Jumat, 01 September 2017

Cermin Buram

Kalau kita bercermin dan bayangan kita tampak buruk,
ada dua kemungkinan. Cermin itu sudah kusam,
atau diri kitalah yang memang kusam.
@noffret


Bayangkan selama bertahun-tahun kita tidak pernah bercermin, sehingga lupa seperti apa rupa atau wajah kita. Yang jelas, terakhir kali bercermin, wajah kita baik-baik saja, dan kita puas dengan bayangan dalam cermin. Kita merasa cakep, baik-baik saja, dan kita menjadikan hal itu sebagai kesan pada diri sendiri. Jadi, ketika bertahun-tahun kemudian tidak pernah lagi bercermin, kita yakin memang cakep dan baik-baik saja.

Padahal, selama bertahun-tahun, tentu ada perubahan yang terjadi, termasuk di wajah kita. Yang pria, misal, bulu-bulu wajah mungkin sudah lebat. Sementara yang wanita, kulit wajah bisa jadi kusam atau berjerawat. Atau perubahan-perubahan lain. Namun, karena tidak pernah bercermin, kita tidak tahu. Mungkin sesekali kita meraba wajah, dan mendapati ada hal-hal yang sebelumnya tidak ada, tapi kita merasa nyaman. Karena tidak pernah bercermin, dan karena kita menganggap diri baik-baik saja.

Jika selama lima tahun, misal, kita tidak pernah bercermin sama sekali, lalu bercermin di suatu hari, kira-kira apa yang mungkin kita alami? Kemungkinan besar terkejut. Karena mendapati wajah kita ternyata masih sama seperti lima tahun lalu, atau sebaliknya—mendapati wajah kita sudah jauh berubah dari lima tahun lalu. Apa pun hasilnya, terkejut kemungkinan menjadi reaksi paling umum untuk orang yang bertahun-tahun tidak bercermin.

Cermin hanyalah satu sarana untuk melihat seperti apa kita sesungguhnya, meski dalam hal ini hanya sebatas fisik. Melalui cermin, kita bisa melihat secara utuh seperti apa rupa kita. Melalui cermin yang lebih besar, kita bahkan bisa melihat secara utuh seperti apa tubuh kita, pantas atau tidak pakaian yang kita kenakan, dan lain-lain. Pendeknya, melalui cermin, kita bisa berusaha mengenali diri sendiri, melihat kelebihan dan kekurangan yang mungkin kita miliki.

Tapi cermin hanya satu sarana. Dan, kadang-kadang, bisa menipu.

Di rumah saya ada cermin berukuran sedang, yang memungkinkan saya berkaca saat menyisir rambut. Entah kenapa, saya merasa cakep setiap kali bercermin di situ. Mungkin karena saya memang cakep. Atau mungkin pula karena cermin di rumah jarang dibersihkan, sehingga tidak bisa merefleksikan rupa saya seutuhnya. Dan dalam keburaman cermin, saya menilai diri saya cakep. Bayangan itu pula yang saya percaya, sebagai kesan terhadap diri sendiri.

Suatu hari, saat belanja baju di swalayan, dan harus mencoba di kamar pas, saya berdiri di depan cermin, dan agak terkejut mendapati rupa saya seutuhnya. Cermin di kamar pas sangat bersih, tidak buram seperti di rumah saya. Dan melalui cermin yang bersih itu, saya bisa melihat diri seutuhnya, dan mendapati ternyata saya tidak secakep yang selama ini saya bayangkan.

Melalui cermin bersih di kamar pas, saya bisa melihat kulit wajah saya tidak semulus yang saya yakini, mata saya tidak seindah yang saya yakini, bibir saya tidak semerah yang saya yakini, pendeknya banyak hal yang berbeda dari yang selama ini saya yakini. Cermin buram di rumah telah menipu tanpa saya sadari, dan cermin bersih di kamar pas swalayan menghadapkan saya pada kenyataan.

Tetapi, sekali lagi, cermin hanya satu hal, atau satu sarana, untuk berkaca, untuk belajar objektif menilai diri sendiri. Kemampuan cermin dalam hal itu juga terbatas, karena hanya memungkinkan kita untuk menilai hal-hal yang bersifat fisik. Cermin tidak bisa menilai baik atau buruknya sifat kita, kebiasaan kita, gaya hidup kita, bahkan hati dan keyakinan-keyakinan kita. Untuk bisa menilai hal-hal di luar fisik, kita membutuhkan “cermin” yang lebih luas.

Suatu waktu, saya punya keperluan di luar kota. Kebetulan, di kota tersebut ada teman yang tinggal di sana. Jadi, ketika tahu saya akan datang ke kotanya, dia meminta agar saya menginap di rumahnya. Saya tidak punya alasan menolak, jadi saya pun menuruti permintaannya, dan selama tiga hari menginap di rumahnya. Tiga hari itu, kelak, menjadi cermin yang sangat mengejutkan.

Rumah teman saya sangat steril, dalam arti bersih dan sehat mirip rumah sakit. Saya nyaris tidak bisa menemukan secuil debu pun di lantai rumahnya yang luas. Ada empat pekerja yang tiap hari di sana—satu sekuriti, satu tukang kebun, satu juru masak, dan satu lagi bertugas memastikan rumah dalam keadaan selalu bersih.

Bersama empat pekerja yang tiap hari di rumahnya, teman saya tinggal bersama istri dan satu orang anak. Teman saya tidak merokok, dan hal itu tampaknya ikut menjadikan rumahnya sangat bersih, sekaligus sehat. Tidak ada debu, tidak ada abu rokok, juga tidak ada asbak. Hal terakhir cukup merepotkan saya selama tinggal di sana, karena bagaimana pun saya butuh asbak agar dapat merokok dengan nyaman.

Selama tinggal di rumah teman, saya menempati kamar di lantai atas. Ketika masuk kamar itu pertama kali, suasana kamar serupa dengan suasana ruangan lain di sana—bersih, steril, mirip rumah sakit. Di kamar itu pula, selama tiga hari, saya banyak menghabiskan waktu—menulis, membaca buku, termasuk merokok.

Mula-mula, saya merasa segalanya berjalan baik-baik saja, tidak ada keanehan atau hal-hal yang menarik perhatian. Tetapi, memasuki hari ketiga, saya mulai menyadari bahwa di kamar yang saya tempati muncul aroma tidak sedap. Kamar itu masih bersih, seperti semula, tapi muncul bau menyengat. Tanpa diberitahu siapa pun, saya tahu aroma tidak sedap itu berasal dari asap rokok saya yang selama itu mengepul di sana.

Kenyataan itu menampar kesadaran saya dengan keras.

Selama bertahun-tahun, saya tinggal di rumah sendiri, merokok setiap hari, dan tidak pernah menyadari bahwa aktivitas itu memunculkan aroma tidak sedap. Asap rokok yang terus mengepul, tanpa sempat saya lihat, mungkin menempel di langit-langit rumah, di dinding-dinding, di berbagai perabotan, dan lain-lain. Tetapi, selama bertahun-tahun, saya tidak pernah menyadari keberadaan aroma yang mungkin tidak sedap, karena terbiasa.

Saya terlalu terbiasa dengan rumah saya sendiri, beraktivitas setiap saat di dalamnya, merokok di mana saja saya ingin, dan tidak pernah sedetik pun menyadari keberadaan aroma tidak sedap yang mungkin ditimbulkan aktivitas merokok yang saya lakukan. Itu mengerikan, kalau dipikir-pikir, betapa sesuatu yang mungkin buruk sekali pun bisa jadi tidak kita sadari, jika kita telah terbiasa dengannya.

Selama ini, saya sering heran dengan orang-orang yang tampak “terlalu sensitif” dengan asap rokok atau bau rokok. Berdekatan dengan orang merokok saja, mereka tampak tidak nyaman. Terkena sedikit asap rokok saja, mereka sudah ribut. Selama itu, saya tidak pernah memahami apa yang mereka rasakan sesungguhnya, terkait rokok dan asap yang terpapar pada mereka. Bagaimana pun, saya perokok, dan kondisi itu menjadikan saya menilai rokok “baik-baik saja”. Karenanya, saya heran ketika melihat ada orang yang tampak terganggu hanya oleh sedikit asap.

Ketika saya mendapati munculnya aroma tidak sedap di kamar yang saya tinggali di rumah teman, saya pun akhirnya menyadari... bahwa itulah kenyataannya. Kenyataaan yang sebelumnya tidak pernah saya sadari.

Sebelum saya masuk rumah teman untuk menginap di sana, rumah itu sangat bersih sekaligus steril. Tidak ada orang merokok di sana, sehingga bau rokok—seperti apa pun—juga tidak ada. Ketika saya masuk ke sana, dan merokok, dampak yang timbul segera terasa. Khususnya pada kamar yang saya tempati selama tiga hari. Kamar yang semula bersih dan segar mulai memunculkan aroma tak sedap.

Kenyataan itu tentu berbeda dengan rumah saya sendiri. Di rumah, saya merokok setiap saat, di ruang mana pun, di bagian mana pun. Akibatnya, aroma tidak sedap yang mungkin muncul tidak tercium. Atau mungkin tidak tercium oleh hidung saya, karena sudah terlalu biasa ada di dalamnya. Bagaimana pun, kebiasaan menumpulkan indra kita.

Munculnya aroma tidak sedap yang saya dapati di rumah teman, akhirnya menjadi cermin bagi saya untuk berkaca, bahwa yang saya lakukan selama ini—khususnya merokok—ternyata tidak “baik-baik saja” sebagaimana yang saya pikirkan dan saya yakini. Bagaimana pun, aktivitas itu menimbulkan dampak, salah satunya aroma tidak sedap, yang meski mungkin tidak saya sadari, tapi disadari orang lain.

Ketika pamit dari rumah teman, saya pun meminta maaf atas munculnya bau tak sedap dari aktivitas merokok yang saya lakukan di sana. Teman saya hanya tertawa, tapi saya yakin pekerja di rumahnya harus bekerja keras untuk menghilangkan “jejak” yang telah saya tinggalkan di sana. Sejujurnya saya sangat tidak enak atas hal itu.

Sejak itu pula, saya pun makin hati-hati setiap kali akan merokok, khususnya kalau di dekat saya ada orang lain, yang bisa jadi tidak merokok atau sensitif dengan aroma rokok. Bagaimana pun, yang saya anggap “biasa”, bisa jadi “tidak biasa” bagi orang lain, dan bisa pula mengganggu kenyamanan mereka. Kita mungkin terbiasa karena memang biasa melakukan, tapi orang lain belum tentu sama.

Kita membutuhkan cermin untuk berkaca, untuk menilai diri, dan kemampuan kita dalam hal itu ditentukan oleh cermin yang jernih, sekaligus kesadaran untuk mau mengakui apa yang kita lihat di cermin. Karena bayangan buruk yang mungkin kita dapati bukan salah cermin, tapi karena kita jarang bercermin... atau selama ini cermin yang kita gunakan sudah terlalu buram.

 
;