Selasa, 05 Juli 2016

Hening di Langit

Ya Tuhan, aku merindukan heningku.
Aku merindukan keheninganku.
@noffret


Saya menulis catatan ini di bulan Ramadan, pukul 01:00 dini hari. Penjelasan waktu tersebut perlu saya nyatakan, karena saya baru bisa mulai menulis—dan berpikir dengan baik—setelah hening. Dan Ramadan, setidaknya di tempat saya, adalah saat-saat yang bisa dibilang jauh dari keheningan.

Kebetulan, rumah saya berada di tempat yang relatif dekat dengan mushala dan masjid, juga TPQ (Taman Pendidikan Qur’an) dan pondok pesantren. Jadi, sewaktu-waktu, TOA mushala atau masjid akan terdengar, begitu pula suara dari TPQ atau dari pondok pesantren.

Tentu saja saya senang hidup di lingkungan yang—bisa dibilang—religius, tempat orang-orang dekat dengan ajaran agama. Tetapi, terus terang, saya sering tidak tahan dengan suara-suara keras yang ditimbulkan.

Dari mushala dan masjid, misalnya, setiap hari tentu akan mengumandangkan suara adzan lima kali. Tentu saja tidak masalah, dan saya juga tidak mempersoalkan, karena fungsi mushala dan masjid memang untuk shalat, dan mereka mengumandangkan adzan sebagai tanda masuknya waktu shalat. Di luar suara adzan, juga kerap terdengar suara lain, dari suara pengajian rutin, sampai pengumuman orang meninggal.

Mengenai pengumuman orang meninggal, saya pikir itu memang perlu disiarkan, agar masyarakat sekitar tahu bahwa ada anggota masyarakat di lingkungan mereka yang meninggal dunia. Tetapi mengenai pengajian rutin di masjid atau mushala, saya tidak paham kenapa harus pula disiarkan lewat TOA, sehingga suaranya dapat terdengar sangat keras dari mana pun, termasuk dari rumah saya.

Pengajian rutin itu biasanya dilakukan sehabis maghrib, sampai isya. Di lingkungan tempat tinggal saya ada dua mushala dan satu masjid. Dan acara pengajian itu bergilir rutin. Jadi, hampir setiap malam selalu terdengar TOA yang menyiarkan pengajian, yang suaranya sangat keras jika didengar dari rumah saya. Karenanya pula, tempat tinggal saya baru bisa dibilang hening setelah memasuki pukul 20:00 malam.

Sementara itu, pagi hari, habis subuh, terdengar suara orang mengaji dari masjid atau mushala yang juga dikeraskan TOA. Siang hari, sering terdengar suara-suara cukup keras dari TPQ atau pondok pesantren, dan sewaktu-waktu juga ada suara-suara keras dari perkumpulan ibu-ibu yang mengikuti acara barzanji. Semua “keramaian” itu bisa dibilang nyaris tanpa henti—hampir selalu ada setiap hari—hingga saya seperti menghadapi siklus kebisingan. Satu suara dari sana selesai, suara lain dari sini berbunyi, dan begitu seterusnya. 

Sekali lagi, saya bersyukur hidup di lingkungan yang—bisa dibilang—religius, tempat masyarakat dekat dengan ajaran agama. Saya senang melihat orang-orang rajin ke masjid, remaja-remaja aktif di pesantren, anak-anak mengaji di TPQ, sementara ibu-ibu menyenandungkan kasidah barzanji. Tetapi, demi Tuhan, suara bising TOA yang mereka timbulkan sering membuat saya memegangi kepala.

Dulu, waktu saya pertama kali menempati rumah yang sekarang saya tinggali, suasananya tidak/belum seramai sekarang. Bertahun-tahun lalu, tempat tinggal saya bisa dibilang damai, tenang, hening, dan minim kebisingan, hingga saya bisa menikmati keseharian dengan nyaman. Pagi hari, habis subuh, saya bisa menikmati kopi sambil membaca buku dengan tenang. Dari siang sampai malam, saya juga bisa bekerja dan belajar dengan khusyuk di rumah saya yang hening.

Tetapi, makin ke sini, seiring makin berkembangnya tempat ini, suara kebisingan semakin ramai. Saya tidak bisa lagi menikmati keheningan sehabis subuh, karena TOA dari masjid dan mushala kini memperdengarkan suara orang mengaji. Siang hari sampai sore, suara dari TPQ dan pesantren terdengar. Malam hari ada pengajian rutin dari mushala atau masjid, dan suara TOA kembali terdengar. Belum lagi kalau pas bulan Ramadan. Seperti sekarang.

Selama Ramadan, nyaris bisa dibilang tak pernah ada keheningan di tempat tinggal saya. Pagi hari, habis subuh, seperti biasa sudah terdengar suara TOA. Siang hari, anak-anak meledakkan petasan. Sore hari, aneka suara dari masjid dan mushala terdengar.

Kemudian, malam hari sampai tengah malam terdengar suara orang mengaji disiarkan TOA. Saya baru bisa mulai menikmati keheningan saat pukul 01:00 dini hari, itu pun tidak lama. Karena memasuki pukul 02:00 dan seterusnya akan terdengar suara anak-anak yang berkeliling kompleks, membangunkan orang-orang untuk sahur. Suara lagi, bising lagi.

Jadi, bisa dibilang, selama Ramadan saya benar-benar merindukan hening—sesuatu yang paling saya cintai di dunia ini. Sebagai manusia, saya bisa bekerja, belajar, dan melakukan apa pun dengan baik dan khusyuk, jika dalam keheningan, tanpa suara dan kebisingan. Sebagai makhluk, saya bisa beribadah dengan baik dan khusyuk, jika dalam keheningan, tanpa suara dan kebisingan.

Tetapi, selama Ramadan, betapa jauhnya hening dari hidup saya. Dari pagi sampai pagi lagi, saya kesulitan meraih hening, karena terus dan terus dan terus yang terdengar adalah suara-suara, pekak dan bising. Ironis, kalau dipikir-pikir, betapa saya justru jauh dari kekhusyukan pada bulan Ramadan, waktu ketika seharusnya saya menjalani hidup lebih khusyuk.

Ya Tuhan, saya merindukan keheningan... saya merindukan hening.

Saya tidak tahu apakah hanya saya yang merasakan semua ini, ataukah orang lain mungkin merasakan hal yang sama. Dalam hidup, saya memaknai ibadah—dan segala perilaku ibadah—sebagai sesuatu yang esensial, dan bukan artifisial. Karena bersifat esensial, saya pun menganggap bahwa seharusnya ibadah dilakukan dengan khusyuk, dengan hening, dengan sunyi.

Menyiarkan ibadah atau perilaku ibadah melalui TOA agar bisa didengar dari mana-mana, adalah mengubah sesuatu yang esensial menjadi artifisial. Tanpa keheningan, tanpa kekhusyukan. Ketika yang esensial diubah menjadi artifisial, niat pun bisa berubah. Yang semula berniat ibadah, bisa berubah niat menjadi pamer. Yang semula tulus ikhlas, bisa berubah harap pujian. Yang semula mempersembahkan ibadah untuk Tuhan, bisa berubah pameran di hadapan manusia.

Seperti Ramadan, seperti sekarang. Puasa adalah ibadah sunyi, ibadah hening, karena (seharusnya) hanya diketahui oleh si pelaku dan oleh Tuhan. Selama satu bulan umat Muslim berpuasa, dan itu artinya selama satu bulan mereka menjalankan ibadah hening, ibadah sunyi. Tetapi mungkin sebagian orang tidak tahan dengan keheningan, hingga terpaksa mempertunjukkan ibadah lain dengan suara keras. Mungkin sebagian orang tidak mampu menahan diri beribadah dalam kesunyian, hingga terpaksa memperdengarkan ibadah lain melalui TOA.

Karena melakukan sesuatu dalam sunyi memang jauh dari pujian. Karena melakukan sesuatu dalam hening memang tak bisa dibanggakan.

 
;