Selasa, 19 Juli 2016

Memeluk Sunyi

Bunyi genta perlahan menjauh,
makin sayup... makin sayup.
Hanya sunyi yang abadi.
@noffret


Knight and Day adalah salah satu film favorit saya. Film action itu dibintangi Tom Cruise dan Cameron Diaz. Ada satu scene dalam film tersebut yang tak pernah bisa saya lupakan. Ketika sedang berkonfrontasi dengan penjahat, Tom Cruise sempat mengajak Cameron Diaz ke sebuah pulau kecil tak berpenghuni.

Di pulau itu, Tom Cruise memiliki rumah sederhana, menikmati makanan dari hasil laut, sementara di sekeliling pulau tumbuh pohon-pohon hijau dibatasi lautan lepas. Tidak ada apa-apa di sana, bahkan tidak ada siapa-siapa. Yang ada hanya sunyi.

Saat menyaksikan itu, saya membayangkan alangkah damai jika bisa menjalani dan menikmati kehidupan di tempat mirip pulau tersebut. Udaranya bersih, tidak ada polusi apa pun—karena tidak ada kendaraan—dan tempat itu juga sunyi karena tidak ada suara manusia. Oh, well, yang menjadikan bumi luar biasa bising adalah manusia. Jika manusia tidak ada, bumi menjadi tempat yang sunyi.

....
....

Saya tidak tahu apa yang terjadi dengan diri saya. Yang jelas, saya benar-benar tidak tahan dengan suara-suara keras atau kebisingan. Terus terang, kepala saya bisa sakit jika mendengar suara-suara bising, lalu emosi saya meletup. Akhirnya bisa menggumpal menjadi stres, atau ledakan amarah. Itu sering saya alami. Saya benar-benar tidak tahan dengan bising.

Setiap kali datang ke rumah orangtua, misalnya, kepala saya langsung sakit. Di rumah ortu selalu terdengar suara televisi yang—bagi saya—sangat keras. Dulu, saya belum memahami hal itu. Yang saya tahu, setiap kali datang ke rumah ortu, pikiran saya tidak pernah nyaman. Kepala sakit, rasanya ingin marah, dan tiba-tiba saya merasa stres. Itu membuat suasana pertemuan dengan ortu jadi tidak baik. Anehnya, begitu saya pulang, dan kembali ke rumah saya sendiri, semua perasaan tidak enak itu hilang.

Lama-lama saya menyadari, bahwa akar masalah yang saya alami di rumah orangtua adalah suara televisi di sana yang keras. Nyokap saya—seperti umumnya ibu-ibu lain—sangat akrab dengan televisi. Jadi, sejak pagi hari, televisi di rumah terus menyala sampai sore, sampai malam. Kadang televisi itu tidak ditonton, karena nyokap tentu tidak akan terus menerus duduk di depan televisi. Tetapi dia tidak pernah mematikan televisi. Karena, menurutnya, keseharian terasa kurang jika tidak ada suara televisi.

Jadi, setiap kali saya datang ke sana, seketika suara televisi menyambut. Dan itu membuat saya stres. Kini, setiap kali datang ke rumah ortu, saya pun selalu meminta nyokap—atau adik saya—untuk mematikan televisi, atau setidaknya melirihkan suaranya. Begitu televisi dimatikan, saya merasa “plong”—sejenis perasaan lega dan nyaman yang tak bisa diungkapkan kata-kata—dan kepala saya terasa ringan.

Bukan hanya suara televisi, saya juga sering tidak tahan dengan suara-suara lain yang sama keras atau bising. Seperti suara TOA, misalnya. Atau suara TOA. Atau, yeah... suara TOA.

Saya kerap membayangkan, bumi akan menjadi tempat yang jauh lebih hening, kalau saja tidak ada TOA. Tapi benda terkutuk itu sudah telanjur diciptakan, dan saya bisa apa?

Sebenarnya tidak ada yang salah dengan TOA, wong itu benda mati. Manusialah yang menggunakannya... atau yang menyalahgunakannya. Sebagai pengeras suara, TOA tentu saja memiliki manfaat. Seperti untuk memperdengarkan seruan azan bagi umat Muslim. Atau untuk menyiarkan berita warga yang meninggal dunia. Atau untuk mengabarkan sesuatu yang memang penting diketahui masyarakat luas dengan cepat.

Tetapi, di luar hal-hal semacam itu, saya tidak habis pikir kenapa masih menggunakan TOA. Akibatnya, udara dipenuhi polusi suara yang memekakkan telinga. Apalagi jika kebetulan lingkungan kita penuh TOA. Satu TOA di sana mati, TOA di sini menyala. TOA di sini mati, TOA di sono mengeluarkan suara. Dan begitu seterusnya. Ya Tuhan, kapan manusia—setidaknya saya—bisa sejenak menikmati keheningan?

Karenanya, saat melihat Tom Cruise berada di sebuah pulau sunyi tanpa penghuni, sebagaimana yang terlihat di film Knight and Day, saya membayangkan alangkah indah dan damai jika bisa hidup di tempat seperti itu. Tanpa TOA, tanpa suara, tanpa kebisingan yang memekakkan telinga.

Terkait kebisingan, saya sering tak habis pikir dengan kebanyakan orang. Apa mereka tidak budeg mendengar suara demi suara yang tak pernah berhenti? Apa telinga mereka tidak pekak dihujani kebisingan demi kebisingan setiap hari? Di atas semua itu, mungkinkah mereka dapat berpikir jernih, jika kepala mereka terus dihantam kebisingan tanpa usai?

Saya tidak tahu. Yang saya tahu, kepala saya sakit setiap kali mendengar kebisingan tanpa henti, dan mood saya rusak. Karenanya, saat mendengar suara bising, saya mudah stres dan gampang marah.

Itu latar belakang kenapa saya selalu suka tinggal di rumah, karena hanya di rumahlah saya bisa menikmati keheningan, memeluk kesunyian, hingga saya merasa menjadi manusia yang utuh. Seutuhnya manusia.

Kenyataan itu pula yang sering membuat saya “ngeri” jika membayangkan punya istri, anak-anak, dan membangun keluarga. Saya khawatir istri saya juga pemuja suara televisi—seperti umumnya wanita atau ibu-ibu lain—lalu dia mengubah kesunyian di rumah menjadi kebisingan tanpa henti. Jika istri saya bukan penyembah televisi, bisa jadi anak-anak kami yang akan terus menghidupkan televisi. Saya tidak bisa membayangkan “serusak” apa kehidupan saya kelak, jika hal semacam itu terjadi.

Saat ini, karena tinggal sendirian, rumah saya sunyi. Suara yang terdengar di rumah saya adalah suara-suara dari luar—suara kendaraan sampai suara TOA. Itu pun sudah membuat saya tersiksa. Karenanya, jika saya menjadi Magneto, hal pertama yang akan saya lakukan adalah menghancurkan semua TOA di muka bumi.

Karenanya pula, sering kali saya mengimpikan punya rumah di tempat lain yang lebih nyaman, lebih sunyi, lebih minim suara. Jika memungkinkan, saya ingin tinggal di tempat yang hanya dihuni sedikit orang. Karena semakin banyak orang, semakin bising suara yang mereka timbulkan.

Sebagian orang—yang biasanya tak pernah berpikir—mungkin ingin menanyakan, “Apa enak hidup sunyi tanpa suara apa-apa?”

Untuk menjawab pertanyaan itu, sekarang saya ingin bercerita.

Di Colorado, AS, tepatnya di Wyoming, ada sebuah desa bernama Buford. Desa itu mungkin tidak terkenal, karena memang desa biasa. Tetapi, yang membuatnya istimewa, Desa Buford hanya dihuni oleh 1 orang. Satu-satunya penghuni desa itu adalah lelaki bernama Don Sammons.

Don Sammons semula tinggal di Los Angeles. Setelah beristri dan punya anak, dia dan keluarganya memutuskan untuk pindah ke Wyoming, yang biaya hidupnya tidak semahal Los Angeles. Maka hiduplah mereka di Desa Buford. Semula, Desa Buford dihuni sekitar 2.000 penduduk, dan rata-rata bekerja di perusahaan kereta api sebagai perawat rel (memperbaiki rel kereta jika terjadi kerusakan).

Saat datang ke Desa Buford, Don Sammons membawa cukup banyak uang. Jadi, di sana dia membangun sebuah toko kecil, yang dilengkapi sebuah pom bensin. Kehidupan mereka bisa dibilang biasa-biasa saja, seperti umumnya masyarakat di pedesaan. Meski tempat itu relatif baik dari segi alam, tapi banyak pihak yang menganggap Buford sulit berkembang.

Seiring waktu, penduduk Buford memutuskan untuk meninggalkan desa, demi mencari penghidupan yang lebih baik di wilayah lain. Selama bertahun-tahun, satu per satu penduduk di sana pindah ke tempat lain, dan jumlah penduduk Buford terus berkurang. Sampai kemudian cuma keluarga Don Sammons yang masih menetap di sana—dia, istrinya, dan satu anak lelaki. Saat si anak sudah cukup besar, anak Don Sammons juga memutuskan untuk mencari penghidupan di tempat lain.

Jadi, sejak itu, tinggal Don Sammons dan istrinya yang masih menetap di Desa Buford. Tidak lama kemudian, sang istri meninggal dunia, hingga Don Sammons benar-benar menjadi satu-satunya penduduk yang menempati Desa Buford. Dia tinggal sendirian di sana. Tanpa siapa pun. Dan dia telah menjalani kehidupan yang sunyi itu selama bertahun-tahun.

Bagaimana Don Sammons menghidupi dirinya sendiri? Dia punya toko dan pom bensin, yang melayani para pengemudi lintas negara. Setiap hari, selalu ada orang yang datang untuk mengisi bensin, atau mengirimkan stok barang untuk tokonya. Jadi, tanpa harus ke mana-mana, Don Sammons bisa tetap makan dan memperoleh rezeki.

Saat ditanya, apakah dia kesepian menjalani hidup sendirian bertahun-tahun, Don Sammons menyatakan, “Kadang saya memang kesepian. Di sini sangat sunyi, karena tidak ada manusia, tidak ada suara apa-apa. Tetapi, di dalam kesunyianlah saya menyadari arti hidup, menyadari arti menjadi manusia.”

Sampai saat ini, Don Sammons masih hidup bersama sunyi.

 
;