Minggu, 04 Juni 2017

Kenikmatan Menulis di Blog yang Tidak Bisa Didapatkan di Tempat Lain

Blogger ini enggak pernah memajang foto dirinya, apalagi foto orang lain. Isi postingannya tulisan thok, tapi kalau udah mampir ke sini, saya seperti enggan melewatkan satu kata pun di postingannya. Yang dibahas asyik. Gaya penulisannya juga asyik. Satu lagi, identitas blogger ini, kok, misterius. Bikin penasaran!
—Haya Aliya Zaki, di Blogger Perempuan

Tak seperti nama blognya, pemilik blog ini saya anggap kontroversial. Namun demikian bukan jenis kontroversial yang membuat saya antipati, melainkan yang justru membuat saya penasaran dan akhirnya berkata, “Tidak apa-apa beda, asal tidak merugikan orang lain.”
—Lusi Tris, di Be Your Self Woman


Saya bukan blogger yang menjadi penulis. Yang benar, saya penulis yang aktif ngeblog. Buku pertama saya—Gapailah Impianmu—terbit pada awal 2000-an. Itu sembilan tahun sebelum saya membuat blog ini. Jadi, sebagian orang yang mengira saya menerbitkan buku gara-gara aktif ngeblog, itu keliru. Bahkan sebelum ngeblog, saya sudah menerbitkan cukup banyak buku.

Saya perlu menjelaskan hal tersebut, agar orang-orang yang ingin jadi penulis tidak salah sangka. Di internet, ada sebagian orang yang mengira bahwa untuk bisa menerbitkan buku harus terkenal dulu sebagai penulis. Untuk terkenal sebagai penulis, orang harus aktif ngeblog, hingga terkenal sebagai blogger. Itu logika yang tidak sepenuhnya benar.

Kalau tulisanmu memang bagus, penerbit tidak peduli kau terkenal atau tidak. Sebaliknya, kalau tulisanmu buruk, penerbit juga tidak peduli kau terkenal atau tidak. Untuk bisa menerbitkan buku secara profesional, modal utama kita adalah tulisan bagus. Selengkapnya; bagus, layak baca, dan layak jual. Kalau kita bisa menulis naskah bagus, layak baca, dan layak jual, penerbit mana pun akan welcome, terlepas kita terkenal atau tidak. Hal sebaliknya juga berlaku.

Memang akan sangat bagus kalau kita bisa menulis naskah yang bagus, layak baca, dan layak jual, plus terkenal. Tapi terkenal atau popularitas hanya penunjang. Inti pentingnya tetap pada naskah. Karenanya, jika bermimpi ingin jadi penulis profesional, utamakan karya terlebih dulu, bukan sibuk mengejar popularitas. Dalam hal ini, ngeblog atau aktif menulis di blog bisa menjadi sarana dalam melatih kemampuan menulis. Kalau pun kita sudah menjadi penulis profesional, ngeblog bisa menjadi sarana bersenang-senang. Setidaknya, itulah yang saya lakukan.

Seperti yang sudah saya katakan berulang-ulang, saya ngeblog bukan agar terkenal (kalau ada orang menganggap saya terkenal, itu urusan mereka). Saya ngeblog juga bukan agar dilirik penerbit (wong sebelum kenal blog pun, saya sudah menerbitkan cukup banyak buku). Saya ngeblog murni untuk kesenangan. Meski tulisan-tulisan saya di blog mungkin cenderung serius, aktivitas ngeblog bagi saya adalah sarana bersenang-senang.

Blog, bagi saya, adalah sarana yang sempurna untuk menumpahkan kegelisahan pikiran. Sejauh ini, saya belum menemukan media lain yang lebih tepat untuk menjadi tempat “memuntahkan pikiran”, selain blog. Coba kita lihat beberapa kelebihan blog berikut ini, yang membuat saya sulit berhenti ngeblog.

Pertama, blog memungkinkan saya menulis sebanyak apa pun, dengan kalimat-kalimat sepanjang apa pun. Blog juga memungkinkan tulisan-tulisan terarsip dengan baik dan rapi, sehingga dapat ditemukan dengan mudah. Itu sesuatu yang tidak bisa didapatkan di tempat lain. Di Twitter, misalnya, tempat yang disediakan hanya 140 karakter. Dengan tempat sesempit itu, saya tidak bisa apa-apa. Twitter hanya cukup untuk “menempelkan upil”, bukan untuk “memuntahkan pikiran”.

Di Twitter, saya harus berhati-hati setiap akan menulis sesuatu, karena bisa jadi ada orang yang salah paham, lalu merespons secara keliru. Hal semacam itu tidak terjadi di blog. Karena tempat yang disediakan sangat luas, saya bisa menulis dengan bebas di blog, dan menjelaskan apa pun secara leluasa dan panjang lebar, sehingga kemungkinan salah paham bisa diminimalkan. Blog juga memungkinkan saya untuk membuat tulisan dengan cetak tebal, cetak miring, dan lain-lain, sehingga tulisan benar-benar “utuh”.

Di Twitter, kita juga sulit mengakses tulisan-tulisan lama, karena tidak ada sistem pengarsipan yang rapi sebagaimana di blog. Itu pula yang menjadikan saya rajin mengarsipkan tulisan (cuitan) saya di Twitter ke blog, dengan tujuan agar tulisan-tulisan itu terarsip secara rapi, dan mudah ditemukan.

Kedua, inti terpenting di blog adalah tulisan, bukan yang lain. Blog juga memungkinkan orang mengunggah gambar/foto atau video, tetapi inti pentingnya tetap tulisan. Jika ingin mengunggah gambar atau foto, Instagram lebih tepat. Jika ingin mengunggah video, YouTube lebih tepat. Jika ingin menjalin pertemanan, Facebook juga lebih tepat. Di blog, yang paling penting adalah tulisan. Itu benar-benar cocok bagi saya.

Di blog, saya hanya menulis. Minim gambar, minim foto, dan hanya penuh tulisan. Karena memang itulah tujuan saya—menulis, menumpahkan beban dan kegelisahan pikiran.

Orang bilang, tulisan di blog akan lebih SEO jika panjangnya di atas 500 kata. Saya bilang, “Persetan dengan SEO!” Kalau ingin menulis panjang, saya akan menulis sepanjang apa pun. Sebaliknya, kalau mau menulis singkat, saya akan menulis sesingkat apa pun. Saya tidak menulis untuk SEO atau tetek bengek semacamnya. Saya menulis untuk bersenang-senang, dan menyegarkan pikiran.

Orang bilang, tulisan di blog akan lebih menarik jika dilengkapi gambar dan foto. Saya bilang, “Menarik buat siapa?” Blog ini memang terbuka, dan bisa diakses siapa pun. Artinya, orang lain bisa menemukan dan membaca isinya. Tapi kalau pun mereka tidak tertarik—karena tulisan saya tidak dilengkapi gambar atau foto—ya tidak apa-apa! Wong umpama tidak ada satu orang pun yang membaca, juga tidak apa-apa. Saya tidak akan bunuh diri hanya karena hal-hal semacam itu.

Ketiga, blog memungkinkan saya menulis secara bebas, dengan gaya apa pun, dengan kata-kata apa pun, bahkan memungkinkan saya menulis sambil marah-marah. Itu sesuatu yang benar-benar saya suka! Tidak ada tempat lain yang memungkinkan saya menikmati “kemewahan” semacam itu, selain di blog. Menulis dengan asyik dan mengekspresikan diri secara bebas—setidaknya bagi saya—adalah kenikmatan yang tidak bisa digantikan apa pun.

Faktor ketiga itulah yang tampaknya membuat saya sulit melepas blog, dan ingin terus menulis di blog. Saya butuh menulis dan mengekspresikan diri, blog menyediakan sarana. Saya butuh menumpahkan beban dan kegelisahan pikiran, blog menyediakan tempat. Saya butuh marah-marah secara elegan, blog memungkinkan saya melakukannya. Oh, well, apa yang lebih hebat dari itu?

Di blog tidak ada editor. Tidak ada redaktur. Tidak ada guru, juga tidak ada dosen pembimbing! Saya bebas menulis apa saja di blog, dengan cara dan gaya apa pun, hingga saya benar-benar bisa mengekspresikan diri seutuhnya. Di blog, saya bisa menulis kata-kata indah dan lembut saat senang atau tersentuh, di lain waktu saya bisa memaki saat sedang marah. Bebas! Itu kemewahan yang tidak bisa saya dapatkan di tempat lain!

Jika umumnya blogger berusaha sok jaim atau bahkan sok alim saat menulis di blog, saya ingin menjadi diri sendiri seutuhnya, apa adanya. Saat sedang senang, saya akan menulis dengan senang. Saat sedang kangen, saya akan bilang kangen. Saat sedang marah, saya juga akan menulis sambil marah. Di mana lagi saya bisa menemukan tempat sesempurna itu selain di blog?

Intinya, sebagai penulis, saya menulis di blog untuk memuntahkan sesuatu yang tidak terakomodasi oleh media konvensional. Ketika menulis naskah untuk menjadi buku yang diterbitkan oleh perusahaan penerbit, misalnya, saya tentu harus “tahu diri”, yang salah satunya menyesuaikan tulisan agar layak terbit. Ketika menulis naskah untuk buku, saya tidak mungkin menulis sambil marah-marah!

Begitu pula ketika menulis untuk media lain, yang dalam hal itu saya mendapat honor atas tulisan yang saya kirimkan, saya juga harus menyesuaikan tulisan agar layak terbit. Dalam hal itu, saya tentu tidak bisa menulis sambil misuh-misuh seenaknya! Bagaimana pun, sebagai profesional, saya harus sadar dan tahu diri bagaimana menyuguhkan tulisan yang tepat, untuk media yang tepat, untuk pembaca yang tepat.

So, ketika menulis di blog pribadi, saya tidak dibikin ribet oleh hal-hal semacam itu, karena tujuan saya memang untuk bersenang-senang. Karenanya, saya merasa bebas menulis apa pun, dengan gaya apa pun, yang saya inginkan.

Memang, sebagian tulisan saya di blog ini dibukukan, di antaranya dalam seri Notes from Heart, yang diterbitkan Elex Media. Saat ini sudah dua jilid, dan jilid ketiga akan segera menyusul.

Ketika mengumpulkan tulisan-tulisan itu untuk disatukan menjadi naskah, saya melakukan swasensor. Artinya, saya tidak mentranskrip tulisan-tulisan di blog secara utuh ke dalam naskah. Bagaimana pun, saya harus selektif memilih tulisan yang bisa disatukan, dan saya pun melakukan editing terhadap tulisan-tulisan itu, agar hasilnya tidak “sefrontal” seperti di blog.

Makian atau ucapan kasar dalam tulisan, misalnya, semuanya saya hapus, atau saya ganti dengan kata-kata yang lebih baik. Kemudian, adegan-adegan ketika saya merokok—yang kadang muncul dalam tulisan di blog—juga saya hilangkan saat tulisan itu masuk ke naskah. Dalam hal ini, pihak Elex Media, selaku penerbit, tidak pernah meminta saya melakukan hal itu. Tetapi, sebagai profesional, saya tahu diri, dan memahami apa yang harus saya lakukan terhadap tulisan-tulisan saya, agar layak terbit.

Hasilnya, tulisan-tulisan di blog ini, yang kemudian terbit menjadi buku, lebih manis dan lebih bisa diterima kalangan mana pun. Di buku, tidak ada lagi makian saya yang frontal. Di buku, juga tidak ada adegan-adegan ketika saya menyulut dan mengisap rokok.

Lain soal kalau pihak penerbit (siapa pun) berpesan, “Biarkan makianmu tetap utuh, dan jangan hapus adeganmu saat merokok!” Maka saya pun akan membiarkan bagian-bagian itu tetap ada dalam tulisan.

Well, tempo hari, saya menerima e-mail dari seorang wanita, bernama Ayu Rienda. Isi e-mail-nya sopan, dan ditulis dengan bahasa Indonesia yang baik dan benar, namun wajar dan tidak berlebihan. Saya senang menerima e-mail semacam itu. Berikut sebagian isi e-mail Ayu Rienda, yang membuat saya tersenyum.

Dear Hoeda,

Saya termasuk salah satu orang yang terinspirasi dengan buku Gapailah Impianmu (saya baca sekitar 10 tahun lalu). Buku itu menemani masa-masa sulit di masa sekolah, dan hingga kini kadang masih saya buka untuk mengenang perjalanan masa itu, hahaha...

Setelah itu saya rajin membaca blogmu, yang beberapa kisahnya menggetarkan dan inspiratif. Kisah-kisah itu, terus terang, turut serta membantu saya melewati masa-masa labil dengan cukup baik. Terima kasih sudah menjadi seorang penulis yang benar-benar berprinsip, dan menyebarkan kebaikan untuk kita-kita.


Dia telah membaca tulisan saya sepuluh tahun yang lalu, dan masih terus membaca tulisan saya sampai saat ini. Apa yang lebih diinginkan seorang penulis daripada karunia semacam itu?

Dan, akhirnya, apa yang bisa dipelajari dari ocehan ini?

Pertama, ingatlah selalu, bahwa hal paling penting bagi seorang penulis adalah kemampuan menulis. Bukan popularitas, atau apa pun! Karenanya, syarat untuk bisa menjadi penulis adalah bisa menulis dengan baik! Ketika saya menerbitkan buku pertama, tidak ada penerbit yang mengenal nama saya. Tapi buku saya terbit. Tentu bukan karena saya populer, melainkan karena memang layak terbit.

Kedua, blog bisa menjadi sarana yang baik untuk berlatih menulis, khususnya bagi yang belum jadi penulis. Bagi yang sudah menjadi penulis—khususnya yang sering stres seperti saya—blog bisa menjadi sarana bersenang-senang, sekaligus mendekatkan diri dengan pembaca.

Karenanya, saat ngeblog, tidak usah mikir SEO, atau berharap banyak komentar, atau ingin terkenal, dan lain-lain. Menulis sajalah, dan tidak usah membebani diri dengan hal lain. Yang penting rajin menulis, melatih disiplin diri, dan terus belajar sambil jalan.

Ketiga, menulislah secara jujur, dan refleksikanlah diri kita apa adanya. Percaya atau tidak, itu faktor terpenting jika ingin cepat dikenal, bahkan menarik banyak orang. Jangan meniru orang lain, jangan berusaha sama dengan orang lain, jadilah diri sendiri. Dengan kata lain, jadilah orisinal dan berbeda! Siapa pun yang bisa melakukan ini, mau tak mau akan terkenal, meski mati-matian berusaha tidak terkenal!

Ingatlah selalu, tidak ada satu pun manusia yang sama dengan kita. Semua orang berbeda, dengan latar belakang berbeda, dengan jalan hidup berbeda, dengan isi pikiran berbeda. Jika kita menjadi diri sendiri, kita akan tampak berbeda. Kalau kita tampak berbeda, orang akan melihat. Tapi kalau kita berusaha meniru orang lain... apa beda kita dengan orang lain? Kalau kita tidak berbeda dengan orang lain, bagaimana orang akan tertarik?

Keempat, jika kita mampu berdisiplin menulis sampai bertahun-tahun, tanpa mendapat komentar atau pujian, dan kita mampu terus melakukannya tanpa bosan, maka artinya kita benar-benar mencintai menulis. Jika kita mencintai menulis, dan terus melakukannya bertahun-tahun, mau tak mau tulisan kita akan membaik. Jika tulisan kita terus membaik dan semakin berkualitas, jalan menuju penerbit terbentang luas.

Dan, well... begitulah cara penulis dilahirkan.

 
;