Minggu, 28 Agustus 2016

Catatan Perokok Kepada yang Tidak Merokok

Beberapa orang dilahirkan ke dunia ketika halilintar menggemuruh,
sebagian lain terlahir ketika mentari terbit di ambang subuh.
@noffret


Berbulan-bulan lalu, saat kami sedang mengobrol berdua, seorang teman menunjukkan tweet di Twitter, berisi judul artikel. Bunyinya, “Merokok Bisa Menyebabkan Bodoh”. Judul itu diikuti sebuah link atau tautan menuju artikel yang dimaksud.

Teman saya bertanya, “Kamu percaya artikel itu?”

Saya menjawab, “Percaya.”

Dia menegaskan, “Kamu percaya kalau merokok bisa membuat bodoh?”

“Iya, percaya.”

“Kenapa kamu percaya?”

Saya menjawab, “Karena aku telah membuktikannya.”

Setelah terdiam sejenak seperti ragu-ragu, dia kembali berkata, “Bagaimana kamu membuktikan kalau merokok bisa membuat bodoh?”

Sebelum menjawab pertanyaan itu, saya menyulut rokok. Setelah mengisapnya sesaat, saya menjelaskan, “Aku merokok sejak SD. Artinya, aku telah merokok selama bertahun-tahun. Dan aku telah merasakan akibatnya. Yaitu menjadi bodoh, persis seperti yang tertulis di artikel itu. Mungkin karena terlalu banyak merokok, aku jadi sangat... sangat bodoh. Karena menyadari sangat bodoh itulah, aku pun rajin belajar, sampai sekarang. Sampai saat ini, aku masih suka belajar, bahkan belajar sangat keras, karena menyadari aku sangat bodoh.”

Mendengar penjelasan itu, entah kenapa, dia malah ngakak sejadi-jadinya.

....
....

Saya menulis catatan ini sebagai bentuk tanggung jawab moral, sekaligus klarifikasi. Di berbagai catatan di blog ini, saya kerap menunjukkan terang-terangan kalau saya perokok. Saya bahkan kadang menulis catatan yang secara frontal menyerang orang-orang yang suka berkampanye antirokok.

Sekarang, meski dengan segan, saya terpaksa menulis catatan ini untuk menjelaskan hal tersebut, agar tidak ada yang salah paham, juga agar orang-orang yang bukan perokok bisa lebih berempati kepada perokok. Lebih penting lagi, saya menulis catatan ini agar tidak ada bocah-bocah yang merokok dengan berdalih karena meniru saya. Merokok mungkin tidak akan membuatmu bodoh—itu klaim yang lebay. Tetapi, meski begitu, sebaiknya tidak usah merokok.

Ini serius. Kalau kau bukan perokok, atau belum pernah merokok, sebaiknya jangan merokok. Tetaplah jalani gaya hidup tanpa rokok. Bukan karena tidak merokok itu keren. Tapi karena merokok atau tidak adalah soal pilihan. Kalian, sebagaimana saya, bisa memilih. Memilih untuk merokok, atau memilih untuk tidak merokok. Dan, sebagai perokok, saya berharap kalian memilih untuk tidak merokok. Sekali lagi, ini serius.

Sekarang, saya ingin menceritakan bagaimana saya mengenal rokok, dan mengapa sampai sekarang tetap merokok. Catatan ini hanya ingin bercerita, dan semoga cerita ini bisa menjadi pelajaran bagi kita semua.

Well, menjelaskan kebiasaan saya merokok tidak bisa dilepaskan dari penyebab kenapa saya merokok. Jadi, sebelum menghakimi saya—atau siapa pun yang merokok—cari tahu terlebih dulu kenapa orang merokok. Saya tidak tahu kenapa orang lain merokok. Tetapi, yang jelas, saya mengenal rokok hingga menjadi perokok sampai sekarang, karena pengaruh pergaulan dan latar belakang personal.

Di banyak catatan di blog ini, saya sudah sering menjelaskan kisah hidup saya sejak kecil sampai dewasa sekarang. Kalau rutin membaca, kalian tentu tahu bahwa sejak kelas lima SD saya sudah hidup di jalanan, untuk mencari uang, akibat kemiskinan. Di jalanan, saya tentu bergaul dengan anak-anak jalanan lain, yang sama-sama dilahirkan dalam kemiskinan, kurang pendidikan, dan rentan terpengaruh kekerasan serta hal-hal lain yang negatif. Rokok salah satunya.

Pergaulan di jalanan itulah yang lalu mempengaruhi saya, hingga mengenal rokok dan menjadi perokok. Kalian tentu tahu bagaimana kuatnya pengaruh pergaulan. Jangankan pergaulan di jalanan, bahkan pergaulan di sekolah atau di kampus pun memiliki tekanan amat besar, yang sulit dihindari.

Di jalanan, setiap hari saya berinteraksi dengan anak-anak lain yang merokok, mabuk, nyimeng, dan lain-lain. Dengan segala tekanan yang ada, bagaimana pun saya terpengaruh. Meski begitu, saya berupaya membatasi diri, agar hanya terpengaruh secara minimal. Dalam hal ini, sebatas merokok. Jadi, saya telah merokok sejak SD. Tetapi, sekali lagi, hanya sebatas rokok. Tuhan menjadi saksi atas kebenaran kata-kata ini.

Sejujurnya, saya sangat berat menghadapi masa-masa itu. Teman-teman saya di jalanan tidak hanya merokok, tapi juga biasa mabuk juga ngoplo (waktu itu pil koplo sedang hit). Tetapi, seperti yang dibilang tadi, saya membatasi diri hanya pada rokok. Itu, terus terang, luar biasa berat. Kau berkumpul dengan sekelompok bocah, dan mereka semua merokok dan mabuk dan nyimeng dan ngoplo, dan kau tetap berupaya untuk tidak terpengaruh. Dan, sekali lagi, Tuhan menjadi saksi atas kebenaran kata-kata ini.

Ketika akhirnya saya meninggalkan jalanan, saya tetap merokok. Karena terbiasa. Lebih dari itu, saya merasa rokok menjadi teman setia. Sebagai introver, saya kurang bisa berinteraksi dengan orang lain. Kondisi itu, ditambah kemiskinan dan latar belakang yang suram, membuat saya sangat tertutup, dan menjadikan saya kurang bisa bergaul. Dalam kenyataan semacam itu, rokok menjadi teman bagi kesepian yang saya jalani. Karena itu pula, saya sulit melepaskan diri dari rokok.

Bertahun-tahun kemudian, saya masih merokok. Pertama, karena kebiasaan. Kedua, karena merasa rokok bisa menjadi teman di kesendirian. Ketiga, terkait tuntutan pekerjaan yang menggunakan pikiran, rokok terasa membantu konsentrasi.

Saya tidak tahu apakah merokok benar-benar bisa membantu konsentrasi, atau hanya sebatas sugesti. Dan bukan itu yang ingin saya bahas.

Ada setumpuk penelitian yang bisa digunakan untuk meletakkan rokok di tempat yang terhormat, sebagaimana ada setumpuk penelitian yang bisa dimanfaatkan untuk menjatuhkan rokok ke tempat yang paling nista. Itu mudah. Oh, well, membuat hal-hal semacam itu sangat mudah. Di luar sana ada bocah-bocah pintar yang bisa dibayar untuk melakukan “penelitian”, “kajian”, atau “survei” apa pun, dan di dunia ini ada jutaan idiot yang bisa dikibuli mentah-mentah. Tetapi, sekali lagi, bukan itu yang ingin saya bahas.

Yang ingin saya bahas di sini adalah mengenai penyebab kenapa seseorang sampai merokok. Dalam kasus saya, kebiasaan merokok terjadi karena pergaulan, dan kepribadian saya yang introver. Karena kemiskinan, saya hidup di jalanan. Karena hidup di jalanan, saya bergaul dengan anak-anak yang merokok. Seiring perjalanan waktu, saya merasa rokok bisa menjadi “teman baik” bagi bocah kesepian yang introver seperti saya. Jadi, saya pun memilih merokok.

Ada sebab di balik setiap akibat, ada latar belakang di balik setiap kebiasaan. Akibat tidak turun tiba-tiba dari langit, sebagaimana kebiasaan tidak terbentuk seketika. Karenanya, sebelum menghakimi para perokok dengan setumpuk tuduhan dan ocehan macam-macam, cobalah berempati terlebih dulu, dengan bertanya, “Kenapa?” Tanyakan pada mereka, kenapa mereka merokok. Mengetahui akar penyebab seseorang merokok jauh lebih baik, daripada sekadar menghakimi orang merokok.

Umpama saat ini ada orang ngoceh macam-macam tentang bahaya rokok kepada saya, terus terang saya hanya akan tersenyum. Atau bilang persetan dengannya. Oh, jangankan cuma ngoceh macam-macam, bahkan umpama kau menodongkan pistol ke kepala saya agar berhenti merokok, saya akan tetap menyulut rokok, dan persetan denganmu!

You see this? Karenanya, segala macam ocehan dan koar-koar yang biasa ditujukan kepada perokok itu sebenarnya sia-sia. Satu-satunya orang yang bisa menghentikan seseorang merokok adalah diri sendiri. Karenanya, gunakan empati, dan hentikanlah menghakimi. Lebih penting lagi, jauh lebih baik memperhatikan orang-orang yang belum merokok, daripada sibuk mengacungkan jari kepada para perokok.

Dalam perspektif saya, perokok adalah orang yang memilih untuk merokok. Sebagaimana pada hal lain, setiap orang berhak memilih, dan memilik merokok juga termasuk hak setiap orang. Toh rokok bukan barang ilegal. Selama mereka bertanggung jawab pada pilihan yang diambil, apa salahnya? Kalau pun sebagian orang “fanatik” menganggap rokok atau merokok adalah kesalahan, jauh lebih baik fokuskan konsentrasi pada yang belum merokok. Itu jauh lebih konstruktif.

Maksud saya begini. Orang yang telanjur merokok umumnya sulit diminta berhenti, kecuali jika si perokok bersangkutan yang memang ingin berhenti. Percayalah kepada saya, karena saya seorang perokok.

Jadi, meminta para perokok agar berhenti merokok adalah perbuatan sia-sia. Karena itu, daripada membuang waktu berdebat sampai goblok, jauh lebih baik fokuskan pikiran pada anak-anakmu, atau adik-adikmu, atau keponakan-keponakanmu, atau murid-muridmu. Didiklah mereka dengan baik, perhatikan pergaulan mereka, rawat dan besarkan mereka secara layak, agar mereka dapat hidup lebih baik, lebih layak, dan lebih sehat.

Berkaca pada kasus saya, perkenalan saya dengan rokok akibat pergaulan. Dan saya bergaul dengan anak-anak perokok di jalanan, karena kemiskinan. Kronologinya—setidaknya dalam kasus saya—sesimpel itu.

Karenanya, perhatikan anak-anakmu, agar mereka bergaul dengan anak-anak baik, yang tidak merokok. Jika orang tidak pernah bergaul dengan perokok—setidaknya di masa kecil sampai remaja—kemungkinan besar dia tidak akan merokok. Saat dewasa dan telah memiliki kesadaran, dia bisa memutuskan pilihannya secara lebih baik. Biasanya, dalam hal ini, dia pun memilih untuk tidak merokok, karena berbagai pertimbangan yang bijak.

Pertanyaannya kemudian, bagaimana agar anak-anakmu tidak bergaul dengan anak-anak nakal, yang telah merokok sejak kecil? Mungkin Kak Seto akan lebih baik dalam menjawab pertanyaan ini. Namun, karena yang ngoceh di sini adalah saya, maka izinkan saya yang menjawab pertanyaan tadi.

Sekali lagi, berkaca pada kasus saya, perkenalan saya dengan rokok karena pergaulan dengan anak-anak jalanan. Dan saya hidup di jalanan, karena kemiskinan. Sudah melihat polanya?

Kalau saja saya lahir di keluarga berkecukupan, dan bergaul dengan anak-anak manis, dan saya dapat tumbuh besar dengan baik, mungkin saya tidak merokok. In fact, ayah saya tidak merokok. Kakek saya (dari pihak ayah maupun ibu) tidak merokok. Adik lelaki saya tidak merokok. Sanak famili saya kebanyakan tidak merokok. Aktivitas merokok saya murni karena pengaruh pergaulan di jalanan, akibat kemiskinan.

Jadi, sekadar saran, upayakanlah anak-anakmu tidak mengulangi kehidupan masa kecil seperti yang saya alami. Dengan kata lain, lahirkan dan besarkan anak-anakmu dalam kondisi yang layak, agar mereka dapat menikmati kehidupan masa kecil yang layak, agar mereka dapat tumbuh sebagaimana manusia yang layak.

Artinya, menikahlah setelah kondisimu telah layak. Jangan terprovokasi ocehan orang yang suka menyuruh-nyuruhmu cepat kawin. Kalau kau—dan pasanganmu—belum layak kawin, tapi keburu kawin gara-gara ocehan orang lain, yang akan menjadi korban adalah anak-anakmu. Buru-buru kawin tanpa kondisi layak, hanya terasa nikmat bagi si orangtua, tapi bisa menjadi petaka bagi si anak.

Karenanya pula, setiap kali mendengar orang ngoceh, “Tak perlu khawatir. Nanti setelah menikah, rezeki akan lancar,” rasanya saya ingin menggampar cocotnya. Itu benar-benar kebohongan yang nyata! Mereka yang suka mbacot seperti itu sebenarnya buta, idiot, atau bagaimana?

Di jalanan, ada jutaan anak yang mengadu nyawa demi bisa mendapat uang. Di mana-mana, ada jutaan anak yang menggeliat kelaparan karena orangtuanya tak mampu memberi makan. Di bawah langit mana pun, ada jutaan anak telantar yang tak sanggup lagi menangis, karena air mata telah kering. Dan sementara itu, masih ada idiot-idiot bangsat yang menyuruh-nyuruh orang lain cepat kawin, cepat punya anak, seolah mereka tinggal di surga.

Enough. Cukup untuk soal itu.

Sekarang, sebagai perokok, saya ingin berpesan pada teman-teman yang tidak/belum merokok. Sebisa mungkin, sebaiknya jangan merokok.

Saya berpesan agar kalian tidak merokok, bukan karena soal asap, polusi, atau tetek bengek semacamnya. Itu hal-hal tolol yang tidak perlu dibahas panjang lebar. Saya juga berpesan agar kalian tidak merokok bukan karena alasan kesehatan, karena soal itu pun masih bisa diperdebatkan.

Saya berpesan agar kalian tidak merokok, karena alasan yang sederhana, jelas, dan dapat dibuktikan. Yaitu masalah finansial. Harga rokok mahal. Meski beberapa orang kadang ngoceh bahwa harga rokok di Indonesia tergolong murah, itu ocehan ngawur! Mereka yang suka ngoceh itu tidak pernah membeli rokok!

Sekadar ilustrasi, setiap bulan saya menghabiskan sekitar satu juta rupiah untuk membeli rokok. Sudah lama sekali saya tidak pernah membeli rokok secara ketengan (per batang). Jangankan membeli per batang, bahkan membeli per bungkus pun jarang saya lakukan. Setiap kali membeli rokok, saya membeli dalam paket besar, untuk kebutuhan sebulan. Dan, untuk itu, saya harus mengeluarkan uang 1 juta per bulan.

Karenanya, kalau kalian sudah menjadi perokok seperti saya, dan kebetulan penghasilan relatif pas-pasan, mengeluarkan anggaran per bulan untuk beli rokok bisa sangat memberatkan. Itu faktor yang jelas dan dapat dibuktikan, hingga saya menyarankan agar kalian tidak merokok. 

Sampai di sini, mungkin ada orang yang gatal ingin memberi saran kepada saya, “Daripada menghabiskan uang 1 juta per bulan untuk beli rokok, mending uangnya ditabung. Dalam setahun sudah terkumpul 12 juta. Dalam 30 tahun bisa terkumpul 360 juta. Itu bisa dibelikan rumah. Setelah itu nabung lagi untuk membeli kendaraan, dan lalu nabung lagi untuk...”

Oh, tidak perlu khawatir dan tidak usah bingung. Saya sudah punya semua itu, meski tidak perlu repot menabung sampai puluhan tahun!

Akhirnya, apa yang bisa diambil sebagai pelajaran dari ocehan ini?

Pertama, ada sebab untuk akibat. Setiap perokok memiliki latar belakang dan penyebab, yang salah satunya adalah kemiskinan, hingga terjebak pada pergaulan yang keliru. Karenanya, perhatikan anak-anakmu. Rawat mereka dengan baik dan penuh kasih, serta perhatikan pertumbuhan mereka. Itu sejuta kali lebih baik daripada sibuk menudingkan jari kepada orang-orang yang merokok.

Kedua, menikah tidak akan membuatmu kaya! Kalau memang orang menikah akan menjadi kaya (atau “melancarkan rezeki” sebagaimana yang biasa diocehkan orang), mestinya tidak ada pasangan yang miskin dan berkekurangan, juga tidak ada anak telantar yang hidup di jalanan, hingga mengenal rokok akibat terpengaruh teman-temannya yang merokok.

Karena itu, kalau ada orang yang merayu atau memprovokasimu agar cepat menikah dengan iming-iming lancar rezeki dan semacamnya, tertawakan saja. Atau gampar cocotnya. Jika seseorang mengatakan bahwa menikah akan membuatmu kaya, lihat apakah yang mengatakan benar-benar kaya.

Ketiga, setiap orang memiliki hak dan kebebasan untuk memilih, termasuk memilih merokok, memilih melajang, atau memilih untuk tidak buru-buru menikah. Selama orang bertanggung jawab pada pilihannya, dan pilihan itu tidak merugikan orang lain, biarkan dan hormati pilihan mereka.

Daripada meributkan orang merokok, pastikan saja anak-anak dan keluargamu tidak merokok. Daripada menyuruh-nyuruh orang lain agar cepat kawin, pastikan saja perkawinanmu baik-baik saja. Itu jauh lebih baik. Oh, well, jauh lebih baik.

Dusta yang Nyata

Bocah 17 tahun menikah, lalu dianggap hebat? Aku benar-benar tidak paham, di mana hebatnya? Wong paling menikah saja kok hebat!
—Twitter, 10 Agustus 2016

Sesuatu yang dilakukan miliaran manusia sama sekali bukan hal istimewa. Misalnya menikah. Itu sesuatu yang sangat... sangat... sangat biasa.
—Twitter, 10 Agustus 2016

“Menikah akan membuatmu tenteram, bahagia, dan berkelimpahan. Percayalah.” | Tolong katakan itu pada Dian Pelangi. Dia perlu mendengar itu.
—Twitter, 10 Agustus 2016

Menikah adalah hal baik. Tapi hal baik itu jadi tampak buruk bahkan memuakkan, akibat diobral terus-terusan dengan penuh kebohongan.
—Twitter, 10 Agustus 2016

Menikah adalah mulia. Tapi hal mulia itu jadi tampak seperti sampah akibat banyaknya orang mengobral indahnya pernikahan dengan penuh dusta.
—Twitter, 10 Agustus 2016

Hidup tidak hitam putih, begitu pula perkawinan. Mengatakan bahwa orang menikah pasti bahagia, itu pembodohan dan dusta yang sangat nyata.
—Twitter, 10 Agustus 2016

Menikah atau tidak adalah soal pilihan. Mengatakan menikah sebagai kewajiban adalah sebentuk kebodohan yang bercampur dengan kebohongan.
—Twitter, 10 Agustus 2016

“Ayo menikah, nanti hidupmu akan lebih bahagia, lebih lancar rezeki. Percayalah.” | Kamu bohong kok serius amat? Ck, ck, ck, kasihan...
—Twitter, 10 Agustus 2016

Orang yang hobi menyuruh-nyuruh orang lain menikah dengan berdalih agar bahagia dll, sebenarnya sedang berupaya membohongi diri sendiri.
—Twitter, 10 Agustus 2016

Aku tidak pernah menentang pernikahan, karena itu soal pilihan. Yang aku tentang adalah orang-orang yang hobi berdusta atas nama pernikahan.
—Twitter, 10 Agustus 2016

Yang diinginkan orang-orang yang suka menyuruhmu cepat menikah cuma satu: Yaitu agar kau sama sengsara dan menyesal seperti dirinya.
—Twitter, 10 Agustus 2016

Bagaimana mengetahui orang bahagia atau tidak dalam perkawinannya? Mudah. Jika dia suka menyuruhmu agar cepat menikah, dia tidak bahagia.
—Twitter, 10 Agustus 2016

Aku belum menikah bukan karena tidak bisa. Sebaliknya, karena aku bisa. Jadi tolong tidak usah sok-sokan di depanku cuma karena kau menikah.
—Twitter, 10 Agustus 2016

Jika menikah adalah pilihanmu, menikahlah. Setelah itu, tutup cocotmu. Itu jauh lebih baik dan lebih terhormat. Bagimu, dan bagi pasanganmu.
—Twitter, 10 Agustus 2016


*) Ditranskrip dari timeline @noffret.

Noffret’s Note: Deadpool

Kesimpulan setelah menonton film Deadpool:
Ceweknya Deadpool benar-benar tipe mbakyu. (Kesimpulan apa ini!)
—Twitter, 6 Mei 2016

Hollywood memang selalu tahu cara memilihkan pasangan yang tepat
untuk superhero... atau antihero. Bahkan Deadpool pun punya mbakyu!
—Twitter, 6 Mei 2016

Aku benar-benar ingin tahu bagaimana reaksi Liam Neeson
setelah menonton film Deadpool.
—Twitter, 6 Mei 2016

Kalau kau mengira kekuatan super dapat diperoleh tanpa rasa sakit,
kau keliru. —Francis kepada Deadpool
—Twitter, 6 Mei 2016


*) Ditranskrip dari timeline @noffret.

Rabu, 24 Agustus 2016

Luka Dalam Sunyi

Cocotmu memang celeng!
Seseorang


Cerita ini sangat sensitif, hingga saya tidak akan menyebut nama satu pun. Tapi cerita ini juga mengandung pelajaran nyata, sehingga saya merasa sulit untuk tidak menulisnya. Lebih dari itu, orang yang akan saya ceritakan ini juga mengizinkan—bahkan meminta—saya menulisnya. Karena semua orang yang terlibat dalam cerita ini menggunakan inisial pengganti (bukan nama), sebaiknya bacalah pelan-pelan agar tidak bingung.

Selama bertahun-tahun, saya berteman dengan seseorang, sebut saja X. Saya sering dolan ke rumahnya, dia juga sering dolan ke tempat saya. Karena hal itu, saya pun dekat dengan keluarga X, dengan orangtuanya, juga dengan kakak dan adiknya. X memiliki kakak lelaki, sebut saja Z. Jika X masih lajang, Z sudah menikah, dan telah punya satu anak berusia 5 tahun. Keluarga X adalah keluarga sederhana, sebagaimana umumnya keluarga biasa.

Karena sering ketemu saat saya menemui X di rumah mereka, saya pun akrab dengan Z, kakak si X. Beberapa tahun lalu, saat ayah mereka meninggal, saya di rumah mereka sampai semalaman, menemani mereka yang sedang berduka. Hal-hal semacam itu pun menjadikan kami semakin dekat. Kenyataannya, bagi saya, keluarga X sudah seperti saudara, meski hubungan kami semula hanya diawali pertemanan saya dengan X.

Kemarin malam, X datang ke tempat saya, dan kami mengobrol asyik seperti biasa. Di sela-sela percakapan, dia menyatakan, “Aku baru ingat. Aku merekam sesuatu yang mungkin ingin kamu dengar.”

Lalu X membuka ponselnya. Setelah mencari-cari sejenak, dia memutar sebuah rekaman percakapan. Mula-mula, suara rekaman itu tidak terlalu jelas. Tetapi, semakin lama berkonsentrasi, saya mulai mengenali itu suara Z, kakak X. Suaranya dalam rekaman terdengar sedang marah-marah pada seseorang. Sebegitu marah, sampai terdengar aneka makian di antara teriakannya.

Belum pernah saya melihat atau mendengar Z semarah itu. Selama bertahun-tahun, saya mengenal Z sebagai lelaki ramah dan tampak jarang marah. Tetapi, dalam rekaman yang sedang saya dengar, tampaknya Z sedang terbakar amarah yang paling mengerikan, hingga dia tidak bisa mengendalikan diri. Salah satu makian yang jelas terdengar dalam rekaman itu berbunyi, “Cocotmu pancen celeng! (Mulutmu memang celeng!)”

Rekaman suara di ponsel X berjalan cukup lama. Tetapi, karena saya tidak tahu akar masalahnya, saya pun mendengarkan rekaman itu dengan sedikit bingung. Sesekali terdengar suara seorang wanita menanggapi kemarahan Z yang terus marah-marah, tapi saya tidak mengenali suara wanita itu.

Ketika akhirnya rekaman itu selesai, saya bertanya pada X, “Apa yang terjadi?”

“Itu kejadian pas lebaran kemarin,” jawab X.

Setelah itu, X menuturkan. Pada waktu lebaran kemarin, keluarga sepupu mereka datang ke rumah, sebagaimana umumnya orang-orang mengunjungi famili di hari lebaran. X memiliki sepupu perempuan, sebut saja Y. Keluarga Y tinggal sekota dengan keluarga X, tetapi Y tinggal di luar kota bersama suaminya. Karenanya, keluarga X hanya bertemu Y setahun sekali, yaitu setiap lebaran datang. Usia Y sebaya dengan Z, kakak X.

Nah, setiap tahun ketika mereka bertemu, yang selalu diucapkan Y adalah soal kawin atau perkawinan. Bertahun-tahun lalu, Z—kakak X—belum menikah. Sementara Y sudah menikah dan punya anak. Selama itu pula, setiap kali Y bertemu keluarga X, dia selalu menyindir, menyuruh, dan membahas soal perkawinan dengan X serta Z.

Waktu itu, X bisa enteng menjawab, “Kakakku saja belum menikah. Aku akan menikah setelah kakakku menikah.” Sementara Z biasanya cuma diam atau cengar-cengir bingung.

Sampai di sini, perlu saya tegaskan. Ucapan atau sindiran soal perkawinan yang selalu dibahas Y setiap tahun tidak tampak sebagai candaan atau gurauan. Dia benar-benar serius—baik dalam ucapan maupun mimik muka—saat mendorong X maupun Z agar cepat menikah. Sebegitu serius, sampai Z sering bingung setiap kali bertemu dengan Y, khususnya saat Z dulu belum menikah.

Sampai kemudian, Z menemukan pasangan, dan menikah. Itu sekitar enam atau tujuh tahun yang lalu. Setelah Z menikah dan punya istri, apakah Y menutup mulutnya, dan tak lagi usil dengan kehidupan Z? Tidak!

Setelah itu, yang diocehkan Y setiap kali mereka bertemu saat lebaran adalah soal anak. Jika sebelumnya Y terus menerus mendorong dan menyindir Z soal perkawinan, sekarang dia mendorong Z agar cepat punya anak. Sementara pada X—yang masih lajang—Y masih terus mendorongnya agar cepat-cepat menikah.

Dalam hal ini, X sebenarnya tidak terlalu merisaukan semua ocehan dan perilaku Y yang suka membahas perkawinan. Meski X juga sering risih setiap kali bertemu Y, karena yang dibahas selalu itu dan itu. Dalam hal ini, X berusaha bijak, dan menganggap Y hanya “kurang gaul”. Y menganggap bahwa semua orang harus menikah, hingga mendorong orang lain—khususnya sepupunya, X dan Z—agar cepat menikah dan punya anak.

Tetapi, berbeda dengan Z, kakak X. Karena faktor usia, dia lebih risih dengan semua ocehan Y. Karena kenyataannya Y mengoceh soal perkawinan dengan serius, bukan sekadar obrolan ringan sambil lalu. Karenanya, gara-gara terus disindir dan didorong Y setiap tahun, Z akhirnya berusaha mencari pasangan, lalu menikah. Dia berharap sepupunya diam setelah melihatnya menikah. Tapi rupanya dugaan Z keliru. Setelah Z menikah, kali ini yang dibahas Y adalah soal anak. “Kapan kamu punya anak? Jangan lama-lama!” begitu biasa yang dikatakan Y.

Akhirnya, sekitar dua tahun setelah menikah, Z dan istrinya punya anak. Saat ini, anak Z telah berusia 5 tahun, dan Z maupun istrinya belum memutuskan untuk punya anak lagi. Hal itu dilatarbelakangi kondisi mereka yang tidak/belum memungkinkan untuk menafkahi lebih dari satu anak. Daripada memiliki banyak anak tapi malah menelantarkan, Z maupun istrinya memutuskan cukup satu anak dulu, agar bisa merawat dan membesarkan dengan baik.

Tapi rupanya Y tidak mau tahu soal itu. Seperti biasa, setiap tahun saat mereka bertemu ketika lebaran, topik yang selalu, selalu, selalu, dan selalu diocehkan Y kepada Z adalah soal menambah anak. Sementara X yang masih lajang masih menghadapi “semprotan” sepupunya mengenai kapan kawin. Hal itu terus terjadi setiap tahun, setiap lebaran, setiap kali mereka bertemu. Akhirnya, klimaks terjadi. Z, kakak X, tampaknya tidak bisa lagi mengendalikan diri, dan dia memuntahkan semua amarahnya kepada Y, saat mereka bertemu pada lebaran kemarin.

Berdasarkan rekaman di ponsel X yang saya dengarkan, inilah ucapan kemarahan Z yang ditujukan kepada Y. Saya ambil bagian yang paling penting dari rentetan kemarahannya, yang diucapkan dalam bahasa Jawa.

“Mbiyen, waktu aku durung kawin, kowe terus-terusan ngongkon aku kawin! Aku kepeksan luru bojo, ben kowe meneng. Tapi waktu aku wis kawin, kowe sik bae ngusili uripku, ribut soal anak terus-terusan. Padahal aku karo bojoku sengojo durung duwe anak, kerno keadaan sing durung jelas! Aku kerja serabutan, bojoku yo kerja serabutan. Kanggo ngurusi awake dewe bae sik kangelan, opo maneh duwe anak?

“Tapi kowe ora mikir tekan semono! Saben temu, sing mak omongke cumo kawin, anak, kawin, anak! Akhire aku kepeksan duwe anak, ben ora risih nek temu kowe. Tapi aku wis nduwe anak bae, kowe sik ribuuuut terus!

“Aku karo bojoku memang sengojo durung nambah anak, kerno nguripi anak siji bae wis kangelan nemen. Tapi kowe ora ono ngertine. Saben ketemu sing mak cocotke cumo nambah anak, nambah anak, koyo kowe sing bakal nguripi. Ndewe ki ketemu mung cumo setahun pisan. Tapi saben ketemu, kowe dudu nggawe seneng, tapi malah nggawe susah. Cocotmu pancen celeng!”


Terjemahan dalam bahasa Indonesia:

“Dulu, waktu aku belum menikah, kamu terus menerus menyuruku menikah! Aku terpaksa mencari istri, agar kamu diam. Tapi waktu aku sudah menikah, kamu masih saja mengusili hidupku, ribut soal anak terus menerus. Padahal aku dan istriku sengaja belum punya anak, karena keadaan kami yang belum jelas. Aku kerja serabutan, istriku juga kerja serabutan. Untuk mengurusi diri kami sendiri saja masih sulit, apalagi punya anak?

“Tapi kamu tidak berpikir sampai ke situ! Setiap kali bertemu, yang kamu ucapkan cuma kawin, anak, kawin, anak! Akhirnya aku terpaksa punya anak, biar tidak risih kalau bertemu kamu. Tapi meski aku sudah punya anak, kamu masih ribuuuut terus!

“Aku dan istriku memang sengaja belum menambah anak, karena menghidupi satu anak saja masih sangat kesulitan. Tapi kamu sama sekali tidak punya pengertian! Setiap ketemu, yang kamu bahas cuma nambah anak, nambah anak, seolah kamu yang akan menghidupi. Kita ini bertemu cuma setahun sekali. Tapi setiap kali bertemu, kamu bukan membuat senang, tapi malah membuat susah. Cocotmu memang celeng!”


Setelah saya selesai mendengarkan amarah Z dalam rekaman itu, X menjelaskan kepada saya, bahwa kondisi kakaknya memang relatif sulit. Dia bekerja serabutan, tidak jelas, sehingga tidak/belum memiliki penghasilan pasti. Karena kondisi itu pula yang membuatnya dulu menahan diri untuk tidak buru-buru menikah. Dia ingin memiliki pekerjaan jelas terlebih dulu, agar lebih mantap saat menikah. Tetapi, gara-gara risih dengan ucapan atau sindiran orang-orang—khususnya yang dilakukan Y, sepupu mereka—Z pun terpaksa, atau buru-buru berusaha, menikah.

Setelah menikah, Z masih meneruskan pekerjaan serabutan, karena kenyataannya belum mendapat pekerjaan tetap atau pasti. Dia seorang yang rajin bekerja, mau mengerjakan apa pun yang memang bisa dikerjakannya, tapi tetap saja serabutan, bukan pekerjaan tetap. Untungnya, istri Z bisa memahami kondisi suaminya. Mereka bekerja bersama, membangun keluarga sesuai kemampuan mereka, dan—selama itu—mereka menahan diri untuk tidak segera punya anak, karena kondisi yang belum memungkinkan.

Tetapi, lagi-lagi, Z tidak tahan dengan ocehan, dorongan, serta sindiran orang-orang yang suka nyinyir, “Kapan punya anak?” Bagi masyarakat, pasangan yang menikah tapi tidak segera punya anak adalah hal tak wajar, dan bisa jadi masyarakat menganggap keduanya atau salah satunya mandul, dan lain-lain.

Z juga tidak tahan dengan sikap Y, sepupunya, yang setiap kali bertemu selalu mengajukan ocehan sama, tentang punya anak. Dan setiap kali Z mencoba menjawab atau menjelaskan kondisinya, Y dengan jumawa menyatakan, “Kamu tidak perlu khawatir bagaimana menghidupi anakmu, karena setiap anak memiliki rezekinya sendiri.”

Lalu Z pun punya anak. Semula dia berharap keparat-keparat di sekelilingnya mau menutup cocot mereka, dan tidak lagi membuatnya risih dengan ocehan atau nyinyiran atau sindiran lain. Tapi rupanya Z keliru. Di dunia ini ada banyak keparat yang idiot. Sebegitu idiot, hingga mereka bahkan tidak bisa menutup atau menjaga cocotnya sendiri.  

Sampai lima tahun sejak punya anak pertama, Z dan istrinya bertahan untuk tidak/belum menambah anak lagi, karena menyadari kondisi mereka yang masih tidak karuan. Sebelum punya anak, hidup mereka tidak jelas. Setelah punya anak, kondisi mereka makin tidak jelas. Z dan istrinya telah berusaha semampu mereka untuk bekerja sebaik-baiknya, demi menghidupi anak satu-satunya, dan itu saja telah membuat mereka sedemikian kesulitan menjalani hidup.

Tapi Y—sepupu Z—tidak mau menyadari kenyataan itu. Bukannya mencoba berempati dengan kondisi Z, dia malah berceramah dan menyindir dan mendorong agar Z menambah anak, dengan berbagai dalih dan alasan seolah dia pasti benar. Akhirnya, setelah bertahun-tahun memendam amarah dan hati yang terluka, Z pun tidak tahan lagi. Pada pertemuan lebaran kemarin, dia memuntahkan semua amarah dan luka yang dirasakannya.

Malam itu, di rumah saya, X berkata, “Kita tentu menyadari, orang-orang yang menjalani hidup seperti kakakku bukan cuma satu dua. Tapi banyak. Mereka menghadapi kondisi hidup yang sulit, hingga belum sempat memikirkan perkawinan. Yang sudah menikah, juga belum sempat memikirkan anak. Yang sudah punya anak, juga belum sempat memikirkan nambah anak. Karena menyadari kondisi yang belum memungkinkan. Tapi orang-orang di sekitar kita sering kali tidak menyadari kenyataan itu, dan sulit berempati.”

Saya mengangguk, dan menyahut, “Dan kita bisa membayangkan betapa banyak orang yang diam-diam menyimpan luka hati mereka dalam sunyi. Orang-orang yang berusaha sama dengan orang lain, meski sangat kesulitan, demi tidak dianggap berbeda. Orang-orang yang berusaha menuruti apa kata masyarakatnya, meski sangat kesusahan, demi dianggap wajar dan normal. Orang-orang yang berusaha tampak seperti orang lain, demi membungkam cocot-cocot celeng di sekitar mereka. Itu realitas di sekitar kita... tapi mungkin kita hidup di tengah masyarakat yang buta.”

Kadang-kadang

Kadang-kadang kita perlu disakiti untuk tahu bahwa disakiti itu sakit, agar kita tidak lagi menyakiti orang lain.


*) Ditranskrip dari timeline @noffret, 3 Januari 2012.

Doktrinasi, Kebodohan, dan Sisi Gelap Manusia

Sisi gelap manusia adalah... mereka tidak mempercayai fakta. Mereka hanya percaya pada apa pun yang ingin mereka percaya sebagai fakta.
—Twitter, 20 Agustus 2016

Mengapa kebanyakan orang percaya bahwa menikah pasti bahagia? Bukan karena fakta, melainkan karena mereka ingin percaya bahwa itu fakta.
—Twitter, 20 Agustus 2016

Menguji sesuatu sebagai fakta atau bukan sebenarnya mudah. Yang susah, kebanyakan orang tidak mau melakukan, karena ingin tetap percaya.
—Twitter, 20 Agustus 2016

Doktrinasi (tentang apa pun) adalah bangunan paling mahal di dunia. Ia tidak hanya dibangun dengan triliunan dollar, tapi juga dengan darah.
—Twitter, 20 Agustus 2016

Orang-orang mempercayai dan meyakini sesuatu seolah kepercayaan dan keyakinan muncul begitu saja, padahal itu dibangun di atas tumbal.
—Twitter, 20 Agustus 2016

Kepercayaan dan keyakinan pada apa pun, selalu layak diperiksa. Tanpa itu, kita semua hanyalah kumpulan idiot yang tidak tahu apa-apa.
—Twitter, 20 Agustus 2016

Ribut-ribut soal bahaya rokok, ikut ribut. Padahal tidak tahu apa-apa, tidak paham di mana bayahanya. Itu benar-benar idiot campur bangsat.
—Twitter, 20 Agustus 2016

Heboh soal “nikmatnya” perkawinan dini, ikut heboh. Padahal tidak tahu apa-apa, tidak tahu di mana nikmatnya. Itu sesat dan menyesatkan.
—Twitter, 20 Agustus 2016

Mendengar sesuatu adalah satu hal. Memahami sesuatu adalah hal lain. Meributkan sesuatu... itu hal lain lagi. Pahami dulu sebelum ribut.
—Twitter, 20 Agustus 2016

Sebagian orang percaya, ikut meributkan sesuatu yang sedang hit akan membuat mereka tampak pintar. Sebaliknya, mereka makin tampak tolol.
—Twitter, 20 Agustus 2016

Setiap kali mendengar ribut-ribut, ada baiknya untuk mengendapkan dulu. Pelajari, pahami. Setelah itu, silakan untuk ikut ribut atau tidak.
—Twitter, 20 Agustus 2016

Dunia ini sudah terlalu penuh idiot kurang mikir dan kurang kerjaan, yang suka meributkan apa saja. Kita tidak perlu menambah jumlah mereka.
—Twitter, 20 Agustus 2016


*) Ditranskrip dari timeline @noffret.

Jumat, 19 Agustus 2016

Mbakyulogi: Ilmu yang Mempelajari Keindahan Mbakyu

Setiap orang adalah putra perempuan yang mencintainya.
Kahlil Gibran


Saya sering ditanya, kenapa menyebut wanita dengan istilah “mbakyu”. Lebih parah, beberapa orang pernah mengaitkan saya dengan Illuminati, gara-gara sering menyebut mbakyu, mengingat kaum Illuminati juga memuja wanita yang disebut Isis atau Ibu Bumi. Mereka yang mengira saya anggota Illuminati menuduh saya “sengaja menyamarkan pemujaan terhadap Ibu Bumi, dengan menggantikannya melalui Mbakyu”.

Terus terang saya kagum campur heran dengan orang-orang “kreatif” yang tampaknya bisa menghubungkan apa saja dengan sesuatu—dalam hal ini Illuminati—meski dasar pemikirannya kadang sangat rapuh. Hanya karena saya memuja mbakyu, dan Illuminati kebetulan juga memuja Ibu Bumi, maka ditariklah kesimpulan bahwa saya anggota Illuminati. Itu logika yang sangat cupu!

Karena itulah, saya sekarang menulis catatan ini untuk menjelaskan serta mengklarifikasi, mengapa menyebut wanita dengan istilah “mbakyu”.

Dalam bahasa Jawa, “mbakyu” adalah istilah yang digunakan untuk menyebut wanita yang secara usia lebih dewasa, atau kepada wanita yang kita hormati. Sebenarnya, itu istilah biasa—sama biasa dengan istilah “teteh” dalam bahasa Sunda, atau lainnya. Karena kebetulan hidup dalam kebudayaan Jawa, maka saya pun menggunakan istilah yang lekat dengan kehidupan saya.

Lalu kenapa saya punya kecenderungan terhadap mbakyu? Itu tak bisa dilepaskan dari kondisi psikis saya. Jauh di lubuk hati, saya adalah anak-anak. Sebagaimana anak-anak, saya kurang bisa bersosialisasi, kurang mampu berinteraksi dengan orang lain, kurang memiliki kemampuan dalam hal-hal sosial, dan semacamnya—khas anak-anak.

Karena itu pula, saya sering menyebut diri sebagai “bocah”. Istilah itu—bocah—benar-benar tepat menggambarkan diri saya yang tak terlihat. Bahwa di balik sosok dewasa saya, ada seorang bocah yang kerap kebingungan, khususnya saat berinteraksi dalam kehidupan sosial.

Dan sebagai bocah, saya memang memuja mbakyu. Karena merekalah—wanita dewasa yang saya sebut mbakyu—benar-benar tepat menggambarkan sosok wanita yang saya rindukan, yang saya pikir dapat menghadapi bocah kebingungan seperti saya.

Sebagai lelaki, sejujurnya saya tidak tertarik pada perempuan-perempuan belasan tahun. Meski mereka mungkin cantik, menarik, menggemaskan, dan lain-lain, tapi di mata saya mereka masih anak-anak. Saya mungkin menyayangi mereka sebagaimana menyayangi adik. Tetapi, terus terang, saya tidak tertarik menjadikan mereka pacar. Jika saya harus memiliki pacar, saya akan memilih wanita dewasa—setidaknya berusia 25 tahun ke atas—yang secara fisik maupun psikis telah benar-benar matang.

Suatu waktu, saya pernah mendatangi resepsi perkawinan. Di meja penerima tamu terdapat tumpukan piring kecil dan aneka jajan—roti, kacang, dan lain-lain—yang disediakan untuk para tamu. Orang-orang yang datang pun dengan santai mengambil piring kecil, lalu mengisinya dengan jajan yang diinginkan. Saya juga melakukan hal sama. Setelah itu, saya duduk di salah satu bagian kursi yang masih kosong.

Saat saya sedang mengunyah kacang, datang seorang cowok sendirian. Usianya mungkin sekitar 20-an. Cowok itu, seperti para tamu lain, sampai di depan meja penerima tamu. Tetapi, setelah mengisi buku tamu, dia tampak kebingungan menghadapi hamparan jajan di sana. Bukannya mengambil piring dan jajan sebagaimana para tamu lain, dia hanya berdiri, lalu—dengan sikap bingung—melangkah menuju kursi tanpa membawa apa pun.

Saya menyaksikan hal itu. Saya juga melihat beberapa cewek remaja—mereka berdiri di dekat meja tamu—memandang cowok tadi dengan muka tidak senang. Mungkin, dalam pikiran para cewek remaja itu, cowok tadi tidak doyan jajan yang disediakan di meja tamu, sehingga tidak mau mengambil apa pun.

Kemudian—ini bagian yang sangat memorable—seorang wanita dewasa melangkah ke meja tamu. Wanita dewasa itu tampaknya bagian dari keluarga pengantin, dan dia juga melihat cowok tadi. Tetapi, alih-alih menunjukkan muka tidak senang, wanita dewasa itu melakukan sesuatu yang sangat hebat. Dia mengambil piring di meja tamu, mengisinya dengan aneka jajan, kemudian memberikannya pada cowok tadi dengan sikap yang manis. Si cowok pun menerima jajan itu, dan memakannya.

Bagi orang lain, pemandangan itu mungkin hal biasa. Tetapi, bagi saya, itu sesuatu yang sangat luar biasa. Dan, Tuhan serta para malaikat menjadi saksi, itulah kehebatan mbakyu! Yaitu wanita dewasa yang bisa berpikir secara dewasa dan bijaksana, ketika melihat dan menghadapi seorang bocah lelaki yang tampak bingung dan kaku. Bukannya menghakimi, dia memahami. Bukannya menampakkan wajah tidak senang, dia melakukan sesuatu yang tepat sekaligus benar.

Wanita dewasa yang saya saksikan itu pastilah seorang mbakyu, yaitu wanita yang tahu cara menghadapi bocah!

Saya sering membayangkan diri saya sebagai cowok yang saya lihat tadi. Dia mungkin tak jauh beda dengan saya—sosok yang sering kebingungan saat berada di tengah orang banyak, yang tidak tahu harus berbuat apa saat ada di acara-acara sosial, bocah introver yang kerap kebingungan saat bersama orang-orang asing. Dan beruntunglah dia, karena kebetulan seorang mbakyu melihat, dan memahami dirinya.

Karena itu, dalam perspektif saya, ada dua jenis wanita di dunia ini. Yang pertama adalah mbakyu, dan yang kedua bukan mbakyu. Sebagaimana di dunia ini juga ada dua jenis lelaki—yang pertama adalah bocah, dan yang kedua bukan bocah. Dalam hal ini, saya menganggap diri sebagai bocah. Karena menganggap diri sebagai bocah, maka saya pun merindukan mbakyu.

Alur pikiran saya sesederhana itu. Saya seorang bocah, dan—sebagai bocah—saya berpikir hanya wanita dewasa bijaksana yang bisa memahami saya. Dan itu, saya sebut, mbakyu.

Jadi, jika mau didefisinikan, mbakyu—dalam perspektif saya—adalah “wanita dewasa yang bijaksana, yang tahu cara memahami dan menghadapi bocah”. Lebih lengkap, wanita semacam itu juga biasanya anggun dan luwes saat berada di acara-acara sosial, tahu beramah-tamah dengan orang lain, memiliki sikap yang menyenangkan namun elegan, serta membuat lelaki damai di sisinya.

Itulah mbakyu. Oh, well, itulah mbakyu!

Dan, sebagai bocah, saya merindukan wanita semacam itu.

Jadi, penyebutan saya terhadap “mbakyu” adalah refleksi kerinduan saya terhadap sosok wanita dewasa yang saya pikir bisa memahami bocah seperti saya seutuhnya. Mungkin memang ada perempuan-perempuan belasan tahun yang memiliki sikap dewasa. Tetapi, sejauh ini, hanya wanita-wanita yang memang berusia dewasalah yang benar-benar memiliki sikap “dewasa” sebagaimana yang saya pikirkan. Karenanya, saya pun lebih cenderung terhadap wanita yang secara usia memang telah dewasa, daripada kepada wanita yang secara usia masih belia.

Saya pikir tidak ada masalah dengan hal itu.

Kalau kau lelaki dewasa—apalagi relatif tua—tapi memiliki kecenderungan terhadap gadis remaja atau bahkan anak-anak, psikologi bisa menyebutmu pedofilia. Itu sebutan untuk suatu penyimpangan. Tetapi, kalau kau lelaki muda namun memiliki kecenderungan terhadap wanita dewasa, atau setidaknya seumuranmu, maka psikologi tidak akan meributkanmu. Kau akan tetap dianggap wajar, normal, dan waras.

Freud mengasosiasikan kecenderungan pria muda terhadap wanita yang secara usia lebih dewasa sebagai “kecenderungan kanak-kanak terhadap sosok ibu”. Tetapi, dalam konteks kasus saya, yang terjadi lebih sederhana dari itu. Saya tidak merindukan sosok ibu. Yang benar, saya merindukan sosok mbakyu! Ketika menyaksikan wanita dewasa yang anggun dan bijaksana, saya tidak mengasosiasikannya dengan sosok ibu, tapi benar-benar mengasosiasikannya dengan sosok mbakyu.

Karena itu pula, saya pikir perlu ada suatu cabang ilmu yang secara khusus membahas mbakyu. Mungkin bisa disebut “mbakyulogi”. Bagi kaum perempuan, mbakyulogi bisa digunakan sebagai sarana untuk belajar menjadi wanita sesungguhnya—sosok yang tidak hanya memuja kecantikan fisik, tapi juga keindahan psikis. Yang memiliki sikap anggun dan bijaksana, sehingga membuat lawan jenis tidak hanya jatuh cinta, tapi juga menaruh hormat.

Sebaliknya, bagi kaum lelaki, mbakyulogi bisa digunakan sebagai sarana mempelajari keindahan wanita—tidak hanya yang bersifat fisik, tetapi juga psikis. Agar lelaki tidak hanya jatuh cinta kepada lawan jenisnya, tetapi juga menyadari keindahan hakiki seorang wanita; kebijaksanaan pikiran, keanggunan sikap, keluwesan sosial—hal-hal yang sering kali tidak dikuasai kaum lelaki. Dengan kesadaran semacam itu, kaum lelaki pun tidak hanya bisa sekadar jatuh cinta, tetapi juga tahu cara menghormati wanita.

Oh, well, sepertinya mbakyulogi telah urgent untuk diterapkan dalam sistem pendidikan nasional. Setidaknya, menurut saya begitu. Karena, hidup ini sungguh sia-sia jika kita tidak tahu soal mbakyu.

Dosa Makan Mie Instan

Saya ngobrol di rumah seorang bocah. Karena keasyikan, kami pun mengobrol sampai dini hari. Waktu itu saya belum sempat makan malam. Jadi, saat jam di tangan menunjuk angka 01:00, perut saya kelaparan. Di meja di depan saya memang ada lapis legit, bersama teh dalam poci. Tapi saya membutuhkan sesuatu yang lebih mampu membuat perut kenyang. Makan lapis legit tidak membuatmu kenyang, selain rasa eneg.

Dengan lugu, saya berkata pada bocah yang ngobrol dengan saya, “Aku lapar. Kamu punya simpanan mie instan di dapur?”

Di luar dugaan, dia murka mendengar pertanyaan itu. Dengan wajah terluka, dia berkata, “Mie instan! Ya Tuhan! Mungkin aku miskin. Tapi belum sampai tahap menyimpan mie instan! Demi Tuhan, mie instan!”

Saya bengong. Setelah jeda beberapa detik, saya berujar, “Jadi... uhm, kamu tidak suka mie instan?”

“Seperti yang kubilang barusan. Mungkin aku miskin. Tapi aku belum sampai pada tahap menyimpan mie instan di rumah. Demi Tuhan, mie instan!”

Dengan bingung, akhirnya saya berkata, “Aku lapar sekarang. Aku perlu makan.”

“Kalau begitu,” dia berkata, “mari kita keluar, dan mari kita cari makanan yang bermartabat untuk dimakan.”

Kami pun keluar.

Dini hari, warung-warung atau rumah-rumah makan sudah tutup. Tapi bocah yang bersama saya tampaknya tahu di mana menemukan tempat makan yang masih buka. Meski jaraknya cukup jauh, kami akhirnya masuk ke sebuah tempat makan, dan menikmati nasi beserta ayam goreng panas dengan sambal merah yang lezat.

Seusai makan, sambil menatap saya mengisap rokok dengan nikmat, bocah yang bersama saya berkata, “Apakah nasi dan ayam goreng barusan lebih enak daripada mie instan?”

“Tentu saja,” jawab saya sambil merasakan perut yang penuh.

Dia mengangguk-angguk puas, kemudian berfatwa, “Jangan pernah lagi merendahkanku. Lebih penting lagi, jangan pernah merendahkan dirimu sendiri.” Setelah itu, dia mengisap rokoknya, dan berkata seperti menerawang, “Mie instan... demi Tuhan, mie instan...!”

....
....

Sejak itu, saya tidak pernah lagi makan mie instan. Meski begitu, karena keadaan kepepet dan kelaparan, serta sudah kesulitan menemukan tempat makan yang buka, saya kadang terpaksa memasak mie instan di rumah. Tetapi, setiap kali makan mie instan, saya merasa telah melakukan dosa yang teramat besar.
 

Penjaja Kebohongan

Sepele, tapi merusak dan mengubah penilaian kita selamanya: Kebohongan. Satu kali orang ketahuan berbohong, kita sulit percaya lagi.
—Twitter, 14 Agustus 2016

Berdalih berbuat baik tapi melakukannya sambil berbohong... itu menggelikan. Ironis, sekaligus menunjukkan seperti apa aslinya seseorang.
—Twitter, 14 Agustus 2016

Dulu sok pede berkata, “Ini saya dapat dari langit.” Lalu ketahuan bohong. Sekarang berkata, “Ini saya dapat dari bumi.” Paling bohong lagi.
—Twitter, 14 Agustus 2016

Meniru seseorang itu satu hal, etika dan tujuannya adalah hal lain. Berbicara itu satu hal, kebohongan dan manipulasi adalah hal lain.
—Twitter, 14 Agustus 2016

Aku lebih menghormati bajingan yang jujur, daripada orang sok baik dan sok alim, tapi menggunakan kebohongan untuk keuntungan diri sendiri.
—Twitter, 14 Agustus 2016


*) Ditranskrip dari timeline @noffret.

Minggu, 14 Agustus 2016

Cara Mudah Mendapatkan 1 Juta Dollar

Memang, orang paling kaya di dunia
bukan yang memiliki paling banyak, tapi
yang tak khawatir kehilangan apa pun.
@noffret


Tentu banyak orang yang ingin bisa mendapatkan uang 1 juta dollar. Yang masih jadi masalah, bagaimana caranya?

Ada cara yang sangat mudah untuk bisa mendapatkan uang sejumlah itu. Sebegitu mudah, hingga siapa pun bisa melakukan, dan dijamin bisa mendapatkan uang 1 juta dollar. Caranya... pergilah ke Zimbabwe!

Di Zimbabwe, rata-rata karyawan memiliki gaji 3 juta triliun per bulan. Saya ulangi, 3 juta triliun per bulan! Jadi, kalau cuma untuk mendapatkan 1 juta dollar, itu sangat mudah. Tapi ingat, dollar yang dimaksud di sini bukan dollar US, melainkan dollar Zimbabwe. Apakah beda? Sangat beda! Karena 1 dollar US setara 35 ribu triliun dollar Zimbabwe. Jika ditulis dengan angka lengkap, 1 dollar US = 35.000.000.000.000.000 dollar Zimbabwe.

Zimbabwe adalah negara yang ada di Benua Afrika. Sejak 2008, negara ini mengalami krisis parah, hingga menyebabkan hiperinflasi. Pada tahun itu, inflasi yang terjadi di Zimbabwe mencapai 2,2 juta persen. Nilai tukar mata uang mereka merosot drastis, sehingga harga-harga barang kebutuhan pokok meningkat secepat kilat. Selama masa-masa itu, harga-harga barang naik dua kali lipat setiap 25 jam. Sebagai ilustrasi, jika saat ini segelas minuman seharga 2.500, besok akan menjadi 5.000, dan seminggu kemudian menjadi 320.000.

Seiring bertambahnya waktu, kondisi yang terjadi semakin buruk. Inflasi makin menggila, sehingga perubahan (kenaikan) harga tidak terjadi dalam waktu hari atau jam, tapi menit bahkan detik! Setiap beberapa menit, para pramuniaga di swalayan dan toko-toko di sana terus mengubah label-label harga barang, karena harga-harga memang terus berubah seiring meningkatnya inflasi. Efek langsungnya, nilai mata uang terus runtuh dan makin tak berharga. Klimaksnya, bank sentral Zimbabwe menerbitkan mata uang pecahan dalam bentuk kertas, senilai 1 triliun dollar!

Oh, well, 1 triliun dollar! Kedengarannya hebat, dan luar biasa besar. Kalau saja itu dollar US, kita bisa menggunakannya untuk banyak hal, bahkan untuk anak cucu kelak. Tapi itu dollar Zimbabwe, yang bisa dibilang sama sekali tak punya nilai. Karenanya, seperti yang disebut di atas, rata-rata karyawan di Zimbabwe mendapat gaji bulanan sebesar 3 juta triliun. Sekali lagi, kedengarannya hebat, dan jumlah itu luar biasa besar. Tetapi, bahkan dengan gaji 3 juta triliun per bulan, mereka menjalani kehidupan yang bisa dibilang memprihatinkan.

Di Zimbabwe, ada makanan mirip bakso di Indonesia. Semangkuk bakso di Indonesia rata-rata seharga 10-20 ribu rupiah. Di Zimbabwe, harga semangkuk bakso mencapai 35 ribu triliun!

Mau bikin telur dadar di rumah? Di Indonesia, tentu sangat mudah sekaligus murah, karena harga telur ayam memang relatif murah. Di Zimbabwe, tiga butir telur seharga 100 miliar! Itu telur mentah. Kalau mau beli yang matang, harganya tentu lebih mahal.

Camilan atau snack juga tidak kalah “ngeri” harganya. Di Zimbabwe, untuk ngemil saja dibutuhkan uang setidaknya 200 ribu dollar. Karena harga makanan ringan rata-rata sebesar itu.

Tidak suka makanan ringan, dan lebih senang makan roti? Kalau begitu, siapkan uang 600 juta dollar! Ini serius, karena harga roti tawar—dan roti sejenis—di Zimbabwe memang rata-rata sebesar itu. Pada 2009, harta roti tawar masih di kisaran 15 juta dollar. Tapi sekarang harganya telah naik berkali-kali lipat menjadi 600 juta dollar, akibat langkanya persediaan. Omong-omong, uang sejumlah 600 juta dollar membutuhkan kantong plastik besar untuk membawanya.

Setiap hari, sebagian orang kaya di Zimbabwe datang ke pasar untuk berbelanja barang kebutuhan sehari-hari, dan mereka membawa ember atau karung atau gerobak berisi tumpukan uang. Padahal yang dibeli cuma sayuran, gandum, dan bahan makanan lain untuk makan keluarga. Karenanya, ibu rumah tangga di sana setiap hari membelanjakan triliunan dollar hanya untuk kebutuhan makan.

Jika untuk membeli barang-barang yang bisa dibilang “sepele” semacam itu saja sudah membutuhkan banyak uang yang jumlahnya huahaha, bisakah kita membayangkan sebanyak apa uang yang harus disiapkan untuk membeli mobil, misalnya? Kalau kita ingin membeli mobil di Zimbabwe, kita harus membawa truk gandeng untuk mengangkut uang dari rumah!

Jadi, rata-rata orang Zimbabwe adalah miliuner. Oh, bukan miliuner lagi, mereka bahkan triliuner, karena uang yang mereka miliki telah mencapai triliunan dollar. Karenanya, bahkan anak-anak kecil di Zimbabwe sudah biasa dengan hitung-hitungan miliaran atau triliunan, karena setiap hari mereka bersentuhan dengan nominal tersebut. Mau beli jajan, mereka menghitung sekian miliar. Mau beli mainan, mereka menghitung sekian triliun.

Kedengarannya hebat!

Sayangnya tidak!

Dalam nominal, mereka menghitung jumlah yang sangat besar. Dalam kemampuan untuk membeli, mereka menghadapi rendahnya nilai uang mereka. Di atas kertas, setiap orang di Zimbabwe memiliki uang dalam jumlah luar biasa. Dalam realitas, mereka adalah orang-orang miskin dan jelata. Zimbabwe adalah contoh sempurna yang menjadi ilustrasi bahwa kekayaan tidak bisa didasarkan dan disandarkan pada mata uang!

Bahkan, yang lebih mengerikan, Zimbabwe tidak hanya menghadapi kriris ekonomi yang menyebabkan runtuhnya nilai mata uang mereka, tapi juga menghadapi masalah lain, yaitu kelangkaan barang. Akibatnya, daya beli semakin turun akibat harga-harga semakin naik, dan barang yang dibutuhkan juga sulit didapat. Hasilnya, harga semakin tak terkendali, dan nasib manusia di sana sampai di titik nadir.

Menghadapi keadaan yang sangat rumit itu, pemerintah Zimbabwe pun memutuskan untuk menarik mata uang dollar Zimbabwe, dan melakukan redenominasi. Mata uang dollar Zimbabwe dihapus, dan diganti mata uang dollar US. Karenanya, masyarakat di sana lalu berdatangan ke bank untuk menukarkan uang milik mereka. Perhitungannya, untuk setiap 1 dollar US ditukar 35 ribu triliun dollar Zimbabwe. Jadi, masyarakat Zimbabwe datang ke bank dengan membawa gerobak atau pikap untuk mengangkut tumpukan uang mereka, lalu ditukar selembar atau beberapa lembar uang dollar US.

Sampai di sini, masih adakah yang tertarik untuk datang ke Zimbabwe, demi bisa mendapatkan 1 juta dollar? Kemungkinan besar tidak ada. Karena, buat apa memiliki 1 juta dollar, kalau uang sejumlah itu sama sekali tak berharga? Buat apa memiliki uang—yang secara nominal—sangat banyak, tapi tidak bisa dimanfaatkan?

Uang adalah satu hal, tapi nilai uang adalah hal lain. Memiliki uang adalah satu hal, tapi kemampuan menggunakannya adalah hal lain. Memiliki uang banyak tidak otomatis menjadikan kita kaya, sebagaimana memiliki uang sekadarnya tidak menjadikan kita miskin. Tergantung di mana kita tinggal. Tergantung seberapa besar kebutuhan dan keinginan. Dan, akhirnya, tergantung bagaimana diri kita.

Kita yang tinggal di Indonesia mungkin tidak mengalami masalah separah orang-orang di Zimbabwe. Tetapi kita juga menghadapi masalah sendiri, terkait berapa uang yang kita miliki. Dalam hal itu, kaya dan miskin tidak bisa lagi didasarkan pada kepemilikan uang semata, melainkan lebih pada besarnya kebutuhan dan keinginan, serta kemampuan orang per orang dalam mengelola uangnya.

Orang yang memiliki penghasilan 100 juta per bulan mungkin miskin, karena kebutuhannya mencapai 200 juta per bulan. Sementara orang yang hanya bergaji 10 juta per bulan mungkin kaya, karena kebutuhannya hanya 4 juta per bulan. Nominal uang tidak selalu berbanding lurus dengan kaya dan miskin, karena itu hanya sebatas nominal. Karenanya, kaya dan miskin tidak bisa didasarkan pada uang semata, melainkan yang ada di dalam diri kita.

Seperti orang-orang di Zimbabwe. Rata-rata mereka adalah miliuner, bahkan triliuner. Tapi apakah mereka kaya? Kita meragukan. Kemungkinan besar, rata-rata mereka merasa miskin. Karena meski memiliki banyak uang, harga-harga di sana juga luar biasa mahal. Selain sangat mahal, persediaan barang di sana juga sulit didapatkan. Kenyataannya, Zimbabwe termasuk negara miskin, meski rata-rata warganya memiliki uang triliunan dollar.

Menyaksikan dan memikirkan semua itu, kita seperti melihat betapa rentan meletakkan kekayaan pada lembaran atau tumpukan uang. Karena sesuatu yang kita sebut “uang”—yang tiap hari kita kejar mati-matian—ternyata begitu rapuh, begitu mudah hancur, begitu gampang kehilangan nilai. Yang tampak besar hari ini, bisa kehilangan harga besok pagi. Jika kekayaan memang disandarkan pada sesuatu serapuh itu, alangkah malang kekayaan yang bisa dimiliki manusia.

Kekayaan, pada akhirnya, memang tidak bisa diletakkan di atas nominal uang, karena ia lebih terkait pada diri kita. Diri kita sendirilah yang menentukan apakah kita kaya, atau miskin. Uang hanya sarana, tapi kita yang menggunakan. Uang hanya nominal, tapi kita yang menentukan. Kita bisa menganggap diri kaya dengan uang sekadarnya, kita juga bisa menganggap diri miskin dengan uang berlimpah. Kekayaan masing-masing orang tidak bisa diukur dari berapa uangnya, melainkan bagaimana mereka menilai dan menjalani kehidupannya.

Orang yang memiliki uang 1 miliar mungkin tidak bisa tidur tenang, karena memiliki utang 10 miliar. Sementara orang yang hanya memiliki 1 juta bisa tidur nyenyak dan bermimpi indah, karena uang sejumlah itu cukup untuk menutup semua kebutuhannya.

Akhirnya, memang baik untuk memiliki banyak uang. Tetapi, sama baik pula untuk mengingat bahwa kita masih memiliki hal-hal yang tak pernah bisa dibeli dengan uang. Karena, untuk apa memiliki uang 1 juta dollar, kalau kita tidak pernah bisa menggunakan?

Mbakyuku Nomor Satu

Sekelompok bocah bercakap-cakap di teras rumah. Mereka sedang membicarakan tokoh-tokoh superhero di film-film yang mereka tonton.

Bocah pertama berkata, “Menurut kalian, kalau Superman sama Batman bertarung, siapa yang akan menang?”

“Superman, dong!” jawab bocah kedua.

Bocah ketiga menyahut, “Tapi Superman pasti kalah sama Magneto.”

“Kok bisa?” ujar bocah lain penasaran.

“Iya, dong,” kata bocah ketiga. “Superman kan Manusia Besi. Padahal Magneto bisa mengendalikan besi. Jadi Superman pasti kalah sama Magneto.”

Bocah-bocah lain mengangguk-angguk, tampaknya memahami logika tersebut.

Lalu bocah keempat berkata, “Tapi Magneto kalah sama Jean Grey.”

“Ah, apa iya?” sahut bocah-bocah lain.

“Iya, kan?” ucap bocah keempat. “Di seri X-Men yang dulu itu, Jean Grey memiliki kekuatan hebat, sampai Profesor X pun kalah. Magneto juga tidak bisa apa-apa waktu itu. Jadi Magneto pasti kalah sama Jean Grey.”

Sekali lagi, bocah-bocah lain mengangguk, seperti baru memperoleh pencerahan.

Lalu bocah kelima, yang dari tadi diam, berkata, “Tapi Jean Grey pasti kalah sama mbakyuku.”

“KOK BISA...???” teriak bocah-bocah temannya serempak.

Bocah tadi menjawab, “Iya, soalnya di dunia ini tidak ada yang mengalahkan mbakyuku.”

Bocah-bocah yang lain mimisan.

Page Not Found

Sudah dibilangin Page Not Found kok masih dibuka.

Errr... lagian Page Not Found tapi kok ada isinya.

Seorang Lelaki Menyalakan TOA

Seorang lelaki memasuki mushala, menyetel CD tilawah, kemudian menyalakan TOA. Seketika, suasana yang semula hening dan sunyi pecah oleh kerasnya suara TOA. Setelah itu, lelaki tadi keluar dari mushala, dan pergi entah ke mana.

Sekilas, tidak ada yang salah—orang-orang menganggapnya hal biasa. Lelaki itu bahkan setiap sore melakukan aktivitasnya—masuk mushala, menyetel TOA, lalu keluar dan pergi entah ke mana.

Suatu hari, teman saya bertanya, “Apa manfaat dia melakukan itu?”

Sampai saat ini, saya tidak tahu jawabannya.

Selasa, 09 Agustus 2016

Jejak Sunyi di Bawah Langit

Di dunia tempat manusia memuja hiruk-pikuk penuh bising,
selalu ada malaikat yang bekerja dalam hening.
@noffret


Jakarta hujan, malam itu, ketika Abdul Rohim sedang berjalan pulang dari tempat kerjanya di Green Garden, Jakarta Barat. Dia bekerja sebagai sopir pribadi di salah satu keluarga yang ada di sana. Abdul Rohim tinggal di Cengkareng Timur, Jakarta Barat, dan biasa pergi-pulang kerja mengendarai sepeda motor. Malam itu, saat melaju pulang, hujan deras turun. Maka dia pun menepi untuk berteduh.

Sambil berteduh di bawah hujan yang terus mengguyur, Abdul Rohim menyaksikan lalu lintas Jakarta yang tak pernah sepi, dan aspal basah dengan genangan air yang sesekali menciprat. Dia juga menyaksikan sepasang suami istri dan satu anak yang sedang menuntun sepeda motor di bawah hujan, karena ban yang kempis. Tidak lama kemudian ada ibu hamil dan suaminya yang juga terpaksa berjalan kaki sambil menuntun sepeda motor, akibat ban yang bocor.

Di bawah hujan malam itu, Abdul Rohim mulai menyadari sesuatu. Di banyak area jalan raya, sering kali ada paku yang terserak, dan keberadaan paku-paku itu sering menimbulkan masalah bagi para pengendara motor. Saat paku menempel ke ban sepeda motor, dan ujungnya yang tajam menembus, ban motor pun bocor, mengempis, hingga tak bisa dikendarai.

Mungkin tidak terlalu masalah jika yang mengalami hal semacam itu anak muda yang kebetulan sedang jalan-jalan santai. Ban motor yang bocor di tengah jalan tentu bukan masalah besar. Tapi bagaimana jika yang mengalami masalah semacam itu kebetulan ibu hamil yang sedang terburu-buru ke rumah sakit untuk melahirkan? Atau bagaimana jika masalah semacam itu menimpa seorang ayah yang sedang terburu-buru mengantarkan anaknya ke sekolah agar tidak terlambat?

Bayangan itu mengusik pikiran Abdul Rohim. Dan pikirannya semakin terusik, ketika suatu pagi—tepat saat subuh—ia mendapati seorang ibu dengan keranjang penuh sayur di belakang motornya, dan ban belakang motor ibu itu bocor hingga tak bisa dikendarai. Ibu itu tidak bisa melakukan apa pun, selain hanya bingung menatap sepeda motornya yang tidak bisa diajak jalan. Sementara hari masih gelap, dan belum ada tukang tambal ban yang buka.

Pemandangan itu lalu mendorong Abdul Rohim untuk melakukan sesuatu. Karena dia orang biasa, maka yang dia lakukan pun hal biasa. Tanpa ribut-ribut, Abdul Rohim mulai memunguti satu per satu paku yang ditemukannya di sepanjang jalan, saat ia berangkat dan pulang kerja. Tujuannya sederhana, agar paku-paku itu tidak menimbulkan masalah bagi para pengendara motor.

Jadi, sejak itu, setiap kali berangkat dan pulang kerja, Abdul Rohim mengendarai sepeda motornya perlahan, sambil memperhatikan jalan yang dilaluinya. Jika kebetulan melihat ada paku di jalan, dia berhenti, memungut paku itu, lalu meneruskan perjalanan. Dia melakukan kegiatan itu sejak 2010, dan terus melakukannya setiap hari. Tidak ada yang tahu, tidak ada yang membayar, bahkan tidak ada yang memuji. Dia mengerjakan kebaikan itu dalam sunyi.

Semula, Abdul Rohim memunguti paku-paku di jalan raya dengan tangan. Sampai kemudian, dia menemukan magnet di tempelan kulkas. Ia mengikat magnet itu pada sebatang kayu, dan dengan alat itu ia menyapu paku-paku yang bertebaran di jalanan.

Satu tahun sejak pertama kali melakukan aktivitas itu, Abdul Rohim bertemu Siswanto, seseorang yang tinggal di sekitar kompleknya. Siswanto bertanya mengenai aktivitas Abdul Rohim, lalu mereka pun mengobrol. Dari obrolan itu, Siswanto ikut terinspirasi untuk mengikuti jejak Abdul Rohim, dan sejak itu dia pun mulai memunguti paku-paku di jalan. Sama seperti Abdul Rohim, Siswanto juga melakukan tanpa ribut-ribut, tanpa dibayar, dan tidak ada yang memuji.

Dari obrolan dengan Siswanto pula, Abdul Rohim mencetuskan ide untuk menamai aktivitas mereka dengan sebutan “Saber”, yang artinya “sapu bersih”. Ketika ditanya wartawan, kenapa menggunakan nama Saber, Abdul Rohim menjawab sambil tertawa, “Biar terkesan sangar.”

Pada 5 Agustus 2011, komunitas Saber dibentuk secara resmi. Meski disebut komunitas, namun anggotanya cuma dua orang, yaitu Abdul Rohim dan Siswanto. Dua orang itu pun punya kegiatan sendiri-sendiri, berdasarkan rute perjalanan yang biasa dilewati. Pokoknya, ke mana pun pergi, mereka akan terus menyapu paku-paku yang kebetulan mereka temukan. Dan hal itu mereka lakukan setiap waktu, hari demi hari, minggu demi minggu, bulan demi bulan, bahkan tahun demi tahun.

Lima tahun kemudian, dua orang itu masih setia dengan kegiatannya—memunguti paku-paku yang kebetulan terserak di jalan. Selama bertahun-tahun, mereka melakukan aktivitas mulia tanpa ribut-ribut, tanpa publikasi, tanpa dibayar, bahkan kadang mengalami kecelakaan ketika kebetulan harus memungut paku di jalan yang ramai. Di lain waktu, mereka bahkan pernah mendapat ancaman dan teror dari penyebar paku, yang meminta mereka berhenti memunguti paku di jalan.

Tapi Abdul Rohim dan Siswanto terus melakukan aktivitas itu. Mereka tetap memunguti paku-paku di jalan mana pun yang mereka temukan.

Seiring dengan itu, aktivitas mulia yang mereka lakukan mengilhami orang-orang lain untuk ikut serta. Pada 2015, anggota komunitas Saber telah berjumlah 25 orang, meliputi wilayah Cikarang dan Karawang. Satu tahun kemudian, jumlahnya telah lebih dari 40 orang, dan terus bertambah. Selama lima tahun memunguti paku-paku yang terserak di jalan, komunitas Saber telah mengumpulkan 3,8 ton paku!

Abdul Rohim maupun Siswanto tidak pernah mengajak-ajak atau mempromosikan atau menceramahkan kegiatan mereka. Orang-orang bergabung karena tergerak sendiri, terilhami oleh perbuatan baik tersebut, dan mereka mengikuti jejak Abdul Rohim dengan memunguti paku-paku yang ditemukan di jalan. Setiap kali ada “anggota baru”, Abdul Rohim selalu mengingatkan, “Ini pekerjaan sukarela, dan tidak digaji. Kita bekerja secara ikhlas untuk kebaikan para pengguna jalan.”

Orang-orang itu pun setuju. Dan seperti air yang mengalir, aktivitas kebaikan itu pun mengalir ke mana-mana, mengilhami semakin banyak orang. Satu anggota Saber ketemu temannya, dan si teman tertarik dengan aktivitas tersebut, lalu ikut bergabung. Kemudian si teman bertemu teman yang lain, kembali tertarik, dan ikut bergabung. Dan begitu seterusnya. Komunitas yang dimulai dua orang kini memiliki banyak anggota. Kebaikan yang dimulai satu orang, kini diikuti banyak orang.

Di belantara Jakarta yang gersang dan tampak tak peduli dengan orang lain, ternyata masih ada orang-orang yang memiliki hati. Di antara jalanan yang terus macet dan bergegas dan terburu, ternyata masih ada yang menggunakan nurani. Orang-orang yang tidak hanya memikirkan diri sendiri, namun juga memikirkan orang lain. Tidak hanya menganggap penting keselamatan diri sendiri, namun juga keselamatan orang lain.

Abdul Rohim adalah pria berusia 46 tahun, memiliki seorang istri dan tiga orang anak. Seperti yang disebut tadi, dia bekerja sebagai sopir pribadi bagi sebuah keluarga yang tinggal di Green Garden. Abdul Rohim tinggal di rumah kontrakan bersama istri dan anak-anaknya, di wilayah Cengkareng. Di Jakarta, ada jutaan pria seperti Abdul Rohim—sosok biasa, dengan penampilan biasa, dengan sikap biasa, dengan tutur kata biasa. Pendeknya, Abdul Rohim adalah manusia biasa seperti kita.

Tapi dia memiliki sesuatu yang mungkin tidak kita miliki. Kesadaran. Keikhlasan. Kemauan melakukan sesuatu demi kebaikan, meski tak dibayar, meski tak ada yang tahu, meski dalam sunyi.

Mungkin kita bisa mengatakan, bahwa aktivitas memunguti paku di jalan bukan hal besar, dan siapa pun bisa melakukan. Tapi siapakah yang mampu melakukan itu sampai bertahun-tahun?

Ada banyak orang yang telah menyaksikan orang-orang lain menuntun sepeda motor, akibat ban bocor terkena paku di jalan. Tapi siapakah yang terilhami untuk melakukan kebaikan setelah menyaksikan itu?

Setiap orang mungkin bisa melakukan kebaikan sesekali, dan tidak dibayar. Tapi tidak setiap orang mampu melakukan kebaikan yang sama sampai bertahun-tahun tanpa dibayar. Orang yang mampu melakukannya pasti manusia istimewa, terlepas siapa pun dia. Jenis manusia yang melakukan sesuatu bukan karena apa pun, tapi semata menyadari itu kebaikan, dan merasa harus melakukan. Sosok manusia yang melakukan kebaikan bukan karena berharap uang atau pujian, tetapi semata karena kesadaran.

Dan mengapa Abdul Rohim mampu melakukan perbuatan mulia semacam itu sampai bertahun-tahun, padahal tidak ada yang membayar, tidak ada yang memuji, tidak ada yang tahu? Inilah yang dikatakannya, “Saya tidak akan berhenti membersihkan, karena kebaikan tidak akan sia-sia.”

Jadi bukan karena berharap bayaran, atau pujian, atau publikasi, atau berharap masuk televisi. Dia mampu melakukan hal baik sampai bertahun-tahun, tanpa dibayar dan tanpa diketahui orang-orang, semata karena menyadari bahwa, “Kebaikan tidak akan sia-sia.”

Sebuah filosofi sederhana. Dan filosofi sederhana itu kemudian menciptakan jejak di bawah langit. Jejak yang mungkin tak terlihat, tapi diikuti orang-orang lain. Jejak yang mungkin sunyi, tapi telah menyelamatkan banyak orang tanpa pernah mereka sadari. Oh, well, tak pernah ada kebaikan sia-sia di muka bumi.

Nasihat yang Paling Tak Bisa Dipercaya

Saat mendapati seseorang bertanya urusan kawin kepada orang yang belum menikah, apa pun bentuknya, seketika aku kehilangan respek kepadanya.
—Twitter, 12 Mei 2016

Urusan menikah atau tidak adalah soal pilihan, dan itu masuk wilayah privat orang per orang. Kenapa orang lain merasa berhak ikut campur?
—Twitter, 12 Mei 2016

Setiap manusia beradab seharusnya menyadari bahwa pertanyaan “kapan kawin?” adalah pertanyaan yang bodoh sekaligus sangat menjijikkan.
—Twitter, 12 Mei 2016

Dalam urusan kawin, manusia kadang lebih hina dari binatang. Bahkan binatang pun tidak pernah bertanya “kapan kawin?” kepada sesamanya.
—Twitter, 12 Mei 2016

Tak peduli sehebat apa pun seseorang, setinggi apa pun pendidikannya, jika dia bertanya “kapan kawin?”, aku akan bilang persetan dengannya.
—Twitter, 12 Mei 2016

“Kapan kamu kawin?”
“Kapan kamu mati?”
“Pertanyaanmu tidak sopan!”
“Dan kamu pikir pertanyaanmu sopan, bastard?!”
—Twitter, 12 Mei 2016

Ironis, setiap kali mendapati orang bertanya “kapan kawin?” kepadaku, aku selalu mendapati kehidupan menyedihkan yang dijalani orang itu.
—Twitter, 12 Mei 2016

Lajang yang tak bahagia mencari hiburan bersama teman. Orang-orang menikah yang tak bahagia mencari hiburan dengan bertanya “kapan kawin?”
—Twitter, 12 Mei 2016

Di antara hal-hal yang perlu diingat, ingatlah ini: Manusia beradab menyadari bahwa pertanyaan “kapan kawin?” sungguh bodoh dan menjijikkan.
—Twitter, 12 Mei 2016

Tidak ada yang lebih menyedihkan di bawah langit, selain orang menikah yang menyesali hidupnya, lalu bertanya “kapan kawin?” pada sesamanya.
—Twitter, 12 Mei 2016

Semakin agresif seseorang menyuruh orang-orang lain agar cepat kawin, hampir bisa dipastikan hidup dan perkawinannya sangat menyedihkan.
—Twitter, 12 Mei 2016

Nasihat yang paling tidak bisa dipercaya di dunia adalah nasihat cepat kawin, yang diucapkan orang yang tidak bahagia dalam perkawinannya.
—Twitter, 12 Mei 2016


*) Ditranskrip dari timeline @noffret.

Job

Job, sebenarnya, bukan bahasa Inggris. Itu anagram bahasa Jawa yang ditulis dengan selera humor yang aneh.

Jumat, 05 Agustus 2016

PKI dan Paranoid yang Menggelikan

“Tidak ada perang bukan berarti ada kedamaian.”
Mystique, X-Men: Apocalypse


Pada era 90-an, ada penyanyi terkenal bernama Atiek CB (baca: Sibi). Dia salah satu lady rocker Indonesia, yang sangat terkenal pada zamannya. Bocah-bocah yang sudah cukup puber pada era 90-an, pasti mengenal sosok Atiek CB sebagai penyanyi yang lekat dengan penampilan cuek dan kacamata hitam. Tapi bukan itu yang membuat saya teringat kepadanya.

Pada awal 1990-an, Atiek CB merilis album baru, yang kemudian menjadi “kasus nasional”. Pada masa itu, kaset pita masih populer, karena CD belum populer di Indonesia. Album baru Atiek CB juga dikemas dalam sebuah kaset pita, lengkap dengan sampul kaset yang biasanya berisi ilustrasi (gambar-gambar artistik) dan lirik-lirik lagu dalam album. Ilustrasi sampul album Atiek CB waktu itu digarap Dik Doang. Iya, Dik Doang yang itu.

Di masa itu, Dik Doang belum terkenal, karena pekerjaannya waktu itu “cuma” menjadi tukang desain sampul kaset. Belakangan, nama Dik Doang mulai dikenal gara-gara “skandal” yang terkait dengan sampul album Atiek CB yang digarapnya.

Jadi, saat menggarap sampul album Atiek CB, Dik Doang mencari gambar-gambar dan ilustrasi yang sekiranya bisa ia gunakan untuk mempercantik tampilan sampul. Dia pun membuka-buka koran dan majalah terbitan luar negeri, menggunting gambar-gambar yang menurutnya bagus, untuk kemudian ia tata seperti orang membuat kliping. Ingat, waktu itu teknologi komputer belum secanggih sekarang. Jadi, sebagian besar pekerjaan desain masih dilakukan secara manual.

Nah, tanpa sepengetahuan Dik Doang, ada sebuah gambar kecil mirip palu arit dalam ilustrasi yang ia masukkan ke sampul album Atiek CB. Gambar itu sangat kecil, sebegitu kecil hingga luput dari pengamatan Dik Doang. Bahkan, sebenarnya, untuk bisa melihat gambar itu secara jelas, kita harus memelototinya dengan serius, atau bahkan menggunakan kaca pembesar. Yang jelas, di sampul album itu terdapat gambar palu arit seukuran kutu, dan... gara-gara itu, Indonesia geger.

Selama waktu-waktu itu, media massa di Indonesia memberitakan kasus “palu arit di sampul album Atiek CB” dengan gegap gempita, seolah Monas kedatangan alien, atau Istana Negara diserbu UFO. Dunia musik Indonesia mengalami masa genting, Atiek CB terus menerus diwawancara berbagai media massa, sementara Dik Doang—selaku pembuat ilustrasi—tampak seperti “tersangka”. Padahal masalahnya sepele, yaitu gambar palu arit yang bahkan ukurannya lebih kecil dari upil!

Di zaman itu, Soeharto dan Orde Baru masih berkuasa di Indonesia, dan Soeharto—kita tahu—sangat paranoid terhadap PKI (Partai Komunis Indonesia) maupun dengan segala atributnya. Kebetulan, PKI memiliki lambang bergambar palu arit. Jadi, di masa itu, segala hal berbau PKI atau atribut PKI akan dianggap sebagai upaya makar atau subversif, bahkan jika itu hanya gambar palu arit yang sangat keciiiiiiiil di sampul album kaset!

Dalam ingatan saya, inilah kira-kira yang dikatakan Dik Doang, ketika ia dikonfirmasi mengenai keberadaan gambar palu arit di sampul album Atiek CB waktu itu, “Saya khilaf. Saya benar-benar tidak menyadari kalau ilustrasi yang saya potong dari majalah luar negeri ternyata terdapat gambar palu arit. Saya mohon maaf atas kekhilafan itu, karena saya benar-benar tidak menyadari keberadaan gambar tersebut.”

Saya memaklumi kalau Dik Doang sampai khilaf dan tak melihat gambar palu arit tersebut, karena nyatanya memang sangat kecil. Seperti yang disebut tadi, gambar itu cuma seukuran kutu, atau lebih kecil dari upil. Saya bahkan takjub dan penasaran mengenai siapa kira-kira orang kurang kerjaan yang bisa-bisanya menemukan gambar tersebut, hingga masalah itu menjadi kasus nasional. Mungkin orang itu—siapa pun dia—menatap sampul album itu dengan Sinar-X!

Singkat cerita, album Atiek CB yang dianggap bermasalah itu ditarik dari pasar, dan baru bisa diedarkan kembali setelah sampul albumnya diganti. Terkesan berlebihan? Mungkin iya, tapi pada masa itu Soeharto masih berkuasa, dan segala hal berbau PKI—tak peduli sekecil kutu—harus disingkirkan.

Berdasarkan kisah itu, kita bisa membayangkan bagaimana paranoidnya pemerintah Orde Baru terhadap PKI. Padahal mereka pemenang dalam pertempuran melawan PKI. Soeharto naik ke tampuk kekuasaan setelah sukses memerangi PKI, dan ia mengganti Orde Lama dengan Orde Baru. Dia telah menang. Meski begitu, sang pemenang memiliki mental pecundang, hingga apa pun yang berbau PKI harus dihancurkan. Jika gambar palu arit sekecil kutu saja bisa membuat mereka tak bisa tidur, bisakah kita membayangkan hal lain yang lebih besar?

Pada akhir 1990-an, Soeharto jatuh, dan Orde Baru diganti Orde Reformasi. Jatuhnya Soeharto membawa perubahan pada banyak hal, khususnya terkait kebijakan pemerintah. Perubahan yang terjadi semakin besar-besaran ketika Gus Dur menjadi presiden. Dalam waktu jabatannya yang relatif singkat, Gus Dur melakukan banyak kebijakan, khususnya terkait kaum minoritas.

Sejak masa kepemimpinan Gus Dur itulah, komunitas Tionghoa yang semula terpinggirkan mulai mendapat tempat yang lebih layak, sementara orang-orang yang semula teraniaya karena pernah terlibat dengan PKI mulai dikembalikan kehormatannya. Gus Dur membuka mata banyak orang, bahwa sesuatu yang sebelumnya ditakuti Orde Baru sebenarnya bukan apa-apa, bahwa mereka manusia biasa seperti kita. Yang mungkin salah dan alpa, tapi bukan berarti akan salah terus selamanya.

Jadi, sejak masa itu pula, gambar palu arit bukan lagi atribut menyeramkan seolah tanda sihir Lord Voldemort. Di koran dan majalah yang terbit di awal Reformasi, gambar-gambar semacam itu jadi tampak biasa. Bukan hanya gambar, bahkan orang-orang yang semula telibat dengan PKI pun bisa diangkat oleh media massa dengan leluasa, sehingga mereka bisa menjelaskan apa sebenarnya yang terjadi dengan sejarah kita di masa lalu, khususnya terkait PKI dan Indonesia.

Kisah PKI sudah selesai, dan hal itu ditegaskan dengan bubarnya partai tersebut. Mereka bahkan sudah lama selesai, karena partai mereka sudah bubar sejak lama. Karenanya, ketakutan Orde Baru terhadap PKI adalah paranoid yang tak masuk akal,  kalau tak mau dibilang menggelikan. Gus Dur memahami betul hal itu, karenanya—alih-alih meneruskan ketakutan Orde Baru—dia lebih suka menertawakannya.

Yang aneh, dan yang lucu, sebagian orang di zaman ini kembali menghidupkan ketakutan yang sama, paranoid yang sama. Padahal, sekali lagi, riwayat PKI sudah tamat. Partai mereka sudah tidak ada, ideologi mereka juga sudah bangkrut. Soviet, yang semula diagungkan sebagai negara komunis, runtuh. Cina, yang dianggap beraliran komunis, saat ini telah menjadi negara kapitalis. Siapa bilang Cina negara komunis? Amerika bahkan ketar-ketir menghadapi pertumbuhan ekonomi Cina!

Jadi, sebagai partai maupun sebagai ideologi, PKI sudah lama selesai, sudah lama bubar, dan sebenarnya cuma tinggal kenangan. Namanya kenangan, tentu saja, boleh dikenang atau dipelajari. Tapi ketakutan pada kenangan adalah sejenis ketakutan yang tak wajar. Apalagi jika itu kenangan orang lain, dan sama sekali bukan kenangan kita. Memang benar PKI pernah menjadi bagian sejarah kita. Tetapi ketakutan berlebihan pada sejarah—khususnya sejarah yang telah usai—sama seperti ketakutan pada bayangan sendiri.

Karena itu, saya prihatin dengan ribut-ribut tempo hari menyangkut PKI, sampai terjadi pembredelan majalah, juga pembakaran dan penarikan buku-buku yang konon dapat menghidupkan kembali PKI di masa kini. Itu sangat lebay. Sama lebay seperti Orde Baru yang ketakutan gara-gara gambar palu arit sekecil upil, yang tanpa sengaja muncul di sampul kaset!

Ada pula orang-orang yang—entah bagaimana isi otaknya—terus menerus meributkan orang lain karena mencurigai leluhurnya terkait PKI. Memangnya kenapa kalau si A atau si B kebetulan punya kakek atau orangtua yang dulu terlibat PKI?

PKI bukanlah ras atau etnis, yang akan terus terbawa ke anak cucu dan keturunan secara genetis. PKI hanyalah partai, atau—paling banter—ideologi. Dan orang bisa berpindah ideologi semudah berganti baju, kalau mau. Karena partai dan ideologi hanyalah soal pilihan, dan orang cenderung memilih pilihan yang ia anggap menguntungkan. Orang yang kemarin PKI bisa saja berganti Golkar besok pagi, sebagaimana orang yang meributkan tujuh setan desa bisa membangun distro di desanya. Well, biasa saja.

Seperti Presiden Jokowi, misalnya. Terus terang saya bukan pengagum Jokowi. Tetapi saya tidak peduli siapa leluhurnya, siapa ibunya, atau bagaimana ideologi masa lalu mereka. Saya bahkan tidak peduli apa ras atau etnisnya, atau film atau musik, atau masakan favoritnya. Sebagai rakyat Indonesia, yang saya pedulikan hanyalah kepribadian Jokowi sebagai manusia, dan sikap serta kebijakannya sebagai pemimpin. Jika ia bisa baik dalam dua hal itu, well, itu sudah cukup. Dan saya akan mendukung serta menghormatinya.

Saya pikir, begitu pula cara kita menilai manusia lain. Kita tidak ingin dinilai siapa leluhur kita, atau apa etnis dan ras kita, atau apa keyakinan dan ideologi kita. Kita—masing-masing manusia—hanya ingin dinilai berdasarkan siapa diri kita, dan apa yang kita lakukan sebagai manusia. Kalau saya menolong seorang korban kecelakaan, orang tidak peduli siapa leluhur saya. Sebaliknya, kalau saya melakukan kejahatan, orang juga tidak peduli apa partai favorit saya.

Manusia adalah apa yang dilakukannya, bukan apa atribut yang mereka bawa, juga bukan siapa leluhur mereka. Karenanya, menilai orang lain hanya karena atribut atau leluhur yang mungkin melekat, sama tololnya dengan ketakutan pada gambar palu arit sekecil upil yang sebenarnya tak terlihat. Kalau bukan tolol dan konyol, sikap semacam itu benar-benar bangsat.

Noffret’s Note: Mendengarkan

Bercakap-cakap dengan orang sederhana, dengan cara sederhana, dan mempercakapkan hal-hal sederhana, itu menyenangkan.
—Twitter, 2 Juni 2016

Anak muda yang mau mendengarkan orang tua berbicara, itu baik. Orang tua yang mau mendengarkan anak muda berbicara, itu mulia.
—Twitter, 2 Juni 2016

3 hal yang merusak percakapan adalah bercakap tanpa mendengarkan, memberi nasihat tanpa diminta, dan menganggap cuma pendapatnya yang benar.
—Twitter, 2 Juni 2016

Dalam interaksi keseharian, aku lebih suka banyak diam. Karena menyadari, betapa sedikitnya orang yang mau benar-benar mendengarkan.
—Twitter, 2 Juni 2016

Bercakap-cakap dengan orang yang merasa benar dan tidak bisa benar-benar mendengarkan, adalah pekerjaan sia-sia dan sangat melelahkan.
—Twitter, 2 Juni 2016

Menyela percakapan itu buruk. Tetapi berbicara dan ingin terus didengarkan tanpa mau mendengarkan, itu jauh lebih buruk.
—Twitter, 2 Juni 2016

Ada orang-orang yang tampaknya mendengarkan ucapan kita, tapi sebenarnya tidak mendengarkan apa-apa. Kita ngomong A, dia mendengarnya Z.
—Twitter, 2 Juni 2016

Kadang-kadang aku lebih suka berbicara dengan batu, atau termos, atau botol kecap. Mereka lebih tahu cara diam dan cara mendengarkan.
—Twitter, 2 Juni 2016


*) Ditranskrip dari timeline @noffret.

Bocah Paling Beruntung

Dalam bayanganku, bocah paling beruntung di dunia adalah bocah yang punya mbakyu bernama Ayu. Jadi, dia memanggilnya Mbakyu Ayu.

Oh, well, apa yang lebih hebat dari itu, coba?
 
Senin, 01 Agustus 2016

Sejarah Luka

Hanya ada satu ras, dan ras itu manusia. Titik.
Edward James Olmos


Sewaktu kecil, teman-teman biasa memanggil saya “Cina”. Alasannya sederhana, yakni karena kulit saya yang putih—setidaknya lebih putih dibanding teman-teman di lingkungan saya yang rata-rata hitam atau sawo matang. Di sekolah (SD), saya juga dipanggil “Cina” oleh teman-teman, dengan alasan yang sama. Kenyataannya, saya menyadari kalau kulit saya waktu itu sangat terang, mirip orang-orang keturunan Cina yang biasa saya temui di lingkungan sekitar.

Tapi saya tidak pernah marah. Saya tidak marah atau terhina setiap kali dipanggil “Cina”. Alasannya, panggilan “Cina” yang ditujukan kepada saya tidak dimaksudkan untuk mengejek atau menghina. Sebaliknya, itu pujian, karena mereka menilai saya memiliki kulit yang lebih bersih atau lebih terang dibanding mereka. Bagi orang-orang yang memiliki kulit gelap—setidaknya di lingkungan saya—kulit putih adalah sesuatu yang istimewa.

Saya masih ingat, di sekolah dulu, kami kadang duduk-duduk di depan kelas, lalu saling menyandingkan tangan, dan hasilnya seperti kue lapis. Tangan saya terlihat sangat terang, sementara tangan teman saya terlihat sangat gelap. Lalu mereka biasanya berujar, “Tanganmu kok bisa putih banget gitu, ya?”

Itu percakapan khas anak-anak, karena waktu itu kami masih SD. Kadang, ada teman lain yang menimpali, “Mungkin kamu memang anak Cina.”

Dia mengatakannya dengan serius dan jujur, bukan dengan maksud rasis atau semacamnya, namanya juga anak-anak. Kami waktu itu bahkan belum tahu apa itu rasis. Yang kami tahu, rata-rata orang keturunan Cina memiliki kulit putih. Ketika mereka melihat saya berkulit putih, mereka pun—dengan naluri anak-anak—menghubungkan saya dengan Cina.

Kenyataannya, yang punya kesimpulan semacam itu bukan cuma sesama teman-teman yang masih kecil. Tetangga-tetangga dan famili saya waktu itu pun kerap menyebut saya “anak Cina” karena alasan yang sama. Lagi-lagi, saya tidak pernah marah atau jengkel karena sebutan itu. Sebaliknya, saya senang disebut “Cina”, karena tahu bahwa mereka menggunakan sebutan itu sebagai pujian.

Sayangnya, riwayat kulit putih saya tidak berlangsung lama. Ketika kelas lima SD, seperti yang saya ceritakan di sini, saya mulai hidup di jalanan, dan sejak itu kulit putih saya perlahan-lahan memudar. Seiring saya makin besar, kulit yang semula putih dan terang mulai kecokelatan. Sengatan panas matahari, debu-debu jalanan, polusi dan asap, ditambah bekas-bekas luka, semuanya seperti menutupi warna asli kulit saya yang semula putih bersih.

Selama waktu-waktu itu, saya tidak menyadari perubahan yang terjadi pada kulit saya. Dengan semua yang saya jalani, waktu itu saya tidak sempat memikirkan kecantikan—atau kegantengan—kulit, melainkan bagaimana bertahan hidup. Jadi, ketika kulit tubuh perlahan-lahan menggelap, saya benar-benar tidak pernah menyadari. Yang saya tahu, sejak itu tidak ada lagi orang yang memanggil saya “Cina”.

Lulus SMP, saya bersekolah di SMA yang kebetulan menampung murid-murid multi-etnis. Di sekolah itu ada orang Jawa, orang Arab, Eropa, juga berbagai etnis yang ada di Indonesia, termasuk anak-anak indo/blasteran (memiliki orangtua yang berbeda etnis). Jadi, di sana ada anak yang ayahnya Jawa dan ibunya Cina, ada pula yang ibunya Arab dan ayahnya India, dan lain-lain. Karenanya, beberapa dari kami ada yang memiliki mata berwarna hijau, biru, cokelat, meski kebanyakan tetap hitam-putih.

Salah satu teman sekelas saya bernama Rini, dan kami akrab serta biasa mengobrol kalau pas pelajaran kosong. Rini memiliki kulit putih bersih, dengan wajah cantik, hidung mancung, dan mata sipit. Saya tidak pernah berani menanyakan kepadanya mengenai orangtuanya, tetapi—menurut teman-teman—Rini adalah keturunan Arab-Cina. Karenanya, dia memiliki keanggunan seorang Arab, sekaligus kecantikan khas Cina.

Suatu waktu, saat kami mengobrol berdua ketika pelajaran kosong, saya pernah berkata kepadanya, “Kamu cantik, seperti orang Cina.”

Rini tersenyum manis, dan menyukai pujian itu.

Masih di SMA, ada adik kelas saya bernama Eva. Kami juga akrab, dan dia sering ngerjain saya. Eva adalah anak Belanda-Prancis, berkulit terang, rambut kemerahan, dengan mata berwarna biru. Kadang-kadang, saat saya sedang khusyuk membaca majalah atau buku di perpustakaan, dia mendekati tempat saya duduk, lalu tiba-tiba menutup buku atau majalah yang sedang saya baca. Setelah itu biasanya dia akan tertawa-tawa sambil berlari menjauh. Biasanya pula, saya akan berteriak, “Dasar londo!”

“Londo” adalah sebutan orang Jawa terhadap orang luar negeri, khususnya Belanda, karena “londo” memang berasal dari kata “Belanda”. Eva juga tahu arti “londo”, dan biasanya dia makin tertawa-tawa saat saya menyebut kata itu. Dan, seperti Rini, Eva juga tidak marah dengan sebutan itu. Karena kenyataannya dia memang keturunan Belanda, dan saya menggunakan istilah itu tidak dengan maksud menghina atau semacamnya.

Salah satu etnis yang juga ada di SMA saya waktu itu adalah Arab. Yang unik, teman-teman saya yang Arab itu tidak pernah menyebut diri mereka “Arab”, tapi biasa menggunakan istilah “Jamaah”, yang merujuk pada identitas mereka sebagai orang keturunan Arab. Terus terang saya tidak tahu bagaimana latar belakang hal itu. Namun, karena mereka biasa menyebut begitu, saya pun ikut menyebut mereka begitu. Setiap kali akan menyebut “Arab”, saya akan menggantinya dengan “Jamaah”. Dan mereka tampaknya senang dengan sikap tersebut.

Tiga tahun di SMA bagi saya adalah tiga tahun menghadapi aneka jenis manusia dari berbagai macam ras dan etnis. Selama waktu-waktu itu, saya melihat bahwa meski kami memiliki latar belakang berbeda, namun kami semua sebenarnya sama. Di SMA, usia kami rata-rata sama, biasa memakai seragam serupa, dan menjalani kehidupan di sekolah yang sama. Namun, lebih dari itu, kami juga berinteraksi secara wajar dan normal sebagaimana umumnya manusia, karena—entah bagaimana—kami seperti menyadari bahwa kami semua sebenarnya sama.

Mungkin karena waktu itu kami masih hijau, dan belum tahu apa-apa. Mungkin waktu itu kami masih lugu, dan percaya bahwa semua manusia memang sama. Mungkin waktu itu kami masih naif, dan meyakini bahwa perbedaan ras bukanlah masalah bagi manusia. Tetapi, kalau pun begitu, bukankah sebenarnya—dan seharusnya—begitu?

Jawa, Cina, Arab, India, Eropa, bahkan yang blasteran, hanya latar belakang ras atau etnis. Tetapi, kita sama-sama manusia, dengan pikiran yang sama, dengan hati yang sama. Lebih dari itu, tidak ada satu pun dari kami yang bisa memilih untuk lahir di keluarga mana. Kira-kira pemikiran semacam itulah yang ada di benak kami saat SMA, ketika kami awal remaja, masih hijau, dan bisa dibilang belum tahu apa-apa.

Ketika dewasa, saya mulai tahu bahwa urusan ras atau etnis tidak sesederhana yang saya pikirkan. Di Amerika atau Eropa, misalnya, menyebut orang kulit hitam dengan istilah “negro” bisa membuat mereka marah. Padahal, “negro” memiliki arti “hitam”. Istilah itu berasal dari bahasa Spanyol dan Portugis, yang mengambil kata dari bahasa Latin, “niger”, yang berarti “hitam”. Jadi, orang kulit hitam tidak mau disebut negro, meski istilah itu memiliki arti “hitam”, yang sesuai kulit mereka.

Bahkan, sejak akhir 1960, lahir Gerakan Hak Sipil—yang dimotori Martin Luther King, Jr.—yang salah satunya mencetuskan “aturan” untuk mengganti istilah “negro” menjadi “berwarna”. Hingga kini, orang berkulit hitam atau gelap akan marah jika disebut negro, bahkan umpama kita tidak bermaksud menggunakan istilah itu untuk menghina. Kenyataan itu memiliki sejarah panjang, yang menyisakan luka bagi orang-orang kulit hitam, bahkan sampai sekarang.

Di masa lalu, orang-orang kulit hitam di Amerika dan Eropa menjadi budak bagi orang-orang kulit putih. Di masa lalu, orang-orang kulit putih memanggil budak-budak tersebut dengan sebutan “negro”. Berabad-abad kemudian, perbudakan sudah tidak ada, dan orang-orang kulit hitam bisa hidup merdeka. Tetapi, latar belakang itulah yang membuat orang kulit hitam marah jika dipanggil “negro”, khususnya oleh orang kulit putih, karena panggilan itu memiliki arti buruk bagi mereka.

Pada 2012, misalnya, Royston Drenthe—pemain sayap Everton—mengecam sikap Lionel Messi, karena Messi menyebutnya “negro” ketika mereka berhadapan di ajang Liga Spanyol. Kepada majalah Belanda, Helden, Drenthe menyatakan, “Anda tahu apa yang sebenarnya mengganggu saya? Nada bicara dia (Messi) yang selalu memanggil saya ‘negro, negro’.”

Mahamadou Diarra, pemain lain, juga marah pada Gonzalo Higuain dan Gabriel Heinze (dua pemain sepak bola Argentina di Madrid), karena memanggilnya “negro”. Diarra mengatakan terang-terangan kemarahannya kepada dua orang itu, dan Higuain serta Heinze berhenti memanggilnya “negro”. Bahkan, Luis Suarez, pemain Liverpool, sampai mendapat hukuman berat dari Asosiasi Sepak Bola Inggris (FA) akibat melontarkan kata-kata “negro” kepada bek Manchester United, Patrice Evra.

Sebenarnya, panggilan “negro” biasa dilakukan orang kulit hitam pada sesama orang kulit hitam, khususnya di Amerika. Dan mereka tidak marah. Bahkan, panggilan “negro” kepada sesama kulit hitam menjadi semacam tanda keakraban. Tetapi, mereka akan marah jika panggilan “negro” diucapkan orang kulit putih kepada orang kulit hitam, meski mungkin tidak dimaksudkan untuk menghina.

Panggilan atau sebutan sebenarnya netral—tidak berarti apa-apa. Tetapi ia bisa memiliki arti tertentu, entah baik atau buruk. Panggilan “Cina” yang ditujukan kepada saya adalah pujian, dan saya tidak marah. Panggilan “Cina” yang saya berikan untuk Rini adalah pujian, dan dia tersenyum. Sesama kulit hitam saling menyapa dengan sebutan “negro”, dan mereka tidak marah. Tetapi, panggilan yang sama bisa berarti buruk bagi orang lain, jika terkait orang yang berbeda.

Apa yang terjadi di sini? Sejarah. Luka sejarah.

Luka sejarah itulah yang kemudian membedakan satu manusia dengan manusia lain, meski sebenarnya kita sama-sama manusia, dengan harkat dan martabat yang sama, dengan hati dan pikiran yang sama. Dan tidak setiap orang bisa mudah menyembuhkan luka—sebagian dari mereka terus merasakan perih hingga sangat lama—bahkan kadang luka yang dialami menjadi koreng menganga dan bernanah.

Seperti orang-orang kulit hitam di Amerika. Mereka tidak marah saat dipanggil sesamanya dengan sebutan “negro”. Tapi mereka menganggap sebutan “negro” yang diucapkan orang kulit putih sebagai hinaan, dan mereka akan marah, karena sejarah telanjur melukai mereka.

Setiap manusia—setiap kita—sensitif terhadap sakit dan luka. Tugas setiap kita tidak sekadar mengurangi sakit dan berupaya menyembuhkan luka, namun juga tidak mencipta, mengulang, atau meneruskan sejarah yang sama.

 
;