Minggu, 25 September 2016

Kesan dan Penilaian

Faktanya, yang kita pikir dan yakini sebagai fakta
kadang-kadang sebenarnya bukan fakta.
@noffret


Image, atau kesan orang lain terhadap kita, bisa membuat persepsi keliru, dan—kalau dipikir-pikir—bisa berbahaya. Orang yang sudah terkenal pintar, misalnya, sering kali menghadapi kondisi yang lebih sulit daripada orang lain umumnya.

Ketika orang yang terkenal pintar menghadapi sesuatu yang benar-benar tidak ia tahu, lalu mencoba bertanya pada orang lain, bisa jadi orang yang ditanya mengira sedang dites atau diuji. Alih-alih memberi jawaban, orang yang ditanya justru bisa marah. Padahal si orang pintar tadi benar-benar bertanya karena memang tidak tahu, dan berharap orang yang ditanya bisa memberi jawaban atau penjelasan.

Hal itu tentu berbeda dengan orang yang dianggap bodoh, atau setidaknya tidak terkenal pintar. Ketika orang bodoh bertanya sesuatu yang memang ia tidak tahu, orang yang ditanya dengan senang hati menjawab dan menjelaskan. Itu benar-benar “kemewahan” yang tidak dimiliki orang yang telanjur terkenal pintar.

Lebih dari itu, image atau kesan orang lain terhadap kita bisa berbahaya, karena dapat merugikan orang lain. Setidaknya, hal semacam itu pernah saya alami.

Di masa kuliah dulu, tugas harian mahasiswa—termasuk saya—adalah membuat makalah, lalu mempresentasikannya di kelas. Jadi, untuk setiap mata kuliah, sekelompok mahasiswa diberi tugas untuk menulis makalah—dengan topik masing-masing, tapi terkait dengan suatu mata kuliah—lalu makalah itu difotokopi dan dibagikan ke teman-teman sekelas. Setelah itu, kelompok yang membuat makalah akan melakukan presentasi mengenai makalahnya.

Tugas itu bergilir untuk semua mahasiswa (yang dibagi dalam beberapa kelompok), hingga waktu satu semester habis. Saat menginjak semester berikutnya, tugas dan kegiatan yang sama akan dilakukan. Jadi, saat di kelas, dosen hanya memantau proses presentasi makalah, menilai kualitas makalah, dan menentukan nilai berdasarkan isi makalah serta penguasaan mahasiswa atas makalah yang ditulisnya.

Pada waktu saya semester lima, ada tugas membuat makalah dari seorang dosen—sebut saja Mister X—untuk suatu mata kuliah. Seperti biasa, mahasiswa dibagi dalam beberapa kelompok, yang masing-masing kelompok berisi 4-6 orang. Saya juga masuk dalam sebuah kelompok. Seperti biasa, teman-teman selalu mengandalkan saya dalam urusan makalah. Jadi, waktu itu, tugas saya adalah menulis makalah, sementara mereka menyediakan biaya untuk fotokopi makalah.

Kebetulan, waktu itu, Amil meminta saya mengetikkan makalah kelompoknya. Amil adalah sahabat saya, tapi dia masuk kelas lain. Sebagaimana mahasiswa lain, Amil dan teman-temannya juga mendapat tugas membuat makalah dari Mister X. Mereka telah menyusun makalah itu, namun masih berupa tulisan tangan, dan Amil meminta tolong saya untuk mengetiknya di komputer. Saya pun menerima permintaan itu, dan berjanji untuk mengetikkan makalahnya.

Ketika di rumah, dan melihat makalah yang diberikan Amil, saya mendapati bahwa isi makalah itu merupakan topik yang sama, yang ditugaskan Mister X kepada kelompok saya. Waktu itu saya belum menulis makalah tersebut. Dan mendapati isi makalah milik Amil, saya pun terpikir untuk menggunakannya. Waktu itu, saya pikir, apa salahnya kalau makalah kami sama, toh kami beda kelas?

Maka, saya pun mengetik makalah milik Amil, mencetaknya di printer, dan menyerahkan kepadanya saat di kampus. Sementara itu, saya juga sudah memiliki makalah yang akan dipresentasikan kelompok saya, yaitu makalah yang sebenarnya milik kelompok Amil. Meski saya tidak menyusun makalah tersebut, saya bisa langsung memahami isi makalah, hanya dengan satu kali membacanya. Saya cukup pede untuk mempresentasikan makalah itu, meski sebenarnya itu makalah orang lain.

Lalu hari H datang. Hari itu, kelompok saya dijadwalkan untuk presentasi. Seperti biasa, saya menyerahkan lembaran makalah ke teman sekelompok, lalu mereka memfotokopi, dan membagikannya ke teman-teman sekelas, plus satu eksemplar untuk dosen pengampu. Seperti biasa pula, saya dan teman-teman melakukan presentasi di depan kelas, menjelaskan isi makalah, menjawab pertanyaan-pertanyaan mereka, hingga jam kuliah habis. Singkat cerita, presentasi makalah kami hari itu dinilai bagus oleh Mister X.

Di luar dugaan, ternyata hari itu kelompok Amil juga mempresentasikan makalah yang sama di kelas mereka. Setelah jam kuliah di kelas saya selesai, Mister X masuk kelas Amil. Hari itu, Amil dan kelompoknya mendapat jadwal untuk presentasi makalah, dengan isi dan topik yang sama seperti yang tadi saya presentasikan di kelas. Dan, ternyata, Mister X menyadari kalau makalah kami sama persis.

Akibatnya adalah bencana.

Seusai Amil dan kelompoknya melakukan presentasi, mereka “disidang” oleh Mister X secara pribadi, dan ditanya kenapa makalah kelompok mereka bisa sama seperti makalah kelompok saya.

Waktu itu, Amil sudah curiga, kalau saya menggunakan makalah milik kelompoknya, karena nyatanya saya mengetikkan makalah milik mereka. Tapi Amil bersikap bijak. Alih-alih langsung menuduh saya, dia memilih mengendapkan masalah itu terlebih dulu, lalu dia menemui saya.

Kepada saya, Amil menjelaskan bahwa dia beserta kelompoknya dituduh menjiplak makalah kelompok saya. Dengan jujur, saya pun mengakui kepada Amil, kalau sayalah yang menjiplak makalahnya, ketika dia meminta saya mengetik makalah itu. Saya minta maaf kepadanya karena hal itu, sebab tidak menyangka kalau kesamaan makalah akan dipermasalahkan oleh Mister X.

Pada waktu itu, kelompok Amil terancam tidak mendapat nilai akibat kasus tersebut, dan Mister X meminta mereka membuat makalah baru.

Sebagai bentuk tanggung jawab, saya pun berkata pada Amil bahwa saya akan menemui Mister X, untuk menjelaskan persoalan itu. Amil setuju.

Hari itu juga, saya menemui Mister X di kantornya, dan mengakui perbuatan saya. Dengan jelas dan gamblang, saya menyatakan kepada Mister X, bahwa kesamaan makalah itu terjadi karena kesalahan saya, bukan kesalahan Amil. Bahwa kelompok sayalah yang menjiplak makalah Amil, dan bukan sebaliknya. Sebagai bentuk tanggung jawab, saya bersama kelompok bersedia membuat makalah baru sebagai pengganti makalah yang tadi kami presentasikan.

Waktu itu, Mister X menanggapi pengakuan saya dengan sikap positif, dan sikapnya baik-baik saja—sama sekali tidak marah. Ketika saya bilang akan membuat makalah pengganti, dia hanya menjawab, “Ya, tidak apa-apa.” Sudah, hanya itu. Setelah selesai, saya pun pergi. Dua hari kemudian, saya menyerahkan makalah baru, yang benar-benar saya tulis sendiri, dan menyerahkannya kepada Mister X.

Apakah masalah selesai? Tidak—belum!

Meski saya sudah mengaku bahwa sayalah yang salah, bahwa sayalah yang menjiplak makalah milik Amil, dan saya sudah membuat makalah pengganti, Mister X tetap berkeyakinan bahwa kelompok Amil yang menjiplak makalah kelompok saya! Mister X tetap mewajibkan kelompok Amil untuk membuat makalah baru sebagai pengganti makalah yang tadi.

Amil mencoba bertanya pada Mister X, “Hoeda kan sudah mengakui kalau dialah yang menjiplak makalah kami, bukan kami yang menjiplak makalahnya. Dia juga sudah membuat makalah pengganti, karena makalah sebelumnya itu milik kami. Kenapa kami masih harus membuat makalah lagi?”

Dan apa jawab Mister X? Inilah yang dikatakan Amil kepada saya, ketika dia mencoba protes. Waktu itu, dengan nada marah, Mister X berkata, “Saya tidak percaya Hoeda melakukan itu! Saya lebih percaya kalian yang menjiplak makalahnya, dan bukan dia yang menjiplak makalah kalian!”

Ketika Amil menceritakan hal itu, jujur saja, saya tidak bisa menahan tawa. Betapa kesan yang telanjur melekat di benak orang lain rupanya memang sulit dilepaskan, meski kita telah mengakui kesalahan yang telah kita lakukan.

Akhirnya, sebagai penebusan dosa kepada Amil, saya pun menjanjikan untuk membuatkan makalah untuknya, yang benar-benar berbeda dengan makalah yang saya serahkan ke Mister X. Setelah makalah itu selesai, saya serahkan ke Amil, lalu Amil menyerahkan makalah itu ke Mister X. Baru setelah itu, kasus tersebut benar-benar dianggap selesai.

Setiap kali teringat kisah itu, saya menyadari bahwa siapa kita sering kali tergantung pada image atau kesan yang ditangkap orang lain terhadap diri kita. Yang menjadi masalah di sini, kadang kesan yang ditangkap orang lain menyangkut diri kita belum tentu tepat. Kalau pun tepat, selalu ada kemungkinan aksidental, sebagaimana yang terjadi pada kasus saya dan Mister X tadi.

Bisa jadi, kita memiliki kesan Si A sangat pintar. Itu tidak berarti bahwa Si A pasti selalu benar dan tahu segala-galanya. Di suatu waktu, bisa jadi Si A benar-benar tidak tahu sesuatu, dan dia mencoba bertanya pada kita. Ketika itu terjadi, sikap terbaik tentu menjawab atau menjelaskan, kalau kita memang tahu jawaban atas persoalan yang ditanyakannya.

Sebaliknya, bisa jadi kita memiliki kesan Si B orang bodoh. Itu pun tidak berarti bahwa Si B pasti salah dan bodoh dalam segala hal. Di suatu bidang atau topik tertentu, bisa jadi Si B benar-benar menguasai dan memahami, dan mencoba menjelaskan kepada kita. Ketika itu terjadi, sikap terbaik tentu mendengarkan penjelasannya, dan bukan buru-buru memvonisnya.

Kesan pertama begitu menggoda, kata iklan legendaris. Yang menjadi masalah, kita tidak pernah tahu apakah kesan kita terhadap orang lain memang benar atau tidak. Lebih dari itu, kadang ada orang yang sengaja menciptakan dan membangun kesan tentang dirinya, yang sebenarnya jauh berbeda dengan jati dirinya.

 
;