Kamis, 16 Februari 2017

Harga Cabai dan Nilai-nilai Manusia

Gorengan panas, cabai, teh hangat, dan rokok,
adalah kombinasi orgasmic yang melampaui fisika.
@noffret


Harga cabai naik gila-gilaan. Saya tahu hal itu bukan karena sering beli cabai, tapi karena membaca berita. Cabai yang semula seharga beberapa ribu per kilo, sekarang mencapai 160 ribuan per kilo. Agak tidak masuk akal, tapi begitulah kenyataannya.

Sebenarnya, saya tidak terkait langsung dengan urusan cabai. Maksudnya, meski harga cabai naik setinggi apa pun, bisa dibilang saya tidak terlalu mempermasalahkan, toh selama ini tidak pernah membeli cabai. Tetapi, ternyata, kehidupan di dunia ini saling berkaitan. Meski tidak pernah membeli cabai secara langsung, namun ternyata saya terdampak oleh mahalnya harga cabai.

Salah satu makanan favorit saya adalah gorengan. Setepatnya, gorengan panas. Khususnya tempe goreng yang enak, yang digoreng sampai benar-benar matang. Karena suka, saya pun sering membeli gorengan. Namanya gorengan, tentu dilengkapi cabai sebagai bumbu menikmati gorengan. Makan gorengan tanpa cabai itu seperti tidur tanpa guling. Ya sama-sama merem, cuma kurang afdol.

Tempo hari, saya beli gorengan tempe di tempat biasa. Tetapi, kali ini, si penjual tidak menyertakan cabai pada gorengan yang saya beli, tapi menggantinya dengan saus kemasan kecil.

Dengan heran, saya bertanya, “Kok pakai saus, Mbak?”

“Iya, Mas,” jawabnya. “Soalnya harga cabai mahal banget, jadi diganti ini (saus kemasan).”

Sesampai rumah, saya bengong memandangi gorengan tempe panas yang dilengkapi saus kemasan. Sejak kapan makan tempe goreng dengan saus?

Biasanya, saya menikmati gorengan tempe panas dengan cabai rawit, dan segelas teh hangat. Habis itu—sambil merasakan perut kenyang oleh gorengan, dan mulut terasa sedikit terbakar oleh cabai—saya minum teh, lalu menyulut rokok. Nikmatnya luar biassssaahh. Lha sekarang... saus?

Dengan jengkel, saya menyisihkan saus-salah-alamat itu, dan mulai menyantap gorengan tempe yang masih panas. Tetap enak, tapi kali ini tidak ada cabai rawit. Itu menjadikan prosesi makan gorengan terasa kurang afdol. Saya tidak sudi menggunakan saus sebagai teman makan gorengan. Karena itu tidak match, menyalahi kodrat, dan tidak sesuai hukum makan gorengan. Namanya makan gorengan, harus ditemani cabai—bukan apa pun, apalagi saus kemasan!

Tetapi harga cabai mahal, itu yang dikatakan penjual gorengan. Karena harga cabai mahal, mereka menyiasati dengan saus kemasan. Sebagai penjual gorengan, mungkin mereka tidak enak jika harus menjual gorengan tanpa “bumbu” apa pun (cabai rawit). Tapi karena harga cabai mahal, mereka pun menebus perasaan tidak enak dengan mengganti pakai saus kemasan. Dalam bisnis (termasuk bisnis gorengan), bisa dibilang itu bagian dari strategi. Modal yang dikeluarkan tidak membengkak, dan pembeli tetap senang.

Tapi benarkah pembeli tetap senang?

Saya meragukan. Karena nyatanya saya tidak puas, tidak senang, bahkan tidak sudi memakan saus yang disertakan dalam gorengan. Karena, saya pikir, itu salah! Makan gorengan tempe harus dengan cabai, bukan dengan saus kemasan!

Mungkin akan lebih baik kalau penjual gorengan berkata blak-blakan, misal, “Harga cabai sangat mahal, akhir-akhir ini, jadi kami ganti dengan saus. Tapi kalau tetap ingin dapat cabai, silakan tambah seribu perak.”

Jika ditawari seperti itu, saya memilih untuk membayar seribu perak (atau berapa pun) asal tetap bisa makan gorengan dengan cabai. Tidak masalah, bagi saya, untuk menambah pengeluaran, demi tetap bisa menikmati gorengan enak bersama cabai. Sebagai pembeli, saya tentu menyadari hal itu (naiknya harga cabai), dan saya bisa memaklumi kalau penjual gorengan mengenakan harga tersendiri.

Itu jauh lebih baik, daripada memaksa saya makan gorengan tempe dengan saus kemasan. Itu menghina akal sehat saya sebagai penikmat gorengan.

Dalam teori evolusi versi Darwin—emang versi siapa lagi?—disebutkan bahwa adaptasi adalah senjata paling penting dalam menghadapi perubahan. Adaptasi, itulah sesuatu yang memungkinkan makhluk tetap hidup... atau punah. Mati dan punahnya dinosaurus, menurut teori evolusi, karena mereka tidak mampu beradaptasi dengan perubahan. Sebaliknya, makhluk-makhluk yang sampai saat ini tetap eksis, disebabkan karena kemampuan beradaptasi.

Salah satu makhluk hidup yang tetap eksis sampai sekarang tentu manusia. Karenanya, manusia adalah makhluk yang sangat pintar beradaptasi. Salah satunya beradaptasi dengan mahalnya harga cabai.

Ketika harga cabai naik tinggi, manusia beradaptasi. Ibu-ibu rumah tangga mulai menanam cabai sendiri di pekarangan rumah. Sementara penjual gorengan mengganti cabai dengan saus kemasan. Tapi adaptasi tak selamanya menghasilkan nilai lebih baik. Ibu-ibu rumah tangga yang menanam cabai di pekarangan rumah mungkin bagus. Tapi mengganti cabai dengan saus kemasan untuk makan gorengan...?

Tentu saja mengganti cabai dengan saus untuk makan gorengan termasuk bagian adaptasi, tapi apakah itu baik?

Sebelum menjawab pertanyaan itu, mari kita lihat kasus-kasus adaptasi lain yang terjadi di sekeliling kita. Agar mudah melihat, mari gunakan contoh yang besar, sekaligus paling mudah dibuktikan. Lihatlah rumah-rumah di sekelilingmu.

Di masa lalu, setidaknya ketika saya masih kanak-kanak, rumah-rumah dibangun dengan adab, dengan etika, dengan norma, dan dengan keluhuran manusia. Di masa lalu, masing-masing rumah memiliki “jeda”—biasanya dalam bentuk lorong kosong—yang memungkinkan air hujan dari genteng bisa jatuh di tanah milik sendiri. Selain itu, lorong di antara rumah juga berfungsi untuk menjaga privasi.

Rumah almarhum kakek saya, misal, memiliki lorong kosong di kanan kiri—masing-masing selebar 1,5 meter—sehingga rumah-rumah tetangga tidak langsung menempel dengan rumah kakek. Begitu pula, rumah-rumah tetangga di masa lalu juga memiliki lorong yang sama, sehingga rumah di sebelahnya tidak langsung menempel. Dan begitu seterusnya. Ada lorong di antara rumah, ada jeda yang ditujukan untuk menjaga privasi masing-masing orang.

Dengan adanya lorong-lorong yang memisahkan satu rumah dengan rumah lain, privasi masing-masing orang lebih terjaga. Misal, ada pasangan suami-istri yang bertengkar di dalam rumah. Karena adanya lorong yang memisahkan masing-masing rumah, tetangga sebelah tidak mendengar. Atau sebaliknya, ada pasangan suami-istri yang em-el dengan penuh desahan dan erangan. Karena adanya lorong yang memisahkan masing-masing rumah, tetangga juga tidak mendengar.

Itulah fungsi lorong di antara masing-masing rumah. Selain untuk memungkinkan air hujan dari genteng jatuh di tanah milik sendiri, juga untuk menjaga privasi masing-masing orang. Manusia-manusia luhur di zaman kuno telah memikirkan hal-hal semacam itu dengan matang, atau—meminjam istilah akademis—dengan komprehensif. Ada jeda, ada lorong, ada ruang kosong, sehingga hubungan antartetangga lebih sehat, karena masing-masing lebih dapat menjaga privasi.

Mengapa orang-orang zaman dulu bisa melakukan hal semacam itu—menyediakan lorong kosong di antara rumah? Karena di zaman dulu harga tanah belum semahal sekarang. Mengapa harga tanah di masa lalu belum semahal sekarang? Karena jumlah manusia di zaman dulu belum sebanyak sekarang.

Sekarang, karena jumlah manusia semakin banyak akibat populasi yang terus meningkat, harga tanah kian mahal. Manusia yang makin banyak membutuhkan tempat tinggal, dan itu mengakibatkan harga tanah terus melejit. Karena harga tanah makin mahal, rumah-rumah pun dibuat seefisien mungkin. Hasilnya seperti sekarang dapat kita lihat. Rumah-rumah di zaman sekarang umumnya saling menempel—tidak ada jeda, tidak ada lorong, tidak ada ruang kosong.

Rumah-rumah yang saling menempel ketat seperti sekarang adalah bentuk adaptasi, karena makin sempit dan makin mahalnya harga tanah. Tapi apakah adaptasi itu menghasilkan sesuatu yang lebih baik?

Jawabannya tidak!

Hal pertama yang muncul dari rumah-rumah yang saling menempel ketat seperti itu adalah hilangnya privasi masing-masing orang. Kita tidak bisa lagi bebas seperti orang zaman dulu, karena tetangga sebelah akan selalu mendengar apa pun dari dalam rumah kita.

Orang-orang zaman dulu bisa menyetel musik di rumahnya dengan suara relatif keras, dan tidak khawatir mengganggu tetangga. Karena jarak rumah dengan tetangga relatif jauh. Sekarang, jika kita menyetel musik dengan keras, kita sudah melanggar adab bertetangga, karena suara keras dari rumah kita dapat mengganggu mereka.

Di masa lalu, jika pasangan suami-istri bertengkar di dalam rumah, orang-orang lain tidak tahu. Karena masing-masing rumah relatif jauh—ada lorong yang memisahkan satu rumah dengan rumah lain. Sekarang, jika pasangan suami-istri bertengkar, para tetangga akan mendengar, karena rumah-rumah saling berdempetan.

Kita lihat...? Adaptasi tidak selamanya menghasilkan kebaikan. Dalam beberapa hal, adaptasi justru menurunkan nilai kita sebagai manusia.

Contoh-contoh semacam itu, kalau mau disebut semua, jumlahnya sangat banyak. Dari rumah yang kini saling berdempetan, jalan raya yang terus dilanda kemacetan, asap dan polusi yang kian meninggi, sumber-sumber air yang makin tercemar... daftarnya masih panjang. Manusia memang terus beradaptasi dengan hal itu, tapi pertanyaan intinya tetap sama, “Apakah adaptasi itu menghasilkan kebaikan, atau justru menurunkan nilai kemanusiaan kita?”

Dulu, orang-orang bisa minum air yang diambil dari sumur di rumah sendiri. Itulah ciri kehidupan orang merdeka. Mereka memiliki sumber air untuk kehidupan sehari-hari. Tapi sekarang...? Air sumur sudah tercemar, dan untuk minum harus beli. Kemerdekaan kita sebagai manusia sudah menyusut. Karena bahkan untuk mendapat air—yang merupakan kebutuhan vital untuk hidup—manusia harus membeli.

Membeli air, itu bentuk adaptasi manusia, agar dapat minum air bersih. Tapi apakah itu baik? Tentu lebih baik jika manusia—masing-masing kita—bisa minum dari air sumur di rumah sendiri, seperti di zaman dulu, ketika sumber-sumber air masih bersih dan murni.

Begitu pula asap dan polusi serta kemacetan yang luar biasa di mana-mana. Sebagai adaptasi, kita memakai masker, agar hidung kita tidak mengisap polutan yang berbahaya.

Memakai masker, itu bentuk adaptasi. Tapi apakah itu baik? Tentu lebih baik jika kita dapat ke mana-mana tanpa mengkhawatirkan asap dan polusi, seperti di zaman dulu, ketika udara masih bersih.

Begitu pula penjual gorengan yang mengganti cabai dengan saus kemasan. Itu juga bentuk adaptasi, karena harga cabai yang mahal. Tapi apakah itu baik? Sebagai manusia, dan sebagai penikmat gorengan, saya sangat keberatan! Cabai untuk makan tempe goreng tidak bisa serta-merta diganti saus kemasan, karena melanggar “etika makan gorengan”. Itu menghina akal sehat.

Tapi begitulah adaptasi, begitulah cara manusia beradaptasi. Seperti rumah-rumah yang kini saling menempel akibat harga tanah melejit, seperti polusi dan asap karena kemacetan dan industri, seperti air yang harus beli karena sumber-sumbernya telah tercemar... seperti cabai untuk makan gorengan diganti saus kemasan. Semuanya bentuk adaptasi.

Sayangnya, jika dipikirkan sepenuh hati, semua adaptasi itu justru menurunkan nilai kemanusiaan kita sendiri.

 
;