suka tinggal di rumah, karena hanya di rumahlah saya bisa menikmati keheningan, memeluk kesunyian, hingga saya merasa menjadi manusia yang utuh. Seutuhnya manusia.

Kenyataan itu pula yang sering membuat saya “ngeri” jika membayangkan punya istri, anak-anak, dan membangun keluarga. Saya khawatir istri saya juga pemuja suara televisi—seperti umumnya wanita atau ibu-ibu lain—lalu dia mengubah kesunyian di rumah menjadi kebisingan tanpa henti. Jika istri saya bukan penyembah televisi, bisa jadi anak-anak kami yang akan terus menghidupkan televisi. Saya tidak bisa membayangkan “serusak” apa kehidupan saya kelak, jika hal semacam itu terjadi.

Saat ini, karena tinggal sendirian, rumah saya sunyi. Suara yang terdengar di rumah saya adalah suara-suara dari luar—suara kendaraan sampai suara TOA. Itu pun sudah membuat saya tersiksa. Karenanya, jika saya menjadi Magneto, hal pertama yang akan saya lakukan adalah menghancurkan semua TOA di muka bumi.

Karenanya pula, sering kali saya mengimpikan punya rumah di tempat lain yang lebih nyaman, lebih sunyi, lebih minim suara. Jika memungkinkan, saya ingin tinggal di tempat yang hanya dihuni sedikit orang. Karena semakin banyak orang, semakin bising suara yang mereka timbulkan.

Sebagian orang—yang biasanya tak pernah berpikir—mungkin ingin menanyakan, “Apa enak hidup sunyi tanpa suara apa-apa?”

Untuk menjawab pertanyaan itu, sekarang saya ingin bercerita.

Di Colorado, AS, tepatnya di Wyoming, ada sebuah desa bernama Buford. Desa itu mungkin tidak terkenal, karena memang desa biasa. Tetapi, yang membuatnya istimewa, Desa Buford hanya dihuni oleh 1 orang. Satu-satunya penghuni desa itu adalah lelaki bernama Don Sammons.

Don Sammons semula tinggal di Los Angeles. Setelah beristri dan punya anak, dia dan keluarganya memutuskan untuk pindah ke Wyoming, yang biaya hidupnya tidak semahal Los Angeles. Maka hiduplah mereka di Desa Buford. Semula, Desa Buford dihuni sekitar 2.000 penduduk, dan rata-rata bekerja di perusahaan kereta api sebagai perawat rel (memperbaiki rel kereta jika terjadi kerusakan).

Saat datang ke Desa Buford, Don Sammons membawa cukup banyak uang. Jadi, di sana dia membangun sebuah toko kecil, yang dilengkapi sebuah pom bensin. Kehidupan mereka bisa dibilang biasa-biasa saja, seperti umumnya masyarakat di pedesaan. Meski tempat itu relatif baik dari segi alam, tapi banyak pihak yang menganggap Buford sulit berkembang.

Seiring waktu, penduduk Buford memutuskan untuk meninggalkan desa, demi mencari penghidupan yang lebih baik di wilayah lain. Selama bertahun-tahun, satu per satu penduduk di sana pindah ke tempat lain, dan jumlah penduduk Buford terus berkurang. Sampai kemudian cuma keluarga Don Sammons yang masih menetap di sana—dia, istrinya, dan satu anak lelaki. Saat si anak sudah cukup besar, anak Don Sammons juga memutuskan untuk mencari penghidupan di tempat lain.

Jadi, sejak itu, tinggal Don Sammons dan istrinya yang masih menetap di Desa Buford. Tidak lama kemudian, sang istri meninggal dunia, hingga Don Sammons benar-benar menjadi satu-satunya penduduk yang menempati Desa Buford. Dia tinggal sendirian di sana. Tanpa siapa pun. Dan dia telah menjalani kehidupan yang sunyi itu selama bertahun-tahun.

Bagaimana Don Sammons menghidupi dirinya sendiri? Dia punya toko dan pom bensin, yang melayani para pengemudi lintas negara. Setiap hari, selalu ada orang yang datang untuk mengisi bensin, atau mengirimkan stok barang untuk tokonya. Jadi, tanpa harus ke mana-mana, Don Sammons bisa tetap makan dan memperoleh rezeki.

Saat ditanya, apakah dia kesepian menjalani hidup sendirian bertahun-tahun, Don Sammons menyatakan, “Kadang saya memang kesepian. Di sini sangat sunyi, karena tidak ada manusia, tidak ada suara apa-apa. Tetapi, di dalam kesunyianlah saya menyadari arti hidup, menyadari arti menjadi manusia.”

Sampai saat ini, Don Sammons masih hidup bersama sunyi.

Dari Dostoyevsky Sampai Maria Ozawa

Kata Dostoyevsky, tertawa lepas adalah ciri orang bijak.
Sudah sangat lama aku tak tertawa lepas. Mungkin aku memang tidak bijak.
—Twitter, 21 Maret 2016

“Tidak tahu apa yang harus dilakukan,” kata Paulo Coelho,
“adalah jenis paling buruk dari penderitaan.” Sepertinya memang benar.
—Twitter, 21 Maret 2016

Anak-anak adalah anugerah Tuhan,” ujar James Russell Lowell.
Sayang sekali, mereka lalu tumbuh besar, menjadi orang tua, dan membosankan.
—Twitter, 21 Maret 2016

“And they lived happily ever after”. Cinderella tidak akan
mengatakannya dua kali. Pun yang bukan Cinderella.
—Twitter, 21 Maret 2016

“Sejak dulu, dunia ini seperti buku. Dan seumur hidup, kita hanya
membaca satu halaman.” Sungguh mengejutkan, itu ucapan Maria Ozawa.
—Twitter, 21 Maret 2016


*) Ditranskrip dari timeline @noffret.
 

Natasha Romanoff adalah Mbakyu

Natasha Romanoff adalah mbakyu. Captain America tahu kenyataan itu, meski Captain America tidak punya mbakyu.

Stres di Warung Bakso

Ada warung bakso yang saya temukan tanpa sengaja, dan saya merasa cocok. Jadi, saya pun cukup sering ke sana. Baksonya besar, sebesar bola tenis, dan enak. Lebih dari itu, tempatnya juga lumayan nyaman—tidak terlalu ramai.

Suatu sore, saya masuk warung bakso itu, dan memilih tempat duduk menghadap dinding. Seperti biasa, penjual bakso di sana—seorang wanita muda ramah—menyapa, “Pakai mie, Mas?”

“Ya,” saya menyahut.

Setelah itu, saya pun khusyuk menikmati bakso dalam mangkuk. Setelah habis, saya meminum es teh dalam gelas. Lalu, sambil merasakan perut yang kencang, saya menyulut rokok, dan mengisap dengan nikmat. Sambil menghadap dinding.

Pada waktu itulah, beberapa cewek masuk warung bakso. Tanpa harus menengok, saya tahu cewek yang datang ada empat orang—suara celoteh mereka dapat diidentifikasi. Dan tanpa perlu menoleh, saya pun tahu keempat cewek itu seumuran Nabilah JKT48.

Empat cewek itu duduk mengelilingi meja di belakang saya. Penjual bakso menanyai mereka, “Pakai mie, Mbak?”

Cewek pertama berkata, “Saya tidak pakai mie kuning.”

Cewek kedua berkata, “Saya tidak pakai mie kuning juga mie putih.”

Cewek ketiga berkata, “Saya tidak pakai bumbu masak.”

Lalu jeda.

Diam-diam saya menunggu cewek keempat berbicara atau mengatakan apa pun.

Tapi tidak ada suara apa-apa.

Cewek keempat cuma diam.

Dan saya stres. Ada yang sangat salah di sini.

Sambil merokok menghadap dinding warung bakso, saya berpikir betapa banyak hal di dunia yang bisa membuat stres. Misalnya menunggu cewek keempat buka suara di warung bakso. Dan, tiba-tiba saya menyadari, hidup ini sungguh sia-sia jika kita tidak pernah stres di warung bakso.

Kamis, 14 Juli 2016

Kanker dan Kehancuran Bumi

Akan tiba suatu masa ketika Bumi murka,
kejahatan disembah, kebodohan menjadi berhala, dan
umat manusia menjadi wabah di antara bencana.
@noffret


Bagaimana terbentuknya kanker? Jika pertanyaan itu bersifat medis, kita bisa menjawabnya dengan perspektif medis. Sebaliknya, jika pertanyaan itu bersifat filosofis, kita pun bisa menelaahnya secara filosofis.

Mari kita mulai dengan perspektif medis.

Kanker dimulai dari tumbuhnya sel-sel kanker. Di dalam tubuh kita—pada semua organ—terdapat sel-sel normal. Sel-sel normal itu tumbuh dan membelah untuk membentuk sel-sel baru, saat dibutuhkan. Jadi, ketika sel-sel normal telah tua atau rusak, keberadaannya akan digantikan oleh sel-sel baru yang menempati tempat mereka sebelumnya. Proses itu berlangsung terus menerus, dari tahun ke tahun, dari waktu ke waktu.

Namun, kadang-kadang, proses normal itu tidak berjalan seperti seharusnya. Sel-sel baru bisa terbentuk ketika tubuh tidak/belum membutuhkan, sementara sel-sel tua yang telah rusak tidak mau mati sebagaimana mestinya. Ketika itu terjadi, sel-sel yang tidak berguna ini kemudian membentuk sebuah jaringan, yang disebut tumor.

Tumor adalah kumpulan jaringan tidak normal, yang disebabkan oleh sel-sel yang membelah lebih banyak dari seharusnya, atau yang tidak mati padahal sudah tua dan rusak. Ada dua jenis tumor, yaitu tumor yang dapat menyebabkan kanker (disebut tumor ganas), dan yang tidak menyebabkan kanker (disebut tumor jinak). Berdasarkan kenyataan ini, maka kanker diawali oleh tumor, dan tumor diawali oleh ketidakberesan sel.

Tumor yang tidak menyebabkan kanker bisa dibilang tidak berbahaya, jarang menyerang jaringan di sekitarnya, tidak berkembang ke bagian lain tubuh, dan bisa diangkat, serta tidak tumbuh kembali. Namun, tumor yang dapat menyebabkan kanker bisa mengancam kehidupan, bisa menyerang organ dan jaringan sekitar, dapat berkembang ke organ tubuh lain, dan sering kali bisa diangkat namun kadang-kadang tumbuh kembali.

Saat tumor telah berubah menjadi kanker, dan—misalnya—bersarang di payudara, ia menjadi kanker payudara. Meski pada awal hanya menyerang daerah payudara, namun kanker ini bisa menyerang daerah sekitarnya, terus berkembang ke bagian lain tubuh, bahkan bisa masuk ke darah dan tulang, menjadi kanker darah dan kanker tulang.

Karenanya pula, setiap wanita disarankan untuk rutin memeriksa payudara sendiri, dengan tujuan mendeteksi sedini mungkin keberadaan kanker pada payudara. Karena, jika keberadaannya tidak terdeteksi sejak dini, kanker (yang mungkin ada) tidak hanya telah sampai pada stadium akut, namun bisa jadi telah menjalar ke mana-mana. Ketika itu terjadi, kematian menjadi taruhan. Kenyataannya, kanker payudara menempati peringkat atas sebagai pembunuh wanita di seluruh dunia.

Sekarang kita masuk ke bagian filosofis.

Alam semesta—setidaknya dunia yang kita tinggali—tak jauh beda dengan organ tubuh kita. Karenanya, dalam perspektif filsafat, alam semesta disebut makrokosmos, sementara manusia disebut mikrokosmos. Sebagaimana tubuh manusia yang memiliki miliaran sel, begitu pula dunia tempat kita hidup. Sebagaimana sel-sel dalam tubuh manusia terus berubah dan saling berganti, begitu pula alam semesta.

Jika sel-sel dalam tubuh kita adalah materi tak kasatmata, sel-sel yang membentuk dan mempengaruhi dunia adalah... manusia.

Manusia diawali oleh satu sel atau sepasang sel. Begitu pula dunia diawali oleh satu manusia atau sepasang manusia. Sel yang kecil saling membelah dan melahirkan ratusan, ribuan, jutaan, miliaran sel lain, hingga terbentuk manusia seutuhnya. Manusia yang semula sepasang kemudian bereproduksi dan beranak pinak menjadi jutaan hingga miliaran manusia. Sel telah membentuk tubuh manusia, dan manusia membentuk dunia.

Di dalam tubuh manusia, sel terus memperbarui diri. Yang rusak dan yang tua mati, terkikis, hilang, dan digantikan sel-sel baru yang lebih murni. Tetapi, seperti yang disebut tadi, kadang sel-sel tua dan rusak tidak mau mati. Sementara sel-sel baru terbentuk, padahal tubuh belum membutuhkan. Ketika itu terjadi, maka lahirlah tumor. Ketika tumor terbentuk, muncullah kanker. Ketika kanker tidak terdeteksi dan diatasi secepatnya, kerusakan dan kematian pun terjadi.

Sekarang bayangkan hal serupa pada dunia tempat kita hidup. Sebagaimana tubuh, dunia bukan tempat yang bisa dijejali banyak manusia tanpa pertimbangan dan batasan bijak. Ingat sel dalam tubuh. Ada masa lahir, ada masa mati. Dalam tubuh yang sehat, sel hanya lahir ketika dibutuhkan, yaitu ketika sel-sel lama yang telah rusak akan digantikan. Jika tubuh belum membutuhkan, tapi sel-sel baru terus lahir, maka tubuh mengalami kelebihan sel. Meski sekilas terdengar bagus, tapi itu merusak, karena dari situlah kanker dimulai.

Begitu pula dunia tempat kita hidup. Ada suatu masa ketika dunia mampu memberikan apa pun yang dibutuhkan manusia, bahkan tanpa usaha keras. Sawah dan ladang masih sangat luas, dengan tanah yang subur dan makmur. Manusia tinggal melemparkan biji, dan biji tumbuh menjadi pohon. Pohon menghasilkan buah, dan manusia tinggal memetik. Tidak ada zat kimiawi, tidak ada rekayasa industri, bahkan belum ada polusi, sehingga manusia bahkan bisa langsung memakannya tanpa repot-repot.  

Sementara itu, hutan masih tumbuh subur di mana-mana, dengan hewan-hewan yang hidup bebas di dalamnya. Jumlah karbondioksida masih sangat minim, karena hutan dan pohon-pohon yang ada masih mampu menyerap semua limbah di udara. Ozon di matahari masih terlindung, sehingga sinar matahari bisa menerangi bumi tanpa menyiksa manusia. Lautan dan sungai-sungai masih bersih, ikan-ikan masih berenang gembira, dan hasil semua itu menjadi berkah melimpah bagi umat manusia.

Kapan itu terjadi? Dulu... dulu sekali. Ketika jumlah manusia masih sedikit. Ketika masih terjadi keseimbangan antara jumlah manusia dan sumber daya alam. Di masa itu, bahkan orang yang tidak punya uang sekali pun tidak perlu khawatir tidak bisa makan, karena alam di sekelilingnya masih memberikan hasil melimpah.

Lalu mereka beranak-pinak, berketurunan, semakin banyak, dan terus semakin banyak. Pada satu titik tertentu, mulai terjadi ketidakseimbangan... persis seperti tubuh yang memproduksi sel baru, padahal sel lama belum perlu digantikan. Ketika sel-sel baru terus tumbuh, sementara sel-sel lama masih terus hidup, apa yang terjadi? Oh, well, kita tahu jawabannya. Kanker.

Itulah yang kemudian terjadi pada dunia, pada tempat tinggal kita.

Ladang dan sawah-sawah yang semula hijau subur penuh berkah mulai dikikis perlahan-lahan, diubah menjadi tempat pemukiman, karena jumlah manusia semakin banyak. Jumlah manusia yang makin banyak membutuhkan tempat tinggal baru, rumah baru, aneka kebutuhan baru. Lalu hutan yang semula tumbuh lebat dengan pohon-pohon besar mulai dibabat dan ditebangi, kayu-kayu diangkut, dan hasilnya menjadi aneka barang yang dibutuhkan manusia.

Semakin banyak jumlah manusia yang lahir di dunia, semakin banyak pula sawah yang digusur, hutan ditebangi, dan pemukiman-pemukiman baru terus dibangun. Ketika jumlah manusia sudah sampai titik nadir, kekayaan alam sudah tak mampu lagi menopang kebutuhan mereka. Jumlah hasil alam sudah tidak seimbang dengan jumlah manusia, karena manusia terus lahir, sementara sawah dan ladang terus menyempit karena diubah menjadi tempat hunian. Kekayaan alam terus menyusut.

Lalu lahirlah era industri.

Di masa lalu, karena kekayaan alam masih melimpah, orang tidak perlu bekerja untuk bisa makan. Tetapi, seiring makin banyak jumlah manusia, orang harus bekerja untuk bisa makan dan memenuhi kebutuhan hidupnya. Lalu pabrik-pabrik dibangun, barang-barang diproduksi, mesin-mesin dirancang, sementara manusia menjadi penggerak serta konsumennya. Apa yang kemudian dihasilkan dari hal itu? Limbah.

Industri menghasilkan kendaraan, dan kendaraan menghasilkan limbah. Industri membuat pakaian, dan pakaian membuat limbah. Industri mencetak makanan, dan makanan menyisakan limbah. Industri melahirkan banyak hal, dan banyak hal yang dihadirkannya terus menambah limbah.

Sejak industri lahir ke muka bumi, limbah mulai mengalir ke mana-mana. Ke sungai, limbah mencemari air yang semula jernih. Ke tanah, limbah mencemari tanah dan mengikis kesuburannya. Ke udara, limbah merusak kemurnian dan mengubahnya menjadi polusi. Karena hutan terus dibabat dan pohon terus ditebang, polusi udara makin tak terkontrol. Hasilnya, karbondioksida menumpuk di udara, lapisan ozon mulai bocor, dan matahari semakin tidak ramah. Lalu lahirlah pemanasan global.

Maka bumi pun semakin panas.

Ketika menghadapi panas yang menyengat, apa yang dilakukan manusia? Bukannya introspeksi dan mencari penyebab bumi makin panas, manusia justru menciptakan air conditioner! Maka AC pun kemudian tumbuh menjadi industri, dan terpasang di miliaran rumah di bumi. Itu benar-benar kebodohan manusia yang sangat mengerikan, yang kemudian menciptakan lingkaran setan.

Manusia memasang dan menghidupkan AC untuk mengusir panas. Padahal AC membutuhkan energi listrik. Semakin banyak AC yang digunakan manusia, semakin banyak pula energi listrik yang dibutuhkan. Hasilnya persis seperti kanker ganas yang menyerang organ-organ lain dalam tubuh. Semakin banyak AC dan energi listrik digunakan, pemanasan global semakin mengerikan. Solusi yang mereka pikir bisa mengatasi panas, justru semakin membuat panas.

Dan hal-hal semacam itu terus berlangsung, bahkan berkembang, dari waktu ke waktu. Jumlah manusia semakin banyak, karena mereka terus beranak pinak. Kapasitas bumi semakin tidak imbang dengan jumlah manusia yang menghuni. Persaingan semakin ketat, kejahatan terus tumbuh di mana-mana, uang berubah menjadi berhala, sementara aneka kerusakan dan sampah dan limbah menumpak dan mengalir ke mana-mana, mengotori apa saja.

Persis seperti kanker yang menggerogoti bagian-bagian tubuh yang sehat, hal serupa terjadi pada kehidupan manusia.

Jika kita bertanya pada ayah ibu kita, atau kepada kakek nenek kita, tentang kehidupan di masa lalu, mereka pasti akan menjawab bahwa kehidupan di masa lalu jauh berbeda dengan masa sekarang. Bukan hanya kehidupan dunia secara luas, namun juga kehidupan manusia dan sesama manusia. Dan mereka pasti akan mengatakan bahwa dunia serta kehidupan manusia di masa lalu lebih baik daripada di masa sekarang.

Dan kelak, saat anak-anak dan cucu-cucu kita bertanya, kita pun akan memberi jawaban serupa, bahwa kehidupan di masa kita masih jauh lebih baik daripada kehidupan di masa mereka. Bahkan, jika kita mau introspeksi, kehidupan dunia yang kita saksikan di masa kecil jauh lebih baik daripada kehidupan dunia yang sekarang kita lihat. Apa artinya itu?

Oh, well, dunia sedang menuju kehancuran. Persis seperti tubuh yang perlahan-lahan hancur, karena terus digerogoti kanker.

Itu fakta yang sangat jelas. Sedemikian jelas, hingga saya heran dan takjub dan terpana, menyaksikan betapa banyak manusia yang tidak juga menyadari kenyataan mengerikan itu. Bumi yang kita tinggali sedang sekarat dan menuju kiamat... tapi tidak seperti yang kita pikirkan. Bukan sangkakala malaikat yang akan meniup kehancuran bumi, melainkan ulah dan kerusakan manusia yang semakin kehilangan akal budi dan hati nurani.

Manusia ketakutan ketika mendengar ada kanker pada tubuhnya. Ironisnya, tanpa mereka sadari, manusia juga menjadi kanker bagi tempat tinggalnya sendiri.

Noffret’s Note: Menikah

Setiap Bulan 250 Pasutri di Depok Bercerai http://goo.gl/wVdi7r
@Metro_TV


Lho... katanya orang menikah pasti bahagia?
—Twitter, 27 September 2015

Pada zaman dahulu kala, ada sepasang suami istri yang menyesali perkawinannya, tapi memilih diam-diam saja. Lalu mereka bahagia selamanya.
—Twitter, 24 Oktober 2015

Ada jutaan buku yang membahas indahnya perkawinan. Seiring dengan itu, ada jutaan pasangan yang berperang di pengadilan karena perceraian.
—Twitter, 25 Oktober 2015

Mereka yang bahagia dalam perkawinannya sibuk bercerita. Tolong, mereka yang menderita dalam perkawinannya juga ikut bercerita. Agar imbang.
—Twitter, 25 Oktober 2015

Nasihat orang-orang zaman dulu, “Carilah istri yang mau diajak hidup susah.” Nasihat itu sudah menunjukkan apa sebenarnya arti perkawinan.
—Twitter, 25 Oktober 2015

Masalah kita adalah, orang-orang tua sibuk mendoktrin agar menikah, dan anak-anak muda tidak punya pilihan lain selain menikah.
—Twitter, 25 Oktober 2015

Jika aku kelak menikah, aku akan berpesan pada anakku, “Menikah adalah pilihan, Nak. Jangan pernah menganggap pernikahan sebagai kewajiban.”
—Twitter, 25 Oktober 2015

“Pasanganku menjengkelkan, anak-anakku rewel, keluargaku kacau dan berantakan. Aku sangat stres!” Memangnya siapa yang nyuruh kamu menikah?
—Twitter, 25 Oktober 2015

“Masyarakatku menikah, orangtuaku menikah, teman-temanku menikah, tetanggaku menikah, jadi aku juga harus menikah!” Well, itulah masalahmu.
—Twitter, 25 Oktober 2015

Coba search ke Google, “asal usul perkawinan” atau “sejarah perkawinan” (gunakan beberapa bahasa di luar Indonesia), dan lihat hasilnya.
—Twitter, 25 Oktober 2015

Sebenarnya, aku tidak punya masalah dengan perkawinan. Aku hanya muak dengan orang-orang yang merasa hebat hanya karena punya pasangan.
—Twitter, 25 Oktober 2015

Aku sangat... sangat ingin membaca buku yang ditulis suami atau istri yang mau benar-benar JUJUR mengungkapkan perkawinan yang dijalaninya.
—Twitter, 25 Oktober 2015

Ada buku berjudul “Menikahlah, Maka Kau Akan Kaya”. Temanku membaca buku itu, lalu menikah. Sampai bertahun-tahun, dia tidak juga kaya.
—Twitter, 25 Oktober 2015

Secara objektif, menikah atau tidak menikah memang punya masalah. Yang jadi masalah, mereka yang sudah menikah sok seolah tak punya masalah.
—Twitter, 25 Oktober 2015


*) Ditranskrip dari timeline @noffret.

Percakapan Bocah

Seorang bocah berkata pada temannya, “Setiap kali membaca blognya Hoeda Manis, aku jadi pusing, dan pikiranku jadi kacau. Gimana menurutmu?”

“Menurutku, itu salahmu sendiri,” ujar bocah satunya. “Kenapa juga kamu baca blognya dia?”

Senin, 11 Juli 2016

Dilema di Hari Raya

Baru kenal agama tapi sibuk berfatwa,
tak jauh beda dengan anak SMA menceramahi orang dewasa
tentang kedewasaan. Ironis, dan menggelikan.
@noffret


Setiap kali lebaran atau hari raya Idul Fitri datang, saya merasa dilema. Setidaknya ada dua alasan mengapa saya dilema setiap kali lebaran datang. Pertama, karena alasan pengetahuan. Kedua, karena alasan personal. Mari saya ceritakan.

Setiap kali lebaran datang, masyarakat di tempat saya—sebagaimana umumnya masyarakat di tempat lain—biasa melakukan hal-hal khas, yaitu saling bertemu, bersalaman, dan saling mengunjungi untuk meminta dan memberi maaf. Dalam hal itu, terus terang, saya kesulitan mengikuti. Alasannya, seperti yang disebut tadi, karena pengetahuan dan sebab personal.

Berdasarkan pengetahuan—sebagaimana yang telah saya tulis di sini—saya menyadari bahwa Idul Fitri tidak dimaksudkan untuk maaf-maafan. Karenanya, saya pun menganggap acara maaf-maafan hanya sekadar budaya. Karena budaya, maka saya tentu punya pilihan—untuk mengikuti atau untuk tidak mengikuti. Jika orang lain berhak memilih untuk melakukan, saya pun punya hak untuk tidak melakukan.

Yang menjadi masalah, saya hidup di tengah-tengah masyarakat, dan kebanyakan masyarakat belum mampu menyadari perbedaan antara “ajaran agama” dan “sebatas budaya”. Seperti maaf-maafan di hari lebaran. Merayakan Idul Fitri adalah bagian dari agama, karena memang disyariatkan. Tetapi maaf-maafan di hari Idul Fitri hanyalah bagian budaya. Masalahnya, sekali lagi, masyarakat belum bisa membedakan dua hal tersebut.

Sebagai pribadi, saya merayakan Idul Fitri secara sederhana, yaitu hanya makan dan minum di siang hari. Sudah, hanya itu. Karena itulah esensi Idul Fitri, yaitu merayakan kembali hari biasa untuk bebas makan dan minum, setelah sebulan berpuasa di bulan Ramadan. Jadi, saya tidak membeli baju baru, tidak mengecat rumah, bahkan tidak menyiapkan makanan atau minuman dan jajan khusus.

Soal mengecat atau memperbaiki rumah, saya akan melakukan kapan pun saya ingin, terlepas lebaran atau tidak. Soal membeli baju baru, saya akan melakukan kapan pun saya butuh, terlepas lebaran atau tidak. Begitu pun, soal meminta dan memberi maaf, saya akan melakukan kapan pun jika memang diperlukan, tanpa peduli sedang lebaran atau tidak!

Memang, di lebaran tahun ini, saya secara khusus mengirimkan SMS dan pesan berisi selamat berlebaran kepada orang-orang tertentu. Orang-orang yang saya kirimi SMS adalah teman-teman lama, yang kebetulan tidak pernah lagi bertemu, dan tidak pernah lagi berkomunikasi. Tujuan saya mengirim SMS kepada mereka, pertama untuk mengecek nomor ponsel mereka masih aktif atau tidak, dan kedua untuk menjalin kembali pertemanan lama yang bisa dibilang putus setelah lama tak bertemu.

Saya memanfatkan moment lebaran untuk mengirim SMS-SMS tersebut, agar mereka tidak “kaget”, karena setidaknya mereka akan menganggap umum jika seseorang tiba-tiba berkirim SMS di hari lebaran. Karenanya, saya pun berharap mereka membalas, hingga kami bisa kembali menjalin hubungan seperti dulu. Kalau pun mereka tidak membalas, ya tidak apa-apa, karena memang setiap orang punya hak dan pilihan.

Sejauh terkait dengan teman-teman, bisa dibilang saya tidak terlalu mengalami masalah, khususnya karena rata-rata teman saya memang sudah memahami “kelainan” saya. Maksudnya, rata-rata mereka sudah biasa dengan kelakuan saya yang berbeda dengan umumnya orang lain.

Dulu, saya pernah menyambangi teman-teman saya satu per satu, meminta maaf pada mereka, padahal bukan hari lebaran. Di waktu lain, juga bukan di hari lebaran, saya pernah berkirim SMS pada hampir semua teman saya, berisi pesan, “Selamat merayakan hari biasa yang mulia seperti biasa. Mohon maaf lahir dan batin.”

Hal-hal semacam itu kerap saya lakukan, khususnya dengan teman-teman sepergaulan, dan mereka sudah biasa dengan ulah saya. Karenanya, sekali lagi, bisa dibilang saya tidak terlalu mengalami masalah—khususnya terkait lebaran—selama menyangkut teman-teman. Mereka telah menganggap saya “gila”, dan urusan selesai.

Yang masih menjadi masalah adalah yang terkait tetangga, saudara, dan sanak famili. Karena itulah, seperti yang dibilang tadi, saya selalu tertekan setiap kali lebaran datang, karena saya harus melakukan hal sama seperti yang dilakukan tetangga, saudara, dan sanak famili. Yaitu saling mengunjungi, saling memaafkan, dan lain-lain terkait lebaran.

Setiap kali lebaran datang, saya seperti diwajibkan untuk mendatangi tetangga, saudara, sanak famili, dan bermaaf-maafan dengan mereka. Sebagai introver, jujur saja, saya sangat-sangat kesulitan melakukan hal itu. Saya kurang mampu berbasa-basi, kurang luwes dalam urusan sosial dengan orang lain. Pendeknya, saya benar-benar kebingungan saat harus mendatangi tetangga dan sanak famili hanya untuk maaf-maafan dan berbasa-basi di hari lebaran.

Saat mengunjungi tetangga, famili, dan saudara, saya sering kebingungan mengenai apa yang harus saya katakan. Untungnya, saya masih punya keluarga—nyokap dan adik-adik—sehingga kami bisa mengunjungi tetangga, famili, dan saudara, bersama-sama. Dalam hal ini, saya tertolong oleh keberadaan nyokap dan adik-adik saya. Setidaknya, mereka lebih luwes dalam berinteraksi dengan orang-orang.

Kemudian, karena saya tinggal di rumah sendiri, saya pun punya tetangga sendiri. Sekali lagi saya kebingungan saat harus menyambangi para tetangga di tempat saya tinggal. Mengatasi hal itu, saya mengajak nyokap untuk menemani, dan biasanya nyokaplah yang aktif mengobrol dengan para tetangga, meski sebenarnya mereka tetangga saya.

Oh, saya tahu ini mungkin terdengar lucu, atau bahkan konyol. Tetapi, saya benar-benar kesulitan dalam menghadapi hal-hal seperti itu. Lebih baik saya diminta berbicara di depan forum untuk membahas masalah dunia atau peradaban manusia, daripada diminta mendatangi tetangga atau famili untuk berbasa-basi dengan mereka. Demi Tuhan, berbicara di forum ilmiah yang dihadiri ratusan orang jauh lebih mudah bagi saya, daripada berbasa-basi dengan famili atau tetangga, dan bermaaf-maafan dengan mereka.

Dan mengenai maaf-maafan dengan mereka di hari lebaran, kadang saya merasa konyol sendiri. Meski saya mungkin bisa tampak meyakinkan saat bersalaman dengan mereka dan mengatakan “maaf lahir batin”, tapi diam-diam saya berpikir, “Emang kita ini maaf-maafan untuk apa? Aku tidak salah sama kamu, dan kamu juga tidak salah sama aku, dan kita terpaksa melakukan kekonyolan ini karena orang-orang lain melakukan!”

Karena latar belakang itulah, saya selalu tertekan setiap kali lebaran datang. Dalam perspektif saya, Idul Fitri adalah hari raya yang sederhana, yaitu hari biasa untuk merayakan kebebasan makan dan minum setelah sebulan berpuasa. Sudah, hanya itu. Tetapi, tampaknya orang-orang—masyarakat—menganggap Idul Fitri adalah perayaan istimewa yang harus dirayakan besar-besaran, dengan meriah, plus dengan maaf-maafan.

Bahkan, masyarakat tampaknya menganggap Idul Fitri sebagai “Hari Suci”, gara-gara kekeliruan dan ketidaktahuan dalam menerjemahkan bahasa Arab. “Idul Fitri” berasal dari kata bahasa Arab, yaitu “Ied” dan “Fithr”. Dalam bahasa Arab, “Ied” berarti “hari raya”, sedangkan “Fithr” berarti “makan” atau “makanan”. Karenanya, “Idul Fitri” berarti “hari raya untuk makan” (setelah sebulan berpuasa Ramadan).

Susahnya, sebagian orang yang sok ustad mengartikan “Idul Fitri” secara ngawur dan sok tahu. Mereka mengira “Fitri” dalam Idul Fitri berasal dari kata “Fithrah”. Sekilas, “Fithr” dan “Fithrah” tampak sama, tapi memiliki arti jauh berbeda. “Fithrah” menggunakan ta’ marbutoh pada akhir kata, dan memiliki arti “suci” atau “kesucian”. Sementara “Fithr” tidak menggunakan ta’ marbutoh, dan—seperti yang disebut tadi—artinya “makan” atau “makanan”.

Begitu pula dengan “Ied” yang menjadi asal kata “Idul Fitri”. Sebagian orang yang sok ustad mengira “Ied” pada “Idul Fitri” berasal dari kata “Ya’udu”, yang artinya “kembali”. Padahal itu keliru. Dalam perspektif ilmu shorof, bahasa Arab untuk “kembali” adalah ‘aada–ya’uudu–‘audatan. Sekilas memang terdengar seperti “Ied”, tapi jelas bukan. Karenanya, “orang yang kembali” tidak disebut “Ied”, melainkan “Audah”. Karena “Ied” dalam “Idul Fitri” bermakna “hari raya”, yang—jika dijamakkan—menjadi “A’yad”.

Karenanya, sekali lagi, “Idul Fitri” sama sekali tidak bermakna “kembali suci” sebagaimana yang dipahami kebanyakan orang, melainkan “hari raya makan”, atau hari raya yang ditujukan untuk makan dan minum setelah sebulan berpuasa Ramadan. Hanya itu, sesederhana itu.

“Idul Fitri” juga sama sekali tidak berhubungan dengan urusan maaf-maafan antarmanusia, karena kenyatannya memang tidak dimaksudkan untuk itu. Dengan kata lain, kita tidak diwajibkan sibuk meminta maaf di hari lebaran!

Maaf dengan sesama manusia—siapa pun—sama sekali terlepas dari hari raya Idul Fitri. Dengan kata lain, jika kita merasa perlu meminta maaf pada seseorang karena menyadari kesalahan yang telah kita lakukan, tidak usah menunggu datangnya lebaran! Sebaliknya, jika kita memang tidak punya masalah atau kesalahan apa pun dengan orang lain, tidak perlu repot-repot minta maaf hanya karena lebaran, karena lebaran memang tidak dimaksudkan untuk maaf-maafan!

Di rumah, saya tidak pernah sungkem kepada orangtua ketika lebaran datang. Bukan karena kurang ajar, tapi karena saya menyadari bahwa lebaran memang tidak dimaksudkan untuk sungkem. Adik-adik saya juga tidak pernah meminta maaf atau sungkem pada saya ketika lebaran, dan saya juga tidak pernah mempersoalkan. Karenanya, terkait dengan keluarga sendiri dan teman-teman sepergaulan, saya tidak punya masalah apa pun dengan lebaran. Yang masih jadi masalah, seperti yang saya ceritakan tadi, adalah tetangga, saudara, sanak famili, dan masyarakat.

Bagaimana pun, jika saya tidak mengunjungi mereka di hari lebaran, dan tidak bermaaf-maafan dengan mereka sebagaimana umumnya orang lain, saya akan dianggap salah, keliru, bahkan mungkin dianggap berdosa. Bagaimana pun, mereka telah telanjur meyakini bahwa maaf-maafan di hari lebaran adalah bagian dari ajaran agama. Akibatnya, jika saya tidak melakukan, saya akan dicap tidak mematuhi ajaran agama.

Sebaliknya, jika saya mengunjungi mereka di hari lebaran untuk berbasa-basi dan bermaaf-maafan, saya memang akan dianggap benar, lurus, dan patuh terhadap ajaran agama. Tetapi, hati saya gelisah, dan saya sangat tertekan. Lebih dari itu, saya juga merasa konyol, karena menyadari bahwa saya terpaksa melakukan sesuatu demi dianggap benar, padahal yang saya lakukan justru tidak benar.

Akhirnya, dari ocehan yang tidak jelas juntrungnya ini, apa kira-kira pelajaran yang bisa diambil? Hanya satu, yaitu kesadaran untuk mau belajar.

Kesadaran untuk mau belajar—itulah masalah umum orang beragama. Mereka beragama dengan sistem “pasrah bongkokan”, dalam arti menerima apa pun yang dikatakan kepada mereka, tak peduli siapa yang mengatakan, tak peduli yang dikatakan benar atau tidak. Itulah awal mula munculnya taklid buta. Hanya karena yang mengatakan tampak seperti ustad, mereka pun serta-merta percaya. Padahal, yang tampak ustad belum tentu benar-benar ustad! Yang tampak alim belum tentu benar-benar berilmu.

Karena umumnya orang beragama tidak atau kurang memiliki kesadaran untuk mau belajar, mereka pun menelan mentah-mentah apa saja yang diajarkan kepada mereka. Seperti maaf-maafan di hari lebaran. Itu contoh sekaligus bukti nyata bagaimana sesuatu yang absurd, tidak jelas, dan tidak memiliki dasar agama yang dapat dipertanggungjawabkan, bisa dipercaya bulat-bulat oleh masyarakat untuk dilakukan, hanya karena yang ngomong dianggap ustad.

Akibatnya adalah masalah seperti yang saya alami. Dalam hal ini, bagaimana pun, saya menghadapi dilema dalam beragama dan bermasyarakat. Di satu sisi, saya menyadari agama tidak mengajarkan maaf-maafan di hari lebaran, sementara—di sisi lain—masyarakat menganggap maaf-maafan di hari hari lebaran adalah ajaran agama.

Jika saya mengikuti ajaran agama (tidak bermaaf-maafan di hari lebaran), masyarakat akan menganggap saya salah, karena saya dinilai melanggar aturan agama. Padahal, justru saya berusaha menerapkan apa yang diajarkan agama, yaitu tidak maaf-maafan di hari lebaran!

Ini kan konyol...???

Sebenarnya, dalam hal ini, saya telah berusaha moderat, dalam arti tidak benar-benar menggunakan metodologi dan kaidah agama (Islam) dalam menghadapi budaya maaf-maafan di hari lebaran. Jika saya mau “lugu” menggunakan metodologi agama, saya bisa saja mengatakan bahwa bermaaf-maafan di waktu lebaran adalah bid’ah, karena hal itu tidak dilakukan Nabi Muhammad SAW dan para sahabat. Tapi saya tidak mau sekaku itu.

Bagaimana pun, saya ingin menghormati sesuatu yang telah ada di masyarakat, dan tidak ingin mengusiknya. Seperti maaf-maafan di hari lebaran. Itu sesuatu yang telah ada di masyarakat sejak lama, dan bisa dibilang sesuatu yang baik (setidaknya bukan sesuatu yang buruk). Saya tidak ingin mempermasalahkan hal itu, apalagi sampai menyebutnya bid’ah. Saya hanya menganggapnya sebagai bagian dari budaya masyarakat. Sudah, hanya itu.

Karena bersifat budaya—dan bukan ajaran agama—maka siapa pun boleh memilih untuk mengikuti, dan siapa pun boleh memilih untuk tidak mengikuti. Sekali lagi, sudah, hanya itu.

Yang masih saya persoalkan, kenapa masyarakat menganggap saya salah, hanya karena tidak maaf-maafan di hari lebaran...?

Noffret’s Note: Gila

Kelebihan orang gila dibanding orang waras: Orang gila bisa ngomong
apa pun, tanpa khawatir omongannya disalahpahami orang-orang lain.
—Twitter, 23 Mei 2016

Dalam urusan kebebasan berpikir dan bicara, orang gila satu tingkat
lebih tinggi dibanding orang waras. Orang gila berhak ngomong apa saja.
—Twitter, 23 Mei 2016

Orang-orang waras menuntut kebebasan berbicara. Orang-orang gila sudah
melakukannya sejak lama. Mereka bebas bicara apa saja, di mana saja.
—Twitter, 23 Mei 2016

Aku sering mengagumi orang-orang gila. Mereka bisa hidup bebas sesuai
keinginan, tanpa merisaukan apa pun, tanpa mengkhawatirkan apa pun.
—Twitter, 23 Mei 2016

Sistem dan struktur sosial apa pun tidak mempan dan tidak berlaku
untuk orang gila. Hanya orang gila yang bisa hidup bebas dan merdeka.
—Twitter, 23 Mei 2016

Bagi orang gila, hidup adalah apa yang ingin dijalaninya. Perkara
orang lain mau setuju atau tidak, persetan. Orang gila mungkin filsuf.
—Twitter, 23 Mei 2016

Kalau saja ada opsi untuk setiap orang; menjadi orang waras atau orang gila,
aku akan memilih menjadi orang gila. Menjadi waras itu susah!
—Twitter, 23 Mei 2016

Orang-orang waras meributkan ideologi, sistem nilai, tata sosial,
keyakinan, dan tetek bengek lain. Orang gila menjalani hidup, itu saja.
—Twitter, 23 Mei 2016

Orang-orang waras bertanya kapan lulusmu, kapan kawinmu, kapan
kau punya anak, dan lain-lain. Orang-orang gila tak pernah usil bertanya.
—Twitter, 23 Mei 2016

Orang-orang waras hidup dalam tekanan sosial dan kebrengsekan masyarakat.
Orang-orang gila hidup tenang tanpa peduli apa kata masyarakat.
—Twitter, 23 Mei 2016

Kalau dipikir-pikir, sebenarnya gila dan waras hanya soal statistik
mayoritas. Karena yang waras lebih banyak, yang sedikit disebut gila.
—Twitter, 23 Mei 2016

Andai di dunia ini jumlah orang gila lebih banyak, andai populasi
orang-orang gila menjadi mayoritas, maka merekalah yang waras.
—Twitter, 23 Mei 2016

Dunia pasti akan jauh lebih baik kalau saja orang gila lebih banyak
daripada orang waras. Orang-orang waras sering tak sadar mereka gila.
—Twitter, 23 Mei 2016

Orang waras merancang korupsi, konspirasi, kejahatan, sampai perang
dan penistaan manusia. Orang-orang gila tak pernah berlaku sebejat itu.
—Twitter, 23 Mei 2016

Segila-gilanya orang gila, mereka tak pernah berbohong. Orang waras
memuja pendidikan dan sistem sosial, tapi sangat pintar berbohong.
—Twitter, 23 Mei 2016

Jika ada pilihan dapat menjalani hidup dengan tenang, tenteram, tanpa
tekanan masyarakat yang brengsek, maka itu adalah menjadi orang gila.
—Twitter, 23 Mei 2016

Saat orang waras dikumpulkan, mereka membentuk masyarakat, dan lahirlah
kebrengsekan sosial. Saat orang gila dikumpulkan, tidak ada apa-apa.
—Twitter, 23 Mei 2016

Orang waras mengklaim, merekalah yang membangun peradaban. Tapi mereka
tidak menyadari bahwa peradaban merekalah yang menghancurkan dunia.
—Twitter, 23 Mei 2016

Orang-orang gila tidak pernah mengklaim apa-apa, karena mereka memang
tidak melakukan apa-apa. Tapi dunia tetap sehat dan baik-baik saja.
—Twitter, 23 Mei 2016

Aku mengagumi orang-orang gila, atas kemampuan mereka untuk bebas dari
belenggu sistem nilai masyarakat, untuk kemerdekaan hidup mereka.
—Twitter, 23 Mei 2016

Tidak ada satu pun orang waras yang bebas. Karena menjadi waras adalah
kutukan. Hanya orang gila yang mampu menjalani hidup dan kebebasan.
—Twitter, 23 Mei 2016


*) Ditranskrip dari timeline @noffret.

Sesuatu yang Wagu

Dunia memang tidak sempurna.

Kadang-kadang ada yang wagu.

Seperti catatan ini.

Jumat, 08 Juli 2016

Lebaran dan Maaf yang Tidak Jelas

Dari Abu Hurairah, bahwasanya Rasulullah SAW bersabda,
“Barangsiapa melakukan kezaliman kepada saudaranya,
hendaklah meminta dihalalkan (dimaafkan) darinya; karena
di sana (akhirat) tidak ada lagi perhitungan dinar dan dirham,
sebelum kebaikannya diberikan kepada saudaranya, dan—jika ia
tidak punya kebaikan lagi—maka keburukan saudaranya
akan diambil dan diberikan kepadanya.”
Hadist riwayat Bukhari nomor 6.169


Ada yang khas setiap kali lebaran datang. Selain baju baru, rumah rapi, opor ayam serta aneka makanan di rumah, adat lain yang biasa muncul setiap kali Idul Fitri adalah saling meminta dan memberi maaf.

Umumnya, di mana-mana, orang saling mengunjungi, bersalaman, sungkeman, saling meminta maaf, halal bihalal, dan semacamnya. Sebagian orang bahkan mengucapkan “Minal aidin walfaizin”, sambil dengan pede meyakini artinya “Mohon maaf lahir dan batin”. Jika semua ritual itu dikerucutkan, maka hal besar yang terjadi pada hari raya Idul Fitri adalah waktu untuk saling minta maaf dan memaafkan.

Yang satu keluarga saling sungkem. Yang bertetangga atau bersaudara saling mengunjungi. Yang berteman saling bertemu di acara halal bihalal. Yang sekadar kenal saling berkirim SMS minta maaf. Bahkan yang sama sekali tidak saling kenal pun tetap merasa perlu untuk minta maaf di hari lebaran. Karenanya, inti hari raya Idul Fitri adalah saling maaf dan memaafkan. Tetapi, apakah memang begitu?

Pada masa Nabi Muhammad SAW masih hidup, hari raya Idul Fitri juga sudah ada, karena Idul Fitri memang disyariatkan sejak masa Nabi Muhammad SAW. Perayaan Idul Fitri juga terus dilanjutkan pada masa para sahabat, hingga tabi’in-tabi’at, sampai pada zaman kita sekarang.

Pertanyaannya, apakah di masa Nabi Muhammad SAW ada orang-orang yang saling sungkeman dan maaf-maafan di hari raya Idul Fitri? Tidak ada! Apakah para sahabat semacam Abu Bakar, Umar bin Khattab, Ustman bin Affan, dan Ali bin Abi Thalib, saling bersalaman dan meminta maaf di hari lebaran? Juga tidak! Apakah para sahabat lain mengadakan acara halal bihalal pada waktu lebaran? Sekali lagi, tidak!

Silakan telusuri ke sumber tarih atau sejarah Islam mana pun—atau pelajari kitab-kitab salaf mana pun—dan kita tidak akan menemukan acara maaf-maafan di hari lebaran, pada masa Nabi Muhammad SAW maupun pada masa para sahabat.

Padahal, faktor pendorong untuk bermaaf-maafan juga sudah ada pada zaman mereka. Para sahabat juga memiliki kesalahan kepada sesama, bahkan mereka adalah orang yang berhati-hati dalam urusan menjaga hubungan dengan orang lain. Karenanya, jika memang hari raya Idul Fitri dimaksudkan untuk meminta dan memberi maaf, maka tentunya mereka menjadi orang-orang pertama yang akan melakukannya.

Tapi kenyataannya tidak!

Fathimah, putri Nabi Muhammad SAW, tidak pernah dikisahkan melakukan “sungkem” kepada sang ayah maupun kepada sang suami pada hari raya Idul Fitri. Abu Bakar tidak pernah dikisahkan bermaaf-maafan dengan Umar bin Khattab atau yang lain sambil berkata “minal aidin walfaizin” di hari raya Idul Fitri. Sementara para sahabat lain—bahkan umat Muslim lain pada masa Nabi Muhammad SAW hidup—tidak pernah dikisahkan membuat acara halal bihalal atau semacamnya.

Jadi, siapakah sebenarnya yang kita tiru dalam urusan maaf-maafan di hari lebaran? Siapakah sebenarnya yang kita ikuti dalam urusan ini? Jika orang Islam mengakui Nabi Muhammad SAW sebagai panutan dalam segala hal, padahal Sang Nabi tidak melakukan acara maaf-maafan di hari lebaran, siapakah sebenarnya yang kita jadikan panutan...? Dan, lebih penting lagi, kenapa kita melakukannya?

Satu kesalahan yang tidak dikoreksi memang akan melahirkan serentetan kesalahan lain, sebagaimana satu kesesatan yang tidak diverifikasi akan menyesatkan orang-orang lain. Begitu pula soal maaf, sungkeman, halal bihalal, dan semacamnya, di hari lebaran. Cobalah cari satu saja ayat atau hadist sahih yang meminta kita untuk sungkeman atau saling meminta maaf di hari lebaran. Ada? Tidak ada!

Jadi, dari mana sebenarnya asal usul “maaf tidak jelas”, yang dilakukan banyak orang di hari lebaran?

Jawabannya panjang. Setidaknya, kita harus flashback ke masa lalu, ke masa 266 tahun yang lalu.

Dua ratus enam puluh enam tahun yang lalu, Mangkunegara I (lahir 8 April 1725) mendirikan Praja Mangkunegaran, sebuah kadipaten agung di wilayah Jawa Tengah bagian tenggara. Sebagai pemimpin, Mangkunegara I punya kebiasaan melihat keadaan rakyatnya. Setahun sekali, seusai melaksanakan shalat Id pada hari raya Idul Fitri, Mangkunegara I akan menemui rakyatnya di desa-desa, menyambangi para punggawa dan bawahannya—bukan untuk meminta maaf, tapi untuk melihat keadaan rakyatnya.

Kebiasaan itu terus dilakukan setiap tahun, pada hari lebaran, sehingga para bawahan dan rakyat Mangkunegaran di masa itu hafal kebiasaan raja mereka. Karenanya, setiap tahun sekali, rakyat Mangkunegaran akan bersiap-siap menyambut kedatangan sang Raja, dan mereka bergembira saat melihatnya. Karena menyadari raja akan datang, rakyat pun menyiapkan segalanya, termasuk rumah yang diperbaiki atau dicat warna baru, memakai baju baru atau yang pantas, sampai menyiapkan makanan, minuman, serta jajan di rumah.

Sampai kemudian, seiring bertambahnya usia, Mangkunegara I mulai merasa berat melakukan kebiasaan tersebut. Selain karena fisik yang makin lemah, berkeliling ke desa-desa untuk menyambangi rakyat dan bawahan membutuhkan sumber daya yang tidak sedikit. Akhirnya, untuk menghemat waktu, tenaga, pikiran, serta biaya, kebiasaan itu lalu dibalik. Jika sebelumnya sang Raja yang mendatangi bawahan dan rakyatnya, sekarang para bawahan dan rakyat yang mendatangi Raja.

Jadi, sejak itu, setiap selesai shalat Id di hari raya Idul Fitri, rakyat Mangkunegaran—bersama punggawa, prajurit, dan para pejabat lain—berdatangan ke istana, untuk menemui raja mereka. Pada masa itu, Mangkunegara I bersama permaisuri duduk menyambut di balai istana, sementara para bawahan dan rakyat berdatangan, melakukan sungkem, dengan tertib, sopan, sebagaimana sikap rakyat kepada raja. Kebiasaan itu lalu berlangsung setiap tahun, tahun demi tahun.

Berabad-abad kemudian, kebiasaan itu rupanya masih ditiru. Ketika Republik Indonesia terbentuk, berbagai instansi pemerintah mengadakan acara “halal bihalal” dan “sungkeman” setahun sekali, lalu rakyat—kita semua—meniru. Setahun sekali, selesai melakukan shalat Id di hari lebaran, orang-orang saling sungkem, saling meminta maaf. Padahal dasar sungkem dan minta maaf ini tidak jelas. Karena, sekali lagi, siapakah yang kita tiru dan jadikan panutan dalam hal ini?

Jika kita meniru Nabi Muhammad SAW, beliau tidak melakukan hal itu. Jika kita meniru Mangkunegara I, yang dilakukannya pun bukan meminta dan memberi maaf, melainkan sekadar bertemu rakyat dan bawahan. Jadi, dalam urusan maaf di hari lebaran, siapakah sebenarnya yang kita tiru dan jadikan panutan? Lebih penting lagi, apa sebenarnya tujuan dan esensi maaf kita di hari lebaran?

Sebagian orang awam—bahkan orang-orang yang sok ustad—mungkin akan menjelaskan, kira-kira seperti ini, “Hari raya Idul Fitri adalah hari setelah selesainya bulan Ramadan. Selama satu bulan, umat Muslim berpuasa di bulan Ramadan, karena itu mereka kembali suci, kembali kepada fitrah. Untuk menyempurnakan hal itu, kita pun saling bermaaf-maafan di hari lebaran. Karena itulah, Idul Fitri memiliki makna kembali kepada fitri atau kembali suci.”

Oh, well, kedengarannya baik. Dan apakah penjelasan itu benar? Salah!

Selama ini, kebanyakan orang—yang tentunya Muslim—mengartikan “Idul Fitri” sebagai “kembali ke fitrah” atau “kembali suci”. Padahal itu salah! Arti “Idul Fitri” bukan “kembali kepada fitrah”, sebagaimana arti “minal aidin walfaizin” juga bukan “mohon maaf lahir dan batin”. Inilah contoh sekaligus bukti nyata bagaimana sikap sok tahu dan sok pintar yang dilakukan orang-orang sok alim telah menyesatkan banyak orang!

Daripada saya ngoceh panjang lebar menjelaskan hal ini, saya bisa merekomendasikan penjelasan detail seputar hal tersebut, dan kalian bisa membacanya langsung di situs-situs terpercaya berikut, agar tahu apa sebenarnya arti Idul Fitri:

Konsultasi Syari’ah: Idul Fitri Bukan Kembali Suci

Rumah Fiqih: Makna Idul Fitri Bukan Kembali Menjadi Suci

Al Manhaj: Makna Idul Fitri/Adha

Berdasarkan artikel-artikel tersebut, kita tahu bahwa makna sesungguhnya Idul Fitri adalah “Hari Raya Berbuka Puasa” atau “Hari Raya Makan”, yaitu hari ketika umat Muslim selesai menjalankan ibadah puasa, dan boleh kembali menikmati makan dan minum. Bahkan, berpuasa di hari Idul Fitri (1 Syawal) justru dilarang, karena hari itu memang ditujukan untuk “merayakan makanan”.

Karena itu pula, saat Idul Fitri, kita pun disyariatkan untuk berzakat fitrah, yang maknanya zakat dalam bentuk makanan (misalnya beras) kepada fakir miskin, untuk memastikan bahwa pada hari itu semua orang bisa makan. Kesimpulannya, Idul Fitri adalah “hari raya untuk makan”, dan bukan “hari raya untuk maaf-maafan”.

Berdasarkan uraian ini, kita kembali pada pertanyaan awal; siapakah sebenarnya yang kita tiru dan jadikan panutan, dalam hal maaf-maafan di hari lebaran? Mungkin tidak penting mempersoalkan siapa yang kita tiru. Yang lebih penting untuk kita pikirkan adalah, mayoritas Muslim melakukan sesuatu—maaf-maafan di hari lebaran—dengan meyakini itu ajaran Islam atau sunah Nabi, padahal tidak diajarkan Islam dan tidak dilakukan Nabi!

Memang benar, agama mana pun mengajarkan maaf dan saling memaafkan, termasuk Islam. Tetapi, menggunakan satu waktu tertentu untuk saling minta maaf—dalam hal ini lebaran—adalah mendistorsi esensi maaf, sekaligus mengubah makna lebaran sesungguhnya.

Jadi, jika ini mau disimpulkan, maka inilah kesimpulannya.

Pertama, hari raya Idul Fitri tidak dimaksudkan untuk maaf-maafan, karena hari itu ditujukan untuk merayakan akhir puasa. Idul Fitri adalah hari raya yang dimaksudkan untuk membahagiakan umat Muslim setelah sebulan berpuasa, dan—sekali lagi—tidak berhubungan dengan urusan maaf-maafan antarmanusia. Karenanya, menggunakan lebaran sebagai sarana untuk maaf-maafan sama artinya mengubah arti lebaran sesungguhnya yang dimaksudkan Nabi Muhammad SAW.

Memang, selain di Indonesia, di berbagai negara Islam juga terdapat budaya saling mengunjungi, atau berkumpul bersama saudara serta sanak famili saat lebaran tiba, dan hal itu disebut mu’ayadah (saling mengucapkan selamat Idul Fitri). Tetapi, sekali lagi, mereka tidak saling meminta maaf, apalagi sampai mengucapkan “Mohon maaf lahir dan batin.” Mereka hanya mengucapkan “Selamat Id.” Sudah, hanya itu.

Kedua, urusan maaf tidak terkait dengan lebaran atau hari raya apa pun, karena maaf adalah urusan personal antarmanusia, yang—sekali lagi—tidak berhubungan dengan hari raya apa pun. Jika dua orang saling berselisih, mereka memiliki kewajiban serta hak dalam meminta dan memberi maaf, tak peduli sedang hari raya atau bukan, tak peduli sedang merayakan lebaran atau tidak. Karenanya, menunggu datangnya Idul Fitri hanya untuk meminta dan memberi maaf sama artinya mendistorsi esensi maaf.

Itulah yang paling yang saya risaukan, hingga terpaksa menulis catatan ini. Gara-gara banyak orang menganggap Idul Fitri sebagai waktu untuk bermaaf-maafan, akibatnya banyak orang yang sengaja menunggu lebaran tiba hanya untuk meminta atau memberi maaf. Itu konyol! Wong mau minta dan memberi maaf saja menunggu lebaran. Wong mau mengakui kesalahan saja harus menunggu berbulan-bulan. Salahnya hari ini, minta maafnya tahun depan. Memangnya siapa yang menjamin tahun depan kita masih hidup?

Ketiga, maaf-maafan di hari lebaran sama sekali tidak diajarkan oleh agama, dengan bukti Nabi Muhammad SAW dan para sahabat tidak melakukan hal itu. Jika kita berdalih bahwa maaf-maafan di hari lebaran adalah bagian dari budaya (bukan agama), maka artinya setiap orang berhak memilih. Memilih untuk mengikuti atau memilih untuk tidak mengikuti—karena memang tidak ada kewajiban. Bagian inilah yang masih menjadi masalah.

Karena budaya itu dilembagakan dan dikaitkan dengan ajaran agama (yaitu hari raya Idul Fitri), orang-orang awam—khususnya yang tidak mau belajar—menganggap budaya maaf di hari lebaran sebagai ajaran agama. Akibatnya, ketika ada orang yang tidak bermaaf-maafan di hari lebaran, mereka menganggapnya salah. Sekali lagi, inilah yang masih menjadi masalah. Orang-orang awam masih kesulitan membedakan antara ajaran agama dan urusan budaya, sehingga kerap mencampurkan keduanya, atau bahkan menilai agama dan budaya secara terbalik.

Untuk hal tersebut, akan saya tuliskan di catatan berikutnya.

Noffret’s Note: Sekolah

Jika kelak anakku mengatakan bosan sekolah, aku akan tersenyum, dan
berkata, “Tidak mengherankan, Nak, karena aku dulu juga bosan sekolah!”
—Twitter, 12 Januari 2016

Sekolah ditujukan untuk mencerdaskan murid-murid. Dalam realitas,
sekolah cuma bikin pusing dan stres murid-murid. » http://bit.ly/1TKr694
—Twitter, 12 Januari 2016

Sebagai bocah, aku mengimpikan membangun sekolah yang membuat
murid-murid senang, gembira, dan betah belajar, hingga tidak ingin pulang.
—Twitter, 12 Januari 2016

Jika kelak anakku bilang malas sekolah, aku akan tertawa, dan berkata,
“Tidak mengherankan, Nak. Aku justru heran kalau kamu rajin sekolah!”
—Twitter, 12 Januari 2016

Kelak, aku tidak akan memaksa anak-anakku sekolah, tapi mereka wajib
belajar. Sekolah hanyalah soal pilihan, tapi belajar adalah kewajiban.
—Twitter, 12 Januari 2016


*) Ditranskrip dari timeline @noffret.

O, Wolah

Saya memasuki lorong yang dihimpit dinding di kanan kiri. Lorong itu selebar 1 meter. Ada dua orang di depan saya, dan mungkin ada beberapa orang lain di belakang saya.

Ketika melangkah, saya melihat dua orang di depan sempat menengok ke dinding bagian kanan, dan menggumam dengan suara yang cukup bisa didengar. Kalau tak salah dengar, dua orang itu sama-sama menggumam, “O, wolah.”

Saat saya tiba di tempat mereka, saya pun menengok ke dinding kanan. Rasa penasaran saya terjawab. Di dinding putih yang telah kelabu terdapat grafiti berbunyi, “O, wolah.” Entah apa maksud atau artinya.

Jadi, seperti dua orang tadi, saya ikut menggumam dengan suara cukup keras, “O, wolah.”

Orang di belakang saya rupanya mengikuti yang saya lakukan. Saat sampai di tempat tadi, dia juga mungkin menengok dinding kanan, dan melihat grafiti, lalu menggumam, “O, wolah.” Lalu hal itu diikuti orang-orang di belakangnya. Dan di belakangnya lagi. Dan di belakangnya lagi.

O, wolah. Apa pun artinya.

Selasa, 05 Juli 2016

Hening di Langit

Ya Tuhan, aku merindukan heningku.
Aku merindukan keheninganku.
@noffret


Saya menulis catatan ini di bulan Ramadan, pukul 01:00 dini hari. Penjelasan waktu tersebut perlu saya nyatakan, karena saya baru bisa mulai menulis—dan berpikir dengan baik—setelah hening. Dan Ramadan, setidaknya di tempat saya, adalah saat-saat yang bisa dibilang jauh dari keheningan.

Kebetulan, rumah saya berada di tempat yang relatif dekat dengan mushala dan masjid, juga TPQ (Taman Pendidikan Qur’an) dan pondok pesantren. Jadi, sewaktu-waktu, TOA mushala atau masjid akan terdengar, begitu pula suara dari TPQ atau dari pondok pesantren.

Tentu saja saya senang hidup di lingkungan yang—bisa dibilang—religius, tempat orang-orang dekat dengan ajaran agama. Tetapi, terus terang, saya sering tidak tahan dengan suara-suara keras yang ditimbulkan.

Dari mushala dan masjid, misalnya, setiap hari tentu akan mengumandangkan suara adzan lima kali. Tentu saja tidak masalah, dan saya juga tidak mempersoalkan, karena fungsi mushala dan masjid memang untuk shalat, dan mereka mengumandangkan adzan sebagai tanda masuknya waktu shalat. Di luar suara adzan, juga kerap terdengar suara lain, dari suara pengajian rutin, sampai pengumuman orang meninggal.

Mengenai pengumuman orang meninggal, saya pikir itu memang perlu disiarkan, agar masyarakat sekitar tahu bahwa ada anggota masyarakat di lingkungan mereka yang meninggal dunia. Tetapi mengenai pengajian rutin di masjid atau mushala, saya tidak paham kenapa harus pula disiarkan lewat TOA, sehingga suaranya dapat terdengar sangat keras dari mana pun, termasuk dari rumah saya.

Pengajian rutin itu biasanya dilakukan sehabis maghrib, sampai isya. Di lingkungan tempat tinggal saya ada dua mushala dan satu masjid. Dan acara pengajian itu bergilir rutin. Jadi, hampir setiap malam selalu terdengar TOA yang menyiarkan pengajian, yang suaranya sangat keras jika didengar dari rumah saya. Karenanya pula, tempat tinggal saya baru bisa dibilang hening setelah memasuki pukul 20:00 malam.

Sementara itu, pagi hari, habis subuh, terdengar suara orang mengaji dari masjid atau mushala yang juga dikeraskan TOA. Siang hari, sering terdengar suara-suara cukup keras dari TPQ atau pondok pesantren, dan sewaktu-waktu juga ada suara-suara keras dari perkumpulan ibu-ibu yang mengikuti acara barzanji. Semua “keramaian” itu bisa dibilang nyaris tanpa henti—hampir selalu ada setiap hari—hingga saya seperti menghadapi siklus kebisingan. Satu suara dari sana selesai, suara lain dari sini berbunyi, dan begitu seterusnya. 

Sekali lagi, saya bersyukur hidup di lingkungan yang—bisa dibilang—religius, tempat masyarakat dekat dengan ajaran agama. Saya senang melihat orang-orang rajin ke masjid, remaja-remaja aktif di pesantren, anak-anak mengaji di TPQ, sementara ibu-ibu menyenandungkan kasidah barzanji. Tetapi, demi Tuhan, suara bising TOA yang mereka timbulkan sering membuat saya memegangi kepala.

Dulu, waktu saya pertama kali menempati rumah yang sekarang saya tinggali, suasananya tidak/belum seramai sekarang. Bertahun-tahun lalu, tempat tinggal saya bisa dibilang damai, tenang, hening, dan minim kebisingan, hingga saya bisa menikmati keseharian dengan nyaman. Pagi hari, habis subuh, saya bisa menikmati kopi sambil membaca buku dengan tenang. Dari siang sampai malam, saya juga bisa bekerja dan belajar dengan khusyuk di rumah saya yang hening.

Tetapi, makin ke sini, seiring makin berkembangnya tempat ini, suara kebisingan semakin ramai. Saya tidak bisa lagi menikmati keheningan sehabis subuh, karena TOA dari masjid dan mushala kini memperdengarkan suara orang mengaji. Siang hari sampai sore, suara dari TPQ dan pesantren terdengar. Malam hari ada pengajian rutin dari mushala atau masjid, dan suara TOA kembali terdengar. Belum lagi kalau pas bulan Ramadan. Seperti sekarang.

Selama Ramadan, nyaris bisa dibilang tak pernah ada keheningan di tempat tinggal saya. Pagi hari, habis subuh, seperti biasa sudah terdengar suara TOA. Siang hari, anak-anak meledakkan petasan. Sore hari, aneka suara dari masjid dan mushala terdengar.

Kemudian, malam hari sampai tengah malam terdengar suara orang mengaji disiarkan TOA. Saya baru bisa mulai menikmati keheningan saat pukul 01:00 dini hari, itu pun tidak lama. Karena memasuki pukul 02:00 dan seterusnya akan terdengar suara anak-anak yang berkeliling kompleks, membangunkan orang-orang untuk sahur. Suara lagi, bising lagi.

Jadi, bisa dibilang, selama Ramadan saya benar-benar merindukan hening—sesuatu yang paling saya cintai di dunia ini. Sebagai manusia, saya bisa bekerja, belajar, dan melakukan apa pun dengan baik dan khusyuk, jika dalam keheningan, tanpa suara dan kebisingan. Sebagai makhluk, saya bisa beribadah dengan baik dan khusyuk, jika dalam keheningan, tanpa suara dan kebisingan.

Tetapi, selama Ramadan, betapa jauhnya hening dari hidup saya. Dari pagi sampai pagi lagi, saya kesulitan meraih hening, karena terus dan terus dan terus yang terdengar adalah suara-suara, pekak dan bising. Ironis, kalau dipikir-pikir, betapa saya justru jauh dari kekhusyukan pada bulan Ramadan, waktu ketika seharusnya saya menjalani hidup lebih khusyuk.

Ya Tuhan, saya merindukan keheningan... saya merindukan hening.

Saya tidak tahu apakah hanya saya yang merasakan semua ini, ataukah orang lain mungkin merasakan hal yang sama. Dalam hidup, saya memaknai ibadah—dan segala perilaku ibadah—sebagai sesuatu yang esensial, dan bukan artifisial. Karena bersifat esensial, saya pun menganggap bahwa seharusnya ibadah dilakukan dengan khusyuk, dengan hening, dengan sunyi.

Menyiarkan ibadah atau perilaku ibadah melalui TOA agar bisa didengar dari mana-mana, adalah mengubah sesuatu yang esensial menjadi artifisial. Tanpa keheningan, tanpa kekhusyukan. Ketika yang esensial diubah menjadi artifisial, niat pun bisa berubah. Yang semula berniat ibadah, bisa berubah niat menjadi pamer. Yang semula tulus ikhlas, bisa berubah harap pujian. Yang semula mempersembahkan ibadah untuk Tuhan, bisa berubah pameran di hadapan manusia.

Seperti Ramadan, seperti sekarang. Puasa adalah ibadah sunyi, ibadah hening, karena (seharusnya) hanya diketahui oleh si pelaku dan oleh Tuhan. Selama satu bulan umat Muslim berpuasa, dan itu artinya selama satu bulan mereka menjalankan ibadah hening, ibadah sunyi. Tetapi mungkin sebagian orang tidak tahan dengan keheningan, hingga terpaksa mempertunjukkan ibadah lain dengan suara keras. Mungkin sebagian orang tidak mampu menahan diri beribadah dalam kesunyian, hingga terpaksa memperdengarkan ibadah lain melalui TOA.

Karena melakukan sesuatu dalam sunyi memang jauh dari pujian. Karena melakukan sesuatu dalam hening memang tak bisa dibanggakan.

Tak Habis Pikir

Aku tak habis pikir dengan orang-orang yang menganggap kebisingan
sebagai kehebatan, yang menganggap kerasnya suara sebagai tanda kebenaran.
—Twitter, 16 Juni 2016

Aku tak habis pikir dengan orang-orang yang menganggap mulia
dalam pandangan manusia sama artinya mulia di mata Tuhan.
—Twitter, 16 Juni 2016

Aku tak habis pikir dengan orang-orang yang menganggap kebisingan
sebagai hal penting, padahal bulan dan angin dan alam hidup dalam hening.
—Twitter, 16 Juni 2016

Aku tak habis pikir dengan orang-orang yang menyembah suaranya sambil
merasa sedang menyembah Tuhannya, yang memuja diri sambil merasa suci.
—Twitter, 16 Juni 2016

Aku tak habis pikir dengan orang-orang yang merusak keheningan dengan
dalih kebenaran, padahal kebenaran selalu bersenandung dalam hening.
—Twitter, 16 Juni 2016

Aku tak habis pikir dengan orang-orang yang keras bersuara, berharap
teriakannya didengarkan, padahal dirinya sendiri tak mendengar apa-apa.
—Twitter, 16 Juni 2016

....
....

Ada suatu masa ketika manusia menyembah diri sendiri sambil merasa
menyembah Tuhannya, membohongi diri sendiri sambil merasa benar dan suci.
—Twitter, 16 Juni 2016

Ada “sia” dalam “manusia”. Saat mereka ramai berteriak, bersahutan,
menciptakan kebisingan, mereka pun sungguh sia-sia. Oh, well, sia-sia.
—Twitter, 16 Juni 2016


*) Ditranskrip dari timeline @noffret.

Noffret’s Note: Nasihat

Mataku minus 1, dan matamu minus 5. Kalau kau memakai kacamataku,
kau tidak bisa melihat apa-apa. Begitu pun kalau aku memakai kacamatamu.
—Twitter, 12 November 2015

Celanaku yang paling enak dipakai adalah yang paling lusuh. Tapi kalau
kau memakainya, pasti terasa tidak nyaman. Begitu pun sebaliknya.
—Twitter, 12 November 2015

Nasihatku kepada diri sendiri: Jangan pernah menasihati, jangan pernah
menasihati, dan jangan pernah menasihati siapa pun yang tidak minta.
—Twitter, 12 November 2015

Ada sesuatu yang memiliki nilai tinggi dan sangat mulia, tapi menjadi
tak berharga ketika diberikan tanpa diminta. Yaitu NASIHAT.
—Twitter, 12 November 2015

Orang paling membosankan di dunia adalah dia yang suka menasihati
siapa pun tanpa diminta. Melalui mulutnya, nasihat menjadi sampah!
—Twitter, 12 November 2015

Kelak, jika anakku bertanya kenapa aku tidak pernah menasihatinya,
aku akan menjawab, “Aku tidak ingin menjadi orangtua membosankan bagimu.”
—Twitter, 12 November 2015

Ironisnya, kita tahu, orang yang paling rajin menasihati orang lain
adalah orang yang paling tidak bisa menasihati diri sendiri.
—Twitter, 12 November 2015

Kelak, aku akan berkata kepada anakku, “Aku tidak akan pernah
menasihatimu, Nak. Tetapi, kalau kau membutuhkan nasihatku, mintalah.”
—Twitter, 12 November 2015

Saat kecil, orangtua menasihatiku. Saat besar, guru-guru menasihatiku.
Saat dewasa, aku bisa menasihati diri sendiri. Jadi, tutup mulutmu.
—Twitter, 12 November 2015

“Jadi orang itu harus begini, harus begitu...” | Apakah kau menjalani hidup
yang persis hidupku? Tidak? Kalau begitu, tutup saja cocotmu!
—Twitter, 12 November 2015

Kalau aku punya pacar, dan dia suka menasihatiku, aku akan berkata
kepadanya, “Tolong jangan jadi nenek sihir bangsat membosankan, Sayang.”
—Twitter, 12 November 2015


*) Ditranskrip dari timeline @noffret.

Jumat, 01 Juli 2016

Lara Terluka (4)

Catatan ini lanjutan catatan sebelumnya. Untuk mendapatkan pemahaman yang lebih baik, bacalah catatan sebelumnya terlebih dulu.

***

Lulus dari SMA, Riza menganggur karena tidak ada biaya untuk melanjutkan pendidikan. Selama menganggur, Riza bekerja apa adanya—termasuk meneruskan pekerjaannya dulu di tempat penjemuran ikan—agar bisa mendapat uang. Sampai kemudian, ada seorang teman yang menawarinya bekerja di sebuah tempat, dan pekerjaan Riza di sana adalah menggambar.

Dalam hal itu, Riza tertolong oleh bakat terpendam yang tampaknya ia miliki. Bertahun-tahun lalu, saat melihat Seno menggambar di buku tulis, Riza langsung tertarik. Ketika kemudian Riza asyik menggambar di buku tulisnya sendiri, dia juga menikmati aktivitas itu, dan menyadari bisa menggambar seperti Seno. Sayang, keasyikannya dirusak oleh ibunya. Kini, dia ditawari pekerjaan menggambar. Seketika dia langsung tertarik. Sejak itu, Riza pun bekerja di sana.

Pekerjaan menggambar tidak semudah kedengarannya. Dalam pekerjaan itu, Riza harus bisa memindah penjelasan verbal ke dalam gambar, dan hal itu membutuhkan ketekunan, bahkan detail yang rinci. Semula dia menghadapi kesulitan, sebagaimana umumnya pekerja baru. Tetapi, seiring waktu, Riza mulai menikmati pekerjaan itu. Saat asyik menggambar, dia bisa melupakan segala masalahnya, kepahitan hidupnya, bahkan bisa melupakan diri sendiri. Di atas semua itu, dia mendapat penghasilan yang lumayan.

Sekitar empat tahun setelah mendapat pekerjaan itu—hingga ia bisa mengumpulkan cukup uang—Riza memutuskan untuk mengontrak rumah, agar bisa hidup sendirian. Motivasinya sederhana; dia ingin menjauh dari segala kepahitan dan penderitaan yang ada di rumah orangtuanya. Dia ingin memulai kehidupan baru, sambil berusaha menyembuhkan luka dan trauma di dalam batinnya.

Di rumah kontrakannya, Riza menjalani hidup sendirian, dan dia menikmati keadaan itu. Semula, dia sempat berpikir bahwa kehidupannya menuju happy ending. Tapi ternyata jalan takdir masih berliku.

Keluarga Riza menempati rumah tinggalan kakek mereka (kakek dari pihak ayah). Artinya, rumah itu juga hak milik adik-adik ayahnya yang juga menjadi ahli waris. Selama ini, mereka membiarkan kelarga Riza menempati rumah tersebut, mungkin karena kasihan pada ayah Riza yang tidak punya rumah. Tetapi, saat ayah Riza meninggal, adik-adik ayah Riza pun menuntut rumah tersebut. Mereka meminta agar rumah itu dijual, agar mereka memperoleh warisan yang memang menjadi hak mereka.

Riza kebingungan. Jika rumah itu harus dijual, lalu ibu dan adik-adiknya harus tinggal di mana? Memang benar, Riza telah tinggal di rumah sendiri, meski mengontrak. Tapi rumah kontrakannya sangat sempit, dan tidak mungkin ditinggali ibu serta adik-adiknya. Ibu Riza bahkan dengan tegas mengatakan tidak akan bersedia jika harus tinggal di rumah kontrakan Riza.

Akhirnya, Riza mencoba menghubungi famili (adik-adik ayahnya), dan meminta kebijaksanaan. Riza mengatakan, dia akan berusaha mengumpulkan uang untuk dapat membeli atau mengontrak rumah yang bisa dihuni ibu serta adik-adiknya. Jadi, dia minta waktu pada para familinya, untuk tidak segera menjual rumah mereka, sampai Riza bisa membeli atau mengontrak rumah lain bagi keluarganya.

Para famili, yang mungkin menyadari keadaan Riza, menerima tawaran itu. Meski begitu, mereka juga tidak mau menunggu terlalu lama. Bagaimana pun, mereka telah menunggu berpuluh tahun untuk mendapat hak warisan mereka, karena rumah itu ditinggali ayah Riza beserta keluarganya. Jadi, mereka sekarang bersedia menunggu, tapi meminta agar tidak terlalu lama.

Semua yang terjadi itu semakin membebani pikiran dan batin Riza. Kehidupan yang semula ia pikir mulai membaik ternyata justru memburuk. Dia memilih untuk meninggalkan rumah orangtuanya, dan hidup sendirian, dengan harapan tidak lagi “disakiti” orangtuanya, tapi nyatanya hal itu terjadi... terus terjadi.

“Apa salahku?” pikir Riza berkali-kali saat frustrasi, dan biasanya dia lalu menangis sendirian.

Semua beban batin dan kekacauan pikiran itu kemudian berdampak di tempat kerjanya. Semula, Riza hanya bekerja seorang diri, dan tidak ada masalah. Tetapi, karena semakin banyaknya pekerjaan, dua pekerja baru masuk, dan bekerja bersamanya. Sejak itu, mulai terjadi konflk dan masalah di tempat kerja.

Sosok Riza yang pemurung, kepribadiannya yang rendah diri, dan kadang-kadang meledak saat marah, membuat hubungannya dengan teman kerjanya tidak bisa dibilang baik. Hal itu masih ditambah ketidakmampuan Riza dalam berinteraksi dengan orang lain, karena sulit bergaul.

Semula, saat bekerja sendirian, dia tidak mengalami masalah apa pun, karena yang perlu ia lakukan hanya menerima intruksi, lalu mengerjakan tugasnya, dan menyelesaikan dengan baik. Tetapi, setelah ada pekerja lain, dan interaksi antarpekerja tak bisa dihindarkan, berbagai masalah mulai muncul. Singkat cerita, kondisi itu menjadikan suasana kerja sangat tidak nyaman, dan Riza akhirnya memilih mengalah. Dia mengundurkan diri dari sana, dan bekerja secara freelance.

Sejak itu, Riza bekerja di rumah kontrakannya, sendirian, tanpa orang lain—kondisi yang ia pikir lebih baik. Meski sekarang dia tidak lagi mendapat gaji rutin seperti sebelumnya, setidaknya dia bisa menjalani kehidupan dan pekerjaan dengan lebih tenang dan lebih nyaman. Sewaktu-waktu dia mendapatkan job, dan memperoleh penghasilan, sewaktu-waktu dia terpaksa menganggur karena tidak ada yang dikerjakan. Seiring dengan itu, dia terus dibebani pikiran untuk segera mencarikan rumah bagi keluarganya.

Riza menjalani kehidupan yang gelap dan suram seperti itu hingga lama, sampai kemudian dia kenal dengan Febri, yang lalu mempertemukannya dengan kami. Dini hari itu, saat saya duduk diam mendengarkan Riza menceritakan semua kisah ini, saya terpaku menatapnya. Saat melihat wajahnya yang murung, penampilannya yang kaku, dan ucapannya yang tergagap, saya seperti dipaksa menyadari bahwa di balik sosok itu tersembunyi begitu banyak luka dan penderitaan.

(Sebenarnya, ada banyak detail lain yang diceritakan Riza kepada saya—hal-hal yang sungguh mengerikan dan memalukan yang ia alami, terkait orangtuanya. Tetapi, sejujurnya, saya sangat risih jika harus menuliskannya di sini, meski Riza mengizinkan saya menulisnya.)

Setelah terdiam sesaat menatap saya, Riza berkata, “K-kamu mau mendengarkan yang paling buruk dari semua yang telah kuceritakan?”

Saya terkejut. “Kupikir, kamu telah menceritakan semua yang terburuk.”

Di luar dugaan, dia tersenyum. “A-ada yang lebih buruk.”

Seperti yang diceritakan tadi, Riza mengontrak rumah yang ia tinggali sendirian. Karena kurang bisa bergaul, Riza pun bisa dibilang tidak terlalu akrab dengan para tetangga. Beberapa tetangga bahkan menganggap Riza tidak mau bergaul dengan lingkungan sekitar, tanpa menyadari bahwa Riza memang tidak bisa atau tidak tahu bagaimana caranya.

“A-aku ingin sekali bergaul s-sama mereka,” ujar Riza. “T-tapi aku sering kebingungan. T-tidak tahu caranya. Kadang aku diundang pas ada a-acara kumpul-kumpul warga, dan terus terang aku kebingungan saat berada di tengah-tengah orang banyak.”

Saya bisa memahami sepenuhnya yang dirasakan Riza, karena saya pun sering mengalami hal semacam itu. Orang-orang kadang mudah berprasangka hanya dengan melihat hal-hal yang tampak, tanpa menyadari bahwa ada hal-hal tak tampak yang menyebabkan. Tidak semua orang dikaruniai kemampuan mudah bergaul. Kalau kau tumbuh dalam kehidupan yang penuh luka, trauma, luka, dan trauma, kau pun akan mengalami kenyataan seperti itu.

Kemudian, Riza menuturkan, hal yang sangat menyiksanya adalah ketika para tetangga—seperti umumnya masyarakat di mana pun—bertanya-tanya, “Kapan kawin?”

Tetangga-tetangga Riza mungkin menilai Riza sebagai lajang yang mandiri—sudah tinggal di rumah sendiri, meski mengontrak, sudah bekerja, dan sekilas tak punya beban apa pun. Tetapi, sekali lagi, itu adalah hal-hal yang tampak. Di kedalaman hidup Riza, ada banyak hal tak tampak yang menjadi beban batin Riza, kerisauan yang membuat hidupnya tak pernah tenang. Tentang nasib keluarganya, adik-adiknya, dirinya sendiri...

“S-sebenarnya, a-aku ingin sekali menikah,” ujar Riza dengan jujur. “Ya, aku ingin menikah, punya pasangan, dan membayangkan hidup tenteram. T-tapi beban dan masalahku masih banyak...”

Setelah terdiam sesaat, Riza melanjutkan, “S-sejujurnya, aku sangat marah dan sakit hati setiap mendengar orang bertanya kapan kawin. A-aku ingin kawin, ingin menikah—s-siapa yang tidak? T-tapi kenyataan yang kuhadapi—beban dan masalah yang kutanggung—tidak memungkinkan. A-aku juga t-tidak tahu bagaimana mendekati perempuan.”

Sampai di sini, keheningan menggantung.

Seperti yang diceritakan di atas, Riza sangat rendah diri, dan hal itu mempengaruhi sikapnya terhadap orang lain, khususnya lawan jenis. Riza tak pernah punya keberanian mendekati lawan jenis. Karena jangankan berinteraksi dengan perempuan, bahkan saat berinteraksi dengan sesama lelaki pun dia sering takut dan kebingungan. Dan saya menyaksikan sendiri kenyataan itu. Saat pertama kali Riza bertemu saya dan yang lain, sikapnya tampak kaku dan bingung.

“A-apa salahku?” tiba-tiba Riza bertanya. “O-orangtuaku, yang seharusnya membesarkanku dengan baik, justru merusakku sampai aku seperti ini. S-sejak kecil sampai dewasa, yang kuhadapi hanya masalah, derita, kepahitan, luka.... Anak-anak lain menghadapi kegembiraan saat memiliki orangtua, tapi aku menghadapi luka dan petaka. Orangtua lain mati meninggalkan warisan, sementara orangtuaku mati meninggalkan masalah. A-apa salahku? Menurutmu, apa salahku?”

Saya memahami maksud pertanyaan itu—pertanyaan sama yang sering terngiang dalam benak saya sendiri. Riza sedang mempertanyakan apa salahnya, sampai dia harus dilahirkan hanya untuk menanggung luka, kepahitan, dan penderitaan yang tak kunjung usai. Riza mempertanyakan, apa salahnya sampai ada orangtua yang tega melahirkannya ke dunia hanya untuk disakiti, dilukai, disakiti, dilukai....

Saya menatapnya, dan berkata perlahan-lahan, “Kamu tidak bersalah apa pun. Seperti juga anak-anak malang yang lain. Beberapa dari kita mungkin memang dilahirkan untuk terluka.”

Kami terdiam.

Di kejauhan, suara adzan subuh terdengar. 

 
;