Selasa, 08 Agustus 2017

Mia Khalifa Solusinya

Seseorang baru pulang dugem sambil sempoyongan.
Masuk Twitter dan langsung ngoceh soal moral.
Lalu muntah-muntah di sudut kamar.
@noffret


Mia Khalifa tidak pernah menyangka, bahwa kelak di suatu hari dia akan menjadi bintang porno paling fenomenal di dunia. Sebagaimana umumnya gadis-gadis yang tumbuh di Timur Tengah, Mia Khalifa menjalani kehidupan masa kecil di tengah keterbatasan ruang gerak, khususnya bagi wanita. Tapi takdir memang sering menjalankan skenario tak terduga.

Lahir pada 10 Februari 1993 di Beirut, Lebanon, Mia Khalifa menjalani masa kanak-kanak bersama kecamuk yang tak kunjung henti di Timur Tengah. Lebanon termasuk negara yang terdampak kemelut di sana, dan keluarga Mia Khalifa pun hidup dengan perasaan waswas, jauh dari ketenangan. Kapan saja perang bisa merembet ke tempat tinggal mereka, dan kapan saja kedamaian bisa terenggut dari mereka.

Karena latar belakang dan pertimbangan itu pula, orang tua Mia Khalifa memutuskan untuk pindah ke Amerika, pada pertengahan 2000. Mia Khalifa masih berusia 11 tahun, ketika mereka meninggalkan Lebanon, dan menuju Amerika Serikat.

Di Amerika, keluarga Mia Khalifa tinggal di Montgomery County, Maryland. Di sanalah Mia Khalifa tumbuh sebagai remaja, dan bersekolah di SMA Northwest. Lulus dari SMA, dia meneruskan pendidikan ke University of Texas at El Paso, dan lulus dengan gelar Bachelor of Arts di bidang Sejarah.

Lulus dari perguruan tinggi tidak menjadikan seseorang mudah mendapat pekerjaan sesuai latar belakang pendidikan. Begitu pula yang dialami Mia Khalifa. Ia sempat berusaha mencari lowongan dan mengirimkan lamaran ke beberapa tempat, namun tidak juga mendapat jawaban. Sampai akhirnya, ia menemukan lowongan di sebuah restoran cepat saji, dan di sanalah ia lalu bekerja.

Bekerja sebagai pelayan di restoran tidak menyusutkan semangat hidup Mia Khalifa. Seperti gadis-gadis muda umumnya, ia tetap menjalani kehidupan dengan optimisme, yakin suatu hari kesempatan akan datang, dan dia bisa mendapat pekerjaan sesuai bakatnya, sesuai pendidikannya, lalu ia akan naik jenjang, mendapat gaji besar, kemudian... well, menemukan pangeran yang akan membawanya ke istana untuk hidup bahagia selama-lamanya.

Suatu hari, pada September 2014, Mia Khalifa sedang menjalani pekerjaan sebagai pelayan restoran seperti biasa, ketika seorang lelaki melihatnya. Lelaki itu seorang pencari bakat, dan kebetulan masuk ke restoran tempat Mia Khalifa bekerja. Sejak pertama kali melihat, ia langsung tertarik pada Mia Khalifa, dan berniat mengajaknya masuk industri hiburan. Sampai cukup lama dia mengamati Mia Khalifa, hingga menjadi pelanggan di restoran tersebut.

Waktu itu, Mia Khalifa berumur 21 tahun, bertinggi badan 157 centimeter, dengan berat 55 kilogram. Seperti umumnya wanita Timur Tengah, Mia Khalifa memiliki kecantikan yang khas. Selain itu, dia memiliki pesona yang sulit ditepiskan—sepasang payudara berukuran super, yang sanggup membuat bocah-bocah di mana pun mimisan.

Jadi, ketika Mia Khalifa mengantarkan pesanan ke mejanya, si pencari bakat mengajaknya bercakap. Karena sudah mengenal lelaki itu sebagai pelanggan tetap, Mia Khalifa melayani percakapan dengan baik.

Setelah menjelaskan profesinya, si pencari bakat berkata, “Kau memiliki pesona yang menakjubkan, Mia. Kau tertarik main film?”

Mia Khalifa berbinar. “Main film?”

“Ya, main film. Kau tertarik?”

“Tentu saja aku tertarik,” sahut Mia Khalifa. “Siapa yang tidak minat main film?”

Dan begitulah awalnya.

Peristiwa itu terjadi pada akhir September 2014. Pada Oktober 2014, Mia Khalifa mulai masuk industri film dewasa, dan selanjutnya adalah sejarah.

Hanya dalam waktu singkat, film yang dibintangi Mia Khalifa telah meraih 1,5 juta penonton. Karena kenyataan itu, pada 28 Desember 2014, PornHub—situs porno paling terkenal di dunia—menempatkan Mia Khalifa di peringkat teratas di situs mereka, mengalahkan Lisa Ann, yang sebelumnya menjadi bintang porno paling populer di dunia.

Mia Khalifa adalah fenomena di industri film porno, mirip Maria Ozawa ketika memasuki industri JAV (Japan Adult Video). Dan sama seperti Maria Ozawa yang menghadapi penentangan orang tua, Mia Khalifa juga menghadapi kenyataan serupa.

Mendapati Mia Khalifa terjun ke industri film porno, dan menjadi artis film dewasa, orang tuanya marah dan kecewa, sekaligus menanggung malu terhadap saudara-saudara mereka di Lebanon. Bagaimana bisa seorang perempuan yang lahir di Timur Tengah menjadi artis film porno? Sejak itu pula, komunikasi Mia Khalifa dengan orang tuanya terputus. Dia tidak lagi diakui sebagai keluarga.

Penentangan yang dihadapi Mia Khalifa dalam menjalani karir sebagai artis film porno tidak hanya datang dari orang tua, tapi juga dari masyarakat Timur Tengah, khususnya Lebanon, tanah kelahirannya. Sejak nama Mia Khalifa populer sebagai artis film porno, pandangan orang-orang di Lebanon terarah kepadanya. Mereka marah, karena menganggap Mia Khalifa telah mencederai budaya Timur Tengah, sekaligus menjadi aib bagi mereka.

Persoalan “aib” itu—khususnya—dipicu salah satu film yang dibintangi Mia Khalifa, yang memperlihatkan dia mengenakan jilbab ketika beradegan cinta dengan pasangannya. Film itu diproduksi oleh Bang Bros, dan—karena tuntutan cerita dalam film—Mia Khalifa harus mengenakan jilbab. Sebagai profesional, Mia Khalifa tidak mempersoalkan. Jadi, dia bermain film porno dengan mengenakan jilbab, sementara bagian tubuhnya yang lain telanjang.

Gara-gara film itulah Mia Khalifa semakin fenomenal sekaligus kian kontroversial. Sejak itu pula, kecaman, teror, bahkan ancaman pembunuhan makin sering datang kepadanya. Main film porno saja sudah dianggap aib oleh masyarakat Timur Tengah, khususnya Lebanon. Dan sekarang Mia Khalifa main film porno dengan mengenakan jilbab! Itu jelas mencoreng masyarakat muslim, kata mereka. Benar-benar penghinaan yang tak bisa ditoleransi!

Terkait kontroversi jilbab di film porno, yang panasnya menyaingi kemelut di Timur Tengah, Washington Post mewawancarai Mia Khalifa, untuk mendapatkan pandangan serta penjelasannya, terkait jilbab yang ia kenakan.

Kepada Washington Post, Mia Khalifa menyatakan, “Itu (film porno yang ia bintangi) film satir, dan saya memang harus mengenakan jilbab dalam adegan tersebut.”

Ketika ditanya mengapa ia tidak memikirkan dampak yang mungkin terjadi, Mia Khalifa menjelaskan, “Anda tahu, film-film Hollywood lebih gila dalam menggambarkan masyarakat muslim. Dalam film, orang-orang muslim digambarkan sebagai teroris, pembunuh, dan penjahat-penjahat lain yang melakukan kekerasan terhadap kemanusiaan. Saya hanya mengenakan jilbab sambil bercinta—tidak membunuh, tidak menjadi teroris, dan tidak menjadi penjahat. Saya pikir, yang saya lakukan tidak ada apa-apanya dibanding yang dilakukan film-film Hollywood. Film-film Hollywood menggambarkan muslim jauh lebih negatif daripada pornografi.”

Jawaban yang cukup panjang itu tidak hanya membuat reporter Washington Post tertegun, tapi juga membuat saya—yang membaca wawancara tersebut—ikut tertegun. Sepertinya, yang dilakukan Mia Khalifa memang “tidak ada apa-apanya” dibanding yang dilakukan film-film Hollywood.

Kita tahu, film-film Hollywood kerap menggambarkan muslim sebagai teroris, penjahat, dan antagonis semacamnya, tapi dunia—khususnya masyarakat muslim—tenang-tenang saja. Mereka tidak marah ketika identitas mereka digunakan sebagai pelaku teror, sebagai penjahat, sebagai aktor kekerasan terhadap sesama manusia. Padahal, meminjam ungkapan Mia Khalifa, “Film-film Hollywood menggambarkan muslim jauh lebih negatif daripada pornografi.”

Dulu, ada film Hollywood yang sempat menimbulkan kehebohan di dunia muslim, berjudul True Lies (dibintangi Arnold Schwarzenegger). Film yang dirilis pada 1994 itu menceritakan beberapa muslim merencanakan teror menggunakan bom yang akan dijatuhkan di Amerika. Identitas muslim dalam film itu diwakili pakaian khas Timur Tengah (baju putih panjang dengan penutup kepala, serta komunikasi dalam bahasa Arab.)

Sebenarnya, film itu bisa dibilang “biasa saja”—khas film-film Hollywood. Penggambaran muslim yang diceritakan sebagai teroris dalam film juga tergolong “biasa saja”, khususnya jika dibandingkan film-film yang muncul setelahnya. Tetapi, karena True Lies menjadi film pertama yang menggambarkan muslim sebagai teroris, orang-orang Islam di seluruh dunia pun meributkan. Film itu bahkan dicekal di Indonesia, meski bajakannya banyak beredar di Glodok.

Setelah True Lies, Hollywood masih memproduksi film-film serupa, yang menggambarkan muslim sebagai penjahat, pelaku teror, atau bajingan lainnya. Masyarakat muslim masih memprotes, seperti semula, tapi tensi protes yang muncul kian lama kian surut. Berbeda dengan True Lies yang mendapat kecaman secara internasional, film-film serupa setelahnya hanya mendapat kecaman ala kadarnya.

Belakangan, muncul film Hollywood mutakhir, berjudul Killer Elite (dibintangi Jason Statham dan Robert DeNiro). Film itu mengisahkan seorang muslim Arab yang merencanakan pembalasan dendam mengerikan terhadap para pembunuh putranya. Si Arab menyewa para pembunuh bayaran untuk membalaskan dendamnya, dengan alasan, “Agar aku bisa mati dengan tenang, karena mengetahui dendamku telah terbalas.”

Dibandingkan True Lies yang menggambarkan teroris muslim berencana mengebom Amerika, penggambaran muslim dalam Killer Elite jauh lebih menjijikkan. Sebagai perbandingan, muslim dalam True Lies berencana menghancurkan Amerika dengan alasan “rasional”, salah satunya menganggap Amerika sebagai “dajjal sewenang-wenang yang harus dilawan”. Sementara muslim dalam Killer Elite berencana membunuh orang-orang karena dendam pribadi, hanya “agar aku bisa mati dengan tenang, karena dendamku telah terbalas.”

Tapi apakah ada masyarakat muslim di negara mana pun yang menentang, memprotes, atau mengecam film Killer Elite? Tidak ada! Film itu melenggang bebas dan diputar di dunia, termasuk di negara-negara Arab.

Karena itulah, Mia Khalifa heran, dan mengatakan, “Yang saya lakukan tidak ada apa-apanya dibanding yang dilakukan film-film Hollywood. Film-film Hollywood menggambarkan muslim jauh lebih negatif daripada pornografi.”

Disadari atau tidak, pernyataan itu benar. Hollywood menggambarkan muslim dengan begitu buruk melalui film-film yang mereka produksi—sebagai penjahat, sebagai teroris, sebagai bajingan, sebagai pelaku kekerasan, dan semacamnya. Tapi orang-orang muslim bungkam, bahkan menikmati film-film itu dengan asyik. Sementara yang dilakukan Mia Khalifa—dalam film—hanya bercinta.

Oh, well, hanya bercinta. Dia tidak menggambarkan muslim sebagai penjahat, atau sebagai pelaku kekerasan atau kejahatan apa pun, tapi hanya bercinta. Dan hanya karena itu, Mia Khalifa dikecam habis-habisan, sampai diancam teror pembunuhan.

Memikirkan kenyataan itu, saya berpikir, jangan-jangan kita lebih bisa menoleransi terorisme atau aksi kekerasan semacamnya, daripada menoleransi ketelanjangan. Jangan-jangan, kita lebih mampu bersikap terbuka pada orang yang melakukan kekerasan terhadap sesama, daripada menerima kenyataan bahwa sepasang pria dan wanita bisa bercinta, terlepas apa pun agama mereka.

Oh, saya tidak bermaksud mengatakan yang dilakukan Mia Khalifa itu benar. Yang saya maksudkan, kenapa kita begitu sensitif dan reaktif ketika mendapati ketelanjangan, daripada saat menghadapi kekerasan?

Seperti sinetron-sinetron di televisi. Adegan ciuman lawan jenis, misalnya, disensor. Tapi adegan kekerasan—orang memukul atau melakukan kejahatan terhadap orang lain—diperlihatkan secara vulgar. Jika tujuan menyensor ciuman karena beralasan adegan itu tidak mendidik, apakah adegan kekerasan dianggap mendidik? Jika adegan ciuman dengan lawan jenis dianggap “tidak sesuai budaya kita”, apakah kekerasan sesuai budaya kita?

Saya khawatir ada yang salah dalam cara kita menjalani kehidupan, sehingga lebih mampu menoleransi kekerasan, daripada kemungkinan melihat orang berciuman. Saya khawatir ada yang salah dalam pendidikan kita, sehingga lebih malu pada ketelanjangan daripada malu terhadap kekerasan. Seperti orang-orang Timur Tengah yang terus berperang dengan sesama, dan menganggap itu hal biasa, tapi ribut ketika menyaksikan Mia Khalifa bercinta.

Terkait hal itu, ada sesuatu yang—kalau dipikirkan—sangat ironis. Seiring kecaman yang berdatangan dari masyarakat Timur Tengah terhadap Mia Khalifa, statistik di situs PornHub menunjukkan pencarian untuk film Mia Khalifa meningkat lima kali lipat. Peningkatan itu khususnya datang dari wilayah Lebanon, dan negara-negara Arab di sekitarnya.

Jangan-jangan, di tengah kecamuk yang tiada henti di sana, sebagian masyarakat menjadikan film Mia Khalifa sebagai solusi pusing kepala.

 
;