Sabtu, 15 April 2017

Beberapa Orang Mempertanyakan Kewarasan Saya

Jika aku tertarik kepada seseorang,
dan dia memberiku jaminan bahwa kami bisa bertemu
tanpa ada tendensi ikatan, aku akan menemuinya.
@noffret


Rupanya ada orang-orang yang penasaran, mengapa saya begitu kukuh menolak ajakan ketemuan, khususnya dari cewek-cewek yang mengenal saya di dunia maya. Berikut ini salah satu e-mail yang mempertanyakan hal tersebut. (E-mail berikut ditulis dalam bahasa Inggris, namun saya terjemahkan ke bahasa Indonesia, dan saya kutip pada poin terpenting):

“Kalau saya menempati posisimu, mendapat ajakan ketemuan dengan cewek-cewek, saya pasti tidak akan berpikir dua kali untuk menemui mereka. Saya pikir, itu pula yang ada di benak kebanyakan lelaki lain. Jadi, saya penasaran, dan ingin tahu, kenapa kamu bisa menolak permintaan mereka. Kamu waras?”

Oh, well, tentu saja saya waras. Karena waras pula, saya bisa berpikir secara waras, sehingga menolak ajakan mereka!

Meski pertanyaan di atas mungkin simpel, namun jawabannya cukup panjang. Untuk menjawab pertanyaan itu—hingga kalian bisa memahami sikap yang saya ambil—saya harus menguraikan banyak hal, menyangkut motivasi saya menulis di blog, sampai prinsip hidup yang saya anut.

Mari kita mulai dari awal.

Orang-orang di dunia maya mengenal saya, kemungkinan besar dari tulisan-tulisan di blog. Seperti yang sering saya nyatakan, saya menulis di blog untuk menuangkan kegelisahan pikiran, untuk memuntahkan banyak hal yang mengganjal dalam benak, ke dalam tulisan. Jadi, motivasi besar saya ngeblog hanya untuk menulis. Bukan agar terkenal, apalagi berharap dapat pacar.

Terkait aktivitas menulis di blog, sebenarnya saya tidak peduli ada yang membaca atau tidak. Fakta bahwa ada orang-orang yang membaca blog ini, saya hanya berharap semoga yang mereka baca di sini dapat memberi kebaikan. Saya tidak mengharapkan lebih dari itu. Karenanya, pernah saya katakan di sini, silakan baca tulisan-tulisan saya, tapi jangan mengganggu saya!

Kalau kemudian ada orang-orang—khususnya perempuan—yang tertarik kepada saya, hingga mengajak ketemuan, bahkan terang-terangan ingin menjadi pacar, sejujurnya itu di luar yang saya harapkan.

Sekarang kita masuk pada persoalan inti. Mengapa saya—sebagai lelaki—sama sekali tidak tertarik pada tawaran atau ajakan ketemuan para perempuan yang tertarik kepada saya?

Tentu ada banyak lelaki di luar sana, yang sangat ingin menempati posisi saya—cuma nulis-nulis di blog, tidak perlu caper atau pamer apa pun, lalu cewek-cewek ngajak ketemuan, bahkan ngajak jadian. Jujur saja, kalian yang lelaki pasti ingin! Dan tidak menutup kemungkinan, kalian—para lelaki—akan bersuka cita menerima tawaran semacam itu, dan—bisa jadi—ada banyak perempuan yang kalian temui dengan asoy.

Tapi mengapa saya justru tidak tertarik menemui perempuan-perempuan yang ngajak ketemuan? Ada beberapa jawaban.

Pertama, saya sangat... sangat sibuk!

Pekerjaan saya bertumpuk-tumpuk, dan terus berkejaran dengan waktu. Sekadar ilustrasi, teman-teman saya di dunia nyata harus membuat janji terlebih dulu jika ingin ketemu saya! Tanpa janji jelas, saya kesulitan menemui! Jika ingin membuktikan yang saya katakan ini, kalian bisa menanyakan langsung pada Faris. Dalam hal ini, Faris bahkan bisa menjadi contoh.

Faris adalah bocah yang sekarang kuliah di kampus tempat saya kuliah dulu. Di kampus, dia sering mendengar nama saya disebut-sebut, dan dia penasaran. Bagaimana pun, saya sudah keluar dari kampus bertahun-tahun lalu, tapi rupanya nama saya di sana masih terus “diwariskan dari generasi ke generasi”, hingga generasi Faris saat ini. Jadi, Faris penasaran dan ingin melihat saya langsung. Tapi dia tidak berani.

Sampai suatu waktu, saya menghadiri acara pernikahan Wawan (dia juga mahasiswa di kampus yang sama). Sebagaimana saya, Faris mengenal Wawan. Jadi, saat saya menghadiri acara pernikahan Wawan, saya ketemu Faris di sana. Lalu kami mengobrol. Singkat cerita, Faris ingin datang ke rumah saya, agar bisa mengobrol lebih lama. Saya tidak keberatan. Tapi dia harus membuat janji terlebih dulu. Saya tidak bisa didatangi sewaktu-waktu.

Setelah menunggu berhari-hari hingga saya punya waktu luang, akhirnya kami bisa menyepakati suatu waktu. Lalu Faris datang ke rumah saya, bersama beberapa teman lain. Kami pun mengobrol asyik sampai larut malam.

Itu sekadar ilustrasi menyangkut sedikitnya waktu yang saya miliki, sekaligus banyaknya pekerjaan yang harus saya urusi, hingga untuk bertemu dan mengobrol saja harus menetapkan janji terlebih dulu. Dan hal semacam itu tidak hanya dialami Faris. Orang-orang yang mengenal saya di dunia nyata juga tidak bisa sembarang waktu menemui saya. Mereka harus membuat janji lebih dulu. Tanpa janji, saya kesulitan menemui.

Sekarang bayangkan. Jika dengan orang-orang yang sudah jelas saya kenal di dunia nyata pun saya masih kesulitan meluangkan waktu, apalagi untuk orang-orang tidak jelas yang tidak saya kenal?

Itulah kenapa, saya tidak berminat memenuhi ajakan orang-orang di dunia maya untuk ketemuan. Karena memang tidak punya waktu. Daripada membuang-buang waktu untuk pertemuan tidak jelas dengan orang tidak jelas, saya lebih suka menggunakan waktu untuk mengurusi hal-hal yang jelas. Salah satunya adalah pekerjaan yang menumpuk. Yang saya sebut “pekerjaan” sebenarnya “hal-hal yang terkait visi saya”. Ada banyak sekali yang harus saya kerjakan, dan saya sudah kekurangan waktu!

Itu alasan pertama, kenapa saya tidak tertarik menerima ajakan pertemuan dari orang-orang—khususnya perempuan—di dunia maya. Yaitu ketiadaan waktu. Alasan kedua... well, mengapa saya harus tertarik?

Sekarang tempatkan posisimu di tempat saya. Kau menjalani kehidupan yang penuh kesibukan, hingga tidak memiliki waktu luang. Kau bekerja dari bangun tidur sampai mau tidur lagi, tanpa hari libur, tanpa cuti, apalagi liburan panjang. Lalu ada orang tidak jelas mengajakmu ketemuan, dengan alasan tertarik kepadamu. Kira-kira, apa yang ada dalam pikiranmu?

Ketika mendapat ajakan pertemuan semacam itu, inilah yang ada dalam pikiran saya, “Kau tertarik kepadaku, hingga ingin bertemu denganku. Yang masih jadi masalah, kenapa kau berpikir aku tertarik menemuimu?”

Sekali lagi, saya bukan pengangguran yang punya banyak waktu untuk dibuang-buang, apalagi disia-siakan. Kalau kau ingin saya menemuimu, pikirkan terlebih dulu; kenapa saya tertarik menemuimu?

Itu alasan kedua. Sementara alasan ketiga, terkait prinsip hidup.

Dalam hidup, khususnya saat ini, saya berprinsip, “Jalanilah hidup dengan damai, dan—sebisa mungkin—jangan mencari masalah!”

Terkait ajakan pertemuan yang ditawarkan orang-orang—khususnya perempuan—di dunia maya, yang ada dalam pikiran saya adalah “masalah”. Ketika mereka mengajak ketemuan, yang saya bayangkan adalah mereka menawarkan masalah. Padahal saya tidak ingin mencari masalah.

Mungkin saya terlalu besar kepala, tetapi—berdasarkan observasi—perempuan-perempuan yang mengajak ketemuan dengan saya, karena berharap jadian. Mula-mula, mereka menawarkan pertemuan. Dari pertemuan, mereka berharap bisa melanjutkan hubungan pacaran. Itu yang tidak saya inginkan! Karena pacaran, setidaknya dalam bayangan saya saat ini, adalah masalah! Dan saya tidak ingin mencari masalah!

Ingat penjelasan di atas. Saya tidak punya waktu, karena waktu saya sudah habis untuk pekerjaan terkait visi saya. Itu pula kenapa saya menjauhi aktivitas pacaran, sebagaimana saya menjauhi malaria! Karena pacaran—menjalin hubungan dengan perempuan—akan menyita waktu, dan saya tidak punya waktu! Itulah kenapa, saya tidak tertarik menuruti ajakan ketemuan, karena menghindari masalah!

Sampai di sini, sudah paham mengapa saya tidak pernah tergoda pada ajakan perempuan mana pun? Bukan karena saya tidak waras. Sebaliknya, karena saya waras! Sebegitu waras, hingga saya sangat waspada, berhati-hati, dan berpikir panjang.

Jika kalian bertanya, apakah saya tidak ingin ketemu perempuan-perempuan itu? Sejujurnya, saya ingin. Oh, well, ada banyak perempuan menarik di luar sana yang terang-terangan ingin bertemu saya. Siapa yang tidak ingin? Tentu bohong kalau saya bilang tidak ingin!

Tetapi, meski begitu, saya mengembalikan kesadaran dan kewarasan, serta mengingat prinsip tadi, “Jalanilah hidup dengan damai, dan—sebisa mungkin—jangan membuat masalah!” Menemui perempuan-perempuan itu bisa mendatangkan masalah, jadi saya pun menahan keinginan, dan tetap tak tergoda ajakan mereka.

Mungkin, saya akan tertarik menemui perempuan yang saya kenal di dunia maya, jika—dan hanya jika—saya tertarik kepadanya, serta tertarik menemuinya, dan dia memberi jaminan bahwa kami bertemu tanpa tendensi ikatan apa pun. Kami hanya bertemu, menikmati waktu bersama, tanpa berharap jadian, pacaran, atau menjalin ikatan apa pun!

Karena saya memang belum ingin terikat pada hubungan semacam itu, sebab tidak punya waktu. Kalau saya menjalin hubungan—katakanlah pacaran—dengan seorang perempuan, kami hanya akan saling melukai. Saya bukan kekasih yang baik, karena tidak akan punya waktu untuknya.

Bahkan, saya telah bersumpah pada diri sendiri, saya tidak akan menjalin hubungan dengan perempuan mana pun, selama yang saya kerjakan belum selesai! Dengan kata lain, menjalin hubungan dengan perempuan hanya akan mengganggu hidup saya... dan saya benci diganggu!

Bahkan umpama sekarang jatuh cinta setengah mati pada seorang perempuan, saya akan tetap menahan diri. Saya akan tetap memfokuskan pikiran pada pekerjaan, meski untuk itu harus menahan rindu diam-diam.

 
;