Jumat, 01 Juli 2016

Lara Terluka (4)

Catatan ini lanjutan catatan sebelumnya. Untuk mendapatkan pemahaman yang lebih baik, bacalah catatan sebelumnya terlebih dulu.

***

Lulus dari SMA, Riza menganggur karena tidak ada biaya untuk melanjutkan pendidikan. Selama menganggur, Riza bekerja apa adanya—termasuk meneruskan pekerjaannya dulu di tempat penjemuran ikan—agar bisa mendapat uang. Sampai kemudian, ada seorang teman yang menawarinya bekerja di sebuah tempat, dan pekerjaan Riza di sana adalah menggambar.

Dalam hal itu, Riza tertolong oleh bakat terpendam yang tampaknya ia miliki. Bertahun-tahun lalu, saat melihat Seno menggambar di buku tulis, Riza langsung tertarik. Ketika kemudian Riza asyik menggambar di buku tulisnya sendiri, dia juga menikmati aktivitas itu, dan menyadari bisa menggambar seperti Seno. Sayang, keasyikannya dirusak oleh ibunya. Kini, dia ditawari pekerjaan menggambar. Seketika dia langsung tertarik. Sejak itu, Riza pun bekerja di sana.

Pekerjaan menggambar tidak semudah kedengarannya. Dalam pekerjaan itu, Riza harus bisa memindah penjelasan verbal ke dalam gambar, dan hal itu membutuhkan ketekunan, bahkan detail yang rinci. Semula dia menghadapi kesulitan, sebagaimana umumnya pekerja baru. Tetapi, seiring waktu, Riza mulai menikmati pekerjaan itu. Saat asyik menggambar, dia bisa melupakan segala masalahnya, kepahitan hidupnya, bahkan bisa melupakan diri sendiri. Di atas semua itu, dia mendapat penghasilan yang lumayan.

Sekitar empat tahun setelah mendapat pekerjaan itu—hingga ia bisa mengumpulkan cukup uang—Riza memutuskan untuk mengontrak rumah, agar bisa hidup sendirian. Motivasinya sederhana; dia ingin menjauh dari segala kepahitan dan penderitaan yang ada di rumah orangtuanya. Dia ingin memulai kehidupan baru, sambil berusaha menyembuhkan luka dan trauma di dalam batinnya.

Di rumah kontrakannya, Riza menjalani hidup sendirian, dan dia menikmati keadaan itu. Semula, dia sempat berpikir bahwa kehidupannya menuju happy ending. Tapi ternyata jalan takdir masih berliku.

Keluarga Riza menempati rumah tinggalan kakek mereka (kakek dari pihak ayah). Artinya, rumah itu juga hak milik adik-adik ayahnya yang juga menjadi ahli waris. Selama ini, mereka membiarkan kelarga Riza menempati rumah tersebut, mungkin karena kasihan pada ayah Riza yang tidak punya rumah. Tetapi, saat ayah Riza meninggal, adik-adik ayah Riza pun menuntut rumah tersebut. Mereka meminta agar rumah itu dijual, agar mereka memperoleh warisan yang memang menjadi hak mereka.

Riza kebingungan. Jika rumah itu harus dijual, lalu ibu dan adik-adiknya harus tinggal di mana? Memang benar, Riza telah tinggal di rumah sendiri, meski mengontrak. Tapi rumah kontrakannya sangat sempit, dan tidak mungkin ditinggali ibu serta adik-adiknya. Ibu Riza bahkan dengan tegas mengatakan tidak akan bersedia jika harus tinggal di rumah kontrakan Riza.

Akhirnya, Riza mencoba menghubungi famili (adik-adik ayahnya), dan meminta kebijaksanaan. Riza mengatakan, dia akan berusaha mengumpulkan uang untuk dapat membeli atau mengontrak rumah yang bisa dihuni ibu serta adik-adiknya. Jadi, dia minta waktu pada para familinya, untuk tidak segera menjual rumah mereka, sampai Riza bisa membeli atau mengontrak rumah lain bagi keluarganya.

Para famili, yang mungkin menyadari keadaan Riza, menerima tawaran itu. Meski begitu, mereka juga tidak mau menunggu terlalu lama. Bagaimana pun, mereka telah menunggu berpuluh tahun untuk mendapat hak warisan mereka, karena rumah itu ditinggali ayah Riza beserta keluarganya. Jadi, mereka sekarang bersedia menunggu, tapi meminta agar tidak terlalu lama.

Semua yang terjadi itu semakin membebani pikiran dan batin Riza. Kehidupan yang semula ia pikir mulai membaik ternyata justru memburuk. Dia memilih untuk meninggalkan rumah orangtuanya, dan hidup sendirian, dengan harapan tidak lagi “disakiti” orangtuanya, tapi nyatanya hal itu terjadi... terus terjadi.

“Apa salahku?” pikir Riza berkali-kali saat frustrasi, dan biasanya dia lalu menangis sendirian.

Semua beban batin dan kekacauan pikiran itu kemudian berdampak di tempat kerjanya. Semula, Riza hanya bekerja seorang diri, dan tidak ada masalah. Tetapi, karena semakin banyaknya pekerjaan, dua pekerja baru masuk, dan bekerja bersamanya. Sejak itu, mulai terjadi konflk dan masalah di tempat kerja.

Sosok Riza yang pemurung, kepribadiannya yang rendah diri, dan kadang-kadang meledak saat marah, membuat hubungannya dengan teman kerjanya tidak bisa dibilang baik. Hal itu masih ditambah ketidakmampuan Riza dalam berinteraksi dengan orang lain, karena sulit bergaul.

Semula, saat bekerja sendirian, dia tidak mengalami masalah apa pun, karena yang perlu ia lakukan hanya menerima intruksi, lalu mengerjakan tugasnya, dan menyelesaikan dengan baik. Tetapi, setelah ada pekerja lain, dan interaksi antarpekerja tak bisa dihindarkan, berbagai masalah mulai muncul. Singkat cerita, kondisi itu menjadikan suasana kerja sangat tidak nyaman, dan Riza akhirnya memilih mengalah. Dia mengundurkan diri dari sana, dan bekerja secara freelance.

Sejak itu, Riza bekerja di rumah kontrakannya, sendirian, tanpa orang lain—kondisi yang ia pikir lebih baik. Meski sekarang dia tidak lagi mendapat gaji rutin seperti sebelumnya, setidaknya dia bisa menjalani kehidupan dan pekerjaan dengan lebih tenang dan lebih nyaman. Sewaktu-waktu dia mendapatkan job, dan memperoleh penghasilan, sewaktu-waktu dia terpaksa menganggur karena tidak ada yang dikerjakan. Seiring dengan itu, dia terus dibebani pikiran untuk segera mencarikan rumah bagi keluarganya.

Riza menjalani kehidupan yang gelap dan suram seperti itu hingga lama, sampai kemudian dia kenal dengan Febri, yang lalu mempertemukannya dengan kami. Dini hari itu, saat saya duduk diam mendengarkan Riza menceritakan semua kisah ini, saya terpaku menatapnya. Saat melihat wajahnya yang murung, penampilannya yang kaku, dan ucapannya yang tergagap, saya seperti dipaksa menyadari bahwa di balik sosok itu tersembunyi begitu banyak luka dan penderitaan.

(Sebenarnya, ada banyak detail lain yang diceritakan Riza kepada saya—hal-hal yang sungguh mengerikan dan memalukan yang ia alami, terkait orangtuanya. Tetapi, sejujurnya, saya sangat risih jika harus menuliskannya di sini, meski Riza mengizinkan saya menulisnya.)

Setelah terdiam sesaat menatap saya, Riza berkata, “K-kamu mau mendengarkan yang paling buruk dari semua yang telah kuceritakan?”

Saya terkejut. “Kupikir, kamu telah menceritakan semua yang terburuk.”

Di luar dugaan, dia tersenyum. “A-ada yang lebih buruk.”

Seperti yang diceritakan tadi, Riza mengontrak rumah yang ia tinggali sendirian. Karena kurang bisa bergaul, Riza pun bisa dibilang tidak terlalu akrab dengan para tetangga. Beberapa tetangga bahkan menganggap Riza tidak mau bergaul dengan lingkungan sekitar, tanpa menyadari bahwa Riza memang tidak bisa atau tidak tahu bagaimana caranya.

“A-aku ingin sekali bergaul s-sama mereka,” ujar Riza. “T-tapi aku sering kebingungan. T-tidak tahu caranya. Kadang aku diundang pas ada a-acara kumpul-kumpul warga, dan terus terang aku kebingungan saat berada di tengah-tengah orang banyak.”

Saya bisa memahami sepenuhnya yang dirasakan Riza, karena saya pun sering mengalami hal semacam itu. Orang-orang kadang mudah berprasangka hanya dengan melihat hal-hal yang tampak, tanpa menyadari bahwa ada hal-hal tak tampak yang menyebabkan. Tidak semua orang dikaruniai kemampuan mudah bergaul. Kalau kau tumbuh dalam kehidupan yang penuh luka, trauma, luka, dan trauma, kau pun akan mengalami kenyataan seperti itu.

Kemudian, Riza menuturkan, hal yang sangat menyiksanya adalah ketika para tetangga—seperti umumnya masyarakat di mana pun—bertanya-tanya, “Kapan kawin?”

Tetangga-tetangga Riza mungkin menilai Riza sebagai lajang yang mandiri—sudah tinggal di rumah sendiri, meski mengontrak, sudah bekerja, dan sekilas tak punya beban apa pun. Tetapi, sekali lagi, itu adalah hal-hal yang tampak. Di kedalaman hidup Riza, ada banyak hal tak tampak yang menjadi beban batin Riza, kerisauan yang membuat hidupnya tak pernah tenang. Tentang nasib keluarganya, adik-adiknya, dirinya sendiri...

“S-sebenarnya, a-aku ingin sekali menikah,” ujar Riza dengan jujur. “Ya, aku ingin menikah, punya pasangan, dan membayangkan hidup tenteram. T-tapi beban dan masalahku masih banyak...”

Setelah terdiam sesaat, Riza melanjutkan, “S-sejujurnya, aku sangat marah dan sakit hati setiap mendengar orang bertanya kapan kawin. A-aku ingin kawin, ingin menikah—s-siapa yang tidak? T-tapi kenyataan yang kuhadapi—beban dan masalah yang kutanggung—tidak memungkinkan. A-aku juga t-tidak tahu bagaimana mendekati perempuan.”

Sampai di sini, keheningan menggantung.

Seperti yang diceritakan di atas, Riza sangat rendah diri, dan hal itu mempengaruhi sikapnya terhadap orang lain, khususnya lawan jenis. Riza tak pernah punya keberanian mendekati lawan jenis. Karena jangankan berinteraksi dengan perempuan, bahkan saat berinteraksi dengan sesama lelaki pun dia sering takut dan kebingungan. Dan saya menyaksikan sendiri kenyataan itu. Saat pertama kali Riza bertemu saya dan yang lain, sikapnya tampak kaku dan bingung.

“A-apa salahku?” tiba-tiba Riza bertanya. “O-orangtuaku, yang seharusnya membesarkanku dengan baik, justru merusakku sampai aku seperti ini. S-sejak kecil sampai dewasa, yang kuhadapi hanya masalah, derita, kepahitan, luka.... Anak-anak lain menghadapi kegembiraan saat memiliki orangtua, tapi aku menghadapi luka dan petaka. Orangtua lain mati meninggalkan warisan, sementara orangtuaku mati meninggalkan masalah. A-apa salahku? Menurutmu, apa salahku?”

Saya memahami maksud pertanyaan itu—pertanyaan sama yang sering terngiang dalam benak saya sendiri. Riza sedang mempertanyakan apa salahnya, sampai dia harus dilahirkan hanya untuk menanggung luka, kepahitan, dan penderitaan yang tak kunjung usai. Riza mempertanyakan, apa salahnya sampai ada orangtua yang tega melahirkannya ke dunia hanya untuk disakiti, dilukai, disakiti, dilukai....

Saya menatapnya, dan berkata perlahan-lahan, “Kamu tidak bersalah apa pun. Seperti juga anak-anak malang yang lain. Beberapa dari kita mungkin memang dilahirkan untuk terluka.”

Kami terdiam.

Di kejauhan, suara adzan subuh terdengar. 

 
;