Senin, 14 November 2016

Insiden Kedua

Bahkan umpama aku jatuh cinta setengah mati pada seseorang,
dan dia mencoba mempersulitku, aku akan bilang persetan dengannya.
@noffret


Dunia ini kecil. Kau bisa pergi ke tempat yang sangat jauh atau terpencil, berpikir tidak akan ada yang mengenalimu, tapi ternyata di sana ada orang yang kaukenal. Seperti lelaki ini.

Sendirian, dia pergi ke suatu tempat yang ia pikir tidak ada yang mengenali, tapi ternyata bertemu seseorang yang pernah bertemu dengannya—seorang wanita yang pernah ia temui di sebuah rumah makan terpencil.

“Tidak mungkin,” pikirnya. Kepergiannya ke tempat itu tidak diketahui siapa pun, apalagi oleh si wanita yang sebenarnya tidak mengenalnya. Bagaimana mereka bisa kembali bertemu di sini?

Tapi mereka bertemu di sana, saling berpapasan saat melangkah di sebuah jembatan yang rindang. Mereka saling melangkah ke depan—face to face—hingga tak ada kesempatan untuk menghindar. Bahkan sejak jarak mereka masih beberapa meter, mereka telah sama-sama saling mengenali.

Saat langkah mereka akhirnya bertemu, si lelaki menyapa dengan serbasalah, “Sepertinya aku mengenalmu.”

“Begitu pun aku.” Si wanita tersenyum. “Kau sosok yang tak mudah dilupakan.”

“Aku tersanjung.”

Mereka berhenti di bibir jembatan, berhadapan.

“Apa yang kaulakukan di sini?” tanya si wanita.

“Kau tidak ingin tahu.”

Si wanita kembali tersenyum—sejenis senyum yang pasti telah meluluhkan banyak salju membeku. “Kalau aku kembali menawari makan malam, kau setuju?”

“Asal aku tidak mendengar penolakan.”

“Kau lelaki dengan ego sangat besar.”

Si lelaki tersenyum. “Aku tidak malu mengakuinya.”

....
....

Mereka makan malam di sebuah tempat yang hening, dan tidak ada sepatah kata pun keluar selama makan berlangsung. Setelah makan, si lelaki menghabiskan minuman di gelas, menyulut rokok, sementara si wanita mengunyah butir anggur.

Sambil mengunyah anggur dengan santai, si wanita berkata, “Sebenarnya, aku tahu siapa dirimu.”

Si lelaki tersenyum. “Tentu saja kau tahu siapa aku.”

“Apa yang membuatmu mati-matian mengurung diri dalam kesendirian, dan mengelilingi diri dengan keangkuhan?”

“Kau sudah mengatakannya.”

Si wanita mengangguk. “Karena kau memiliki ego yang besar.”

Sejenak, keheningan menggantung di langit-langit. Restoran tempat mereka makan malam itu didatangi beberapa orang, tapi suasana begitu hening. Orang bercakap-cakap dengan suara lirih.

Sambil menatap si lelaki, si wanita berkata, “Apa yang terjadi dengan seorang lelaki yang memiliki ego begitu besar?”

Si lelaki mengisap rokoknya, mengembuskan asap beberapa saat, kemudian berkata perlahan-lahan, “Ada orang yang hidupnya dibangun dengan tawa keceriaan, ada orang yang hidupnya dibangun dengan kepercayaan dan keyakinan, ada orang yang hidupnya dibangun dengan ketidakpastian. Hidupku dibangun di atas luka. Sebegitu banyak luka yang kualami, hingga aku sangat peka. Persis seperti luka menganga yang tak juga sembuh, dan aku harus mati-matian menjaganya dari kemungkinan benturan atau goresan. Karena sesedikit apa pun goresan, luka yang ada akan semakin parah. Karena itulah aku sengaja membentengi diri dengan ego yang besar, sebagai bentuk pertahanan atas luka yang kualami. Agar perasaanku yang peka tidak mudah terluka, dan agar luka yang ada tidak semakin perih.”

“Karena itu, kau begitu sensitif dengan penolakan?”

“Sebenarnya, ya. Aku tidak malu mengakui bahwa aku sedemikian rapuh. Sebegitu rapuh, hingga aku menjaga diri agar tidak hancur. Oleh penolakan, oleh sikap menyakitkan, oleh apa pun yang hanya akan menambah luka. Dan aku telah diselamatkan, berkali-kali, oleh ego yang kumiliki. Dengannya, aku bisa bilang persetan kepada apa pun atau siapa pun yang mencoba melukaiku.”

“Kedengarannya menyakitkan.”

“Lebih dari yang kaubayangkan.”

Si wanita menatap si lelaki. Lalu berkata perlahan-lahan, “Kau, hati lembut yang mengeras karena luka, jiwa halus yang rapuh karena terlalu peka. Kau tahu apa yang kaubutuhkan?”

Si lelaki menatap mata si wanita. “Kau lebih tahu.”

....
....

Malam lebih panjang.

 
;