Minggu, 05 Maret 2017

Undangan Perkawinan

Mengubah dunia itu mudah. Yang sulit adalah mengubah manusia.
Mengubah orang lain itu sulit. Karenanya, aku mengubah diriku sendiri.
@noffret


Saya suka mengumpulkan benda-benda memori. Bukan hanya benda memori yang berwujud, tetapi juga benda memori yang tak berwujud. Benda memori yang tak berwujud, misalnya SMS dari pacar.

Dulu, waktu pacaran di zaman kuliah, ponsel belum secanggih sekarang. Belum ada memori ponsel yang mampu menampung banyak data, termasuk SMS, musik, foto, video, dan lain-lain. Di masa itu, SMS di ponsel hanya tersimpan di kartu SIM. Yang jadi masalah, kapasitas penyimpanan kartu SIM sangat terbatas. Waktu itu, kartu SIM yang saya pakai hanya dapat menampung 20 SMS.

Jadi, kalau saya saling kirim SMS dengan teman, dan jumlah SMS yang masuk atau keluar telah mencapai 20, ponsel akan “hang”. SMS-SMS itu harus dihapus dulu, agar bisa kembali mengirim atau menerima SMS baru. Selama itu saya tidak terlalu mempermasalahkan, wong SMS dengan teman-teman paling berisi hal-hal biasa yang bisa dibilang tidak penting. Masalah mulai muncul, ketika saya punya pacar.

Namanya pacar, kami tentu saling kirim SMS kangen-kangenan, sayang-sayangan, dan hal-hal-tolol-tidak-ilmiah-tapi-indah lainnya. Misalnya, suatu malam pacar saya kirim SMS, “Sayang, nggak tahu kenapa tiba-tiba malam ini aku kangeeeeeeen banget.”

Saya paham SMS itu tidak ilmiah. Juga tidak akademis. Dan tidak environmental—apa pun artinya. Tetapi, karena yang ngirim pacar, SMS itu membuat saya berdebar. Rasanya indah sekali, saat mendengar ponsel berbunyi, lalu mendapati kata-kata kangen dari seseorang yang kita cintai di layar ponsel. Dan saya menyayangi SMS-SMS itu, sebagaimana saya menyayangi pengirimnya. Dan di situlah mulai timbul masalah.

Seperti yang dibilang tadi, kapasitas penyimpanan di ponsel cuma 20 SMS. Artinya, jika saya dan pacar sudah saling kirim SMS masing-masing 10 kali, maka kami harus berhenti. Karena ponsel/kartu SIM tidak bisa lagi menampung SMS baru. Jika masih ingin berkirim SMS, saya harus menghapus SMS-SMS yang telah masuk. Di situ saya merasa sedih. Dan dilema.

Sedih, karena rasanya berat sekali jika harus menghapus SMS dari pacar. Juga dilema, karena mau tak mau saya harus menghapusnya, agar bisa kembali ber-SMS. Itu dua pilihan yang sama-sama berat. Bagaimana pun, saya ingin tetap menyimpan SMS-SMS indah itu, agar bisa membacanya saat menjelang tidur. Bagaimana pun, saya tidak ingin kehilangan pesan-pesan indah dari orang yang saya cintai.

Akhirnya, gara-gara dilema itu, saya melakukan sesuatu yang—kalau dipikir sekarang—sangat konyol. Saya menyalin SMS-SMS dari ponsel ke lembar kertas!

Jadi, sejak itu, saya menyiapkan buku khusus, yang saya gunakan untuk menyalin dan menyimpan SMS-SMS dari pacar. Setiap kali kapasitas SMS mulai penuh, saya memindahkan ke kertas, dan saya transkrip setepat mungkin, sesuai SMS yang ditulis pacar, hingga benar-benar otentik—dari titik koma sampai kesalahan ketik, semuanya saya pindahkan ke kertas secara persis. Dengan cara itu, saya bisa tetap menyimpan dan menikmati SMS-SMS pacar, tanpa khawatir ponsel kelebihan kapasitas. (Kalau dipikir-pikir sekarang, teknologi zaman dulu benar-benar bangsat!)

Selama waktu-waktu itu, kami lebih sering berkomunikasi lewat SMS, karena tarif menelepon waktu itu mahalnya ngujubilah setan! Karena itu pula, hampir setiap hari kami saling berkirim SMS, dan itu artinya “buku catatan” saya makin penuh. Makin hari, SMS-SMS yang saya transkrip ke buku makin banyak.

Ketika akhirnya kami putus, kami pun berhenti saling kirim SMS. Tetapi, “buku catatan SMS” itu tetap saya simpan... sampai lama. Seharusnya saya membuangnya, atau membakarnya, atau menyingkirkannya dari hidup saya. Tapi setiap kali ingin melakukan itu, rasanya berat sekali. Setiap kali ingin membuangnya, saya selalu tergoda membuka dan membaca isinya, lalu terkenang kembali saat-saat manis yang pernah kami jalani.

Buku berisi catatan SMS itu akhirnya benar-benar saya buang, ketika mantan pacar saya menikah. Waktu itu, saya pikir, sudah saatnya saya meninggalkan masa lalu, untuk melanjutkan hidup yang baru. Jadi, segala kenangan bersamanya—termasuk buku catatan SMS—saya singkirkan, meski terasa berat. Bagaimana pun, kami sudah tidak lagi berhubungan, dan dia juga sudah menikah.

Omong-omong soal pernikahan, saya juga suka mengoleksi undangan pernikahan. Apalagi undangan yang memiliki bentuk atau desain cantik dan artistik. Bagi saya, itu karya seni yang unik, dan layak disimpan. Jadi, kalau ada teman menikah, dan saya mendapat undangan, saya pun menyimpan kartu undangan tersebut.

Saya menghargai undangan pernikahan, sebagaimana saya menghormati pernikahan. Sebagian orang—yang sering membaca blog ini—mungkin mengira saya penentang perkawinan. Salah! Sebaliknya, saya sangat menghormati perkawinan. Yang saya tentang adalah orang yang suka menyuruh-nyuruh atau memprovokasi orang lain cepat menikah. Itu dua hal yang berbeda.

Hidup adalah soal pilihan, begitu pula perkawinan. Jika saya mendapat undangan perkawinan dari seseorang, saya akan datang. Bagaimana pun, saya menghormati pilihan orang untuk menikah. Sebagai manusia beradab, saya menyadari setiap orang berhak memilih hidupnya sendiri, dan saya harus menghormati pilihan itu. Termasuk memilih menikah. Jadi, teman-teman saya di dunia nyata banyak yang menikah, dan tidak pernah sekali pun saya menentang pilihan mereka!

Nah, dulu, di zaman kuliah—juga beberapa tahun setelah itu—kadang ada teman yang menikah, lalu bersikap sok-sokan kepada yang belum menikah. Ya sama seperti kebanyakan orang. Mentang-mentang sudah menikah, mereka jadi suka bertanya, “kapan kawin?” dan semacamnya, yang intinya ya... gitu, deh. Biasanya, kami yang belum menikah cengar-cengir kalau ditanya seperti itu.

Lama-lama, karena makin banyak teman yang menikah, kami yang belum menikah jadi makin “terpojok”. Karena makin banyak orang yang bertanya “kapan kawin?”, seolah-olah belum kawin atau belum menikah adalah kejahatan keji. Itu situasi yang tidak enak dan membuat tidak nyaman. Saya bisa saja menjawab pertanyaan itu secara frontal. Tetapi, bagaimana pun, saya tidak ingin menyakiti perasaan teman sendiri.

Akhirnya, semenjak itu, saya menggunakan “taktik” yang halus. Setiap kali ada teman yang menikah, dan memberi kartu undangan, saya akan berkata kepadanya dengan tulus, “Jika kelak kamu bahagia dalam perkawinanmu, tolong ceritakan kebahagiaanmu, agar aku bisa ikut senang. Tetapi, jika ternyata perkawinan tidak seindah yang kamu bayangkan, tolong diam saja, dan jangan katakan apa pun.”

Sejak itu, tidak ada lagi teman yang bertanya-tanya “kapan kawin?” setelah mereka menikah. Karena mereka menyadari, begitu mereka membuka mulut dan bertanya “kapan kawin?”, mereka akan menghadapi pernyataan yang telah saya katakan sebelumnya, saat mereka memberi kartu undangan. Bagaimana pun, mereka akan berpikir seribu kali untuk mengejek saya soal menikah, karena mereka akan menghadapi konsekuensi yang tidak menyenangkan.

Jika mereka masih nekat bertanya “kapan kawin?”, saya akan menjawab, “Dulu, waktu kamu menyerahkan kartu undangan, aku pernah berpesan. Jika perkawinanmu bahagia, ceritakan kepadaku. Tetapi jika tidak, jangan katakan apa pun.”

Kenyataannya, sejak itu, tidak ada yang pernah menyatakan apa pun. Bahkan tidak ada lagi yang berani bertanya “kapan kawin?”

Padahal, sejujurnya, saya ingin sekali mendengar ada teman yang bercerita dengan jujur, bahwa dia menjalani perkawinan yang bahagia, bahwa dia bersyukur telah menikah, bahwa dia menikmati kehidupan yang lebih tenteram, lebih damai, dan lebih indah setelah menikah. Saya ingin... demi Tuhan, saya ingin sekali mendengar cerita semacam itu.

Saya ingin sekali mendengar cerita semacam itu, yang dinyatakan secara jujur... agar hati saya yang membatu dapat mencair... agar saya tergerak untuk menikah... agar saya memiliki kepercayaan kepada sesuatu yang tidak lagi saya percaya.

Tapi tidak ada... tak pernah ada.

Orang-orang mengatakan saya idealis. Tidak! Sebaliknya, saya orang yang sangat realistis, khususnya dalam perkawinan. Saya mendasarkan pikiran pada kenyataan, bukan mengambang di awang-awang. Saya meletakkan teori dan keyakinan dengan memijak bumi, bukan menggantung di langit. Termasuk dalam soal perkawinan. Saya menatap perkawinan dengan sangat realistis. Sebegitu realistis, hingga saya “takjub” pada orang-orang yang menatap perkawinan dengan sangat idealis.

Setiap kali teringat perkawinan, yang ada dalam pikiran saya bukan keindahan idealis sebagaimana yang dibayangkan kebanyakan orang.

Setiap kali teringat perkawinan, yang terbayang dalam pikiran saya adalah pasangan-pasangan yang merasa tertekan, keluarga-keluarga yang rusak, anak-anak telantar, konflik rumah tangga yang mengerikan, hingga orang-orang yang semula hebat kehilangan kehebatannya setelah menikah. Langit menjadi saksi, betapa dulu saya mengenal orang-orang hebat, mengagumkan, istimewa, lalu berubah menjadi “orang biasa” setelah menikah.

Sebagian orang mengatakan bahwa pernikahan akan menjadikanmu bahagia, tapi yang saya lihat adalah kesusahan demi kesusahan, penderitaan demi penderitaan.

Sebagian orang bersumpah bahwa pernikahan akan melancarkan rezeki, tapi yang saya dapati adalah keluarga yang kekurangan, terbelit utang, kebingungan, putus asa.

Sebagian orang ngoceh bahwa anak-anak memiliki rezekinya sendiri, tapi yang saya saksikan adalah anak-anak telantar, terluka, yang bahkan tak bisa lagi menangis karena air mata telah kering.

Karena itulah, saya kehilangan kepercayaan pada perkawinan. Bukan karena saya idealis, tapi sebaliknya... karena saya realistis, dan menyaksikan langsung kebenaran atas apa yang saya pahami, yang kemudian saya yakini. Bahwa perkawinan tak seindah yang diocehkan orang-orang, bahwa perkawinan menyimpan lara... lara... lara...

Bahwa ada perkawinan yang bahagia, tentu saya percaya. Sangat mustahil jika tidak ada satu pun perkawinan yang bahagia. Di luar sana ada banyak orang menikah, dan mereka bahagia—benar-benar bahagia. Tetapi, sayangnya, yang saya saksikan selaluuuuuu perkawinan yang penuh lara. Sebegitu pahit yang saya saksikan, hingga saya sama sekali tak tertarik untuk mencoba.

Karena itu pula, saya sampai menulis tantangan terbuka di sini, bahwa jika ada lelaki yang telah menikah tiga tahun datang kepada saya, dan dia berani bersumpah atas nama Tuhannya, dan atas nama keyakinannya, bahwa hidupnya lebih baik dan lebih bahagia setelah menikah... maka saya akan bersumpah kepadanya demi jiwa-jiwa suci yang saya hormati, bahwa saya akan menikah seperti dirinya.

Tapi tidak ada... tidak ada yang pernah datang dan mengatakan yang ingin saya dengar. Tidak ada... oh, well, tak pernah ada.

Karenanya, saat memandangi kartu-kartu undangan perkawinan yang saya koleksi, sering kali saya merasa getir. Kartu-kartu undangan itu begitu cantik, begitu indah, merefleksikan bayangan, impian, dan khayalan sepasang mempelai.

Tetapi, sayang, bayangan kadang hilang di bawah cahaya terang. Impian runtuh saat mata mulai terbuka. Dan khayalan pudar saat menghadapi kenyataan.

 
;