Kamis, 08 September 2016

Masuk Penjara Karena Terlambat Mengembalikan Buku

Selamat Hari Buku Nasional.
Berhentilah menjadi peminjam buku yang tak bermoral.
Sudah minjam, tidak modal, tidak dibaca, bukunya hilang.
@noffret


Di Amerika Serikat, tepatnya di Alabama, ada perpustakaan umum bernama Athens-Limestone. Seperti umumnya perpustakaan umum, siapa pun boleh meminjam buku di sana setelah mendaftar sebagai anggota. Bukti keanggotaan adalah sebuah kartu yang diterbitkan pihak perpustakaan. Dengan kartu itu, siapa pun boleh meminjam buku secara gratis. Tetapi... kalau kau terlambat mengembalikan buku pinjaman di perpustakaan tersebut, kau terancam hukuman penjara.

Ini serius. Hal itu ditegaskan oleh Paula Laurita, direktur perpustakaan Athens-Limestone, yang mengatakan bahwa pihaknya akan melaporkan siapa pun—yang terlambat mengembalikan buku—ke polisi, untuk kemudian dituntut ke pengadilan. 

Keputusan itu—melaporkan peminjam buku ke polisi—terpaksa ditempuh oleh Perpustakaan Athens-Limestone, akibat ndableg-nya para peminjam buku.

Jadi, seperti inilah mekanisme yang dijalankan oleh pihak perpustakaan dalam upaya “menyeret” para peminjam buku yang ndableg ke penjara. Mula-mula, pihak perpustakaan akan memperingatkan para peminjam buku lewat SMS atau e-mail. Jika peringatan itu diabaikan, perpustakaan akan mengirimkan surat resmi. Surat itu berisi peringatan bahwa peminjam memiliki waktu maksimal 10 hari untuk mengembalikan buku dan membayar denda. Jika surat itu tidak juga dihiraukan, maka surat perintah pengadilan akan diterbitkan, dan siapa pun yang mengabaikan surat pengadilan akan terancam hukuman penjara.

Ketika pertama kali mengetahui kenyataan itu, saya tidak bisa menahan senyum. Rupanya, tidak di Amerika tidak di Indonesia, para peminjam buku punya sifat yang sama—ndableg, dan tidak/kurang bertanggung jawab pada buku yang dipinjam. Sebegitu ndableg mereka, hingga perpustakaan di Alabama bertekad menyeret orang-orang itu ke penjara.

Mungkin, sebagian orang akan menilai sikap perpustakaan di Alabama terlalu lebay. Orang-orang bisa saja menyatakan, “Masak terlambat mengembalikan buku saja harus menghadapi tuntutan penjara?”

Tetapi, sebagai pencinta buku, saya sangat mendukung langkah itu. Sebenarnya, saya bahkan berharap ada aturan resmi yang mengatur hal tersebut, agar siapa pun bisa menuntut orang yang terlambat mengembalikan buku pinjaman. Sikap kebanyakan orang terhadap buku kadang terlalu merendahkan, menganggap buku “bukan apa-apa”, dan sudah saatnya orang-orang tak beradab semacam itu disadarkan, agar lebih tahu cara menghormati buku.

Terus terang, saya termasuk salah satu orang yang sering menjadi korban dari tindakan tak beradab para peminjam buku. Saya membeli buku dengan uang hasil keringat dan kerja keras, saya merawat dan menjaga buku dengan sepenuh jiwa raga, lalu muncul orang meminjam buku tersebut, dan lama tak dikembalikan. Gilanya, buku itu tidak dibaca, tapi ditaruh begitu saja di rumahnya. Saat saya tagih, ternyata buku itu hilang. Kalau pun tidak hilang, kondisi buku itu sudah lecek dan kumal. Itu kan bangsat!

Oh, saya tahu catatan ini dibaca teman-teman saya di dunia nyata, dan bisa jadi mereka termasuk orang yang kebetulan pernah meminjam buku ke saya. Tapi saya terpaksa menyatakan hal ini dengan jelas dan terus terang, agar masing-masing bisa saling menyadari.

Sebelum masuk inti pembahasan, kita lihat dulu macam-macam peminjam buku. Setidaknya, ada tiga jenis orang yang meminjam buku.

Pertama, orang yang senang membaca, tapi tidak punya kemampuan untuk membeli buku. Mereka adalah orang-orang terpuji, yaitu orang-orang yang memiliki kemauan belajar, meski tidak memiliki kemampuan finansial menunjang. Orang-orang semacam itu biasanya bertanggung jawab pada buku yang dipinjam, karena menyadari bahwa buku adalah jembatan menuju ilmu pengetahuan. Mereka menghormati buku, dan mencintai belajar.

Jadi, mereka pun menjaga buku dengan baik, membaca isinya sampai khatam, dan mengembalikan sebelum ditagih. Jika orang semacam itu datang kepada saya dan berkata ingin meminjam buku, saya akan berkata kepadanya, “Pilihlah buku mana pun yang ada di rumahku, dan pinjamlah sebanyak apa pun kau mau. Bahkan umpama kau datang ke rumahku tengah malam untuk meminjam buku, pintu rumahku terbuka untukmu. Kemuliaan bumi diwariskan untuk orang-orang sepertimu.”

Kedua, orang yang kadang-kadang senang membaca, dan punya kemampuan membeli buku, tapi keberatan mengeluarkan uang untuk membeli buku. Bisa dibilang banyak sekali orang semacam itu. Jadi, mereka kadang suka membaca, khususnya saat ada buku yang booming atau dibicarakan banyak orang. Tetapi, mereka menganggap buku bukan barang penting, sehingga enggan mengeluarkan uang untuk membeli buku. Daripada membeli, mereka lebih suka meminjam.

Jenis kedua ini kadang menjadi peminjam buku yang baik, kadang pula menjadi peminjam buku yang buruk. Bagaimana pun, sejatinya mereka bukan pencinta buku. Dan siapa pun yang bukan pencinta buku tidak akan tahu bagaimana cara menghormati buku. Jadi, ada kemungkinan mereka meminjam buku dan membacanya, lalu mengembalikan sebelum ditagih. Ada kemungkinan pula mereka meminjam buku, tapi tidak dibaca, dan kisah selanjutnya bisa memiliki alur berbeda.

Ketiga, orang yang sebenarnya tidak suka membaca buku, jarang atau tidak pernah membeli buku, tapi sering “gatal” saat melihat buku milik orang lain. Jadi, orang jenis ketiga ini tidak tahu apa-apa soal buku. Tapi, saat dolan ke rumah temannya, dan melihat ada buku yang sampul atau judulnya tampak menggoda, mereka pun gatal, dan meminjam. Jenis ketiga ini bisa menjadi bencana bagi para pencinta buku.

Sering kali, setelah meminjam buku, orang jenis ketiga ini tidak membacanya. Mereka hanya membawa buku itu ke rumahnya, lalu ditaruh atau digeletakkan begitu saja di mana pun, dan kadang-kadang dia lupa. Setelah itu, biasanya lamaaaaa sekali buku itu tidak ada kabarnya. Ketika ditagih, dia baru ingat, lalu mengembalikan buku yang ia pinjam. Dia belum membaca buku itu, meski waktu telah lama berlalu. Dan saat dikembalikan, kondisi buku itu telah kusam dan kumal. Masih untung cuma kusam. Kadang-kadang malah hilang.

Berdasarkan tiga jenis peminjam buku tersebut, kita pun melihat bahwa tidak semua peminjam buku pasti buruk. Ada orang-orang yang meminjam buku semata-mata karena memang ingin membaca, ingin belajar, tapi kebetulan tidak punya kemampuan untuk membeli buku. Kita perlu mendukung dan membantu orang-orang semacam itu.

Karenanya, saat orang semacam itu meminjam buku, saya sama sekali tidak keberatan. Sebaliknya, saya justru senang pada orang-orang semacam itu. Bahkan, saya ingin dia terus meminjam buku, terus membaca dan belajar, agar setidaknya ada satu lagi orang yang terbebas dari belenggu kebodohan. Tuhan dan para malaikat menjadi saksi, saya mencintai dan menghormati orang-orang semacam itu.

Tetapi... untuk jenis kedua dan ketiga, saya sering ragu-ragu. Karenanya, saat orang jenis kedua atau ketiga meminjam buku ke saya, terus terang saya agak keberatan, bahkan sangat keberatan. Berdasarkan pengalaman, saya sering mengalami “luka hati” saat berurusan dengan para peminjam buku jenis kedua dan ketiga.

Berkali-kali, orang semacam itu meminjam buku, dan—sambil menahan keberatan—saya mengizinkan. Saya sudah tahu apa yang akan terjadi dengan buku itu. Setelah mereka meminjam buku, mereka tidak membacanya. Lalu waktu-waktu berlalu. Berbulan-bulan kemudian, saya mulai gelisah, dan menagih. Kadang mereka segera mengembalikan begitu ditagih. Kadang pula tidak juga mengembalikan meski ditagih. Kadang buku yang dikembalikan sudah lusuh. Kadang pula hilang.

Orang-orang jenis kedua dan ketiga tidak memahami bagaimana perasaan seorang pencinta buku terhadap buku. Mereka menganggap buku adalah “benda biasa”, padahal pencinta buku menganggap buku adalah “benda mulia”. Karena mereka menganggap buku sebagai barang biasa, mereka pun memperlakukan buku seenaknya. Waktu meminjam, buku masih bagus. Waktu dikembalikan, buku sudah lusuh.

Meminjam buku adalah hal baik, jika didasari keinginan mulia untuk membaca dan belajar. Tetapi, jika tidak disadari keinginan mulia semacam itu, sebaiknya tidak usah gatal meminjam buku! Karena aktivitas meminjam buku tanpa hasrat belajar lebih sering mendatangkan mudarat daripada manfaat. Contohnya adalah para peminjam buku di perpustakaan umum Alabama, AS.

Di perpustakaan umum, di Amerika maupun di Indonesia, orang bebas meminjam buku secara gratis. Yang diperlukan hanya mendaftar jadi anggota, lalu punya kartu anggota, yang juga tidak dipungut biaya. Setelah itu, orang bebas meminjam buku kapan pun, yang mana pun. Masing-masing peminjaman dibatasi waktu yang rata-rata 1-2 minggu. Jika dalam batas waktu itu ternyata buku belum selesai dibaca, orang bisa memperpanjang waktu pinjaman. Sangat mudah, praktis, dan enak.

Tetapi bahkan telah diberi kemudahan dan kepraktisan semacam itu pun, orang kadang masih seenaknya. Pinjam, lalu berlagak lupa—atau benar-benar lupa—dan tidak juga mengembalikan buku yang dipinjam. Kalau mengembalikan buku saja lupa, hampir bisa dipastikan dia tidak membaca buku yang dipinjamnya. Untuk orang-orang semacam itulah, neraka diciptakan. Sudah diberi kemudahan, masih mempersulit orang yang memberi kemudahan. Dosa apa yang lebih hina dari sikap dan perilaku semacam itu?

Ada pula, orang yang suka meminjamkan kartu perpustakaan miliknya ke orang lain, misal teman atau saudara. Mungkin niatnya bagus, meski kadang hasilnya buruk. Untuk hal semacam itu, Paula Laurita, direktur perpustakaan umum di Alabama, menyatakan, “Saya ingin bertanya, apakah mereka juga akan meminjamkan kartu kredit kepada saudara mereka? Dan ketika harus bertanggung jawab untuk tagihan atas nama mereka, apa yang akan mereka lakukan?”

Masalah buku adalah masalah mental. Setidaknya, itulah kesimpulan yang saya temukan setelah memikirkan urusan ini. Mental kebanyakan orang—yang tidak mengenal buku—menilai dan menganggap buku sebagai barang tidak penting. Itulah akar persoalannya. Karena menganggap buku sebagai barang tidak penting, mereka pun memperlakukan buku seenaknya. Dan, dalam pikiran saya, itulah latar belakang diciptakannya neraka.

Kalau boleh blak-blakan, mental semacam itu adalah mental orang terbelakang, yang seharusnya hidup di zaman kegelapan. Orang-orang semacam itu tidak menyadari bahwa buku adalah benda keramat, tempat peradaban tersimpan, tempat orang-orang mulia menuliskan ilmu pengetahuan, tempat yang mengubah manusia dari zaman kegelapan menuju cahaya.

Karenanya, ketika perpustakaan di Alabama memutuskan untuk memenjarakan para peminjam buku yang seenaknya, saya sangat mendukung keputusan itu. Orang harus mulai belajar cara yang benar dalam menghadapi buku. Manusia harus mulai menyadari bahwa buku bukan barang biasa, bahwa buku adalah harta paling mulia, agar mereka tidak lagi memperlakukan buku seenaknya. Mental semacam itu harus ditanamkan pada mereka, agar terlepas dari bayang-bayang kebodohan abad kegelapan.

Tidak ada yang lebih mulia di muka bumi selain orang yang rela meneteskan keringatnya, yang ikhlas kehilangan waktu tidurnya, yang membiarkan cibiran umat manusia, demi bisa membaca buku, mencintai belajar, dan menuntut ilmu. Surga dan segala keindahannya diciptakan untuk mereka.

Dan tidak ada yang lebih hina di bawah langit selain orang yang meminjam buku tapi tidak membacanya, yang meminjam buku lalu merusakkannya, yang meminjam buku lalu menghilangkannya, yang menganggap buku adalah barang biasa. Neraka dan segala kepedihannya dinyalakan untuk mereka.

Oh, well.

 
;