Senin, 14 November 2016

Tak Ada Jalan Pulang

Sang Div menggeram dan mengetuk-ngetuk dagu.
“Aku pernah mengambil banyak anak dari banyak ayah,” katanya.
—Khaled Hosseini


Kota paling tinggi di dunia adalah La Rinconada, yang ada di pelosok Andes, Peru. Tidak ada kota lain yang lebih tinggi dibanding La Rinconada. Kota ini berada di ketinggian 16.732 kaki (5.100 meter) di atas permukaan laut (mdpl). Itu lebih tinggi dibanding puncak Carstensz di Papua, yang “cuma” 4.884 mdpl. Karenanya pula, La Rinconada menjadi kota pegunungan yang menjulang ke langit.

Membicarakan La Rinconada sama artinya membicarakan ironi dunia, dan wajah kelam manusia. Di masa lalu, kawasan La Rinconada bukanlah kota, melainkan tempat sunyi sebagaimana umumnya lahan di puncak pegunungan. Perubahan mulai terjadi, ketika di sana ditemukan tambang emas. Sejak itu, semuanya berubah. Tempat yang semula sunyi sepi mulai penuh sesak manusia.

Mula-mula, hanya terdapat sebuah kamp pertambangan emas, yang dihuni sekelompok pekerja. Tetapi, perlahan namun pasti, jumlah orang yang tinggal di sana terus bertambah dan semakin banyak. Dan yang banyak itu saling kawin dan beranak-pinak, hingga La Rinconada dihuni oleh lebih dari 50.000 orang.

Setelah menjadi kota, La Rinconada masuk dalam distrik Ananea di Provinsi San Antonio de Putina. Jika kita datang dari Lima—ibu kota Peru—perjalanan ke sana bisa ditempuh dengan pesawat selama 2 jam, melalui Kota Puno. Setelah itu dilanjutkan naik bus selama 6 jam. Semakin dekat dengan La Rinconada, udara semakin dingin. Saat akhirnya sampai di sana, salju akan tampak di mana-mana.

Apa yang menarik di La Rinconada? Bisa dibilang tidak ada!

Secara geografis, wilayah La Rinconada sebenarnya bukan tempat yang layak huni, apalagi untuk didatangi wisatawan. Sementara keberadaannya di puncak pegunungan menjadikan udara di sana sangat tipis, sehingga kita kesulitan bernapas, sementara awan tebal terus menyelimuti seisi kota. Setiap hari, penduduk La Rinconada menjalani kehidupan semacam itu.

Jadi, sekali lagi, tidak ada yang menarik di La Rinconada. Pemandangan di sana bahkan bisa didapatkan di tempat lain yang jauh lebih mudah dijangkau, dengan suasana yang lebih nyaman. Yang menarik di La Rinconada, sebenarnya, justru kisah di baliknya.

Seperti yang disebut tadi, awal mula Kota La Rinconada adalah tambang emas yang ditemukan di sana, yang kemudian menarik banyak orang (penduduk lokal, Peru) berdatangan ke sana. Di masa lalu, tambang emas itu memang cukup berlimpah, dan orang-orang yang bekerja sebagai penambang bisa mendapat hasil memuaskan, sehingga semakin banyak menarik orang lain ke sana. Karenanya, semua penduduk La Rinconada adalah para pekerja yang beremigrasi ke lokasi terpencil tersebut untuk memperoleh pekerjaan dan emas.

Para penambang itu tidak bekerja secara mandiri, dalam arti mereka menjadi pekerja atau buruh untuk perusahaan yang menguasai tambang emas tersebut. Mereka bekerja dengan sistem pembayaran yang aneh, yang disebut "cachorreo". Jadi, para pekerja di sana akan bekerja selama 30 hari tanpa dibayar apa pun. Memasuki hari ke-31, mereka diizinkan untuk mengambil bijih emas dari tambang sebanyak yang dapat mereka bawa. Apa pun yang dapat mereka ekstrak dari bijih tersebut, sepenuhnya menjadi milik mereka.

Itulah yang mengiming-imingi banyak orang berdatangan ke La Rinconada. Mereka membawa impian cepat kaya dalam waktu singkat.

Dulu, ketika tambang emas masih berlimpah, para pekerja memang bisa mendapatkan hasil besar. Tetapi, sesubur apa pun sebuah tambang, tetap saja memiliki batas. Semakin banyak orang ikut menambang, semakin banyak bijih dikeruk, semakin berkurang kekayaan tambang. Makin lama, hasil yang bisa diperoleh para penambang kian sedikit dan terus menyusut.

Karena itu pula, meski hampir seluruh sumber ekonomi La Rinconada berasal dari tambang emas, namun penduduk La Rinconada menjalani kehidupan memprihatinkan. Tidak hanya secara ekonomi, infrastruktur kota itu juga tetap miskin. Di sana tidak ada pipa saluran air, dan tidak memiliki sistem sanitasi. Kenyataan itu diperkirakan karena kekhawatiran terjadinya kontaminasi merkuri, yang berasal dari praktik pertambangan yang dilakukan. Karenanya, penduduk di sana tidak bisa melakukan apa-apa, dan hidup seadanya.

Meski kondisi kota bisa dibilang miskin, dan para pekerja di sana dibayar dengan sistem nonkonvensional (tidak umum), namun para penambang terus berdatangan ke sana. Dalam satu dekade terakhir, populasi di kawasan La Rinconada bahkan meningkat hingga 230 persen. Jadilah kota pegunungan itu seperti kota metropolitan yang padat. Bedanya, di sana tidak ada mal megah dan gedung pencakar langit.

Kian hari, kondisi La Rinconada semakin memprihatinkan. Penduduknya hidup di bawah garis kemiskinan. Barang-barang kebutuhan sehari-hari sulit diperoleh, sementara anak-anak di sana tidak bersekolah, karena harus ikut bekerja mencari uang. Sebenarnya, di sana bahkan tidak ada sekolah. Setidaknya ada 23 ribu anak di sana, berkeliaran, mengais sampah, mencari uang. Itu, kalau dipikir-pikir, sangat ironis, karena mereka tinggal di tambang emas!

Dan tambang emas yang menarik banyak orang ke sana kini telah menjadi tambang kering yang tak memberi apa pun. Selain karena isinya telah terkuras, di sana juga terlalu banyak orang yang saling berebut. Akibatnya, masing-masing hanya mendapatkan sedikit, dan yang sedikit itu kian hari makin sedikit. Setiap hari, mereka mencoba mengorek-ngorek tambang, tapi semakin sulit menemukan emas. Intinya, sumber kekayaan di La Rinconada telah habis.

Jika memang di La Rinconada tidak ada emas lagi, dan tidak ada apa pun yang bisa diharapkan, kenapa orang-orang masih tetap tinggal di sana?

Jawabannya sederhana; karena mereka tidak punya pilihan.

Dulu, saat orang-orang berdatangan ke sana, mereka begitu yakin dapat kaya dalam waktu singkat, dengan emas yang akan mereka peroleh. Maka mereka pun berangkat ke La Rinconada, dan tanpa pikir panjang membangun kehidupan baru di sana.

Karena merasa bisa hidup enak—dari hasil tambang—mereka pun menikah, dan memboyong pasangannya ke sana. Di sana, mereka beranak-pinak. Semakin banyak orang yang melakukan hal serupa, hingga sebuah komunitas tumbuh di sana. Semula, semuanya tampak baik-baik saja. Tapi mereka melupakan satu hal, bahwa tidak ada tambang emas yang abadi.

Ketika akhirnya La Rinconada menjadi kota—dengan penduduk berjumlah puluhan ribu—mereka pun menghadapi kenyataan mengerikan. Kekayaan tambang emas itu habis, dan mereka kebingungan bagaimana melanjutkan hidup. Kehidupan yang semula tampak baik-baik saja berubah drastis. Mereka akhirnya menyadari tidak bisa melanjutkan apalagi mempertahankan hidup di La Rinconada, dan sudah saatnya mereka pulang.

Tapi mau pulang ke mana?

Mereka sudah memutuskan untuk hidup di sana, di La Rinconada, dan—selama bertahun-tahun—sudah terputus dari kehidupan luar. Karenanya, mereka tak punya pilihan selain tetap tinggal di sana, meneruskan kehidupan memprihatinkan, karena—bagaimana pun—mereka telah terikat dengan tempat tinggal, dengan pasangan, dengan anak-anak. Lebih dari itu, mereka juga malu jika harus kembali ke kampung halaman, karena dulu begitu yakin dapat membangun hidup baru di La Rinconada.

Mereka tidak lagi punya pilihan... oh, well, tak punya pilihan lagi, karena mereka telah menutup pilihannya sendiri.

Jika kita datang ke La Rinconada, yang akan kita dapati adalah perkotaan berisi rumah-rumah sederhana beratap seng. Meski berada di pegunungan, La Rinconada tidak jauh beda dengan kota-kota lain yang biasa kita kenal. Bedanya, suhu di sana sangat dingin. Paling hangat cuma 10 derajat Celcius, sehingga banyak turis yang mengalami sesak napas selama berada di sana.

Jadi, secara keseluruhan, La Rinconada bisa diilustrasikan seperti ini: Kota dengan penduduk yang hidup di bawah garis kemiskinan, tanpa saluran air, tanpa sanitasi, tinggal di rumah-rumah sangat sederhana, sangat sulit mendapat uang karena pekerjaan sehari-hari hanya mengorek-ngorek tambang yang telah kering, barang-barang dan makanan sulit diperoleh, sementara anak-anak tumbuh tanpa pendidikan. Di atas semua itu, salju dan awan tebal setiap saat menyelimuti, sehingga hidup di sana benar-benar tidak nyaman.

Apakah itu sudah terdengar suram? Tunggu, kalian belum mendengar yang lebih suram.

Karena sulitnya mendapatkan pekerjaan dan uang, kejahatan tumbuh di La Rinconada, dan kebanyakan memangsa para wisatawan kurang kerjaan yang mau-maunya datang ke sana. Orang-orang yang semula bekerja sebagai penambang emas, kini banyak yang berubah menjadi geng atau kelompok kriminal. Semantara, di malam hari, anak-anak perempuan di La Rinconada menjadi pekerja seks komersial demi bisa makan.

Masalah kriminalitas dan prostitusi yang tumbuh subur di La Rinconada sebenarnya sudah sangat meresahkan, dan pemerintah Peru sudah mengetahui kenyataan itu. Tetapi, tampaknya, upaya yang dilakukan pemerintah tidak mempan untuk penduduk La Rinconada. Bahkan, bisa dibilang, polisi sama sekali tidak ditakuti di La Rinconada. Karena penduduk di sana lebih takut kelaparan!

Karenanya, seperti yang dibilang tadi, membicarakan La Rinconada sama artinya membicarakan ironi dunia, dan wajah kelam manusia. Ironi dunia—sesuatu yang semula mengundang banyak orang dan tampak menjanjikan, tapi berubah menjadi impian kosong. Dan wajah kelam manusia—ketika mereka harus berhadapan dengan kenyataan yang didasari pilihannya, yang kemudian membuat mereka tak bisa memilih lagi. Sebuah keberangkatan tanpa jalan pulang.

 
;