Senin, 20 Maret 2017

Pemenang dan Pecundang

Jika ada benda yang harus kuberi ucapan terima kasih setiap hari,
itu adalah obat sakit kepala. Aku tak tahu bagaimana hidupku tanpanya.
@noffret


Dini hari itu saya misuh-misuh. Kepala sangat berat, terasa mau meledak, sementara persediaan obat yang biasa saya minum pas habis.

Setiap hari, saya mengonsumsi 6-8 butir pil sakit kepala, untuk meredakan sakit kepala yang biasa saya alami. Karena kebiasaan itu sudah berlangsung bertahun-tahun, saya pun selalu menyediakan stok obat di rumah. Secara berkala, saya pergi ke apotek membeli satu dus obat sakit kepala, agar bisa mengonsumsi kapan pun perlu. Tetapi, kadang saya lupa membeli ke apotek. Seperti dini hari itu.

Waktu itu pukul satu dini hari, dan kepala terasa sangat sakit. Ketika akan mengambil obat, saya baru menyadari persediaan di rumah pas habis. Sakit kepala dan kehabisan obat pada dini hari adalah kombinasi yang menjengkelkan. Dengan jengkel pula, saya keluar rumah dan pergi ke apotek yang buka 24 jam, sambil menahan kepala yang terasa mau pecah.

Dasar sial, obat yang saya cari pas habis. Apotek yang saya datangi memang masih buka, tapi mereka kehabisan stok. Orang di apotek menawari obat lain, yang juga ditujukan untuk sakit kepala. Saya bertanya, “Apakah rasanya pahit?”

Dia tampak kebingungan. “Maaf?”

Saya menjelaskan, “Itu, obat yang Anda tawarkan, apakah rasanya pahit?”

“Ini pil, Mas,” sahutnya sambil menunjukkan obat yang dimaksud. “Bisa langsung ditelan, jadi tidak akan terasa pahit.”

“Itulah masalahnya. Saya tidak bisa menelan pil!”

Dia menatap seolah saya tidak waras. “Jadi, biasanya kalau minum pil bagaimana?”

“Terpaksa saya kunyah,” jawab saya jujur. “Itulah kenapa saya ngeri, kalau rasanya pahit.”

Sekarang dia menatap saya dengan ngeri. “Lhah, pil yang Anda cari, rasanya juga pahit, kan?”

“Iya.” Saya mengangguk. “Tapi karena sudah biasa mengunyah pil itu bertahun-tahun, lidah saya sudah kebal. Jadi tidak terasa pahit lagi.”

Sekarang dia tampak tertarik, dan berusaha melanjutkan obrolan. Tapi kepala saya makin terasa berat. Lagi pula, kalau obrolan itu dilanjutkan, bisa-bisa akan selesai tahun depan. Jadi, dengan sedikit buru-buru, saya pun pamit untuk mencari obat sakit kepala di tempat lain.

Dini hari itu, sambil melaju di jalanan sepi, saya mengingat-ingat di mana kira-kira toko atau warung atau kedai atau apa pun yang masih buka, yang sekiranya menyediakan obat yang saya cari. Lalu saya ingat, ada warung kecil berupa gerobak yang biasa mangkal di suatu tempat, dekat rel kereta api. Saya pun melaju ke sana, sambil berharap warung gerobak itu benar-benar ada, dan masih buka.

Harapan saya terkabul. Warung itu benar-benar ada, dan masih buka. Saya pun berhenti di sana, dan warung itu menyediakan obat yang saya cari. Saya membeli 1 strip (isi 4 butir pil). Harga 1 strip obat itu sebenarnya cuma Rp2.000. Tetapi, dini hari itu, penjual di warung gerobak mengenakan harga Rp5.000. Dia pasti tahu saya sedang butuh, jadi dia menaikkan harga seenaknya. Dasar memang butuh, saya pun membayar harga yang ia minta. Lalu pergi dari sana. 

Di rumah, saya segera membuat teh hangat, lalu mengunyah dua butir pil yang baru saya beli. Kemudian menyulut rokok, mengisapnya dengan nikmat, sambil merasakan pusing di kepala perlahan-lahan mereda. Terpujilah obat sakit kepala, terpujilah penemunya—siapa pun dia. Dan terpujilah warung gerobak yang masih buka hingga dini hari, saat saya hampir mampus gara-gara sakit kepala.

Teringat warung gerobak tadi, mau tak mau saya tersenyum sendiri. Penjual di warung gerobak tadi pasti paham, saya sedang sangat butuh obat sakit kepala. Buktinya sampai datang ke tempatnya pada dini hari. Karena tahu saya butuh, dia pun sengaja menaikkan harga seenaknya. Mungkin, pikirnya, belum tentu dia akan mendapat peluang semacam itu lagi. Jadi, dia pun mengambil kesempatan.

Tentu saja sikap semacam itu hak dan pilihannya. Bagaimana pun, seorang penjual atau pedagang ingin untung. Kalau bisa, untung sebanyak-banyaknya dalam waktu secepat-cepatnya. Tetapi, jika dipikir lebih dalam, cara semacam itu adalah pola pikir pecundang. Tampak menguntungkan dalam jangka pendek, tapi merugikan dalam jangka panjang.

Omong-omong, apa perbedaan prinsip antara pecundang dan pemenang?

Pecundang berpikir jangka pendek, sementara pemenang berpikir jangka panjang. Pecundang berharap mendapat keuntungan besar dalam waktu singkat, pemenang berharap mendapat keuntungan wajar tapi terus menerus.

Pecundang mengambil kesempatan dengan memanfaatkan kesempitan orang lain, pemenang mengambil kesempatan dengan memberi manfaat bagi orang lain.

Pecundang mengincar keuntungan dengan cara merugikan orang lain, pemenang mengincar keuntungan dengan memberi keuntungan setara untuk orang lain.

Sudah melihat perbedaan keduanya?

Pemilik warung gerobak tadi adalah contoh orang yang mengincar keuntungan jangka pendek. Dia tahu saya butuh obat sakit kepala, hingga datang ke warungnya dini hari. Karena tahu saya butuh, dia pun menaikkan harga seenaknya, bahkan lebih dari 100 persen dari harga normal. Dia mungkin berpikir, “Tak peduli harga obat ini dinaikkan, dia pasti akan membeli, karena sedang butuh.”

Saya memang membeli, sebagaimana yang ia bayangkan. Tetapi, jika suatu saat saya sakit kepala dan butuh obat lagi, apakah kira-kira saya akan kembali ke warungnya? Kemungkinan besar tidak! Kenapa? Karena saya tahu pemilik warung itu mengambil kesempatan dari kesempitan yang saya hadapi. Dia memang mendapat keuntungan, tapi keuntungan jangka pendek. Itulah pola pikir pecundang. Dia tidak melihat kemungkinan dalam jangka panjang, dan hanya fokus pada keuntungan jangka pendek di depannya.

Sebaliknya, jika pemilik warung itu berpikir jangka panjang, dia akan mengenakan harga wajar, sebagaimana mestinya harga obat itu. Dia bisa saja berpikir, “Orang ini pasti sedang butuh, hingga datang ke sini dini hari. Meski tahu dia sedang butuh, aku tetap akan mengenakan harga normal. Agar jika sewaktu-waktu dia butuh lagi, dia hanya akan datang ke sini.” Itulah pola pikir pemenang. Dia melihat kemungkinan jangka panjang, dan tidak tergoda mengambil keuntungan jangka pendek.

See...? Pemenang berpikir jauh ke depan, sementara pecundang hanya melihat yang ada di depan matanya.

Kalau saja pemilik warung tadi menggunakan pola pikir pemenang, yakni mengenakan harga normal atas obat yang saya beli, saya pun akan mengingatnya secara positif. Kapan pun saya butuh obat sakit kepala lagi, saya akan langsung ingat warungnya, dan datang ke sana. Bahkan, bisa jadi, saya akan merekomendasikan warung itu ke teman-teman saya, kalau-kalau mereka butuh sesuatu tengah malam.

Sebaliknya, karena pemilik warung tadi menggunakan pola pikir pecundang, yakni menaikkan harga seenaknya karena tahu saya sedang butuh, saya pun mengingatnya secara negatif. Kapan pun saya butuh obat sakit kepala lagi, saya akan berusaha mencari warung lain, dan tidak akan tertarik kembali ke sana. Bahkan, bisa jadi, saya akan mengingatkan teman-teman saya agar berhati-hati dengan warung itu, kalau-kalau mereka butuh sesuatu tengah malam.

Sekali lagi, bisa melihat perbedaan esensialnya? Pemenang mendapat keuntungan wajar tapi terus menerus, sementara pecundang mendapat keuntungan besar tapi sesaat. Pemenang mengambil kesempatan dengan memberi manfaat kepada orang lain yang membutuhkan, sementara pecundang mengambil manfaat dari orang lain yang membutuhkan. Memberi dan mengambil jelas berbeda, sebagaimana nasib pemenang dan pecundang juga berbeda.

Dalam hidup, apa pun yang kita lakukan, kita selalu diberi kesempatan untuk memilih. Memilih menjadi pemenang, atau memilih menjadi pecundang.

Menjadi pemenang atau menjadi pecundang adalah soal pola pikir. Dan sekali pola pikir itu terbentuk, kita akan terbiasa dengannya, sehingga pola pikir berubah menjadi mental. Ketika itu terjadi, kita pun mewujud sebagai manusia bermental pemenang, atau manusia bermental pecundang. Yang menjadi masalah, mental seseorang akan menentukan seperti apa kehidupannya.

Hati-hati dengan pikiranmu, karena pikiranmu akan menentukan sikapmu. Hati-hati dengan sikapmu, karena sikapmu akan menentukan kebiasaanmu. Hati-hati dengan kebiasaanmu, karena kebiasaanmu akan menentukan siapa dirimu. Dan siapa dirimu, itulah kehidupanmu. Menjadi pemenang atau pecundang, sepenuhnya menjadi pilihan masing-masing orang.

Penjual yang menaikkan harga barang seenaknya, atau pejabat yang mengorupsi uang negara, adalah contoh orang bermental pecundang. Mereka mengira bisa mengambil keuntungan dengan cara itu. Memang iya, tapi hanya dalam jangka pendek.

Penjual yang menaikkan harga seenaknya akan ditinggalkan pembeli, sementara pejabat yang korup akan masuk penjara dan tidak lagi dipercaya. Mereka sama-sama hanya fokus pada keuntungan jangka pendek, sekaligus menafikan kemungkinan yang akan terjadi pada jangka panjang. Mereka sama-sama mengambil keuntungan dari orang lain, bukan memberi keuntungan bagi orang lain. Padahal, cara terbaik mendapat keuntungan adalah dengan cara memberi keuntungan kepada orang lain!

Sebegitu penting kenyataan ini, hingga saya merasa perlu mengulangi dengan cetakan tebal. Cara terbaik mendapat keuntungan adalah dengan memberi keuntungan kepada orang lain. Mendapat keuntungan dengan cara memberi keuntungan pada orang lain—itulah pola pikir pemenang, mental seorang juara! Orang semacam itu sulit dikalahkan, karena kenyataannya dia memang pemenang.

Orang yang jujur, pedagang yang jujur, pejabat yang jujur, adalah mereka yang bermental pemenang. Mungkin keuntungan yang mereka peroleh sedikit, tapi mereka mendapat keuntungan dalam jangka panjang, dan terus menerus, hingga jumlahnya sangat besar, dan terus membesar. Menggunakan pola pikir pemenang sama artinya mengundang kemenangan.

Sebaliknya, orang yang curang, pedagang yang curang, pejabat yang curang, adalah mereka yang bermental pecundang. Mungkin keuntungan yang mereka peroleh banyak, tapi hanya sesaat, atau bahkan hanya satu kali. Akibatnya, sebanyak apa pun keuntungan yang bisa mereka peroleh, mereka sulit mendapat lagi. Menggunakan pola pikir pecundang adalah mengundang kekalahan.

Hati-hati dengan pikiranmu, karena pikiranmu akan menentukan sikapmu. Hati-hati dengan sikapmu, karena sikapmu akan menentukan kebiasaanmu. Hati-hati dengan kebiasaanmu, karena kebiasaanmu akan menentukan siapa dirimu. Dan siapa dirimu, itulah kehidupanmu. Menjadi pemenang atau pecundang, sepenuhnya menjadi pilihan masing-masing orang.

 
;