Kamis, 20 Oktober 2016

Janji Tanpa Ikatan

Di luar sana ada banyak wanita menarik,
yang sangat ingin kukenal. Tapi aku selalu dihantui ketakutan
pada kemungkinan menjalin hubungan.
@noffret


Seorang teman dari luar kota datang, dan kami menikmati makan malam di tempat langganan. Seusai makan, kami mengobrol panjang lebar sambil merokok, membicarakan banyak hal. Dia teman di dunia nyata, tapi kemudian harus tinggal di kota lain karena urusan kerja. Jika sebelumnya kami biasa bertemu, sekarang kami hanya bisa bertemu saat dia pulang, atau kalau kebetulan dia sedang cuti atau liburan.

Di sela-sela obrolan, dia berkata, “Aku perlu menyampaikan pesan seorang teman. Dia ingin bertemu denganmu, dan sangat berharap kau mau menemuinya.”

“Wanita?”

Dia mengangguk. “Wanita.”

“Sudah kuduga.”

Dia tersenyum kikuk. “Terdengar klise, eh?”

“Kau yang mengatakan.”

Setelah terdiam sesaat, dia bertanya, “Kenapa kau terkesan menutup diri, dan tidak mau menemui orang yang ingin bertemu denganmu?”

“Aku sudah menjelaskan itu di blog. Aku sangat sibuk, dan tak punya waktu untuk dibuang-buang. Lagi pula, aku tidak tahu siapa temanmu.”

Dia tersenyum. Lalu mengambil ponselnya, membuka sebuah situs, dan menyodorkan ke arah saya.

Di layar ponsel, saya melihat sebuah situs yang memuat foto seseorang sedang tersenyum. Saya tahu siapa wanita yang ada di foto. Saya mengenal sosoknya. Beberapa majalah di rumah saya memuat foto-fotonya.

“Dunia begitu sempit, ya?” ujar saya perlahan.

Dia tersenyum, memahami maksud saya, dan berujar, “Jadi, kau mau menemuinya?”

“Dengan syarat.”

“Sebutkan.”

Saya mengisap rokok, lalu menjawab, “Aku mau menemuinya, tapi dengan syarat pertemuan itu tidak bertendensi apa pun, semisal berharap jadian, berharap pacaran, atau semacamnya. Intinya, pertemuan itu murni pertemuan, tanpa tendensi ikatan apa pun. Jika aku diberi jaminan pasti tentang hal itu, aku akan menemuinya.”

“Aku menjamin...”

Buru-buru saya memotong, “Bukan kau yang harus memberi jaminan, tapi dia! Suruh dia meneleponku, dan minta dia memberi jaminan seperti yang tadi kukatakan. Aku harus mendengarnya langsung dari mulutnya, bahwa kami hanya akan bertemu, tanpa tendensi ikatan apa pun, semisal berharap pacaran, berharap jadian, atau semacamnya. Jika dia mau melakukannya, aku akan menemuinya.”

Dia tampak kebingungan.

Lalu saya menjelaskan, “Aku tahu, permintaanku mungkin terdengar bodoh atau bahkan keterlaluan. Tapi aku pernah mengalami peristiwa yang membuatku trauma. Aku menjalin hubungan dengan perempuan yang kuanggap teman, tapi dia menganggapku pacar. Aku tidak ingin mengulangi hal sama, karena sudah sangat... sangat trauma. Karena itulah, sedari awal, aku ingin diberi kejelasan dan kepastian terlebih dulu soal itu, agar kami bisa bertemu dan menjalin hubungan dengan nyaman.”

Dia menatap saya ragu-ragu. “Bagaimana kalau dia tidak mau?”

Saya tersenyum, lalu menyahut, “Bukan aku yang ingin bertemu dengannya. Dia yang ingin bertemu denganku.”

 
;