Selasa, 09 Agustus 2016

Jejak Sunyi di Bawah Langit

Di dunia tempat manusia memuja hiruk-pikuk penuh bising,
selalu ada malaikat yang bekerja dalam hening.
@noffret


Jakarta hujan, malam itu, ketika Abdul Rohim sedang berjalan pulang dari tempat kerjanya di Green Garden, Jakarta Barat. Dia bekerja sebagai sopir pribadi di salah satu keluarga yang ada di sana. Abdul Rohim tinggal di Cengkareng Timur, Jakarta Barat, dan biasa pergi-pulang kerja mengendarai sepeda motor. Malam itu, saat melaju pulang, hujan deras turun. Maka dia pun menepi untuk berteduh.

Sambil berteduh di bawah hujan yang terus mengguyur, Abdul Rohim menyaksikan lalu lintas Jakarta yang tak pernah sepi, dan aspal basah dengan genangan air yang sesekali menciprat. Dia juga menyaksikan sepasang suami istri dan satu anak yang sedang menuntun sepeda motor di bawah hujan, karena ban yang kempis. Tidak lama kemudian ada ibu hamil dan suaminya yang juga terpaksa berjalan kaki sambil menuntun sepeda motor, akibat ban yang bocor.

Di bawah hujan malam itu, Abdul Rohim mulai menyadari sesuatu. Di banyak area jalan raya, sering kali ada paku yang terserak, dan keberadaan paku-paku itu sering menimbulkan masalah bagi para pengendara motor. Saat paku menempel ke ban sepeda motor, dan ujungnya yang tajam menembus, ban motor pun bocor, mengempis, hingga tak bisa dikendarai.

Mungkin tidak terlalu masalah jika yang mengalami hal semacam itu anak muda yang kebetulan sedang jalan-jalan santai. Ban motor yang bocor di tengah jalan tentu bukan masalah besar. Tapi bagaimana jika yang mengalami masalah semacam itu kebetulan ibu hamil yang sedang terburu-buru ke rumah sakit untuk melahirkan? Atau bagaimana jika masalah semacam itu menimpa seorang ayah yang sedang terburu-buru mengantarkan anaknya ke sekolah agar tidak terlambat?

Bayangan itu mengusik pikiran Abdul Rohim. Dan pikirannya semakin terusik, ketika suatu pagi—tepat saat subuh—ia mendapati seorang ibu dengan keranjang penuh sayur di belakang motornya, dan ban belakang motor ibu itu bocor hingga tak bisa dikendarai. Ibu itu tidak bisa melakukan apa pun, selain hanya bingung menatap sepeda motornya yang tidak bisa diajak jalan. Sementara hari masih gelap, dan belum ada tukang tambal ban yang buka.

Pemandangan itu lalu mendorong Abdul Rohim untuk melakukan sesuatu. Karena dia orang biasa, maka yang dia lakukan pun hal biasa. Tanpa ribut-ribut, Abdul Rohim mulai memunguti satu per satu paku yang ditemukannya di sepanjang jalan, saat ia berangkat dan pulang kerja. Tujuannya sederhana, agar paku-paku itu tidak menimbulkan masalah bagi para pengendara motor.

Jadi, sejak itu, setiap kali berangkat dan pulang kerja, Abdul Rohim mengendarai sepeda motornya perlahan, sambil memperhatikan jalan yang dilaluinya. Jika kebetulan melihat ada paku di jalan, dia berhenti, memungut paku itu, lalu meneruskan perjalanan. Dia melakukan kegiatan itu sejak 2010, dan terus melakukannya setiap hari. Tidak ada yang tahu, tidak ada yang membayar, bahkan tidak ada yang memuji. Dia mengerjakan kebaikan itu dalam sunyi.

Semula, Abdul Rohim memunguti paku-paku di jalan raya dengan tangan. Sampai kemudian, dia menemukan magnet di tempelan kulkas. Ia mengikat magnet itu pada sebatang kayu, dan dengan alat itu ia menyapu paku-paku yang bertebaran di jalanan.

Satu tahun sejak pertama kali melakukan aktivitas itu, Abdul Rohim bertemu Siswanto, seseorang yang tinggal di sekitar kompleknya. Siswanto bertanya mengenai aktivitas Abdul Rohim, lalu mereka pun mengobrol. Dari obrolan itu, Siswanto ikut terinspirasi untuk mengikuti jejak Abdul Rohim, dan sejak itu dia pun mulai memunguti paku-paku di jalan. Sama seperti Abdul Rohim, Siswanto juga melakukan tanpa ribut-ribut, tanpa dibayar, dan tidak ada yang memuji.

Dari obrolan dengan Siswanto pula, Abdul Rohim mencetuskan ide untuk menamai aktivitas mereka dengan sebutan “Saber”, yang artinya “sapu bersih”. Ketika ditanya wartawan, kenapa menggunakan nama Saber, Abdul Rohim menjawab sambil tertawa, “Biar terkesan sangar.”

Pada 5 Agustus 2011, komunitas Saber dibentuk secara resmi. Meski disebut komunitas, namun anggotanya cuma dua orang, yaitu Abdul Rohim dan Siswanto. Dua orang itu pun punya kegiatan sendiri-sendiri, berdasarkan rute perjalanan yang biasa dilewati. Pokoknya, ke mana pun pergi, mereka akan terus menyapu paku-paku yang kebetulan mereka temukan. Dan hal itu mereka lakukan setiap waktu, hari demi hari, minggu demi minggu, bulan demi bulan, bahkan tahun demi tahun.

Lima tahun kemudian, dua orang itu masih setia dengan kegiatannya—memunguti paku-paku yang kebetulan terserak di jalan. Selama bertahun-tahun, mereka melakukan aktivitas mulia tanpa ribut-ribut, tanpa publikasi, tanpa dibayar, bahkan kadang mengalami kecelakaan ketika kebetulan harus memungut paku di jalan yang ramai. Di lain waktu, mereka bahkan pernah mendapat ancaman dan teror dari penyebar paku, yang meminta mereka berhenti memunguti paku di jalan.

Tapi Abdul Rohim dan Siswanto terus melakukan aktivitas itu. Mereka tetap memunguti paku-paku di jalan mana pun yang mereka temukan.

Seiring dengan itu, aktivitas mulia yang mereka lakukan mengilhami orang-orang lain untuk ikut serta. Pada 2015, anggota komunitas Saber telah berjumlah 25 orang, meliputi wilayah Cikarang dan Karawang. Satu tahun kemudian, jumlahnya telah lebih dari 40 orang, dan terus bertambah. Selama lima tahun memunguti paku-paku yang terserak di jalan, komunitas Saber telah mengumpulkan 3,8 ton paku!

Abdul Rohim maupun Siswanto tidak pernah mengajak-ajak atau mempromosikan atau menceramahkan kegiatan mereka. Orang-orang bergabung karena tergerak sendiri, terilhami oleh perbuatan baik tersebut, dan mereka mengikuti jejak Abdul Rohim dengan memunguti paku-paku yang ditemukan di jalan. Setiap kali ada “anggota baru”, Abdul Rohim selalu mengingatkan, “Ini pekerjaan sukarela, dan tidak digaji. Kita bekerja secara ikhlas untuk kebaikan para pengguna jalan.”

Orang-orang itu pun setuju. Dan seperti air yang mengalir, aktivitas kebaikan itu pun mengalir ke mana-mana, mengilhami semakin banyak orang. Satu anggota Saber ketemu temannya, dan si teman tertarik dengan aktivitas tersebut, lalu ikut bergabung. Kemudian si teman bertemu teman yang lain, kembali tertarik, dan ikut bergabung. Dan begitu seterusnya. Komunitas yang dimulai dua orang kini memiliki banyak anggota. Kebaikan yang dimulai satu orang, kini diikuti banyak orang.

Di belantara Jakarta yang gersang dan tampak tak peduli dengan orang lain, ternyata masih ada orang-orang yang memiliki hati. Di antara jalanan yang terus macet dan bergegas dan terburu, ternyata masih ada yang menggunakan nurani. Orang-orang yang tidak hanya memikirkan diri sendiri, namun juga memikirkan orang lain. Tidak hanya menganggap penting keselamatan diri sendiri, namun juga keselamatan orang lain.

Abdul Rohim adalah pria berusia 46 tahun, memiliki seorang istri dan tiga orang anak. Seperti yang disebut tadi, dia bekerja sebagai sopir pribadi bagi sebuah keluarga yang tinggal di Green Garden. Abdul Rohim tinggal di rumah kontrakan bersama istri dan anak-anaknya, di wilayah Cengkareng. Di Jakarta, ada jutaan pria seperti Abdul Rohim—sosok biasa, dengan penampilan biasa, dengan sikap biasa, dengan tutur kata biasa. Pendeknya, Abdul Rohim adalah manusia biasa seperti kita.

Tapi dia memiliki sesuatu yang mungkin tidak kita miliki. Kesadaran. Keikhlasan. Kemauan melakukan sesuatu demi kebaikan, meski tak dibayar, meski tak ada yang tahu, meski dalam sunyi.

Mungkin kita bisa mengatakan, bahwa aktivitas memunguti paku di jalan bukan hal besar, dan siapa pun bisa melakukan. Tapi siapakah yang mampu melakukan itu sampai bertahun-tahun?

Ada banyak orang yang telah menyaksikan orang-orang lain menuntun sepeda motor, akibat ban bocor terkena paku di jalan. Tapi siapakah yang terilhami untuk melakukan kebaikan setelah menyaksikan itu?

Setiap orang mungkin bisa melakukan kebaikan sesekali, dan tidak dibayar. Tapi tidak setiap orang mampu melakukan kebaikan yang sama sampai bertahun-tahun tanpa dibayar. Orang yang mampu melakukannya pasti manusia istimewa, terlepas siapa pun dia. Jenis manusia yang melakukan sesuatu bukan karena apa pun, tapi semata menyadari itu kebaikan, dan merasa harus melakukan. Sosok manusia yang melakukan kebaikan bukan karena berharap uang atau pujian, tetapi semata karena kesadaran.

Dan mengapa Abdul Rohim mampu melakukan perbuatan mulia semacam itu sampai bertahun-tahun, padahal tidak ada yang membayar, tidak ada yang memuji, tidak ada yang tahu? Inilah yang dikatakannya, “Saya tidak akan berhenti membersihkan, karena kebaikan tidak akan sia-sia.”

Jadi bukan karena berharap bayaran, atau pujian, atau publikasi, atau berharap masuk televisi. Dia mampu melakukan hal baik sampai bertahun-tahun, tanpa dibayar dan tanpa diketahui orang-orang, semata karena menyadari bahwa, “Kebaikan tidak akan sia-sia.”

Sebuah filosofi sederhana. Dan filosofi sederhana itu kemudian menciptakan jejak di bawah langit. Jejak yang mungkin tak terlihat, tapi diikuti orang-orang lain. Jejak yang mungkin sunyi, tapi telah menyelamatkan banyak orang tanpa pernah mereka sadari. Oh, well, tak pernah ada kebaikan sia-sia di muka bumi.

 
;