Jumat, 08 Juli 2016

Lebaran dan Maaf yang Tidak Jelas

Dari Abu Hurairah, bahwasanya Rasulullah SAW bersabda,
“Barangsiapa melakukan kezaliman kepada saudaranya,
hendaklah meminta dihalalkan (dimaafkan) darinya; karena
di sana (akhirat) tidak ada lagi perhitungan dinar dan dirham,
sebelum kebaikannya diberikan kepada saudaranya, dan—jika ia
tidak punya kebaikan lagi—maka keburukan saudaranya
akan diambil dan diberikan kepadanya.”
Hadist riwayat Bukhari nomor 6.169


Ada yang khas setiap kali lebaran datang. Selain baju baru, rumah rapi, opor ayam serta aneka makanan di rumah, adat lain yang biasa muncul setiap kali Idul Fitri adalah saling meminta dan memberi maaf.

Umumnya, di mana-mana, orang saling mengunjungi, bersalaman, sungkeman, saling meminta maaf, halal bihalal, dan semacamnya. Sebagian orang bahkan mengucapkan “Minal aidin walfaizin”, sambil dengan pede meyakini artinya “Mohon maaf lahir dan batin”. Jika semua ritual itu dikerucutkan, maka hal besar yang terjadi pada hari raya Idul Fitri adalah waktu untuk saling minta maaf dan memaafkan.

Yang satu keluarga saling sungkem. Yang bertetangga atau bersaudara saling mengunjungi. Yang berteman saling bertemu di acara halal bihalal. Yang sekadar kenal saling berkirim SMS minta maaf. Bahkan yang sama sekali tidak saling kenal pun tetap merasa perlu untuk minta maaf di hari lebaran. Karenanya, inti hari raya Idul Fitri adalah saling maaf dan memaafkan. Tetapi, apakah memang begitu?

Pada masa Nabi Muhammad SAW masih hidup, hari raya Idul Fitri juga sudah ada, karena Idul Fitri memang disyariatkan sejak masa Nabi Muhammad SAW. Perayaan Idul Fitri juga terus dilanjutkan pada masa para sahabat, hingga tabi’in-tabi’at, sampai pada zaman kita sekarang.

Pertanyaannya, apakah di masa Nabi Muhammad SAW ada orang-orang yang saling sungkeman dan maaf-maafan di hari raya Idul Fitri? Tidak ada! Apakah para sahabat semacam Abu Bakar, Umar bin Khattab, Ustman bin Affan, dan Ali bin Abi Thalib, saling bersalaman dan meminta maaf di hari lebaran? Juga tidak! Apakah para sahabat lain mengadakan acara halal bihalal pada waktu lebaran? Sekali lagi, tidak!

Silakan telusuri ke sumber tarih atau sejarah Islam mana pun—atau pelajari kitab-kitab salaf mana pun—dan kita tidak akan menemukan acara maaf-maafan di hari lebaran, pada masa Nabi Muhammad SAW maupun pada masa para sahabat.

Padahal, faktor pendorong untuk bermaaf-maafan juga sudah ada pada zaman mereka. Para sahabat juga memiliki kesalahan kepada sesama, bahkan mereka adalah orang yang berhati-hati dalam urusan menjaga hubungan dengan orang lain. Karenanya, jika memang hari raya Idul Fitri dimaksudkan untuk meminta dan memberi maaf, maka tentunya mereka menjadi orang-orang pertama yang akan melakukannya.

Tapi kenyataannya tidak!

Fathimah, putri Nabi Muhammad SAW, tidak pernah dikisahkan melakukan “sungkem” kepada sang ayah maupun kepada sang suami pada hari raya Idul Fitri. Abu Bakar tidak pernah dikisahkan bermaaf-maafan dengan Umar bin Khattab atau yang lain sambil berkata “minal aidin walfaizin” di hari raya Idul Fitri. Sementara para sahabat lain—bahkan umat Muslim lain pada masa Nabi Muhammad SAW hidup—tidak pernah dikisahkan membuat acara halal bihalal atau semacamnya.

Jadi, siapakah sebenarnya yang kita tiru dalam urusan maaf-maafan di hari lebaran? Siapakah sebenarnya yang kita ikuti dalam urusan ini? Jika orang Islam mengakui Nabi Muhammad SAW sebagai panutan dalam segala hal, padahal Sang Nabi tidak melakukan acara maaf-maafan di hari lebaran, siapakah sebenarnya yang kita jadikan panutan...? Dan, lebih penting lagi, kenapa kita melakukannya?

Satu kesalahan yang tidak dikoreksi memang akan melahirkan serentetan kesalahan lain, sebagaimana satu kesesatan yang tidak diverifikasi akan menyesatkan orang-orang lain. Begitu pula soal maaf, sungkeman, halal bihalal, dan semacamnya, di hari lebaran. Cobalah cari satu saja ayat atau hadist sahih yang meminta kita untuk sungkeman atau saling meminta maaf di hari lebaran. Ada? Tidak ada!

Jadi, dari mana sebenarnya asal usul “maaf tidak jelas”, yang dilakukan banyak orang di hari lebaran?

Jawabannya panjang. Setidaknya, kita harus flashback ke masa lalu, ke masa 266 tahun yang lalu.

Dua ratus enam puluh enam tahun yang lalu, Mangkunegara I (lahir 8 April 1725) mendirikan Praja Mangkunegaran, sebuah kadipaten agung di wilayah Jawa Tengah bagian tenggara. Sebagai pemimpin, Mangkunegara I punya kebiasaan melihat keadaan rakyatnya. Setahun sekali, seusai melaksanakan shalat Id pada hari raya Idul Fitri, Mangkunegara I akan menemui rakyatnya di desa-desa, menyambangi para punggawa dan bawahannya—bukan untuk meminta maaf, tapi untuk melihat keadaan rakyatnya.

Kebiasaan itu terus dilakukan setiap tahun, pada hari lebaran, sehingga para bawahan dan rakyat Mangkunegaran di masa itu hafal kebiasaan raja mereka. Karenanya, setiap tahun sekali, rakyat Mangkunegaran akan bersiap-siap menyambut kedatangan sang Raja, dan mereka bergembira saat melihatnya. Karena menyadari raja akan datang, rakyat pun menyiapkan segalanya, termasuk rumah yang diperbaiki atau dicat warna baru, memakai baju baru atau yang pantas, sampai menyiapkan makanan, minuman, serta jajan di rumah.

Sampai kemudian, seiring bertambahnya usia, Mangkunegara I mulai merasa berat melakukan kebiasaan tersebut. Selain karena fisik yang makin lemah, berkeliling ke desa-desa untuk menyambangi rakyat dan bawahan membutuhkan sumber daya yang tidak sedikit. Akhirnya, untuk menghemat waktu, tenaga, pikiran, serta biaya, kebiasaan itu lalu dibalik. Jika sebelumnya sang Raja yang mendatangi bawahan dan rakyatnya, sekarang para bawahan dan rakyat yang mendatangi Raja.

Jadi, sejak itu, setiap selesai shalat Id di hari raya Idul Fitri, rakyat Mangkunegaran—bersama punggawa, prajurit, dan para pejabat lain—berdatangan ke istana, untuk menemui raja mereka. Pada masa itu, Mangkunegara I bersama permaisuri duduk menyambut di balai istana, sementara para bawahan dan rakyat berdatangan, melakukan sungkem, dengan tertib, sopan, sebagaimana sikap rakyat kepada raja. Kebiasaan itu lalu berlangsung setiap tahun, tahun demi tahun.

Berabad-abad kemudian, kebiasaan itu rupanya masih ditiru. Ketika Republik Indonesia terbentuk, berbagai instansi pemerintah mengadakan acara “halal bihalal” dan “sungkeman” setahun sekali, lalu rakyat—kita semua—meniru. Setahun sekali, selesai melakukan shalat Id di hari lebaran, orang-orang saling sungkem, saling meminta maaf. Padahal dasar sungkem dan minta maaf ini tidak jelas. Karena, sekali lagi, siapakah yang kita tiru dan jadikan panutan dalam hal ini?

Jika kita meniru Nabi Muhammad SAW, beliau tidak melakukan hal itu. Jika kita meniru Mangkunegara I, yang dilakukannya pun bukan meminta dan memberi maaf, melainkan sekadar bertemu rakyat dan bawahan. Jadi, dalam urusan maaf di hari lebaran, siapakah sebenarnya yang kita tiru dan jadikan panutan? Lebih penting lagi, apa sebenarnya tujuan dan esensi maaf kita di hari lebaran?

Sebagian orang awam—bahkan orang-orang yang sok ustad—mungkin akan menjelaskan, kira-kira seperti ini, “Hari raya Idul Fitri adalah hari setelah selesainya bulan Ramadan. Selama satu bulan, umat Muslim berpuasa di bulan Ramadan, karena itu mereka kembali suci, kembali kepada fitrah. Untuk menyempurnakan hal itu, kita pun saling bermaaf-maafan di hari lebaran. Karena itulah, Idul Fitri memiliki makna kembali kepada fitri atau kembali suci.”

Oh, well, kedengarannya baik. Dan apakah penjelasan itu benar? Salah!

Selama ini, kebanyakan orang—yang tentunya Muslim—mengartikan “Idul Fitri” sebagai “kembali ke fitrah” atau “kembali suci”. Padahal itu salah! Arti “Idul Fitri” bukan “kembali kepada fitrah”, sebagaimana arti “minal aidin walfaizin” juga bukan “mohon maaf lahir dan batin”. Inilah contoh sekaligus bukti nyata bagaimana sikap sok tahu dan sok pintar yang dilakukan orang-orang sok alim telah menyesatkan banyak orang!

Daripada saya ngoceh panjang lebar menjelaskan hal ini, saya bisa merekomendasikan penjelasan detail seputar hal tersebut, dan kalian bisa membacanya langsung di situs-situs terpercaya berikut, agar tahu apa sebenarnya arti Idul Fitri:

Konsultasi Syari’ah: Idul Fitri Bukan Kembali Suci

Rumah Fiqih: Makna Idul Fitri Bukan Kembali Menjadi Suci

Al Manhaj: Makna Idul Fitri/Adha

Berdasarkan artikel-artikel tersebut, kita tahu bahwa makna sesungguhnya Idul Fitri adalah “Hari Raya Berbuka Puasa” atau “Hari Raya Makan”, yaitu hari ketika umat Muslim selesai menjalankan ibadah puasa, dan boleh kembali menikmati makan dan minum. Bahkan, berpuasa di hari Idul Fitri (1 Syawal) justru dilarang, karena hari itu memang ditujukan untuk “merayakan makanan”.

Karena itu pula, saat Idul Fitri, kita pun disyariatkan untuk berzakat fitrah, yang maknanya zakat dalam bentuk makanan (misalnya beras) kepada fakir miskin, untuk memastikan bahwa pada hari itu semua orang bisa makan. Kesimpulannya, Idul Fitri adalah “hari raya untuk makan”, dan bukan “hari raya untuk maaf-maafan”.

Berdasarkan uraian ini, kita kembali pada pertanyaan awal; siapakah sebenarnya yang kita tiru dan jadikan panutan, dalam hal maaf-maafan di hari lebaran? Mungkin tidak penting mempersoalkan siapa yang kita tiru. Yang lebih penting untuk kita pikirkan adalah, mayoritas Muslim melakukan sesuatu—maaf-maafan di hari lebaran—dengan meyakini itu ajaran Islam atau sunah Nabi, padahal tidak diajarkan Islam dan tidak dilakukan Nabi!

Memang benar, agama mana pun mengajarkan maaf dan saling memaafkan, termasuk Islam. Tetapi, menggunakan satu waktu tertentu untuk saling minta maaf—dalam hal ini lebaran—adalah mendistorsi esensi maaf, sekaligus mengubah makna lebaran sesungguhnya.

Jadi, jika ini mau disimpulkan, maka inilah kesimpulannya.

Pertama, hari raya Idul Fitri tidak dimaksudkan untuk maaf-maafan, karena hari itu ditujukan untuk merayakan akhir puasa. Idul Fitri adalah hari raya yang dimaksudkan untuk membahagiakan umat Muslim setelah sebulan berpuasa, dan—sekali lagi—tidak berhubungan dengan urusan maaf-maafan antarmanusia. Karenanya, menggunakan lebaran sebagai sarana untuk maaf-maafan sama artinya mengubah arti lebaran sesungguhnya yang dimaksudkan Nabi Muhammad SAW.

Memang, selain di Indonesia, di berbagai negara Islam juga terdapat budaya saling mengunjungi, atau berkumpul bersama saudara serta sanak famili saat lebaran tiba, dan hal itu disebut mu’ayadah (saling mengucapkan selamat Idul Fitri). Tetapi, sekali lagi, mereka tidak saling meminta maaf, apalagi sampai mengucapkan “Mohon maaf lahir dan batin.” Mereka hanya mengucapkan “Selamat Id.” Sudah, hanya itu.

Kedua, urusan maaf tidak terkait dengan lebaran atau hari raya apa pun, karena maaf adalah urusan personal antarmanusia, yang—sekali lagi—tidak berhubungan dengan hari raya apa pun. Jika dua orang saling berselisih, mereka memiliki kewajiban serta hak dalam meminta dan memberi maaf, tak peduli sedang hari raya atau bukan, tak peduli sedang merayakan lebaran atau tidak. Karenanya, menunggu datangnya Idul Fitri hanya untuk meminta dan memberi maaf sama artinya mendistorsi esensi maaf.

Itulah yang paling yang saya risaukan, hingga terpaksa menulis catatan ini. Gara-gara banyak orang menganggap Idul Fitri sebagai waktu untuk bermaaf-maafan, akibatnya banyak orang yang sengaja menunggu lebaran tiba hanya untuk meminta atau memberi maaf. Itu konyol! Wong mau minta dan memberi maaf saja menunggu lebaran. Wong mau mengakui kesalahan saja harus menunggu berbulan-bulan. Salahnya hari ini, minta maafnya tahun depan. Memangnya siapa yang menjamin tahun depan kita masih hidup?

Ketiga, maaf-maafan di hari lebaran sama sekali tidak diajarkan oleh agama, dengan bukti Nabi Muhammad SAW dan para sahabat tidak melakukan hal itu. Jika kita berdalih bahwa maaf-maafan di hari lebaran adalah bagian dari budaya (bukan agama), maka artinya setiap orang berhak memilih. Memilih untuk mengikuti atau memilih untuk tidak mengikuti—karena memang tidak ada kewajiban. Bagian inilah yang masih menjadi masalah.

Karena budaya itu dilembagakan dan dikaitkan dengan ajaran agama (yaitu hari raya Idul Fitri), orang-orang awam—khususnya yang tidak mau belajar—menganggap budaya maaf di hari lebaran sebagai ajaran agama. Akibatnya, ketika ada orang yang tidak bermaaf-maafan di hari lebaran, mereka menganggapnya salah. Sekali lagi, inilah yang masih menjadi masalah. Orang-orang awam masih kesulitan membedakan antara ajaran agama dan urusan budaya, sehingga kerap mencampurkan keduanya, atau bahkan menilai agama dan budaya secara terbalik.

Untuk hal tersebut, akan saya tuliskan di catatan berikutnya.

 
;