Rabu, 25 Oktober 2017

Fragmen Hidup Asia Carrera

Masalah hidup kita, per orang, adalah kenyataan bahwa perjalanan
tak selalu sesuai skenario siapa pun. Alur yang liar, akhir tak terduga.
@noffret


“Orang-orang mungkin mengira aku menyesali yang telah kulakukan. Tetapi, asal kau tahu, aku tidak pernah sebahagia ini seumur hidup, karena berhasil memperoleh yang kuimpikan dari jerih payah sendiri. (Sekarang) Aku memiliki pekerjaan yang menyenangkan, dan pada akhirnya aku dapat kembali bermain piano, melukis, menulis, dan membalas surat-surat banyak orang.”

Kalimat itu dinyatakan Asia Carrera, wanita yang namanya pernah identik dengan film porno, bahkan hingga kini masih dianggap salah satu legenda di industri film porno dunia. Kini, setelah pensiun dari industri tersebut, Asia Carrera menjalani kehidupan yang ia pilih, dan menikmati hal-hal yang ia sukai—melukis, menulis, bermain piano—dan mungkin percaya suatu hari kelak dia akan mati dengan bibir tersenyum, karena puas menatap kehidupan yang ia tinggalkan.

Menatap Asia Carrera sama seperti menatap fragmen kehidupan manusia, yang kadang lebih dramatis dan lebih paradoks dari kisah novel mana pun yang pernah kita baca.

Orang-orang tahu, Asia Carrera adalah aktris film porno, yang telah membintangi lebih dari 400 judul (jumlah tepatnya, menurut IAFD, 407 judul). Tetapi, mungkin tidak semua orang tahu, bahwa Asia Carrera juga anggota Mensa.

Mensa adalah organisasi khusus untuk orang-orang yang memiliki IQ tinggi. Organisasi yang berbasis di Inggris itu didirikan pada 1946 oleh Roland Berrill dan Dr. Lancelot Ware. Sampai saat ini, Mensa terus aktif menjadi organisasi yang berisi orang-orang paling pintar di muka bumi, dan anggotanya telah mencapai sekitar 100.000 orang yang berasal dari seluruh dunia. Asia Carrera adalah anggota organisasi tersebut.

Untuk bisa diterima di organisasi Mensa, seseorang perlu menyelesaikan setumpuk tes atau ujian yang—bahkan baru melihatnya saja—bisa membuat sebagian orang stres mendadak. Karenanya, bahkan meski seseorang memiliki IQ sangat tinggi, tidak ada jaminan bisa masuk Mensa. Organisasi itu benar-benar sangat eksklusif, dan benar-benar memastikan anggotanya memang genius. Dalam hal ini, Asia Carrera memiliki IQ 156. Sebagai perbandingan, Einstein memiliki IQ 160. Fakta bahwa Asia Carrera bisa masuk Mensa, membuktikan dia memang genius.

Pertanyaannya, bagaimana bisa seorang wanita genius ber-IQ 156 menjadi aktris film porno?

Pertanyaan rumit itu membutuhkan jawaban sangat panjang, dan kita harus flashback ke puluhan tahun lalu, ketika Asia Carrera masih remaja....

....
....

Nama asli Asia Carrera adalah Jessica Steinhauser. Ia lahir di New York, AS. Ayahnya berasal dari Jepang, sementara ibunya berasal dari Jerman. Asia Carrera adalah anak pertama dari empat bersaudara. Ia tumbuh besar di Little Silver, New Jersey, dan keluarganya dikenal sebagai keluarga berpendidikan. Ayah Asia Carrera adalah lulusan Caltech University, yang memperoleh beasiswa penuh pada bidang Matematika dan Fisika.

Latar belakang intelektual pula, yang menjadikan keluarga Asia Carrera akrab dengan hal-hal beradab. Di rumah, Asia Carrera dan adik-adiknya akrab dengan buku dan aneka majalah. Sesekali, mereka pergi menyaksikan pertunjukan musik di Carnegie Hall.

Asia Carrera bersekolah di Little Silver School District, yang lalu berlanjut ke Red Bank Regional High School. Di luar aktivitasnya bersekolah, Asia Carrera dikenalkan orang tuanya pada alat musik piano. Mereka mengundang seorang guru piano ke rumah, yang mengajari anak gadis mereka untuk bermain piano. Benar-benar khas keluarga beradab!

Ketika bersentuhan dengan piano itulah, Asia Carrera merasakan getaran di hatinya, sesuatu yang tidak pernah ia temukan di tempat lain. Saat ia meletakkan jari-jarinya ke tuts piano, dan mendentingkan nada, ia tahu sedang menyentuh sesuatu yang paling dicintainya. Kelak, Asia Carrera menyadari, tidak ada yang lebih dicintainya di muka bumi, selain saat-saat bermain piano.

Kehidupan Asia Carrera mungkin akan menyenangkan, kalau saja tidak menghadapi kekerasan orang tua. Ayah dan ibunya sangat keras mendidik anak-anak, dan tidak segan menghukum dengan cara menyakitkan. Memang benar, mereka orang-orang berpendidikan, tetapi—meminjam istilah Asia Carrera—“mereka sangat kuno” atau konservatif. Karena hal itu pula, orang tuanya pun kerap memaksakan kehendak pada anak-anaknya.

Dalam urusan sekolah, misal, Asia Carrera dan adik-adiknya harus mendapatkan nilai A. Tidak ada toleransi, dan tidak ada pengecualian. Jika Asia Carrera mendapatkan nilai B, dia akan dihukum tidak boleh keluar rumah. Itu artinya, Asia Carrera tidak bisa bertemu dan bermain dengan teman-temannya. Jika Asia Carrera mendapatkan nilai di bawah B, hukumannya bisa omelan sampai tamparan dan pukulan.

Kenyataan semacam itu telah dihadapi Asia Carrera sejak kecil. Karenanya, belakangan ia mengakui, “Orang-orang mungkin mengira aku sangat cerdas karena menyukai belajar. Tidak, aku hanya beruntung karena kebetulan lahir dengan mewarisi gen yang baik (maksudnya, ayah dan ibunya sama-sama cerdas). Selain itu, aku juga cerdas akibat tekanan orang tuaku yang sangat keras.”

Orang tua Asia Carrera menginginkan anak mereka masuk Harvard, dan kelak bisa berprofesi sebagai dokter atau pengacara. Tetapi, Asia Carrera tidak menginginkan hal itu. Ia hanya ingin bermain piano, sesuatu yang dicintainya. Dalam hal itu, Asia Carrera tidak pernah berani menyatakan isi hatinya. Bagaimana pun, ia tahu, lebih baik diam di hadapan orang tuanya, daripada harus menerima tamparan.

Jadi, ketika anak-anak lain bisa bersenang-senang bersama temannya, Asia Carrera harus duduk di ruang belajar. Ketika anak-anak lain menonton film di bioskop, Asia Carrera masih harus belajar. Ketika anak-anak lain mendatangi undangan pesta, Asia Carrera tetap belajar. Ketika anak-anak lain mulai pacaran, Asia Carrera tetap suntuk dengan aktivitas belajar.

Sebagai gadis yang tumbuh remaja, bagaimana pun Asia Carrera sangat tertekan dengan kondisi yang dihadapinya. Dia ingin seperti teman-temannya—bermain, berkumpul bersama teman, menonton film ke bioskop, atau sesekali menghadiri pesta—bukan terus menerus belajar. Tetapi, setiap kali ia mencoba mengutarakan hal itu, ayahnya hanya menjawab, “Kau akan mendapatkan semua kauinginkan, setelah kuliah di universitas terbaik!”

Kadang-kadang, didorong emosi yang meledak-ledak—seperti umumnya remaja—Asia Carrera nekat melakukan sesuatu yang juga dilakukan anak-anak sebayanya, yaitu keluar rumah diam-diam. Malam hari, ketika orang tuanya telah tidur, Asia Carrera mengendap-endap keluar rumah, untuk menemui temannya. Beberapa kali dia selamat, dan bisa menikmati kebahagiaan dengan bebas. Tapi ada kalanya orang tua mengetahui, dan dia harus menghadapi hukuman yang kejam.

“Aku sempat terpikir untuk bunuh diri, beberapa kali,” ujar Asia Carrera mengenang masa-masa itu. Dibanding anak-anak lain, Asia Carrera menyadari, dia menjalani masa kecil yang sangat tidak bahagia. Kekerasan dan kekejaman orang tua begitu menekan batinnya.

Akhirnya, saat berusia 16 tahun, Asia Carrera memutuskan sesuatu yang sangat penting. Ia kabur dari rumah!

Asia Carrera menceritakan, “(Selama waktu-waktu itu) Aku tinggal dan menetap di mana aku mendapat tumpangan. Kadang tinggal bersama pengamen jalanan, bersama teman, bersama orang asing—di hotel, atau juga di tenda.”

Untuk bertahan hidup, ia tentu harus makan. Asia Carrera menyadari, ia harus bekerja untuk mendapat uang, agar bisa makan dan bertahan hidup. Yang menjadi masalah, waktu itu usianya 16 tahun, dan tidak ada tempat di Amerika yang cukup gila untuk mempekerjakan anak perempuan berusia 16 tahun. Akibatnya, Asia Carrera kerap menjalani hari-hari tanpa uang sepeser pun, dan kebingungan bagaimana harus mengisi perut yang kelaparan.

Setelah kabur dari rumah, Asia Carrera tidak melanjutkan sekolah. Dia tentu paham, orang tuanya akan mencari ke sekolah, dan dia tidak ingin itu terjadi. Namun, ketika sangat kelaparan, Asia Carrera nekat mendatangi sekolahnya, dan diam-diam menemui beberapa teman untuk, “mengemis doritos (makanan ringan) dari mereka.”

Beberapa teman baiknya memahami yang terjadi, dan mereka pun murah hati memberikan makanan untuk Asia Carrera, serta tutup mulut jika ada guru yang menanyakan dirinya.

Meski begitu, lama-lama Asia Carrera tidak enak jika terus merepotkan teman-temannya. Dan pada masa-masa itulah, “aku terpaksa bercinta dengan orang asing—meski sebenarnya tidak menginginkan—demi bisa mendapat makanan yang layak dan tempat untuk bermalam.”

Di waktu lain, Asia Carrera juga terpaksa mengemis, demi mendapat uang untuk makan, atau mengais sampah yang bisa ia temukan. Bahkan ketika harus menghadapi kenyataan yang amat pahit semacam itu, Asia Carrera mengatakan, “Aku lebih senang melakukan hal itu (mengemis) daripada harus kembali ke rumah.”

Sampai kemudian, pemerintah setempat mengetahui keberadaan Asia Carrera yang hidup liar sendirian, tanpa pengasuh. Karena usia Asia Carrera waktu itu belum 18 tahun, pemerintah menitipkan Asia Carrera ke sebuah keluarga asuh. Mungkin, kisah ini akan sangat bagus kalau keluarga asuh yang menampung Asia Carrera begitu baik, hingga Asia Carrera betah di sana. Sayang, kenyataan sering tak seindah kisah sinetron.

“Keluarga asuhku sama seperti keluargaku sendiri,” ujar Asia Carrera menceritakan. “Mereka sangat keras, dan aku tidak pernah diperbolehkan keluar.”

Untuk kedua kali, Asia Carrera menghadapi kehidupan yang penuh tekanan. Hidup bersama keluarga asuh sama seperti mengulang hidup bersama orang tuanya sendiri. Tetapi, meski begitu, ia memilih bertahan bersama keluarga asuhnya, daripada pulang kepada keluarga kandungnya. Selama bersama keluarga asuh pula, Asia Carrera meneruskan sekolah, hingga lulus SMA.

Ketika akhirnya berusia 18 tahun, Asia Carrera kembali melakukan yang dulu pernah ia lakukan. Kabur dari rumah!

“Aku punya sedikit uang waktu itu,” kisah Asia Carrera mengenang, “tapi hanya cukup hingga musim gugur mendatang, dan itu artinya sebentar lagi.”

Sadar bahwa dirinya akan mengulang masa-masa kelaparan yang sangat mengerikan, Asia Carrera memutar otak bagaimana cara menemukan kehidupan yang lebih baik. Upayanya menemukan hasil. Ia mendaftar kuliah di Rutgers University, dan berhasil mendapatkan beasiswa penuh.

Alasan Asia Carrera mendaftar ke Rutgers University hanya karena dua hal. Pertama, universitas itu menyediakan beasiswa penuh bagi anak-anak pintar, dan Asia Carrera memenuhi “standar pintar” yang ditetapkan di sana. Kedua, kampus itu juga menjanjikan makanan hangat dan tempat tidur gratis. “Jadi, aku tidak perlu mengemis di jalanan, atau menjajakan tubuh pada orang asing demi bertahan hidup.”

Karena motivasi kuliahnya hanya untuk makan dan tidur gratis, Asia Carrera pun tidak betah kuliah di sana. Sebelum lulus, ia memutuskan untuk keluar. Setelah itu, ia bekerja di sebuah bar, sebagai pengantar minuman.

Pada waktu itu, Asia Carrera masih menggunakan nama Jessica Steinhauser, nama lahirnya. Suatu malam, pemilik bar menemuinya, dan berkata, “Jessica, kau mau mendapat seratus dolar?”

Seratus dolar pada masa itu sangat besar, dan Asia Carrera berbinar. “Apa yang harus kulakukan?”

Malam itu, seorang miliuner mengadakan pesta di bar tempat Asia Carrera bekerja. Ia mentraktir teman-temannya minum di sana, dan mereka menempati satu ruangan khusus. Wanita mana pun yang mengantarkan minum ke ruangan tersebut akan dibayar 100 dolar oleh sang miliuner, dengan syarat mengenakan pakaian minim. “Pakaian minim” versi bar berarti “hanya mengenakan bra dan celana dalam”.

Jadi, itulah yang dikatakan pemilik bar kepada Asia Carrera, “Kau hanya perlu membuka pakaianmu, antarkan minuman ini ke sana, dan dapatkan seratus dolarmu.”

Meski tugas itu terkesan ringan, Asia Carrera mengaku berdebar. Bagaimana pun, dia belum pernah melakukan hal semacam itu. Tetapi iming-iming seratus dolar begitu menggoda. Akhirnya, Asia Carrera mengambil sebotol vodka, menenggaknya, lalu melepas pakaian. Setelah itu, ia masuk ke ruangan pesta sang miliuner, dengan minuman di atas nampan.

Yang ia saksikan di sana tak pernah bisa dilupakannya, dan Asia Carrera menceritakan, “Saat memasuki ruangan pesta, aku melihat banyak sekali penari striptease yang disewa orang itu, dan mereka (para penari tersebut) mendapatkan uang seperti memunguti sampah.”

Malam itu, Asia Carrera tidak hanya mendapatkan seratus dolar sebagaimana yang dijanjikan. Ia bahkan mendapatkan 300 dolar. “Tak perlu dikatakan, aku sangat senang. Aku tidak pernah memiliki uang sebanyak itu seumur hidupku.”

Peristiwa itu bukan hanya memberi kegembiraan bagi Asia Carrera—karena bisa mendapatkan uang banyak—tapi juga membuka matanya tentang cara mendapatkan uang banyak. Sejak itu pula, Asia Carrera memutuskan untuk menjadi penari. Penghasilannya seribu dolar per minggu. “Aku masih menyimpan dolar pertama yang kuperoleh dari menari.”

Kecantikan, keindahan tubuh, dan sikapnya sebagai orang cerdas yang menawan, menjadikan Asia Carrera segera populer di kalangan para penggemar clubbing, dan dalam waktu singkat dia menjadi penari dengan bayaran paling tinggi di sana.

Suatu malam, dia terlibat percakapan menyenangkan dengan seorang pengunjung bar—seorang pria yang tampak berpendidikan.

“Kau sangat cantik,” ujar pria itu. “Kenapa kau menghabiskan hidupmu di tempat seperti ini?”

“Kau bisa mengusulkan tempat lain yang lebih baik?” sahut Asia Carrera.

Si pria menyatakan, “Di luar sana ada majalah-majalah yang membutuhkan wanita indah sepertimu, dan mereka bersedia membayar mahal kalau kau mau tampil di majalah mereka.”

Asia Carrera tertarik. Maka, suatu hari, dia pergi ke toko, dan membeli majalah pria dewasa. Ia mendapati majalah itu memuat foto-foto wanita berbusana minim yang seksi. Asia Carrera menulis surat dan mengirimkan fotonya ke alamat yang tertera di majalah, dan menawarkan dirinya untuk menjadi sampul majalah tersebut.

Tidak perlu menunggu lama, Asia Carrera sudah mendapat balasan. Pihak redaksi majalah merespons tawarannya dengan baik, dan mereka meminta Asia Carrera untuk mengikuti sesi pemotretan di New York.

Karier baru pun dimulai. Sejak itu, Asia Carrera mulai menapakkan jejaknya sebagai fotomodel majalah. Pose-posenya di majalah dimulai dari yang berpakaian sopan sampai telanjang. Asia Carrera menikmati pekerjaannya. Dan, tentu saja, uangnya.

Pekerjaan sebagai fotomodel membawa Asia Carrera berkenalan dengan Bud Lee, seorang pembuat film porno yang tinggal di Los Angeles. Karena tertarik, Asia Carrera terjun ke dunia tersebut, dan menghasilkan beberapa film porno di bawah arahan Bud Lee. (Belakangan, Asia Carrera bahkan menikah dengan Bud Lee, meski berakhir perceraian.)

Sejak masuk industri film porno itulah, dia mulai menggunakan nama Asia Carrera, dan sejak itu dia memantapkan diri untuk menjalani profesi barunya. Selepas kerjasama dengan Bud Lee, Asia Carrera masih terus menghasilkan film-film lain, hingga total film yang dibintanginya mencapai lebih 400 judul. Ia telah menorehkan sejarah di dunia film porno, dan namanya pun kukuh menjadi legenda.

Setelah bercerai dengan Bud Lee, Asia Carrera menikah lagi dengan seorang pengarang, bernama Donald Lemmon. Sejak menikah dengan Don Lemmon pula, Asia Carrera meninggalkan kariernya di dunia film porno.

Asia Carrera dan pasangannya lalu menetap di St. George, Utah, dan di sana pula Asia Carrera melahirkan anak pertama, seorang perempuan, bernama Catalina, pada 4 Maret 2005. Satu tahun kemudian, Asia Carrera mengandung anak kedua. Tepat saat usia kandungannya mencapai 8 bulan, tragedi terjadi. Don Lemmon tewas karena kecelakaan, dan Asia Carrera merasa kehilangan seseorang yang amat dicintainya.

....
....

Kini, Asia Carrera hidup bersama dua anaknya yang mulai tumbuh remaja. Selain menjalani kebersamaan dengan mereka, Asia Carrera juga melanjutkan kuliahnya yang dulu terputus. Dan di sela-sela kesibukannya, dia bermain piano, sesuatu yang sangat dicintainya dalam hidup. Sementara kecerdasannya ia manfaatkan untuk bekerja sebagai stock-analyst.

“Aku telah selesai berkarya di—kau tahu—fuck-the-world,” ujar Asia Carrera. “Aku telah menabung dan berinvestasi untuk masa depan, dan aku akan menyelesaikan studi dengan suka cita... Dan jika suatu hari nanti aku meninggal dunia, aku telah menyisihkan uang untuk membantu dan menghidupi anak-anak telantar dan korban kekerasan rumah tangga. Itulah harapan terakhirku.”

Sedikit dan Banyak

Semakin sedikit yang di atas, semakin banyak yang di bawah.

Sepertinya memang begitu.

Sabtu, 21 Oktober 2017

Tamu Tak Diundang

Memasuki waktu Indonesia bagian minum teh
dengan perasaan mbah-mbuh.
@noffret


Hari Sabtu beberapa bulan kemarin, karena banyak pekerjaan dan juga stres, saya baru tidur pukul 07.00 pagi. Ketika sedang terlelap dalam istirahat yang damai, saya terbangun karena mendengar pintu diketuk-ketuk sangat keras, dan terdengar orang memanggil-manggil, “Permisi...! Assalamualaikum...! Permisi...!”

Dengan jengkel karena istirahat terganggu, saya bangkit dari tempat tidur, dan membatin, “Siapa yang bertamu subuh-subuh begini?”

Sebenarnya, waktu itu sudah pukul 11.00 siang. Jadi, saya sudah tidur sekitar 4 jam. Dengan mata yang masih kriyep-kriyep, saya melangkah ke depan, membuka pintu rumah, dan mendapati laki-laki berusia 30-an. Dia memakai topi, memegangi setumpuk kertas, sementara di dadanya terlihat kartu nama yang dipasang vertikal, seukuran bungkus rokok.

Mendapati saya membukakan pintu, laki-laki itu berkata, “Maaf, Pak, mengganggu.”

“Ya?” saya menyahut ogah-ogahan. Badan rasanya masih ngajak tidur.

“Saya dari biro kelistrikan, Pak,” ujar laki-laki tadi. “Maaf, saya boleh masuk?”

Saya pun mengangguk, dan mempersilakannya masuk. Kami duduk di ruang tamu. Dia masih dengan topi di kepalanya, dan saya dengan mata yang masih kriyep-kriyep. Seharusnya saya membasuh muka agar lebih segar, tapi seharusnya tamu-entah-siapa ini memberitahu dulu kalau mau datang. Saya tidak biasa menerima tamu dadakan!

Laki-laki tadi mulai berbicara, tentang PLN, tentang listrik, juga tentang kenaikan tarif listrik, dan lain-lain, yang intinya soal listrik. Sepertinya dia berusaha menjelaskan maksudnya sedetail mungkin, agar saya—yang tampak belum sadar karena baru bangun tidur—benar-benar memahaminya.

Tapi saya malah tidak sabar mendengarnya bicara bertele-tele. Saya bilang kepadanya, “Langsung saja, Mas. Jelaskan saja intinya.”

Dia terlihat menarik napas, dan kembali memulai, “Begini, Pak...”

“Pertama-tama, tolong berhenti memanggil saya ‘Pak’. Anda lebih tua lima puluh tahun dari saya.”

Dia tampak bingung dan salah tingkah. “Oh, maaf...”

Untuk membuatnya agak rileks, saya bertanya, “Anda merokok, Mas?”

“Tidak, Mas.”

“Bagus. Tapi saya baru bangun tidur, dan mulut saya asem. Anda tidak keberatan saya merokok?”

“Silakan.”

Saya meraih bungkus rokok mentol di meja, dan menyulutnya. Setelah mengisapnya sesaat, saya berkata, “Lanjutkan yang tadi.”

Dia kembali bicara, kali ini tanpa bertele-tele seperti tadi. “Saya ditugaskan untuk mendatangi rumah-rumah di kawasan ini, terkait penggunaan listrik. Seperti kita tahu, tarif listrik naik akhir-akhir ini, dan banyak orang merasa keberatan, akibat kenaikan yang terjadi sangat besar. Karena itu, mulai bulan depan, kantor saya berencana memasang alat di masing-masing rumah secara serentak, yang ditujukan untuk menghemat pemakaian listrik, agar masyarakat tidak terlalu keberatan dalam membayar listrik. Dengan alat yang akan dipasang ini, tarif listrik nantinya bisa turun sampai empat puluh persen.”

Saya mulai tertarik.

Laki-laki itu kembali berbicara, “Untuk itulah, saya ke sini, menemui Anda juga masyarakat yang lain, untuk memberitahukan soal pemasangan alat tersebut. Kalau Anda ingin alat itu dipasang, agar nantinya pemakaian listrik lebih hemat, Anda bisa datang langsung ke kantor kami. Di sana Anda bisa langsung membelinya, dan nantinya petugas kami yang akan memasangkan.”

Saya bertanya, “Berapa harga alat itu, Mas?”

“Satu juta lima ratus ribu rupiah,” jawabnya.

“Kok mahal sekali?”

“Alat itu berfungsi untuk selamanya,” dia menjelaskan. “Nantinya, setelah alat tersebut dipasang, tarif listrik Anda akan turun cukup banyak, karena fungsi alat tadi menghemat pemakaian listrik. Jika sewaktu-waktu alat itu rusak atau mengalami masalah, Anda bisa datang ke kantor kami untuk diganti, dan tidak perlu bayar lagi. Jadi fungsinya seumur hidup.”

Saya mengangguk-angguk.

Dia melanjutkan, “Kalau memang Anda merasa keberatan dengan harga alat tersebut, Anda bisa mendapat keringanan dengan membawa KTP dan Kartu Keluarga ke kantor kami. Nantinya, Anda akan mendapat potongan hingga lima ratus ribu, jadi tinggal membayar satu juta rupiah.”

Kembali saya mengangguk-angguk, sambil heran. Kalau tujuannya untuk mendapat keringanan, kenapa tidak membawa surat keterangan miskin sekalian? Tapi saya diam saja, dan membiarkan dia terus ngoceh.

“Omong-omong, Mas,” ujarnya, “listrik di rumah ini ditujukan untuk apa saja, ya?”

Saya pun menjelaskan dengan apa adanya. Dia tampak menulis sesuatu di tumpukan kertas. Lalu dia bertanya berapa biaya listrik yang saya bayar setiap bulan. Lagi-lagi saya menjawab apa adanya. Dia kembali menulis sesuatu.

“Apakah pernah kena segel?” ia bertanya.

Saya menyahut bingung, “Apa itu, kena segel?”

“Anu, kena segel adalah istilah untuk orang yang menunggak pembayaran listrik, lalu PLN memutus aliran listrik sampai biaya tunggakan dilunasi.”

“Tidak pernah,” saya menjawab.

Dia mengangguk senang. Lalu kembali bertanya, “Anda asli orang sini, Mas?”

“Bukan.”

“Tapi Anda sudah lama tinggal di sini?”

“Ya.”

Kembali dia mengangguk. Setelah itu, dia kembali berceramah, “Nah, seperti yang tadi saya jelaskan, saya ditugaskan untuk menemui masyarakat sekitar daerah ini, untuk memberitahukan keberadaan alat penghemat listrik yang akan mulai dipasang bulan depan. Kebetulan, kami juga diminta memilih lima orang untuk mendapatkan alat tersebut secara gratis. Lima orang, yang akan menjadi orang-orang pertama yang menerima alat tersebut, sengaja kami pilih dari orang-orang yang tidak pernah menunggak listrik seperti Anda, juga untuk orang-orang asli daerah ini atau yang telah lama tinggal di sini.”

Saya mengangguk.

Dia melanjutkan, “Karena Anda termasuk lima orang yang terpilih, Anda tidak perlu datang ke kantor kami. Saat ini kami sudah membawa alatnya, dan bisa langsung dipasang. Seperti yang saya sebut tadi, Anda juga tidak harus membayar alat tersebut, selain hanya membayar pajaknya.”

“Berapa yang harus saya bayar?”

Dia mengambil selembar kertas terlipat, dan menunjukkan sederet angka. Saya melihat angka yang tercetak di kertas sebesar Rp249.900.

Sementara kami berbicara dari tadi, pintu rumah saya terbuka, dan saya melihat beberapa orang lain—pria juga wanita—yang tampak hilir mudik, berpenampilan sama, mendatangi rumah-rumah tetangga saya. Mereka tentu juga menawarkan hal yang sama ke orang-orang lain.

Saya berkata pada laki-laki yang ada di rumah saya, “Tadi Anda bilang untuk mengambil alat penghemat listrik di kantor. Maksudnya, di kantor PLN?”

“Kantor kami di Dxxx, Mas,” jawabnya. “Anda juga tidak perlu datang ke kantor, karena Anda masuk sebagai lima orang pertama yang bisa mendapatkan alat tersebut secara gratis, selain hanya membayar pajak.”

“Kenapa kantor Anda tidak di kantor PLN?” saya kembali bertanya. “Anda dari PLN, kan?”

“Bukan, Mas, saya dari biro kelistrikan, namun kami telah mendapat izin dari PLN.”

“Jadi, kantor Anda di Dxxx?”

Dxxx adalah kawasan bisnis modern yang kerap digunakan untuk berbagai kepentingan usaha. Ada banyak toko dan kantor di sana—permanen maupun yang sekadar mengontrak beberapa minggu atau bulan. Karena tergolong kawasan mewah, Dxxx jarang didatangi masyarakat kebanyakan. Tapi saya tahu Dxxx juga menjadi lokasi yang kerap digunakan pihak-pihak tertentu untuk melakukan bisnis tidak jelas.

Setelah tahu laki-laki tadi berkantor di Dxxx, saya menegaskan, “Jadi, Anda bukan dari PLN?”

Dia menjawab dengan sabar, “Seperti yang tadi saya bilang, saya dari biro kelistrikan kantor saya, namun kami telah mendapat izin dari PLN.”

Saya meminta izin untuk melihat kertas-kertas yang dari tadi dipeganginya. Dia menunjukkannya, dan saya lihat itu hanya kertas-kertas fotokopian biasa, yang—bahkan sekilas lihat—sudah jelas tidak penting. Ada gambar tegangan tinggi yang mirip logo PLN, dan keterangan-keterangan tidak jelas yang pembuatannya tidak bisa dibilang profesional.

Saya bilang kepadanya, “Saya menunggu pemberitahuan resmi dari PLN saja.”

Dia menyahut, “Kalau begitu, Anda nantinya harus membayar satu juta lima ratus, seperti masyarakat yang lain.”

“Tidak masalah.”

Dia masih berusaha. “Padahal ini kesempatan yang hanya ditujukan untuk lima orang, Mas. Dengan menjadi orang pertama, Anda tidak perlu datang ke kantor, tidak perlu membayar apa-apa, selain hanya membayar pajak alatnya.”

Saya menegaskan, “Biar saya menunggu pemberitahuan resmi dari PLN.”

Mungkin karena menyadari saya tidak bisa lagi dirayu, akhirnya dia berhenti berusaha, dan pamit.

Setelah tamu tadi pergi, saya menghabiskan rokok yang tinggal sedikit, dan berpikir.

Benar-benar cerdik, pikir saya membayangkan orang tadi. Dia mungkin hanya pion—pekerja yang menjalankan tugas di lapangan—yang digerakkan orang-orang di atasnya. Penjualan secara door to door semacam itu memang kerap disalahgunakan, dan modus yang tadi digunakan benar-benar cerdik.

Masyarakat, akhir-akhir ini, sedang dipusingkan masalah kenaikan biaya listrik akibat pencabutan subsidi. Kenaikan yang terjadi bisa sangat besar, dan itu telah menjadi problem sosial sejak beberapa waktu lalu. Rupanya ada orang yang melihat hal itu sebagai peluang, dan menciptakan alat entah apa, yang disebut bisa menghemat pemakaian listrik, sehingga biaya listrik dapat turun, dan bla-bla-bla. Tetapi, jika alat itu benar-benar seperti yang diklaim—yang tentu memberi manfaat besar—kenapa harus repot-repot menjual secara door to door?

Orang tadi mengatakan berkantor di Dxxx, yang biaya sewanya tentu sangat mahal. Kalau alat yang mereka jual memang bermanfaat, jauh lebih baik menyewa stan di swalayan yang didatangi banyak orang, dan memamerkan alat tersebut secara langsung, sehingga orang-orang bisa langsung melihat dan berkonsultasi. Biaya sewa di swalayan tentu setara—atau bahkan lebih murah—dibanding biaya sewa kantor di Dxxx. Kalau memang alat itu bermanfaat, seperti yang diklaim, orang-orang pasti akan tertarik membeli.

Tapi mereka justru berkantor di Dxxx, dan menawarkan barangnya secara door to door, serta “menyaru” sebagai petugas PLN. Saat pertama kali menemui laki-laki tadi, saya benar-benar yakin dia petugas PLN, meski dia tidak mengatakan hal itu. Dia berbicara tentang listrik di rumah saya, dan seketika saya mengasosiasikan dia sebagai petugas PLN. Orang-orang lain—khususnya tetangga-tetangga saya—juga pasti akan berpikir seperti itu.

Kalau ada orang asing datang ke rumahmu, dengan penampilan seperti petugas PLN, dan membawa polpen serta kertas untuk mencatat, plus kartu nama yang mencolok tergantung di dadanya, lalu dia berbicara tentang listrik di rumahmu, mau tak mau kau akan berpikir dia petugas PLN. Itu teknik halus untuk mengelabui. Kalau pun ada orang memperkarakannya, dia bisa mudah berdalih, “Saya tidak mengatakan saya petugas PLN! Kalau Anda mengira saya petugas PLN, itu urusan Anda!”

Benar, dia tidak mengatakan dirinya petugas PLN. Tapi dia berpenampilan dan bersikap seperti petugas PLN, mengatakan dirinya “dari biro kelistrikan kantor saya”, lalu membicarakan listrik di rumah kita. Orang awam, atau yang tidak berpikir panjang, kemungkinan besar akan langsung mempersepsikan dia petugas PLN.

Lalu dia menawarkan alat seharga 1,5 juta rupiah. Ketika saya bilang mahal, dia berusaha menurunkan menjadi 1 juta rupiah, dengan syarat, “Anda datang ke kantor kami, dengan membawa KTP dan Kartu Keluarga.”

Itu saja sudah janggal, kan? Apa hubungan KTP dan KK dengan penurunan harga alat penghemat listrik? Mungkin akan lebih masuk akal, kalau misal dia mengatakan, “Anda bisa mendapatkan harga lebih murah, kalau datang ke kantor kami dengan membawa surat keterangan tidak mampu dari kelurahan.”

Dan kenapa dia menegaskan “harus datang ke kantor kami”? Itu persuasi untuk menunjukkan bahwa proses mendapatkan alat yang ia tawarkan tidak mudah. Karena saya harus pergi ke kantornya untuk mendapatkan alat tersebut, sehingga saya akan berpikir itu merepotkan.

Lalu, setelah saya tampak tidak terpengaruh untuk segera memiliki alat yang ditawarkannya, dia menggunakan teknik terakhir, yaitu menyatakan bahwa saya termasuk lima orang yang dipilih untuk mendapatkan alat itu secara gratis, dan hanya membayar pajaknya. Besarnya pajak hanya Rp249.900.

Benar-benar teknik closing yang hebat, pikir saya.

Mula-mula, dia berbicara tentang kenaikan biaya listrik yang membebani. Setelah saya sepakat dengannya tentang itu, dia menawarkan solusi—alat yang menurutnya dapat menghemat pemakaian listrik hingga 40 persen. Ketika saya mulai terlihat tertarik, dia menyebutkan harganya yang mahal (1,5 juta rupiah).

Saat saya bilang harga itu mahal sekali, dia menawarkan alternatif penurunan harga, asal saya mau datang ke kantornya dengan membawa KTP dan KK. Karena saya menilai itu ribet, dan saya terlihat tak tertarik, dia menawarkan solusi yang benar-benar hebat. Dia menawari saya untuk mendapatkan alat itu secara gratis, dan akan langsung dipasang saat itu juga, dan saya hanya membayar pajak yang tak seberapa.

Dengan mata yang masih kriyep-kriyep dan kesadaran yang belum utuh karena bangun tidur, bisa jadi saya akan manggut-manggut dengan tawarannya. Siapa yang tidak senang mendapatkan alat hebat—yang dapat menurunkan biaya listrik sampai 40 persen—secara gratis, dan hanya perlu membayar pajak yang tidak terlalu besar? Dengan teknik persuasi mantap, orang tadi benar-benar meyakinkan, dan saya nyaris tergiur. Tidak menutup kemungkinan, orang-orang lain juga tergiur dengan tawaran itu.

Untung, tadi saya merokok. Meski mungkin terdengar tidak berhubungan, merokok membantu saya berpikir lebih logis. Setidaknya, rasa mentol dari rokok yang menyengat lidah saya membantu membangunkan kesadaran, meski mata masih kripyep-kriyep. Dengan kesadaran yang lebih baik, saya bisa menganalisis tawaran yang saya hadapi dengan lebih baik, dan—bisa jadi—selamat dari penipuan.

Kenyataannya, sering ada orang-orang yang datang ke lingkungan saya, berpenampilan seperti petugas dari kantor anu, lalu menjelaskan hal-hal tertentu, yang ujung-ujungnya menawarkan barang. Mula-mula, mereka memasang harga yang tinggi, lalu diturunkan sedikit, sampai akhirnya mematok harga yang relatif terjangkau. Yang jelas, ujung-ujungnya, barang yang mereka jual sebenarnya bukan barang penting, yang tentu harganya memang tidak seberapa. Itu modus yang telah sering saya temui, melalui orang-orang yang pernah datang ke tempat saya tinggal.

Laki-laki tadi—yang datang ke rumah saya—mengatakan bahwa “bulan depan akan dilakukan pemasangan alat secara serentak”, seolah-olah menegaskan itu memang kebijakan dari PLN. Kenyataannya, sampai beberapa bulan hingga sekarang, tidak ada pemberitahuan pemasangan alat apa pun dari PLN.

Dan selama kami bercakap-cakap, bahkan sampai lama, dia sama sekali tidak menunjukkan alatnya, atau gambar alatnya, atau ilustrasi alatnya. Kalau alat yang dia tawarkan memang bagus, mestinya dia akan langsung menunjukkan, biar saya bisa melihat, bisa meraba, sehingga lebih mungkin untuk tertarik.

Yang saya kasihani dari hal semacam ini adalah orang-orang awam yang mudah dikelabui dengan teknik persuasi meyakinkan seperti tadi. Hanya karena mengira orang yang datang adalah petugas PLN, mereka pun merasa mau tak mau harus menerima tawaran yang diberikan, lalu memasang alat entah apa di rumahnya, dan terpaksa membayar mahal untuk sesuatu yang sebenarnya tidak jelas.

Dunia, akhir-akhir ini, sepertinya memang makin tidak jelas.

Mengejar Bayang-bayang

Ada yang pulang hari ini, ada yang datang tadi pagi.
Mungkin, akan ada yang tinggal malam nanti.
—Twitter, 6 September 2016

Yang ingin diingat kadang terlupa, yang ingin dilupakan kadang terus
terkenang. Mengejar bayang-bayang memang sungguh melelahkan.
—Twitter, 5 September 2016

Ada yang perlu diingat, ada yang perlu dilupa. Meski kita sering kesulitan
membedakan dan memisahkan keduanya. Seperti ingatan terlupa.
—Twitter, 5 September 2016

Ada yang perlu disentuh, ada yang cukup dipandangi dari jauh. Tidak
semua hal harus didekati untuk dikenali. Yang jauh kadang lebih utuh.
—Twitter, 5 September 2016

Ada yang perlu dimiliki, ada yang cukup dikagumi. Jika kita
melanggar hukum tak terlihat ini, luka dan lara dimulai.
—Twitter, 5 September 2016


*) Ditranskrip dari timeline @noffret.

Kinaryosih adalah Mbakyu

Barusan nonton Mendadak Dangdut untuk kesekian kali.
Jadi cekikikan sendiri. Titi Kamaaaaaaaaal, Titi Kamal.
—Twitter, 16 Maret 2016

Menyaksikan Titi Kamal menyanyi dangdut adalah peristiwa
yang hanya terjadi 7000 tahun sekali. Thank you, Rudi Soedjarwo.
—Twitter, 16 Maret 2016

Sejauh ini, film Indonesia kontemporer yang membuatku terkesan
cuma Mendadak Dangdut. Dan Kinaryosih adalah mbakyu.
—Twitter, 17 Agustus 2016


*) Ditranskrip dari timeline @noffret.

Kamis, 19 Oktober 2017

Anies Baswedan dan Soal Pribumi

Karena, pada akhirnya, mau tak mau, bagaimana pun caranya,
orang harus berhadapan dengan dirinya sendiri.
@noffret


Menulis catatan ini membuat saya merasa latah. Tapi bagaimana lagi? Otak saya gatal, dan saya butuh muncrat... dalam wujud kata-kata. Jadi, saya terpaksa menulis catatan ini. Kalau ada yang baca ya silakan, kalau tidak ada ya tidak apa-apa. Lagian tidak penting-penting amat.

Well, ribut-ribut soal pribumi yang berawal dari pidato Anies Baswedan kemarin, bisa dibilang lucu yang ironis. Setidaknya, menurut saya begitu. Lucu, karena reaksi yang timbul akibat satu kata bisa sedemikian besar dan sebegitu heboh, bahkan belakangan saya dengar Anies Baswedan sampai dilaporkan ke polisi gara-gara menyebut kata pribumi. Sumpah, bagi saya itu lucu.

Tapi juga ironis... karena, dalam hal ini, saya membayangkan Anies Baswedan—dan para pendukungnya yang sadar—mungkin agak bingung bagaimana menghadapi masalah yang “lucu” ini.

Ketika Anies Baswedan diributkan banyak orang hanya karena menyebut kata pribumi dalam pidatonya, keributan itu sebenarnya berlebihan. Wong isi pidato itu berlembar-lembar, dan di dalamnya hanya ada satu kata pribumi. Lebih dari itu, Anies Baswedan menyebut atau menggunakan kata pribumi tidak dalam maksud rasis, melainkan meletakkannya pada konteks zaman penjajahan.

Jadi, menurut pendukung Anies Baswedan, meributkan satu kata “pribumi” dari berlembar-lembar teks pidato sama artinya mencabut kata itu dari konteks. Jelas tidak adil. Anies Baswedan ngomong sampai berbusa-busa, lalu kita hanya menarik satu kata dari omongannya, kemudian meributkan sembari menyalah-nyalahkannya. Sangat tidak adil, dan tidak berpendidikan!

Saya setuju. Oh, well, sangat setuju.

Tetapi... bukankah hal itu pula yang terjadi pada Ahok, sekian waktu yang lalu?

Kalau-kalau kalian amnesia, mari saya ingatkan. Ahok ngomong panjang lebar, beramah-tamah dengan warga, membahas program-programnya sebagai pemimpin Jakarta, dan kebetulan dalam omongan yang panjang lebar itu terselip kata “Al-Maidah”. Dalam omongan Ahok, sebenarnya, kata Al-Maidah bukan hal substansial, karena substansi omongan Ahok waktu itu adalah program yang ia sampaikan pada warga.

Tapi apa yang terjadi kemudian? Kata “Al-Maidah” dicabut dari omongan Ahok yang panjang lebar, lalu dihakimi habis-habisan, tanpa peduli bahwa itu keluar konteks. Buntutnya bahkan sangat panjang. Muncul demo berjilid-jilid, sampai Buni Yani—yang dianggap biang kerok—harus berhadapan dengan pengadilan, sementara Ahok masuk penjara.

Lucu? Ironis? Mungkin.

Dan hal itulah yang sekarang saya lihat pada ribut-ribut “pribumi” yang diomongkan Anies Baswedan. Bedanya, tentu saja, Anies Baswedan hanya dihujani kritik, tanpa ada demo berjilid-jilid, dan—insya Allah—dia juga tidak masuk penjara.

Yang ingin saya tahu, apakah Anies Baswedan menyadari bahwa yang sekarang menimpanya adalah semacam karma—“hukuman setimpal atau serupa”? Atau, mari kita gunakan istilah yang lebih islami. Teguran. Apakah Anies Baswedan menyadari bahwa ribut-ribut-soal-pribumi semacam teguran untuknya?

Sampai detik ini, saya tetap tidak percaya Ahok menista agama. Kalian boleh beda pendapat, dan itu hak kalian. Ini negara demokrasi, dan berbeda pikiran adalah hal biasa, jadi tidak usah ribut!

Saya ulangi. Sampai detik ini, saya tetap tidak percaya Ahok menista agama. Alasannya sederhana, dan masuk akal. Pertama, karena saya menyaksikan pidato atau ocehan Ahok seutuhnya, dan saya tahu betul di mana konteks kata Al-Maidah yang disebut Ahok. Meski menontonnya berulang-ulang, saya tetap yakin bahwa Ahok tidak beritikad buruk atau bermaksud menista agama.

Kedua, jika kita memang ingin menilai Ahok secara minor, jauh lebih masuk akal untuk percaya bahwa Ahok hanya “keselip lidah”, daripada “menista agama”. Ingat, Ahok sadar dirinya minoritas, dan berharap tetap dipilih sebagai pemimpin. Dalam posisi semacam itu, mungkinkah dia akan menista agama mayoritas, yang ia harapkan menjadi pendukungnya?

Dua latar belakang itu saja, bagi saya, mementahkan tuduhan Ahok menista agama. Karenanya, saya begitu yakin bahwa Ahok sebenarnya tidak bersalah. Bahkan meski sekarang dia mendekam di penjara.

Yang ingin saya tahu... apakah Anies Baswedan juga menyadari kenyataan itu? Tentu saja ini pertanyaan sejuta dolar yang tak mungkin terjawab.

Tetapi saya yakin, masing-masing kita—setidaknya yang cukup waras—masih memiliki akal sehat, dan nurani untuk menyadari mana yang benar dan mana yang salah. Meski definisi benar dan salah kadang bisa berbeda versi.

Well, lupakan soal itu. Kita kembali saja pada soal pribumi yang diributkan.

Seperti yang dibilang tadi, istilah pribumi yang disebut Anies Baswedan sebenarnya tidak penting-penting amat, toh nyatanya ada tokoh atau pejabat lain yang juga menyebut-nyebut kata yang sama dalam ucapan atau pidato mereka. Lebih dari itu, Anies Baswedan juga sudah menjelaskan, bahwa kata pribumi yang ia sebut dalam pidato terkait konteks zaman penjajahan.

Jadi, bagi saya, masalah itu sudah selesai.

Tetapi, yang menarik di sini, masih banyak orang yang menganggap masalah itu belum selesai. Karenanya, seperti yang dibilang tadi, persoalan ini lucu sekaligus ironis. Lucu, karena sesuatu yang sebenarnya tidak penting-penting amat, terus dipersoalkan dan dibahas seolah sesuatu yang amat sangat penting. Dan ironis... karena ya itu tadi, saya teringat Ahok!

Sekarang, mari kita berpikir secara akademis.

Terkait istilah pribumi yang disebut Anies Baswedan dalam pidatonya, mungkinkah dia memang sengaja mengagungkan ras pribumi? Asumsikan saja bahwa yang disebut “pribumi” adalah orang-orang yang memiliki akar di Nusantara, semisal orang Jawa, orang Sumatra, orang Maluku, dan semacamnya. Dalam konteks itu, apakah Anies Baswedan termasuk pribumi?

Ingat, dia orang Arab, yang tentu tidak termasuk “pribumi” dalam konteks yang tadi kita asumsikan. Jadi, dalam hal ini, tidak mungkin kalau Anies Baswedan bermaksud mengagungkan suatu ras sambil merendahkan atau mengesampingkan ras lain. Karenanya, saya percaya pada penjelasan Anies Baswedan, bahwa istilah itu muncul dalam pidatonya, semata-mata terkait konteks zaman penjajahan. Anies Baswedan tidak bermaksud rasis.

Tapi orang-orang tidak peduli, eh? Meski sudah dijelaskan dengan gamblang, meski teks-teks pidatonya sudah disebar agar siapa pun bisa membaca dan tidak salah paham, orang-orang masih ribut... dan terus ribut. Belakangan, saya bahkan membaca berita di Media Indonesia, bahwa Anies Baswedan terancam pidana gara-gara ucapannya.

Oh, well, apakah kalian teringat sesuatu?

Noffret’s Note: Detik

Namanya DetikCom. Tapi mau buka satu halaman saja butuh waktu bermenit-menit. Mungkin lebih tepat kalau namanya MenitCom.

Mengakses DetikCom, waktuku bukan habis untuk membaca, tapi habis untuk menunggu waktu loading yang lambatnya ngujubilah.

DetikCom adalah situs terakhir yang membuatku berminat mengunjungi. Jika ada alternatif lain, aku akan pilih situs lain yang lebih nyaman.

DetikCom tahu cara meng-update berita dengan cepat, tapi mungkin tidak tahu bahwa loading yang lambat itu sangat... sangat menjengkelkan.


*) Ditranskrip dari timeline @noffret, 17 April 2017.
 
Minggu, 15 Oktober 2017

Yang Terempas dan Terluka

Populasi manusia yang tak terkendali, sebenarnya,
bukan hanya merusak bumi yang menjadi tempat tinggal,
tapi juga merusak manusia sendiri.
@noffret


Orang bisa tewas terbunuh, hanya karena tiga bungkus biskuit murah. Setidaknya, itulah yang dialami Bharat dan Mamta.

Bharat dan Mamta adalah pasangan suami istri yang tinggal di Manipuri, Negara Bagian Uttar Pradesh, India. Mereka punya tiga anak, dan hidup dalam kemiskinan. Pasangan Bharat dan Mamta bekerja sebagai buruh kasar untuk menghidupi anak-anak mereka, tapi nasib keluarga itu tampaknya selalu di ujung tanduk.

Kemiskinan kerap identik dengan kelaparan, dan kelaparan sering membuat orang nekad. Salah satunya nekad berutang. Itu pula yang terjadi pada Bharat dan Mamta. Suatu hari, karena perut yang lapar melilit, sementara tidak ada makanan dan tak punya uang untuk membeli makan, keduanya nekad mendatangi warung milik Mishra, yang tidak jauh dari rumah mereka.

Di warung milik Mishra, Bharat dan Mamta membeli tiga bungkus biskuit seharga 22 sen. Namun, karena belum punya uang, keduanya bermaksud berutang dulu. “Hari ini duit kami cair,” ujar Bharat pada Mishra, yang menjanjikan akan segera membayar utang biskuit tersebut.

Menghadapi hal itu, Mishra marah. Pasalnya, di hari sebelumnya, pasangan Bharat dan Mamta juga telah berutang biskuit di warung miliknya, untuk dimakan tiga anak mereka. Bharat dan Mamta juga menjanjikan hal serupa, untuk segera membayar utang tersebut, tapi nyatanya belum juga membayar. Alih-alih membayar, sekarang pasangan itu justru berutang lagi.

Jadi, waktu itu, ketika Bharat dan Mamta berutang biskuit dan menjanjikan hal yang sama, Mishra tak bisa mengendalikan emosi. Bagaimana pun, dia juga butuh modal agar warungnya bisa terus buka. Maka terjadilah cekcok di antara mereka. Mishra yang jengkel memaki pasangan Bharat dan Mamta, sementara suami istri yang kelaparan itu menuduh Mishra tak berperikemanusiaan.

Yang jelas, meski telah adu mulut dengan si pemilik warung, Bharat dan Mamta tetap membawa biskuit yang mereka ambil. Bagaimana pun, mereka butuh mengganjal perut yang kelaparan. Jika untuk itu mereka harus ribut dengan pemilik warung, mungkin mereka pikir itu sepadan dengan perut yang bisa kenyang sejenak. Tapi ulah keduanya—tetap membawa biskuit dari warung—menjadikan Mishra makin panas. Dia sudah meneriaki Bharat dan Mamta agar mengembalikan biskuit yang mereka ambil, tapi teriakannya tak dipedulikan.

Disulut amarah, dan mungkin juga frustrasi karena banyak pelanggan yang berutang, Mishra akhirnya nekad. Dia mengambil kapak di rumahnya, lalu mendatangi rumah pasangan Bharat dan Mamta. Dengan kapak pula, Mishra menyerang Bharat dan Mamta hingga keduanya tewas dengan kepala terpenggal.

Orang bisa kehilangan nyawa, hanya karena tiga bungkus biskuit, yang harganya cuma 22 sen. Berlebihan? Mungkin. Manusia mulai kehilangan nurani? Juga mungkin. Tetapi selalu ada sebab di balik akibat. Sebagaimana orang terbunuh hanya karena ingin berutang biskuit di warung sebelah rumah. Jadi, mari kita coba urai akar penyebabnya.

Mengapa Mishra, si pemilik warung, sampai membunuh Bharat dan Mamta? Mungkin karena Mishra sangat jengkel, akibat Bharat dan Mamta berutang, berjanji untuk segera membayar, tapi tidak ditepati, lalu berutang lagi. Bagaimana pun, Mishra juga perlu pemasukan dari penjualan, agar warungnya dapat terus berjalan. Kalau banyak pembeli yang berutang tapi tidak juga membayar, warungnya bisa tutup, usahanya bisa bangkrut.

Mungkin pula, di hari naas itu, Mishra sedang sangat pusing memikirkan warungnya yang kian sepi, atau memikirkan masalah keluarga yang membuatnya stres dan frustrasi. Sudah begitu, Bharat dan Mamta datang untuk berutang, padahal kemarin sudah berutang dan belum juga membayar. Tumpukan beban pikiran itu mungkin membuat Mishra gelap mata. Percekcokan dengan pasangan Bharat dan Mamta mengobarkan amarahnya, hingga ia nekad mendatangi pasangan suami istri itu, dan membunuh mereka.

Lalu mengapa Bharat dan Mamta sampai tak tahu malu membawa biskuit dari warung Mishra, padahal mereka telah cekcok dengan Mishra, bahkan si pemilik warung berteriak agar mereka mengembalikan biskuit yang diambil? Kemungkinan besar, jawabannya, karena kelaparan.

Agak sulit menjelaskan bagaimana rasanya kelaparan, kepada orang-orang yang biasa merasakan perut kenyang. Yang jelas, kalau kau pernah tidak makan berhari-hari karena tidak ada yang dimakan, dan tidak punya uang untuk membeli makanan, kau akan merasakan perut begitu hampa, sekaligus seperti diperas-peras. Kemampuan tubuh dan panca indramu berkurang, dan kau akan merasakan tubuh melemah sekaligus kepala berat, dan pikiran kosong. Ketika merasakan kondisi semacam itu, yang ada dalam bayanganmu cuma makan... makanan.... makan... makanan.

Kondisi semacam itu pula yang mungkin dialami pasangan Bharat dan Mamta, hingga mereka nekad berutang dan membawa biskuit dari warung Mishra, meski telah diteriaki agar mengembalikan biskuit tersebut. Bharat dan Mamta pasti sudah sangat kelaparan, dan ingin memakan apa pun yang bisa dimakan, demi mengembalikan kewarasan, demi tubuhnya bisa diajak bekerja.

Tapi rupanya mereka datang ke warung Mishra di waktu yang salah, ketika si pemilik warung sedang terbebani masalahnya sendiri. Jadi, itulah yang kemudian terjadi. Perilaku Bharat dan Mamta menyulut api kemarahan Mishra, hingga nasib mengerikan menimpa ketiganya. Pasangan Bharat dan Mamta tewas terbunuh, sementara Mishra ditangkap kepolisian India, dan kini mendekam di penjara.

Sia-sia.

Kalau dipikir-pikir, semua yang terjadi itu sia-sia. Tapi tentu mereka semua tidak sempat berpikir panjang ketika melakukan yang mereka lakukan. Semuanya telah gelap mata. Pasangan Bharat dan Mamta hanya ingin makan akibat kelaparan, sementara Mishra hanya ingin melampiaskan kemarahan karena stres dan frustrasi menghadapi keadaan. Ketiganya menemui akhir yang tidak mengenakkan.

Tetapi, ada pihak yang paling menderita dari kasus tersebut. Bukan pasangan Bharat dan Mamta. Bagaimana pun, mereka sudah mati, dan nasib mereka selesai. Juga bukan Mishra. Bagaimana pun, dia sudah dewasa, dan bisa mempertanggungjawabkan perbuatannya. Pihak paling menderita dari kasus itu adalah tiga anak pasangan Bharat dan Mamta. Merekalah yang paling menanggung akibatnya.

Tiga anak pasangan Bharat dan Mamta masih kecil-kecil. Karena itu pula, mereka belum bisa membantu orang tua bekerja. Dan anak-anak kecil itu, yang hidup di bawah garis kemiskinan, yang diberi makan biskuit dari hasil utang, kini ditinggal mati orang tuanya. Apa salah mereka, sampai harus menghadapi kenyataan sepahit itu? Dan, lebih lagi, apa salah mereka, sampai harus dilahirkan hanya untuk menghadapi kenyataan semacam itu?

Setiap kali ada pasangan menikah tanpa persiapan, setiap kali pula akan jatuh korban. Setiap kali ada pasangan membangun keluarga tanpa kesadaran, setiap kali pula akan jatuh korban. Bukan pasangan yang menikah itu yang menjadi korban, tapi anak-anak yang kemudian mereka lahirkan. Itulah korban sesungguhnya dari perkawinan tanpa persiapan, dari keluarga yang dibangun tanpa persiapan. Anak-anaklah korban sesungguhnya dari perkawinan tanpa persiapan dan kesadaran yang dilakukan orang tuanya.

Ketika seorang lelaki menikah dengan seorang wanita, mereka sama-sama sudah dewasa. Setidaknya, mereka sudah bisa bertanggung jawab pada perbuatan yang mereka lakukan, yakni menikah. Fakta mereka tahu pernikahan, artinya mereka sudah cukup dewasa untuk bertanggung jawab. Dan karena sudah dewasa pula, mereka juga memiliki hak untuk memilih, yaitu memilih menikah. Tetapi... bagaimana dengan anak-anak yang akan mereka lahirkan?

Di dunia ini ada jutaan anak yang dilahirkan hanya untuk menghadapi kenyataan pahit, meratapi tangis, memendam luka diam-diam, terbuang dalam empasan nasib, dan terluka, terluka, terluka... Anak-anak yang dilahirkan tanpa kesadaran, anak-anak yang dilahirkan tanpa kesiapan, anak-anak yang dilahirkan hanya agar orang tuanya dianggap “pantas dan tak berbeda” dengan lingkungan.

Dosa apa anak-anak itu, hingga mereka harus dilahirkan hanya untuk menghadapi kepahitan dan penderitaan? Salah apa anak-anak itu, sampai orang tuanya tega melahirkan mereka hanya untuk disiksa dalam luka dan lara?

Anak-anak itu tidak minta dilahirkan. Tapi mereka dilahirkan hanya untuk menghadapi nasib, takdir yang pahit, hidup yang penuh derita, perut yang kelaparan, dan masa depan yang suram. Demi Tuhan, apa salah dan dosa anak-anak itu, hingga kita merenggut mereka dari kedamaian, hanya untuk dilukai di dunia yang gila?

Orang-orang mengatakan, menikah akan membuatmu bahagia, dan anak-anak akan melancarkan rezeki. Mungkin teori itu relevan, jika diterapkan sekian abad yang lalu, ketika jumlah manusia masih sedikit, dan bumi masih kaya-raya. Tapi kita tidak bisa menggunakan apalagi memaksakan teori usang yang sudah kedaluwarsa. Karena zaman sudah berubah, dunia sudah berubah. Teori yang mungkin benar sekian abad lalu, belum tentu benar pula untuk saat ini.

Jika memang orang menikah lalu bahagia, dan memiliki anak-anak akan melancarkan rezeki, lalu bagaimana dengan Bharat dan Mamta? Atau, tidak usah jauh-jauh, bagaimana dengan kawan-kawan kita, atau tetangga-tetangga kita, atau bahkan famili-famili kita, yang menjalani kehidupan menyedihkan, miskin dan berkekurangan, padahal mereka menikah dan punya anak-anak?

Jika memang pernikahan dan kepemilikan anak-anak akan membuat orang bahagia serta lancar rezeki, mestinya tidak ada perceraian, tidak ada keluarga berkekurangan, tidak ada rumah tangga berantakan, tidak ada anak-anak yang terempas di jalanan dan kelaparan.

Sudah melihat masalah di sini? Teori sudah tidak sesuai realitas.

Jika teori tidak sesuai realitas, artinya ada yang salah! Dan karena kita tidak bisa meralat realitas, maka teorilah yang seharusnya diralat! Bukan malah terus digunakan dan dipaksakan!

Orang bisa membangun teori dengan berdasar pada realitas. Dan teori itu pun akan relevan. Kapan? Ketika teori itu dibangun! Ketika realitas yang menjadi pijakan teori mulai berubah, maka teori sudah tidak lagi relevan, dan juga harus diubah. Yang menjadi masalah, ada jutaan orang yang terus percaya pada teori usang, bahkan memaksakannya pada orang-orang lain untuk ikut menggunakan. Akibatnya, korban terus berjatuhan. Karena tertipu, karena tidak tahu.

Teori harus sesuai realitas. Karena, jika tidak, teori itu bermasalah. Jika kita mempercayai dan mempraktikkan teori yang bermasalah, hasilnya pun masalah. Jangankan teori yang sudah jelas bermasalah, bahkan teori yang telah teruji kebenarannya pun tetap memiliki kemungkinan untuk salah. Apalagi yang jelas-jelas salah.

“Banyak anak banyak rezeki”, itu teori. Di masa lalu, teori itu mungkin benar, sehingga digunakan dan dipercaya, bahkan disebarkan untuk memotivasi orang-orang di mana pun agar tidak ragu punya anak.

Di masa lalu, keberadaan banyak anak bisa dibilang tidak terlalu masalah, karena nyatanya populasi penduduk masih sedikit, mencari pekerjaan dan penghidupan relatif mudah, tanah lapang masih tersedia di mana-mana, sawah ladang masih dimiliki banyak orang, biaya hidup masih rendah, sistem kekerabatan masih sangat dekat dan erat, sehingga banyak anak tidak mendatangkan beban terlalu berat.

Tetapi, sekarang, zaman sudah jauh berubah. Populasi penduduk sudah sangat tinggi, lapangan kerja makin sempit, pekerjaan yang tersedia makin sedikit, tanah-tanah terus menyempit karena sawah dan ladang diubah menjadi hunian, biaya hidup sangat mahal, sementara keluarga dan kerabat saling jauh terpisah karena urbanisasi dan globalisasi. Di masa kini, memiliki banyak anak jelas akan menambah beban, khususnya jika kita tidak memiliki persiapan dan kemampuan yang benar.

Karenanya, teori untuk suatu zaman hanya benar ketika teori itu dibangun pada zamannya. Tetapi, ketika zaman yang menjadi pijakan teori telah berubah, maka teori juga harus berubah. Sebagaimana makanan kedaluwarsa bisa membuat keracunan, menerapkan teori yang usang bisa mendatangkan masalah berkepanjangan. Seperti yang dialami Bharat dan Mamta di India, atau seperti yang dialami orang-orang di sekeliling kita.

Mungkin mereka percaya banyak anak banyak rezeki, sehingga tidak khawatir punya anak-anak. Lalu anak-anak dilahirkan, dan terus dilahirkan. Ketika anak-anak itu telah terwujud menjadi tanggung jawab, mereka mulai kebingungan. Dari kebingungan memberi makan, sampai kebingungan menyiapkan pendidikan dan masa depan. Karena mencari uang makin sulit, lapangan kerja terus menyempit, sementara biaya hidup semakin mahal, dan anak-anak itu terus tumbuh.

Akibatnya adalah yang kita saksikan sekarang, di mana-mana. Di India, di Indonesia, atau di mana pun. Anak-anak yang seharusnya tumbuh ceria justru menghadapi realitas pahit. Anak-anak yang seharusnya bermain justru harus memeras keringat untuk bekerja. Anak-anak yang seharusnya gembira justru harus menanggung beban hidup yang berat. Anak-anak yang seharusnya menerbitkan senyum bagi dunia tapi justru terempas dalam luka... dan luka.

Anak-anak malang itu adalah korban teori usang yang masih terus dipercaya, bahkan terus didoktrinkan. Sampai kapan...?

Awal Masalah Dunia

Pretty Bunuh Anaknya Sendiri Diduga karena Depresi
Ditinggal Suami. http://kom.ps/AFvu1H
@kompascom

Yang kawin orangtuanya, yang menjadi korban anaknya. Dan orang-orang
masih terus melahirkan anak-anak untuk dikorbankan demi ego mereka.
@noffret


Masalah dunia diawali oleh masalah rumah tangga. Dan masalah rumah tangga diawali bangsat-bangsat kurang mikir tapi buru-buru kawin.

Orang yang berpikir menggunakan selangkangannya (dan bukan akal pikirannya) seharusnya dilarang menikah, karena merekalah awal petaka dunia.

Kekacauan dunia dan rusaknya umat manusia diawali oleh bangsat-bangsat pemuja selangkangan yang buru-buru kawin, lalu mengumbar kebohongan.

Bangsat-bangsat itu menyesal telah kawin buru-buru. Bukannya jujur mengakui, tapi malah berusaha menyesatkan orang-orang lain yang tak tahu.

Banyak pasangan yang sengaja punya anak, agar punya kesibukan akibat sudah sangat bosan dengan pasangannya, tapi tak tahu harus berbuat apa.

Di antara jutaan anak telantar dan teraniaya di dunia, sebagian dari mereka adalah hasil kebosanan, kebodohan, dan kebangsatan orangtuanya.


*) Ditranskrip dari timeline @noffret, 15 Januari 2016.

SDM adalah Huruf

Tak bisa lebih setuju lagi.

Selasa, 10 Oktober 2017

Pusing Gara-gara Twitter

Twitter ini apaan? Dari dulu ribut mau nambah karakter,
tapi nyatanya sampai sekarang tetap seuprit 140 karakter.
@noffret


Sejak dulu saya prihatin, atas keterbatasan jumlah karakter yang disediakan Twitter untuk ngoceh. Hanya 140 karakter. Dengan jumlah seuprit itu, orang harus berusaha menyampaikan maksudnya dengan jelas, gamblang, dan—sebisa mungkin—tidak disalahpahami, atau tidak membuat orang lain salah paham pada maksud tweet kita. Itu, jujur saja, sesuatu yang sulit. Setidaknya bagi saya.

Persoalannya, saya sudah beberapa kali mendapati orang salah paham atas beberapa kalimat yang saya tulis di Twitter. Saya memaksudkan A, ternyata ada orang yang menafsirkannya B, lalu salah paham.

Kadang saya mikir sendiri. Apa saya memang terlalu tolol dalam menulis kalimat yang pendek, ataukah orang lain yang terlalu tolol dalam memahami maksud saya, hingga mereka salah paham.

Salah satu contoh, terjadi baru-baru ini.

Pada 23 September 2017, saya menulis kalimat (tweet) di Twitter, berbunyi, “Kalau ingin ngecek suatu lagu benar-benar enak atau tidak, ngeceknya jangan di YouTube, dunk. Tapi dengarkan rekaman musik aslinya.”

Tiga hari setelah saya menulis tweet itu, ada orang kirim e-mail yang isinya panjang sekali. Isi e-mail itu mempertanyakan tweet saya, sekaligus menjelaskan panjang lebar tentang pentingnya file-sharing di internet, tentang komoditas musik, sampai tentang isu kapitalisme industri rekaman. Lebih lanjut, si pengirim e-mail juga mempertanyakan saya, yang kadang juga mengunggah video dari YouTube di akun Twitter.

Saya senyum-senyum campur jengkel selama membaca e-mail yang panjang itu. Senyum-senyum, karena menyadari bahwa orang itu—si pengirim e-mail—sama sekali tidak paham maksud tweet saya. Dan jengkel, karena dia tidak paham tapi langsung menghakimi. Omong-omong, saya tidak suka istilah men-judge atau menge-judge! Apa itu menge-judge?

Well, mari saya jelaskan.

Saya sengaja menjelaskan persoalan ini di sini, karena siapa tahu ada orang-orang lain yang sama tidak paham dengan maksud tweet saya di atas, dan sama-sama berpikir seperti si pengirim e-mail. Wong saya bermaksud A, tapi dipahami Y.

Pertama, perhatikan kalimat tweet saya seutuhnya. Pelototi tweet berikut ini dengan jelas, kata per kata:

“Kalau ingin ngecek suatu lagu benar-benar enak atau tidak, ngeceknya jangan di YouTube, dunk. Tapi dengarkan rekaman musik aslinya.”

Perhatikan kalimat awal. “Kalau ingin ngecek suatu lagu benar-benar enak atau tidak.”

Saya tidak menyatakan, “Kalau ingin mendengar suatu lagu.” Yang saya katakan, “Kalau ingin ngecek suatu lagu.”

Kata yang menjadi kunci penting dalam tweet tersebut adalah “ngecek” (maksudnya “mengecek”). Mengecek artinya memeriksa atau meneliti. Saya ulangi, mengecek artinya memeriksa atau meneliti, BUKAN sekadar mendengar.

Di dunia musik, ada perbedaan substansial antara “mendengarkan” dan “sekadar mendengar”. Yang dimaksud “mendengarkan” adalah mendengarkan suatu lagu/musik seutuhnya, biasanya untuk menilai kualitas sekaligus kompleksitas suatu musik. Sedangkan “sekadar mendengar”, artinya hanya sekadar mendengarkan. Cukup setel musik, dengarkan, sudah.

Jika kita mendengarkan suatu lagu/musik melalui CD original, lagu/musik yang kita dengarkan benar-benar utuh dan sempurna, sebagaimana ketika lagu itu diproduksi. Semua suara instrumen musik yang terlibat dalam lagu akan terdengar, bahkan yang paling lirih sekali pun. Karena itu pula, file musik di dalam CD original biasanya berukuran besar, karena memang menampung “dokumen” besar.

Bagaimana dengan MP3? Umumnya, MP3 adalah hasil konversi dari file asli. Ketika konversi dilakukan—yang tujuannya memperkecil ukuran file—mau tak mau terjadi distorsi terhadap musik yang dikonversi. Jika file aslinya memiliki kapasitas 12 MB, misalnya, konversi ke MP3 bisa menurunkannya menjadi hanya 4 MB. Ke mana yang 8 MB? Hilang, karena adanya distorsi. Karena distorsi terjadi, artinya ada bagian musik yang hilang. Terlepas kita sadar atau tidak.

Lalu bagaimana dengan YouTube? Sebenarnya sama saja, meski kadang ada pengecualian.

Di YouTube, ada video-video original dengan kualitas musik dan vokal yang utuh, sebagaimana rekaman asli. Biasanya, video-video semacam itu diunggah oleh produsen musik bersangkutan, atau—dengan kata lain—resmi, sebagaimana CD original. Mendengarkan video semacam itu, apalagi jika speaker yang kita gunakan juga berkualitas, hasilnya memang sempurna.

Tetapi, di YouTube juga banyak video abal-abal, dengan kualitas suara yang sangat menyedihkan, yang menyuguhkan musik seperti radio rusak!

Ada banyak video semacam itu di YouTube. Cirinya bisa ditandai dengan mudah, yaitu ketidaksinkronan antara suara yang terdengar, dengan video yang kita lihat. Biasanya, orang membuat video abal-abal semacam itu dengan teknik mudah. Yaitu mengubah audio—entah dari media apa pun—dan menjadikannya video, yang kemudian diunggah ke YouTube. Jika kita mendengarkan suatu lagu/musik dari video semacam itu, hasilnya jelas. Ancur!

Lagu atau musik sebagus apa pun, hasilnya benar-benar jelek ketika didengar dengan cara semacam itu.

So, itulah yang saya maksudkan dalam tweet, “Kalau ingin ngecek suatu lagu benar-benar enak atau tidak, ngeceknya jangan di YouTube, dunk. Tapi dengarkan rekaman musik aslinya.”

Maksud saya dalam tweet itu, kalau kita ingin mengecek—sekali lagi, mengecek—suatu lagu di YouTube, dan kebetulan video yang kita lihat bukan video resmi, hasilnya pasti buruk. Itu jelas cara yang tidak adil dalam menilai kualitas suatu lagu atau musik. Karena sarana atau media yang kita gunakan tidak memadai.

Cara terbaik untuk mengecek—sekali lagi, mengecek—suatu lagu benar-benar bagus atau tidak, lakukan dengan mendengarkan rekaman musik aslinya. Yang saya maksud adalah lewat CD atau saluran lain yang dirilis resmi. Dengan cara itu, musik yang kita dengar benar-benar utuh dan sempurna, sehingga penilaian kita lebih objektif, tanpa distorsi.

Sebagai contoh, saya punya CD berisi lagu-lagu soundtrack film Hameshaa. Salah satu lagu dalam CD itu berjudul “Aisa Milan Kal Ho Na Ho” (dinyanyikan oleh duet Kumar Sanu dan Alka Yagnik). Saat didengar lewat CD, lagu itu sangat indah. Setiap denting dalam musik—selirih dan sesamar apa pun—terdengar, dan telinga saya benar-benar dimanjakan. Lagu itu, beserta musik yang mengiringi, sangat bagus.

Tetapi, ketika saya cek di YouTube, hasilnya berbalik seratus delapan puluh derajat!

Di YouTube, memang ada video yang menampilkan lagu “Aisa Milan Kal Ho Na Ho”, bahkan memvisualkan adegan Saif Ali Khan dan Kajol—yang lipsinc lagu tersebut—sebagaimana yang terdapat dalam film. Tetapi, kualitas suaranya... ya ampun, benar-benar buruk. Saat mendengar lagu itu di YouTube, saya merasa sedang mendengar siaran radio AM yang kresek-kresek tidak jelas!

Saat didengar lewat CD, “Aisa Milan Kal Ho Na Ho” sangat indah. Tapi saat didengar di YouTube, lagu yang indah itu bisa sangat menyakiti telinga, karena kualitas suaranya yang sangat... sangat buruk!

Sudah paham yang saya maksudkan?

Jadi, ketika saya menulis tweet tentang mengecek lagu jangan di YouTube, yang saya maksudkan memang mengecek lagu. Saya tidak sedang mempersoalkan file sharing, komoditas musik, apalagi sampai kapitalisme industri rekaman. Yang saya maksudkan—dalam tweet tersebut—semata-mata mengecek kualitas musik!

“Kalau ingin ngecek suatu lagu benar-benar enak atau tidak, ngeceknya jangan di YouTube, dunk. Tapi dengarkan rekaman musik aslinya.”

Di Twitter, saya memang kadang mengunggah video dari YouTube ke akun Twitter. Biasanya, saya baru menemukan lagu asyik di YouTube, lalu ingin membagikannya ke follower di Twitter, siapa tahu mereka juga suka. Dalam hal itu, maksud dan tujuan saya bukan “mengecek kualitas musik”, melainkan “sekadar berbagi kesenangan”. Itu dua hal yang sangat berbeda. Yang satu membutuhkan keseriusan, yang satu lagi hanya untuk bersenang-senang.

Omong-omong, salah satu album Iwan Fals yang sangat saya suka adalah “1991”. Dalam album itu, Iwan Fals menggunakan instrumen musik yang sangat kompleks, termasuk melibatkan senterewe hingga klenengan sapi.

Ketika musik yang sangat kompleks semacam itu dikonversi ke—misalnya—MP3, suara senterewe dan klenengan sapi akan hilang, karena dianggap tidak “substansial”. Hasilnya, telinga kita mendengarkan suara musik yang tidak lagi utuh.

Apa itu senterewe dan klenengan sapi? Saya tidak akan menjelaskan. Saya hanya bisa menyarankan, dengarkan album itu di CD original!


PS:
Terkait YouTube, file sharing, hingga persoalan kapitalisme di industri rekaman, saya bisa menyarankan kalian untuk membaca catatan yang tayang di situs Mojok.Co: File Sharing, Profit, dan Pembajakan: Ode untuk Artem Vaulin. Tulisan itu bisa menjadi pelengkap sekaligus pembanding catatan saya di sini.

Memendam Rasa

Mbak, bolehkah adek memendam rasa?

....
....

Entah kenapa, menulis catatan ini membuatku deg-degan dan cekikikan sendiri.

Predestination, Lucy, dan The Island

Selalu tertegun, setiap kali ingat film Predestination. Sampai sekarang. Yang bikin ide film itu benar-benar sinting tapi mengagumkan.

Ada tiga film yang sering menghantui pikiranku, sejak pertama kali menontonnya. Predestination, Lucy, dan The Island.

Predestination, Lucy dan The Island sangat merangsang pikiran penonton untuk berpikir, "Bagaimana jika..." Aku sering tergoda memikirkannya.

Lucy, dalam pikiranku, adalah penerjemahan sineas Hollywood terhadap ajaran Syeh Siti Jenar.

Manusia-manusia buatan dalam The Island sungguh menggelisahkan, karena, kalau dipikir-pikir, kehidupan mereka (sebenarnya) mirip kita.

Di The Island, manusia tumbuh dengan doktrinasi keliru, menjalani hidup dengan keyakinan keliru, dan berharap bisa pergi ke Pulau Indah.


*) Ditranskrip dari timeline @noffret, 7 Agustus 2017.
 
Kamis, 05 Oktober 2017

Lahir dari Hati

Apa pun yang disentuh dengan hati memang memiliki efek magis.
Lukisan, sinema, musik, kata-kata, senyuman...
@noffret 


Dewa Budjana, gitaris terkenal Indonesia, pernah menyatakan bahwa “di dalam setiap gitar terdapat khadam”. Saya pikir, itu cara dia dalam menghormati gitar, sesuatu yang sangat dekat dengan diri dan kehidupannya. Para “dewa”—dalam bidang apa pun—memang memiliki semacam ikatan batin dengan pekerjaannya, atau hal-hal yang terkait pekerjaannya. Seperti Dewa Budjana dan gitar.

Kita mungkin kerap melihat gitaris-gitaris hebat memainkan gitar mereka, hingga orang-orang terpukau. Umpamakan saja kita melihat Dewa Budjana memetik gitar, dan menghasilkan melodi yang sangat indah, hingga kita terpesona. Cobalah pinjam gitar tersebut, dan cobalah ulangi melodi yang tadi dimainkan Dewa Budjana. Mungkin kita bisa menghasilkan melodi yang sama. Tapi apakah hasilnya seindah yang dihasilkan Dewa Budjana? Kemungkinan besar tidak!

Padahal, kita menggunakan gitar sama yang juga digunakan Dewa Budjana, dan kita menguasai notasi musik untuk menghasilkan melodi yang sama. Apa yang membedakan di sini, hingga melodi yang kita hasilkan tidak sebagus atau seindah yang dihasilkan Dewa Budjana?

Setidaknya ada dua hal yang membedakan kita dengan para “dewa”. Pertama, skill. Kedua, hati. Seseorang disebut “dewa” di bidangnya, jika memiliki dua hal itu. Skill atau kemampuan yang hebat, dan hati yang digunakan untuk bekerja atau menghasilkan karya.

Di jalanan New York, pernah ada pengamen yang memainkan musik dengan gitar listrik. Di suatu siang yang cukup adem, dia memainkan “Brothers”, salah satu musik karya Yngwie Malmsteen yang sangat melodius. Secara skill, pengamen itu bisa dibilang hebat, karena musik yang ia hasilkan dengan gitarnya nyaris mirip musik yang dihasilkan Yngwie Malmsteen. Tetapi, orang-orang yang berlalu lalang di sana terlihat cuek, tidak terlalu memperhatikan, meski sebagian mereka meninggalkan uang untuk si pengamen.

Kebetulan, waktu itu, Yngwie Malmsteen baru keluar dari sebuah toko, dan mungkin tergelitik karena mendengar musiknya sedang dimainkan pengamen jalanan. Dia mendekati pengamen tersebut, dan menyapa ramah. Mereka bercakap sesaat, kemudian Yngwie Malmsteen meminjam gitar listrik si pengamen. Yngwie Malmsteen duduk di samping si pengamen, mulai memainkan gitar, dan “keajaiban” terjadi.

Di tangan Yngwie Malmsteen, gitar yang tadi digunakan si pengamen bisa menghasilkan melodi yang sangat indah dan membius. Sebegitu membius, hingga orang-orang yang berlalu lalang di sana seperti dipaksa untuk berhenti dan menyaksikan. Dalam waktu singkat, sudut jalanan New York yang semula sepi berubah seperti arena konser.

Waktu itu, Yngwie Malmsteen juga memainkan “Brothers”—musik sama yang tadi dimainkan si pengamen. Tetapi, entah bagaimana caranya, musik yang dihasilkan Yngwie Malmsteen jauh lebih indah dan lebih membius.

Apa yang membedakan di sini? Jawabannya itu tadi, skill dan hati.

Tentu tidak adil membandingkan skill seorang pengamen jalanan dengan skill seorang maestro gitar. Tapi ada hal besar yang terjadi sini, yaitu kemampuan sang maestro memasukkan hatinya ke dalam petikan gitarnya! Itulah yang membedakan orang biasa dengan para “dewa”. Hati!

Orang-orang awam—atau orang yang sinis—mungkin bisa mengatakan, Yngwie Malmsteen atau para gitaris hebat lain bisa menghasilkan melodi yang sangat indah, karena mereka menggunakan gitar yang luar biasa mahal. Tapi kenyataan di jalanan New York mementahkan tuduhan itu. Meski bermain dengan gitar milik pengamen jalanan, seorang maestro tetap maestro!

Sebaliknya, meski kita meminjam gitar milik Yngwie Malmsteen—atau milik Steve Vai atau milik Joe Satriani atau milik Jimi Hendrix sekali pun—tetap saja kita belum tentu mampu menghasilkan musik seperti mereka. Bagaimana pun, ada jurang mendalam yang membedakan kita dengan mereka. Yaitu skill, dan hati. Kemampuan kita, khususnya dalam urusan gitar, jelas di bawah mereka. Sementara hati kita bisa jadi ada di tempat lain.

Well, gitar hanya contoh, atau ilustrasi. Betapa sesuatu yang mungkin biasa ketika di tangan orang biasa, bisa berubah menjadi luar biasa ketika berada di tangan seorang maestro.

Ada kalanya, kemampuan-kemampuan yang mengagumkan memang lahir dari bakat. Dalam arti, seseorang memang dikaruniai “gen alami” untuk memiliki suatu kemampuan, yang kemudian menjadikannya seorang maestro. Seperti Dewa Budjana, atau Yngwie Malmsteen. Bisa jadi, mereka memang memiliki bakat sebagai gitaris, dan mereka tumbuh dengan mengembangkan bakat yang dimiliki—bertahun-tahun tanpa henti—hingga menjadi “dewa” di bidangnya.

Tetapi, tentu di antara banyak “dewa” di berbagai bidang, ada pula yang memiliki kemampuannya semata-mata karena usaha dan upaya. Karena, bagaimana pun, setiap kemampuan atau keterampilan selalu bisa dipelajari. Bahkan yang paling sulit sekali pun.

Siapa pun bisa belajar bemain gitar—ada banyak buku panduan tentang itu kalau mau otodidak, dan ada banyak guru atau tempat kursus kalau ingin belajar lebih mendalam. Artinya, siapa pun bisa menjadi gitaris profesional. Itu tak jauh beda dengan kemampuan lain, dari menjadi pelukis, penyanyi, penulis, penari, dan lain-lain. Semuanya bisa dipelajari, dan siapa pun bisa menguasai kemampuan yang diinginkan.

Dengan kata lain, kemampuan bisa dilatih. Dan siapa pun bisa melakukan. Saat sampai di titik itulah, seorang maestro akan terlihat di antara banyak orang biasa. Sama-sama punya kemampuan, sama-sama menggunakan media serupa, tapi seorang maestro bekerja dan menghasilkan karya dengan hati.

Sekali lagi, hati!

Selalu itu yang membedakan seorang maestro dengan orang-orang biasa.

Ada banyak orang bisa menyanyi, tapi kita selalu tahu mana yang bernyanyi dengan hati, dan mana yang menyanyi sekadar menyanyi. Di televisi, dalam acara-acara pencarian bakat, kita pasti sering menjumpai peserta yang mampu menyanyi dengan indah, hingga hati kita bergetar saat menyaksikan dan mendengar suaranya. Padahal kita tidak kenal sang penyanyi, karena bisa jadi dia orang biasa yang baru muncul di televisi. Kita baru melihatnya, tapi langsung terbius dengan kemampuan dan caranya bernyanyi. Tidak bisa tidak, dia pasti menyanyi dengan hati.

Untuk menjadi profesional, kemampuan jelas penting. Tapi hati yang membalut kemampuan, itulah yang membuat hati orang lain bergetar.

Well, salah satu buku mengesankan yang pernah saya baca, adalah memoar Sidney Sheldon, “The Other Side of Me”. Berbeda dengan novel-novelnya, buku itu merupakan memoar kehidupan Sidney Sheldon, sebagai pribadi, juga sebagai penulis. Dia menceritakan kisah kehidupannya, sejak kecil, saat tumbuh remaja dan dewasa, karirnya di dunia perfilman, pernikahannya, keluarganya, hingga perjalanannya menjadi penulis novel yang mengantarkan namanya dikenal dunia.

Selama membaca buku itu, saya terus menerus tersenyum dan menangis. Novel-novel Sidney Sheldon, bagi saya, sangat hebat. Tapi memoar kehidupan sang pengarang, jauh lebih hebat. Ketika membaca memoar tersebut, saya tidak ingin selesai, karena sangat menikmati cerita yang dikisahkannya, meski terus menerus tersenyum dan menangis. Saat akhirnya selesai membaca seutuhnya, saya merasa telah mendapat pengalaman yang sangat berharga.

Bagaimana bisa sebuah buku mampu membuat pembacanya tersenyum dan menangis, padahal kita sama sekali tidak kenal si penulis? Karena buku itu ditulis dengan hati!

Ada banyak buku, ada banyak tulisan, ada banyak cerita, tapi hanya yang ditulis dengan hati yang mampu menggetarkan hati pembaca.

Karena gitar hanya alat bagi musisi, sebagaimana kuas bagi pelukis, dan pena bagi penulis. Kemampuan memungkinkan siapa pun memanfaatkan alat-alat itu untuk menghasilkan karya—musik, lukisan, tulisan—tapi hanya yang dihasilkan dari hati yang selalu menggetarkan.

Dilema Bocah

Kau begitu matang dan dewasa,
aku begitu bocah dan kekanak-kanakan.
@noffret 


Sebagai bocah, saya lebih tertarik pada wanita-wanita dewasa, daripada cewek-cewek ABG. Wanita dewasa, di mata saya, tampak lebih menawan dan mempesona daripada cewek-cewek remaja. Selain lebih matang, wanita dewasa—umumnya—memiliki sikap serta kemampuan sosial yang lebih elegan, tidak cuma nyah-nyih seperti umumnya cewek yang masih mentah.

Jadi, sebagai bocah, saya lebih tertarik pada wanita dewasa.

Yang jadi masalah, saya “ngeri” jika ingin mendekati wanita dewasa, karena merasa masih bocah. Jadinya, saya sering dilema.

Minggu, 01 Oktober 2017

Kursi di Ujung Jembatan

Ketika menyaksikan film The Act of Killing (Jagal)
karya Joshua Oppenheimer, yang ada dalam pikiranku cuma satu. Jijik.

Yang menjijikkan dari "Jagal" bukan filmnya, tapi melihat bahwa manusia
bisa memaklumi perbuatannya, bahkan yang paling menjijikkan.
@noffret


Jembatan Loji adalah jembatan terkenal di Pekalongan, karena usianya yang sangat tua. Jembatan itu berdiri di atas Sungai Loji yang membelah jalan. Konon, jembatan itu telah ada sejak zaman penjajahan Belanda. Sampai sekarang, jembatan itu masih ada, berdiri utuh dan kukuh, meski beberapa perbaikan telah dilakukan seiring zaman.

Di kanan kiri Jembatan Loji terdapat pagar besi, yang membatasi pinggir jembatan dengan sungai. Pada pagar itu terpasang lampu warna-warni, yang menyala indah saat malam hari. Anak-anak muda Pekalongan menyebut pemandangan malam di Jembatan Loji sebagai sesuatu yang “instagramable”.

Di ujung Jembatan Loji, terdapat beberapa kursi untuk orang yang ingin duduk-duduk, menikmati suasana kota. Kebetulan, lokasi itu berdekatan dengan Museum Batik, dan pemerintah kota tampaknya ingin menjadikan sekitar Jembatan Loji sebagai kawasan wisata. Siang hari, khususnya saat cuaca adem, banyak orang duduk-duduk di kursi yang ada di sana.

Ada beberapa kursi di ujung Jembatan Loji, berdiri di atas trotoar jalan, di bawah pohon-pohon rindang. Kursi-kursi itu terbuat dari besi yang dibentuk indah, ukurannya agak panjang, dan bisa diduduki dua atau tiga orang. Ketika melihat kursi-kursi itu pertama kali, saya tergelitik ingin duduk-duduk di sana.

Suatu siang, saat berkendara melewati Jembatan Loji, saya pun kepikiran untuk mencoba duduk-duduk di sana. Waktu itu cuaca sedang adem, dan saya juga sedang selo. Jadi, saya berhenti di pinggir jalan, lalu mendekati salah satu kursi di ujung jembatan, dan duduk di sana sendirian. Itulah pertama kalinya saya duduk di kursi di ujung Jembatan Loji.

Sambil menikmati rokok, saya memandangi lalu lintas di jalan raya, dan merasakan embusan angin yang datang dari pohon-pohon rindang di sana. Pada waktu duduk di sana itulah, tatapan saya tertuju pada bangunan kuno yang tepat berhadapan dengan tempat saya duduk. Yaitu Penjara Loji.

Sama seperti Jembatan Loji, Penjara Loji juga berumur tua. Bangunan penjara itu telah berdiri di sana, jauh-jauh hari sebelum saya lahir, dan sampai saat ini masih berdiri kukuh. Ketika Orde Baru mengampanyekan eufemisme untuk banyak hal, nama Penjara Loji pun diubah menjadi Rutan (Rumah Tahanan) Loji. Saat ini, nama itu (Rutan Loji) tercetak di dinding bangunan tersebut, dan tepat berhadapan dengan tempat saya duduk.

Ketika melihat bangunan rutan itu, angan saya melayang pada suatu kisah yang pernah terjadi di sana... setengah abad yang lalu.

....
....

Setengah abad yang lalu, menjelang akhir 1965, sebuah truk berhenti di depan rumah yang ada di wilayah Kesesi, suatu daerah di Kabupaten Pekalongan, tidak jauh dari Kajen. Beberapa aparat turun dari truk, menggedor rumah, dan tak lama kemudian menyeret tiga orang dari dalam rumah. Tiga orang itu adalah sepasang suami istri, dan satu anak lelaki berusia 13 tahun. Si suami bernama Sukartono, si istri bernama Sukartini, dan si anak lelaki bernama Sutrisno (semua nama itu samaran.)

Sebenarnya, keluarga Sukartono bukan orang Kesesi. Sebelumnya, mereka tinggal di daerah Sebedug, sebuah desa yang tepat berada di pertigaan antara Wiradesa (ke utara), Karanganyar (ke timur), dan Kajen (ke selatan). Tapi mereka terpaksa mengungsi ke rumah famili Sukartono di Kesesi, akibat pecahnya peristiwa “Pemberontakan PKI” pada 30 September 1965.

Ketika Indonesia dilanda kegentingan akibat ribut-ribut PKI pada 1965, kegentingan dan keributan tidak hanya terpusat di Jakarta atau kota-kota besar lain, tapi juga mengalir ke kota-kota kecil, termasuk Pekalongan, bahkan ke wilayah pelosok kabupaten. Seiring dengan itu, orang-orang yang terlibat PKI—atau yang dituduh terlibat PKI—diburu untuk ditangkap.

Kenyataan itu pula yang terjadi pada keluarga Sukartono. Di kampungnya, banyak orang ditangkapi dan ditahan karena menjadi anggota BTI, atau karena dituduh menjadi anggota BTI.

BTI (Barisan Tani Indonesia) adalah organisasi massa petani yang terhubung ke Partai Komunis Indonesia (PKI). BTI didirikan pada 25 November 1945, yang merupakan “perkembangan” Serikat Tani yang dibentuk sebelumnya. Pada 1965, PKI menekan BTI untuk bergabung dengan mereka. Ketika pecah peristiwa “Pemberontakan PKI” pada akhir 1965, para petani itu pun terkena getahnya. Mereka diburu, ditangkapi, ditahan, bahkan dibunuh. Keluarga Sukartono termasuk di antaranya.

Karena merasa terancam itulah, Sukartono membawa istri dan anak tunggalnya ke rumah famili di Kesesi, karena berpikir di sana akan lebih aman. Tapi ternyata harapan Sukartono tinggal harapan. Aparat mencium keberadaannya, dan dia serta keluarga kecilnya dijemput dengan truk, suatu malam.

Ketika Sukartono dan istri serta anaknya dilemparkan ke atas truk, mereka mendapati di atas truk telah ada banyak orang, yang telah dijemput sebelumnya. Tangan-tangan mereka terikat. Beberapa dari mereka ada yang saling kenal, sebagian asing.

Truk itu berjalan, menuju ke Kajen. Ketika sampai di kantor polisi Kajen, sebagian orang ditinggal di kantor polisi untuk ditahan di sana, sementara sebagian lain dipindah ke truk lain. Sukartono, Sukartini, dan Sutrisno, termasuk yang dipindah ke truk lain.

Truk kembali melaju, bersama orang-orang di dalamnya, kali ini menuju ke Kota Pekalongan. Bersama orang-orang yang terikat di truk, ada beberapa aparat yang menjaga. Sementara truk terus melaju, semua orang membisu.

Sebelum masuk wilayah kota, truk berbelok ke arah timur, lalu menyusuri jalan kecil. Pada waktu itulah, seorang aparat di atas truk memukul-mukul atap truk, dan memberitahu sopir, “Ini sudah sampai Gamer! Cari jalan ke arah ke pantai, biar urusannya gampang!”

Gamer adalah daerah yang ada di antara Pekalongan dan Batang. Di dekat kawasan itu memang ada pantai. Lima puluh tahun yang lalu, kawasan Gamer masih seperti hutan rimba, dan pantai yang ada di sana juga nyaris belum terjamah manusia. Truk yang ditumpangi keluarga Sukartono—dan orang-orang lain—menuju ke sana. Makin dekat truk dengan pantai, makin keras suara debur ombak terdengar.

Malam itu sangat sepi. Truk berhenti agak jauh dari pantai, namun kali ini hanya keluarga Sukartono yang diminta turun, sementara orang-orang yang lain tetap ada di truk. Seiring dengan itu, beberapa aparat ikut turun. Salah satunya membawa benda panjang tertutup kain hitam. Beberapa aparat lain menjaga orang-orang di atas truk, dengan senjata terkokang.

Sukartono, Sukartini, dan Sutrisno, digiring mendekati pantai, menjauhi truk. Berdekatan dengan ombak yang berdebur kencang, mereka diminta berhenti, lalu aparat menyeret Sukartono menjauh dari istri serta anaknya. Setelah itu, tepat di bibir pantai, Sukartono dipaksa berjongkok. Seorang aparat mengeluarkan benda panjang dari dalam kain hitam, dan dengan benda itulah dia memenggal kepala Sukartono... di depan mata anak dan istrinya.

Bertahun-tahun kemudian, ketika menceritakan peristiwa itu, Sutrisno menyatakan, “Jantungku berdebar kencang, dan tanpa sadar aku terkencing di celana. Waktu itu usiaku baru 13 tahun, karena baru lulus SD. Aku sadar, ayahku akan dibunuh.”

Sukartini, istri Sukartono, pingsan saat melihat kepala suaminya terlepas dari badan. Sutrisno menuturkan, “Ibuku jatuh menindih tubuhku yang ikut roboh. Aku masih sempat melihat kepala ayahku lepas dari lehernya. Sementara ibuku pingsan.”

Peristiwa itu hanya berlangsung beberapa menit. Setelah itu, Sutrisno—yang masih bocah—diseret kembali ke atas truk. Aparat-aparat yang tadi turun tidak ikut naik, sementara truk kembali melaju. Sejak itu, Sutrisno tidak pernah lagi melihat ibunya.

Ketika di atas truk yang kembali melaju, Sutrisno menuturkan, “Mataku mencari sosok ibuku di kegelapan malam, namun tak terlihat. Apakah ikut dipenggal? Lalu di mana mayat kedua orang tuaku? Apakah ayahku, dan mungkin juga ibuku, dibuang ke laut sesudah dibunuh, agar tidak repot menguburkan dan meninggalkan bekas?”

Pertanyaan-pertanyaan itu tak pernah terjawab. Yang jelas, setelah itu, Sutrisno mendapati truk berhenti di depan bangunan penjara. Belakangan, dia tahu tempat itu bernama Penjara Loji.

Tanpa pengadilan, Sutrisno dijebloskan ke Penjara Loji—bersama orang-orang lain—hingga 12 tahun lamanya. Selama itu pula, dia tidak pernah tahu kabar ibunya, dan tak pernah tahu apakah ibunya masih hidup ataukah sudah mati. Yang aneh, selama di penjara, nama Sutrisno “disulap” menjadi Karso, dan disebut sebagai “anggota Pemuda Rakjat pelarian dari Kediri”. Identitas itulah yang harus diakui Sutrisno setiap kali ada pemeriksaan di penjara.

Belakangan, Sutrisno mengatakan, “Aku memang tahu apa itu Pemuda Rakjat. Tapi aku jelas tidak pernah menjadi anggotanya, karena ketika masuk penjara itu aku baru berusia 13 tahunan. (Aku juga tahu) Kediri, itu nama kota di Jawa Timur, tapi hanya kukenal dalam pelajaran sekolah. Tapi itulah yang harus kuakui sebagai kota kelahiranku.”

Setelah dua belas tahun mendekam di Penjara Loji—tanpa tahu apa kesalahan yang telah ia perbuat—Sutrisno dibebaskan. Karena disebut “pelarian dari Kediri”, Sutrisno pun digabungkan dengan para tahanan lain yang waktu itu juga dibebaskan, dan akan dipulangkan ke Semarang.

“Mereka kelihatan gembira akan kembali ke kampung halaman,” ujar Sutrisno mengenang peristiwa itu. “Tapi aku justru bingung. Dalam perjalanan, salah seorang teman berbisik, ‘Kalau kau memang bukan asal Kediri, nanti ikut turun saja di Semarang, kita coba bertani di kampungku. Aku orang Boja.’

Merasa tidak punya pilihan lain, Sutrisno mengikuti tawaran itu. Selama empat tahun kemudian, Sutrisno tinggal di daerah Boja, sampai kemudian bersepakat dengan si teman untuk mengadu nasib ke Jakarta. Di Jakarta, mereka menjadi kuli bangunan. Semula, mereka berdua tinggal di bedeng, sampai kemudian bisa mengontrak kamar yang lebih layak. Setelah cukup mengumpulkan uang, mereka berpisah, dan membangun rumah tangga sendiri-sendiri.

Saat ini, Sutrisno telah memiliki istri dan tiga orang anak. Dari luar, ia tampak biasa, seperti orang-orang lain umumnya. Namun, di dalam batinnya, ada luka dan kerinduan yang terus menganga. Luka pada kenangan masa lalu, dan kerinduan pada sang ibu. Bahkan saat usianya kini telah beranjak tua, Sutrisno tak pernah lagi melihat atau mendengar kabar ibunya.

....
....

Saat saya duduk di kursi di ujung Jembatan Loji, dan menatap bangunan Penjara Loji, kisah itulah yang menyelimuti pikiran saya. Betapa bangunan yang kini masih berdiri kukuh itu tidak hanya memenjarakan para penjahat, tapi juga pernah memisahkan seorang anak dengan ayahnya, dengan ibunya... dan menorehkan luka yang terus menganga.

Pendendam Paling Berbahaya

Di suatu hari, setiap orang akan berhadapan dengan dirinya sendiri.

Perbuatan jahat kita di masa lalu adalah utang yang harus dibayar. Semakin lama, pembayaran utang itu semakin besar, karena dibebani bunga.

Karma, dalam pikiranku, adalah kondisi ketika seseorang, mau tak mau, harus berhadapan dengan dirinya sendiri.

Ada yang sekian tahun lalu sewenang-wenang dengan mengandalkan seragam, dan kini seragam yang sama sewenang-wenang kepadanya. Who cares?

Seseorang bisa menjadi pahlawan hari ini, meski meninggalkan luka pada orang lain sekian puluh tahun lalu. Tapi kejahatan serupa hantu.

Kau bisa menganiaya orang lemah sekian puluh tahun lalu, dan dia tidak bisa membalas. Tapi siapa yang bisa menjamin itu tak kan terbalas?

Kekuasaan, kekuatan, apalagi cuma seragam yang dikenakan seseorang, tidak pernah abadi. Tapi dendam bumi yang tak terlihat... selalu abadi.

Pendendam paling berbahaya adalah bumi yang kita pijak. Karena ia hanya diam... dan menunggu waktu yang tepat. Damn, dan ia selalu tepat.

Karena, pada akhirnya, mau tak mau, bagaimana pun caranya, orang harus berhadapan dengan dirinya sendiri.


*) Ditranskrip dari timeline @noffret, 13 September 2017.
 

Kesimpulan, Suatu Hari

Seseorang berkata, “Asu kabeh!”

Kalimat itu mungkin bisa menjadi kesimpulan, suatu hari.
 
 
;