Jumat, 10 November 2017

Lingkar Waktu

Sarapan di samping cewek-cewek yang pulang clubbing.
Makan nasi sambil lihat putih-putih. *Pusing*

Nasi gudeg dan pemandangan putih-putih adalah kombinasi
yang sangat tidak environmental. #Apeu
@noffret 


Seusai subuh, saya sering keluar rumah untuk sarapan nasi gudeg. Meski lokasinya agak jauh dari rumah, saya tidak keberatan ke sana, karena nasi gudegnya enak. Kalau tempat nasi gudeg pas sepi, saya sarapan di sana. Tapi kalau pas ramai, saya bawa pulang nasinya untuk disantap di rumah. Bagaimana pun, saya menyukai keheningan, dan lebih senang sarapan sendirian daripada sarapan sambil berdesakan.

Kadang-kadang, saya tetap makan di sana meski ramai, yaitu ketika cewek-cewek baru pulang clubbing, dan mereka mungkin kelaparan, lalu nyasar ke tempat penjual nasi gudeg. Beberapa kali saya mendapati tiga atau empat cewek datang ke sana, dengan pakaian khas clubbing, yang membuat saya betah berlama-lama. Karenanya, meski ramai, saya senang-senang saja sarapan di sana. Nasi gudeg dan pemandangan putih-putih, bagi saya, adalah karunia alam semesta.

Saya tahu cewek-cewek itu baru pulang clubbing, bukan karena melihat pakaian mereka, tapi dari tuturan si penjual gudeg. Saat pertama kali mendapati cewek-cewek itu di sana, saya agak heran. Bagaimana pun, waktu itu masih gelap, karena baru subuh. Di lain hari, ketika saya menanyakan hal itu pada penjual gudeg, dia menjelaskan kalau cewek-cewek tersebut baru pulang dari DC (kelab malam yang biasa digunakan anak-anak muda untuk clubbing.)

“Mungkin mereka kelaparan, lalu mampir ke sini,” ujar penjual nasi gudeg.

Mungkin pula, cewek-cewek itu cocok dengan nasi gudeg di sana, hingga sering datang. Atau mungkin mereka kesulitan menemukan warung lain yang sudah buka—karena hari masih gelap—hingga datang ke warung nasi gudeg yang sudah buka. Apa pun, yang jelas saya senang melihat mereka. Well, siapa yang tidak? Nasi gudeg saja sudah enak, ditambah pemandangan putih-putiiiiiiihhh...!

Cewek-cewek yang baru pulang clubbing itu mungkin berusia 20-an. Seperti umumnya perempuan muda, mereka memiliki kecantikan, kesegaran, sekaligus keceriaan. Bahkan meski wajah-wajah mereka tampak mengantuk—tentu karena semalam tidak tidur—mereka masih bisa cekikikan saat sarapan nasi gudeg.

Melihat mereka, kadang saya kasihan pada diri sendiri. Saat seusia mereka, saya sama sekali tidak kenal clubbing. Boro-boro clubbing, menikmati masa remaja saja tidak. Masa remaja saya sudah habis untuk bekerja keras, dan saya tidak punya waktu untuk bersenang-senang. Seperti yang pernah diceritakan di sini, saya bekerja dari jam delapan pagi sampai jam tiga dini hari. Kapan bisa bersenang-senang?

Belakangan, ketika dewasa, dan punya cukup uang untuk bersenang-senang, saya pernah iseng masuk kelab malam, karena ingin tahu seperti apa rasanya clubbing. And you know what? Saya tidak betah di sana!

Atmosfer di tempat clubbing bukanlah atmosfer yang membuat saya nyaman. Pertama, di sana bising—musik keras berdentam-dentam. Saya lebih suka keheningan. Kedua, di sana ramai—banyak orang berkumpul dengan berbagai kegiatan. Saya lebih suka suasana sunyi yang tenang. Ketiga, dan paling parah, di sana tidak ada teh hangat—hanya tersedia minuman dingin. Saya pikir, hiburan macam apa yang tidak menyediakan teh hangat?

Bagi saya, bersenang-senang adalah... duduk di sofa yang empuk, di tempat yang adem dan hening, menikmati buku atau bacaan yang menyenangkan, sambil menyeruput teh hangat yang nikmat, dan ditemani sebatang kretek, itulah kesenangan! Oh, well, itulah yang disebut bersenang-senang!

Atmosfer semacam itu jelas tidak saya temukan di tempat clubbing, dan saya pun tidak tertarik untuk sering-sering ke sana. Kalau ada hal menarik di sana—maksud saya di tempat clubbing—hanyalah cewek-cewek seksi yang berjoget asoy, yang membuat saya merasa sedang ada di Las Vegas, meski saya belum pernah melihat Las Vegas.

Kembali ke warung nasi gudeg.

Setiap kali pergi dari rumah menuju warung nasi gudeg, saya selalu melewati alun-alun yang berdampingan dengan gedung bank. Setiap kali lewat di depan bank tersebut, saya selalu mendapati wanita tua yang sedang terduduk sendirian di pinggir jalan. Posisinya bukan sedang duduk nyaman layaknya orang duduk-duduk, tapi berada di aspal samping trotoar. Beberapa kali saya bahkan pernah mendapati posisi wanita itu hampir ke tengah jalan raya. Karena hari masih gelap, tempat itu pun masih sepi.

Semula, saya tidak terlalu memperhatikan keberadaan wanita tersebut. Namun, karena selalu mendapati sosoknya setiap kali lewat sana, lama-lama perhatian saya tertarik. Sejak itu, saya mulai memperhatikan, setiap kali lewat sana. Bisa dipastikan, kapan saja saya datang ke warung nasi gudeg, dan melewati gedung bank dekat alun-alun, selalu ada wanita tua yang sedang terduduk sendirian di sana.

Jika saya lihat sekilas, wanita itu mungkin berusia 70-an. Selain wajahnya tampak renta, tubuhnya juga terlihat ringkih. Penampilannya tidak bisa dibilang rapi, namun saya tidak berpikir dia orang gila.

Saya pun bertanya-tanya dalam hati, apa yang sedang dilakukan wanita itu di sana? Dari mana, atau mau ke mana? Dan kenapa dia selalu dalam posisi terduduk setiap kali saya melihatnya?

Suatu pagi, didorong penasaran dan kebetulan sedang selo, saya pergi ke warung nasi gudeg seperti biasa. Saat sampai di depan bank dekat alun-alun, seperti biasa, saya mendapati wanita tua yang biasa, sedang terduduk di sana—di pinggir jalan, dengan penampilan yang biasa. Saya berhenti di seberang jalan, lalu memperhatikan. Saya ingin tahu, apa sebenarnya yang dilakukan wanita tua itu di sana.

Butuh kesabaran untuk melihat yang saya saksikan.

Cukup lama, saya berdiam diri, memperhatikan wanita di seberang jalan, tapi dia tidak tampak bergerak. Posisinya masih duduk di pinggir jalan.

Saya menyulut rokok. Beberapa isapan, saya mulai melihat wanita itu bergerak. Dia tampak bangkit dari posisi duduk, dengan susah payah, lalu melangkah ke depan. Beberapa langkah, dia berhenti, dan terduduk seperti semula. Cukup lama berhenti, lalu dia tampak bergerak dan bangkit lagi, masih dengan susah payah, dan berhenti lagi setelah beberapa langkah. Dan begitu seterusnya. Kadang, dia terlihat tak mampu berdiri, dan terpaksa melangkah dengan cara ngesot.

Jadi dia kelelahan, pikir saya setelah cukup lama memperhatikan.

Saya tidak pernah tahu siapa wanita itu, dari mana dia, dan mau ke mana. Saya juga tidak terpikir untuk menanyakan kepadanya. Mungkin, wanita itu dari rumah—entah di mana rumahnya—dan pergi untuk mencari sarapan. Karena tubuhnya sudah sangat renta, dia pun terpaksa pergi mencari sarapan dengan susah payah sebagaimana yang saya saksikan.

Apakah dia punya keluarga? Saya tidak tahu. Di mana suami, atau anak-anaknya? Saya juga tidak tahu. Yang saya tahu, wanita itu ada di sana—di depan gedung bank samping alun-alun—setiap pagi, dan selalu saya lihat saat lewat di sana. Terduduk sendirian, dengan penampilan menyedihkan, mencoba melangkah perlahan-lahan, dengan sisa-sisa tenaga yang masih dimilikinya.

Bahkan untuk bergerak dan melangkah dalam jarak tiga meter saja, dia membutuhkan waktu sangat lama. Kasihan sekali, pikir saya tercenung. Wanita itu, bersama dekapan usia renta, semakin kehilangan energi dan kemampuan tubuhnya. Hingga untuk berjalan dan melangkah saja, dia sangat kepayahan.

Melihat wanita renta di subuh yang masih gelap itu, saya pun akhirnya memaklumi keberadaan orang-orang renta yang hanya bisa berbaring di tempat tidur, tidak bisa melakukan apa pun, karena energi dan kemampuan tubuh telah hilang, habis dimakan usia.

Betapa fana manusia, dan betapa jauh kesadaran kita.

Menatap wanita renta yang kepayahan di pinggir jalan, saya teringat pada perempuan-perempuan muda di warung nasi gudeg yang baru pulang clubbing. Perempuan-perempuan muda itu begitu cantik, begitu segar, begitu ceria, begitu penuh energi. Sebegitu penuh energi, hingga mampu berjoget semalam suntuk, lalu sarapan di warung nasi gudeg saat pagi tiba.

Pernahkah perempuan-perempuan muda itu membayangkan, kelak di usia tua, mereka akan kehilangan semua yang mereka miliki sekarang? Kecantikan pudar, kesegaran hilang, dan energi kian habis. Usia menggerogoti tubuh perlahan-lahan, sebegitu perlahan hingga membuat kita tak sadar.

Lalu pandangan saya mengarah pada wanita renta yang masih terduduk kepayahan di pinggir jalan. Wanita renta itu juga pasti pernah mengalami masa muda, saat tubuhnya begitu kuat dan penuh energi, saat kecantikan dan kesegarannya memancar indah. Dia pasti pernah semuda, secantik, dan sesegar perempuan-perempuan yang saya lihat di warung nasi gudeg, yang baru berjoget semalam suntuk.

Betapa fana manusia, betapa jauh kesadaran kita.

 
;