Rabu, 08 Februari 2017

Gadis Penjual Risoles

Jika kelak kau sampai di surga, pastikan di sana ada risoles.
Jika tidak ada, mungkin kau salah masuk.
@noffret


 —Cerita ini saya tulis karena diminta Deni, seorang teman, yang ingin “sekali-sekali namaku muncul di blogmu.” Semoga Deni senang membacanya.

***

Siang itu saya duduk di emper sebuah mal, sendirian. Di samping kiri dan kanan juga ada orang-orang lain yang sama duduk di emper, saling sibuk dengan teman atau dengan aktivitas sendiri. Karena bengong, saya pun mengeluarkan rokok, dan menyulut sebatang.

Saat batang rokok habis separuh, ada yang menepuk pundak saya dari belakang. Ketika saya tengok, ternyata seorang teman. Deni Prasetya bersama pacarnya, yang baru selesai berbelanja. Mereka membawa tas plastik berisi belanjaan.

“Lagi ngapain di sini?” sapa Deni.

“Nunggu penjual risoles,” jawab saya jujur.

“Nunggu... apa?”

“Penjual risoles.”

Deni menatap saya, seolah memastikan pendengarannya. “Nunggu penjual risoles?”

Saya mengangguk.

Deni kembali bertanya, “Emang, si penjual risoles lagi ke mana?”

“Lagi shalat.”

“Jadi, kamu nungguin penjual risoles yang lagi shalat, di sini, duduk di emper mal, sendirian. Emang kamu mau ngapain?”

Saya tersenyum. “Aku mau beli risoles.”

Pacar Deni—namanya Sulis—tampak senyum-senyum. Kami juga saling kenal, meski tidak terlalu akrab.

Lalu Deni berkata seperti orang putus asa, “Nggak di dunia maya, nggak di dunia nyata, kamu selalu aneh.”

Saya kembali tersenyum. “Menurutku nggak aneh sama sekali. Wong cuma mau beli risoles, kok aneh.”

“Pasti ceritanya panjang,” ujar Deni.

Ceritanya, saya suka risoles. Di mal tempat saya biasa berbelanja, ada sebuah konter yang menjual risoles, karamel, donat, serta aneka roti. Konter itu bukan milik mal, tapi mungkin hanya menyewa tempat di sana. Jadi, konter itu berjejeran dengan beberapa konter lain, yang menjual aneka barang lain. Konter risoles itu dijaga seorang perempuan, yang usianya sekitar 22 atau 23 tahun.

Dulu, saya mengenal konter itu tanpa sengaja, ketika baru selesai belanja di mal dan akan keluar. Waktu itu saya melihat konter tersebut, yang memajang aneka roti yang tampak enak di lemari kaca. Lalu saya mendekat, dan membeli beberapa roti serta karamel. Ketika melihat di sana ada risoles, saya juga membeli risoles. Ternyata, karamel juga risoles di sana sangat enak. Sebegitu enak, hingga saya ketagihan. Sejak itu, saya sering membeli risoles dan karamel, khususnya ketika belanja ke mal.

Yang menjadi masalah, karamel maupun risoles yang enak itu sering habis saat malam hari. Padahal, saya sering belanja ke mal pada malam hari. Jadi, selama beberapa waktu, saya memendam kekecewaan gara-gara kehabisan risoles. Gadis penjual risoles menyarankan, sebaiknya saya ke sana siang hari kalau ingin mendapatkan risoles. “Karena memang cepat habis,” ujarnya waktu itu.

Maka, demi kenikmatan risoles yang tiada tara, saya pun sengaja mendatangi mal siang hari. Dulu, saya ke mal memang untuk berbelanja, lalu sepulang belanja mampir ke konter risoles untuk membeli karamel dan risoles. Lama-lama, karena ketagihan risoles, saya sengaja datang ke mal hanya untuk membeli risoles.

Suatu siang, saya datang ke mal pas dhuhur. Memasuki mal, saya langsung menuju konter risoles, karena memang hanya bertujuan membeli risoles. Sesampai di sana, saya tidak mendapati gadis penjualnya. Di kaca etalase terdapat sebuah karton, berisi tulisan, “Sedang shalat”.

Di depan mal—dipisahkan alun-alun—ada sebuah masjid. Tampaknya, gadis penjual risoles sedang shalat di sana. Jadi, saya pun keluar dari mal yang penuh AC, lalu duduk di emper mal, dan menyulut rokok. Beberapa menit kemudian, saya melihat gadis penjual risoles melangkah ke arah mal, sambil mendekap bungkusan yang mungkin peralatan shalat.

Dia terus melangkah melewati saya yang sedang duduk sendirian. Saya menengoknya, dan melihat dia menuju konter tempat jualannya. Setelah itu, saya pun membuang rokok, masuk ke mal, dan mendekati konter. Lalu beli risoles dan karamel sebagaimana tujuan semula. Setelah itu saya pulang, dan menikmati risoles yang nikmatnya tiada tara.

Saya ingin berkata kepada kalian, hei umat manusia, hidup kalian belum bisa dibilang sempurna, jika belum pernah menikmati risoles yang enak tiada tara. Bahkan, sebenarnya, hidup ini sungguh sia-sia jika tidak pernah merasakan kenikmatan risoles.

Karena itu pula, saya pun rajin datang ke mal, untuk membeli risoles. Karena waktu luang saya kebetulan pas dhuhur, saya pun sering kali datang ke sana pas dhuhur. Itu artinya, gadis penjual risoles sedang shalat di masjid, dan saya harus menunggu di emper mal. Sendirian, sambil merokok, seperti biasa, seperti sebelumnya.

Kemudian, beberapa menit setelah menunggu, saya melihat gadis penjual risoles melangkah sendirian, sambil mendekap peralatan shalat. Dia melangkah melewati saya, menuju konternya. Lalu saya membuang rokok, bangkit, dan menuju konter gadis itu, untuk membeli risoles.

Lama-lama, gadis itu mengenali saya.

Suatu siang, seperti biasa, saya datang ke mal. Saat menuju konter risoles, saya mendapati pemberitahuan di lemari kaca, sebuah karton berisi tulisan, “Sedang shalat”. Maka, seperti biasa, saya pun duduk di emper mal, merokok, dan menunggu si gadis penjual risoles.

Siang agak mendung, waktu itu. Dari kejauhan, gadis penjual risoles tampak melangkah sendirian. Saat langkahnya semakin dekat dengan saya, dia tersenyum—atau menahan senyum. Sekarang dia sudah mengenali saya, pelanggannya yang setia, yang sering menunggunya selesai shalat, untuk membeli karamel dan risoles.

Jadi, siang itu, saat melihat saya duduk sendirian di emper mal, dia pun tahu. Saya sedang menunggunya.

Sejak itu, setiap kali mendapati saya duduk sendirian di emper mal, dia akan tersenyum dengan jelas. Dan saya pun membalas senyumnya. Tentu saja dia tidak tahu siapa saya atau siapa nama saya, sebagaimana saya tidak tahu siapa dia atau siapa namanya. Dia hanya tahu saya pelanggannya yang setia, dan saya hanya tahu dia gadis penjual risoles yang salihah, karena meluangkan waktu untuk beribadah di sela-sela bekerja.

Meski begitu, dia tampak senang setiap kali melihat saya. Alasannya tentu sederhana, sebagaimana penjual mana pun yang mendapati pelanggan setia. Saya juga selalu senang setiap kali melihatnya melangkah ke mal seusai shalat. Alasannya juga sederhana, karena sesaat lagi saya akan bisa menikmati risoles yang enak.

Kian hari, kebiasaan itu menjadi ritual yang menyenangkan. Saya senang duduk sendirian di emper mal, menunggu gadis itu datang. Lalu saya akan melihatnya melangkah sendirian dari kejauhan. Tangannya mendekap sesuatu di dada. Lalu, saat langkahnya makin dekat, dia akan tersenyum.

Siang itu, saya juga sedang menunggunya selesai shalat. Ketika Deni dan pacarnya kebetulan mendapati saya duduk sendirian di sana.

Deni bertanya, “Kamu jatuh cinta sama dia?”

“Nggak,” saya menjawab. “Aku hanya senang melihatnya.”

Setelah terdiam sesaat, Deni kembali berkata, “Jadi, apa pelajaran dari kisah ini?”

Saya tersenyum. “Nggak ada pelajaran apa pun. Aku hanya senang risoles, dan aku senang membeli risoles di sini. Juga senang melihat penjualnya.”

Deni dan pacarnya senyum-senyum seperti orang bingung, lalu mereka pamit, dan pergi meninggalkan saya sendirian.

Sekitar tiga menit kemudian, gadis penjual risoles tampak melangkah dari kejauhan, seperti biasa, seperti hari-hari sebelumnya. Dan, seperti biasa pula, saya senang melihatnya.

 
;