Senin, 10 Juli 2017

Ndongeng Selebtweet

Banyak orang eksis tanpa kita kenal, pun banyak
popularitas tanpa eksistensi yang jelas, alias sekadar tenar.
@noffret


Istilah selebtweet (atau selebtwit) muncul setelah adanya Twitter. Tak jauh beda dengan blog melahirkan selebblog, atau Instagram melahirkan selebgram. Namun, terkait selebtweet, ada semacam kerancuan atau ketidaksepahaman dalam mendefinisikan istilah tersebut.

Yang saya tahu, istilah selebtweet memiliki arti “orang yang murni populer di dan/atau lewat Twitter”. Ada banyak sekali orang semacam itu. Semula, mereka sama sekali tidak dikenal. Namun, karena aktivitas dan kreativitas mereka membuat tweet-tweet bagus atau lucu yang disukai banyak orang, mereka lalu memiliki banyak follower, hingga akhirnya terkenal di Twitter. Orang-orang semacam itulah yang kemudian disebut selebtweet.

Jadi, meski Ahmad Dhani—sebagai misal—memiliki follower di atas 1 juta, dia bukan selebtweet. Karena Ahmad Dhani sudah terkenal bahkan sebelum membuat akun di Twitter. Dia musisi yang memang menjadi selebritas Indonesia. Ada atau tidak ada Twitter, Ahmad Dhani tetap seorang seleb. Karena popularitasnya memang bukan berasal dari Twitter, melainkan dari dunia musik.

Begitu pula Donald Trump atau Jokowi—lagi-lagi sebagai misal—mereka juga bukan selebtweet, meski memiliki follower sangat banyak. Karena popularitas Trump maupun Jokowi memang bukan karena aktivitas mereka di Twitter, melainkan karena mereka presiden. Menyebut Presiden Trump atau Presiden Jokowi sebagai selebtweet, sepertinya agak membingungkan, juga terdengar lucu.

Merujuk pada penjelasan tersebut, maka definisi selebtweet memang “orang yang murni populer di dan/atau lewat Twitter”. Namun, karena mungkin itu bukan definisi baku, banyak orang yang masih rancu dalam mendefinisikan selebtweet. Masih banyak orang yang menganggap siapa pun sebagai selebtweet, asal terkenal dan memiliki akun di Twitter, tak peduli apakah orang itu murni terkenal di Twitter atau sudah terkenal sebelum muncul di Twitter.

Kerancuan itu makin menjadi, karena nyatanya memang ada—bahkan banyak—orang yang menggunakan akun Twitter untuk menunjang profesi atau popularitas. Misalnya, seorang penyanyi atau penyair yang aktif menulis tweet-tweet bagus, lalu mendapat banyak follower yang menyukai tweet-tweet mereka. Dalam kasus semacam itu, memang agak membingungkan untuk menyebut mereka selebtweet atau bukan. Di satu sisi, mereka sudah terkenal sebagai penyanyi atau penyair. Di sisi lain, mereka mendapat banyak follower di Twitter karena sering menulis tweet bagus.

Kemudian, ada pula penulis yang aktif di Twitter, menulis banyak tweet yang disukai orang-orang, juga menggunakan Twitter sebagai sarana mempromosikan karya-karyanya. Karena aktivitasnya di Twitter pula, dia pun terkenal di media sosial tersebut, dan memiliki banyak follower. Ini juga membingungkan untuk disebut selebtweet atau bukan. Terus terang, saya juga tidak tahu apakah orang semacam itu bisa disebut selebtweet atau tidak.

Well, sebenarnya juga tidak penting untuk tahu apakah seseorang bisa disebut selebtweet atau tidak. Yang membuat saya menulis catatan ini, karena tergelitik oleh “ribut-ribut” di Twitter tempo hari, menyangkut orang-orang yang disebut selebtweet. Karena disebut selebtweet, orang-orang itu pun terkenal, khususnya di Twitter. Dan, entah bagaimana asal usulnya, orang-orang terkenal itu kerap menjadi bahan nyinyiran di Twitter.

Tempo hari, ada selebtweet yang menjadi bahan meme, karena selebtweet tersebut dinilai “tidak konsisten” dengan ucapannya sendiri, sebagaimana yang tertulis di timeline-nya. Sejujurnya, saya terhibur dengan meme-meme lucu yang bertebaran di timeline, dibuat oleh banyak pihak, yang semua isinya “menyinyiri” si selebtweet. Saya menganggap meme-meme itu hiburan segar, meski mungkin selebtweet bersangkutan bisa jadi jengkel kalau melihatnya.

Tidak lama setelah aksi menyinyiri selebtweet tersebut, muncul peristiwa lain yang tak jauh beda. Ada orang terkenal di Twitter yang “dinyinyiri” ramai-ramai oleh banyak orang, karena—lagi-lagi—dinilai tidak konsisten dengan ucapannya sendiri, yang terekam pada jejak tweet-tweetnya. Mungkin karena jengkel dinyinyiri banyak orang, si selebtweet itu pun memblokir orang-orang yang menyinyiri. Aksi pemblokiran itu membuat aksi penyinyiran makin membahana.

Dua kasus di atas hanya sekadar contoh. Di luar itu, ada banyak hal lain serupa, yang semuanya terkait orang-orang yang disebut selebtweet. Saya pikir itu bukan hal istimewa, karena begitulah romantika sosial, termasuk di media sosial. Orang-orang cenderung tertarik pada sosok-sosok populer, sehingga perhatian pada mereka lebih banyak. Akibatnya, apa pun yang terjadi pada si sosok populer, biasanya mengundang reaksi banyak orang. Sekali lagi, itu hal biasa.

Cuma, kalau boleh mengingatkan, ada baiknya kita mengingat bahwa “konsistensi” tidak selamanya harus dirujukkan pada hal-hal yang telah lewat, karena konsistensi tidak berbanding lurus dengan relevansi. Selalu ada konteks di balik setiap teks, selalu ada peristiwa di belakang kata-kata. Terkait Twitter, bisa berbahaya kalau kita menguji konsistensi seseorang hanya melalui rekam jejak tweet-tweetnya, padahal masing-masing tweet memiliki konteks dan latar belakang tersendiri.

Jika kalimat di atas masih membingungkan, mari gunakan contoh.

Umpamakan saja, setahun kemarin Si A menulis tweet, yang isinya memuji-muji Kafe X. Lalu, hari ini, Si A menulis tweet yang isinya menyerang atau setidaknya menyatakan kekecewaan pada Kafe X. Jika kita hanya mengambil masing-masing tweet—yang ditulis setahun kemarin dan yang ditulis hari ini—kita pun melihat bahwa Si A tidak konsisten. Tahun kemarin memuji-muji, sekarang balik mencaci. Tapi apakah sesederhana itu persoalannya?

Tweet di Twitter umumnya ditulis atau diocehkan secara spontan. Kita menghadapi pengalaman tertentu, lalu menuliskannya di Twitter dalam bentuk tweet. Artinya, masing-masing tweet memiliki latar belakang dan konteks sendiri, yang bisa jadi tidak berkaitan, atau bahkan saling bertolak belakang. Karenanya, seperti yang disebut tadi, bisa berbahaya kalau kita menguji konsistensi seseorang hanya melalui rekam jejak tweet-nya semata. Karena, ketika itu yang kita lakukan, kita telah melepaskan teks dari konteks.

Seperti pada contoh di atas. Si A memuji Kafe X setahun kemarin, dan hari ini mencaci Kafe X. Jika kita mengambil dua tweet yang saling bertolak belakang tersebut, kita pun akan melihat bahwa Si A bukan orang yang konsisten. Karena dua tweet-nya—terkait objek yang sama—saling bertolak belakang. Tetapi, sekali lagi, apakah sesederhana itu persoalannya?

Bisa jadi, setahun kemarin Si A masuk Kafe X dan mendapat pengalaman menyenangkan, misal pelayanan ramah, minuman yang benar-benar sesuai selera, sampai harga yang menurutnya murah. Karena pengalaman menyenangkan itu, Si A menulis pujian untuk Kafe X di akun Twitter. Lalu, hari ini, Si A kembali masuk Kafe X dan mendapati pengalaman buruk atau tidak menyenangkan. Seperti setahun kemarin, Si A kembali menulis pengalamannya terkait Kafe X di Twitter, namun kali ini bertolak belakang dengan tweet-nya setahun lalu.

Berdasarkan konteks peristiwa, apakah Si A tidak konsisten, hanya karena menulis dua tweet yang saling bertolak belakang? Jika kita melihat konteks atau latar belakangnya, kita pun menyadari bahwa dua tweet yang saling bertolak belakang itu bukan wujud inkonsistensi, karena memang masing-masing tweet memiliki latar peristiwa sendiri. Karenanya, menuduh Si A tidak konsisten hanya karena dua tweet yang saling bertolak belakang bisa berbahaya, kalau kita melepaskan konteks atau latar belakangnya.

Selalu ada konteks yang menyertai teks, selalu ada peristiwa di balik kata-kata. Untuk dapat bersikap adil, kita tidak bisa mengambil yang satu sambil melepaskan yang lain. Karenanya, sebelum mengadili teks, periksalah dulu konteksnya. Sebelum menghakimi kata-kata, pelajari dulu latar belakangnya. Kita tidak bisa serta merta menghakimi orang lain hanya karena tweet-nya hari ini berbeda dengan tweet-nya setahun kemarin.

Seperti Chelsea Islan, misalnya. Beberapa tahun lalu, Chelsea Islan menulis tweet terkait Bastian Steel, dan menyebut cowok itu “lucu” (dalam konotasi yang mungkin negatif). Belakangan, tersiar kabar kalau Chelsea Islan pacaran dengan Bastian Steel. Lalu, serta merta pengguna Twitter “mengacak-acak” timeline Chelsea Islan, dan menggunakan tweet yang ditulis Chelsea Islan sekian tahun lalu sebagai bukti “inkonsistensi”. Itu juga lucu.

Sekian tahun lalu, bisa jadi Chelsea Islan memang tidak minat blas pada Bastian Steel—entah dengan alasan apa pun—dan sekarang Bastian Steel tampak cakep di mata Chelsea Islan. Karena Chelsea Islan melihat perubahan pada cowok itu, dia pun mulai tertarik, meski sekian tahun lalu menganggapnya “lucu”. Itu hal biasa, dan perubahan semacam itu tidak bisa dijadikan sandaran untuk menilai seeorang tidak konsisten.

Sekali lagi, ada latar peristiwa di balik kata-kata, dan penilaian orang terhadap sesuatu bisa berbeda kapan saja, karena memang begitulah manusia.

Kembali ke selebtweet.

Mungkin, yang membuat banyak orang—khususnya para pengguna Twitter—suka menyinyiri selebtweet, karena beberapa selebtweet dinilai “overacting”. Disentil sedikit saja, marah, lalu memblokir akun orang yang menyentil. Disindir sedikit saja, marah, lalu memaki-maki. Mereka, para selebtweet itu, tampaknya sangat sensitif dengan popularitasnya, sehingga tidak menginginkan siapa pun merusak kesenangan mereka sebagai seleb. Karena merasa populer, mereka hanya ingin mendengar yang baik-baik, puja-puji, dan anti terhadap kritik.

Kenyataannya memang ada orang-orang semacam itu. Mereka sangat sensitif. Mungkin karena merasa populer, mungkin pula karena bawaan mereka yang mudah sensi. Terkait hal itu, saya punya pengalaman yang bisa diceritakan.

Lima tahun lalu, saya mem-follow seorang penulis yang juga terkenal di Twitter. Selain memiliki banyak follower, tweet-tweet penulis tersebut juga sering di-retweet banyak orang. Saya pun mem-follow dia karena menyukai tweet-tweet-nya, selain juga membaca buku-bukunya. Karena rasa suka pula, saya pun me-retweet beberapa tweet-nya, waktu itu. Untuk memudahkan cerita, mari sebut dia dengan nama Penulis X.

Kebetulan, bersamaan dengan itu, saya sedang mengobrol (lewat mention) dengan Klara Virencia di Twitter (saat ini, akun Twitter Klara Virencia sudah tidak ada—mungkin dihapus yang bersangkutan.) Waktu itu, Viren dan saya sedang membicarakan suatu berita perkosaan, namun isi berita itu terkesan menyalahkan si korban. Bahkan, judul berita itu sudah menghakimi si korban. Kalau tidak salah ingat, judul berita itu berbunyi, “Karena ke warung hanya pakai handuk, wanita ini diperkosa”.

Ditinjau dari perspektif jurnalistik, judul semacam itu tidak objektif, karena memosisikan (atau setidaknya mengesankan) korban sebagai pihak yang bersalah. Sudah judulnya kacau, isi beritanya juga sama; mengesankan korban sebagai pihak yang bersalah. Isi berita itu ingin mengatakan, “Makanya, kalau tidak ingin diperkosa, berpakaianlah yang benar.” Berita itu jelas kacau, karena tidak memenuhi standar jurnalistik yang baik.

Nah, Viren dan saya membicarakan berita itu di Twitter, melalui mention. Kami sama-sama sepakat bahwa berita itu ditulis asal-asalan, tidak memenuhi kaidah jurnalistik yang benar, dan sepertinya memang dimaksudkan untuk mengundang klik. Waktu itu, saya sempat menulis mention, mengatakan pada Viren, bahwa tulisan itu (maksudnya berita yang kami baca) benar-benar kacangan.

Rupanya, Penulis X—selebtweet yang saya follow tadi—stalking ke akun saya. Mungkin dia mendapati ada follower baru, dan penasaran ingin tahu siapa saya yang menjadi follower barunya. Karena waktu itu saya sedang mengobrol dengan Klara Virencia, dia pun mungkin mendapati mention-mention saya, dan dia salah paham. Ketika saya menyebut istilah “kacangan” di mention, Penulis X mengira kami sedang membicarakannya, dan mungkin dia marah.

Mungkin ini terdengar lucu. Tapi dia benar-benar marah. Saat itu pula, Penulis X menulis rangkaian tweet yang sangat jelas ditujukan kepada saya, dan menyebut-nyebut istilah “kacangan” di tweet-nya. Mungkin, dia mengira saya dan Viren menyebut tulisannya sebagai “kacangan”, padahal yang kami bicarakan waktu itu adalah berita yang kami baca. Terkait tulisan Penulis X, saya justru menyukai tulisan-tulisannya, karena karya-karyanya memang bagus.

Apa yang terjadi setelah itu?

Karena rangkaian tweet Penulis X tadi sangat jelas, saya pun tahu bahwa rangkaian tweet itu memang ditujukan kepada saya. Mendapati prasangka semacam itu, saya pun jengkel. Saya pikir, “Nih orang kenapa nggak klarifikasi dulu, sih?” Karena jengkel pula, saya pun langsung unfollow akun dia di Twitter, dan menghapus tweet-tweet miliknya yang tadi sempat saya retweet. Kalau dia memang sensitif, saya juga bisa sensitif!

Kisah itu membuat saya makin berhati-hati setiap kali akan mem-follow seseorang, atau setiap ingin menyapa seseorang di Twitter. Karena orang, kadang, tidak bisa dinilai dari tweet-tweet-nya semata. Ada yang tweet-tweet-nya tampak keras atau frontal, tapi ternyata orangnya ramah saat disapa. Atau sebaliknya, tweet-tweetnya tampak ramah, tapi ternyata orangnya sangat pemarah.

Ada pula selebtweet yang suka menulis tweet-tweet lucu, dan karena lucu pula dia memiliki banyak follower. Karena terkesan lucu, orang-orang (khususnya follower-nya) menilai dia humoris, sekaligus ramah. Tapi ternyata tidak. Suatu waktu, saat mendapat mention yang sebenarnya dimaksudkan untuk lucu-lucuan, dia marah. Itu kan lucu. Orang yang suka melucu tidak bisa memahami mention yang dimaksudkan untuk lucu-lucuan.

Oh, well, begitulah Twitter, begitulah dunia maya. Yang kita lihat belum tentu sesuai aslinya. Omong-omong, kalimat terakhir bisa bermakna ganda.

 
;