Senin, 18 Desember 2017

Pusing Mikir Awkarin

Satu hal aku baru sadar, ternyata Awkarin sangat pintar.
@noffret

Kuontoooooooooooooolll...!
Awkarin


Ketika fenomena Awkarin sedang mengemuka, beberapa waktu lalu, banyak yang request agar saya menulis tentangnya. Tapi saya sengaja tidak menulis tentang Awkarin, dan membiarkan ribut-ribut tentang wanita itu mencapai puncak, untuk kemudian mereda dan hilang sendiri. Seperti sekarang. Kini, setelah ribut-ribut soal Awkarin bisa dibilang usai, saya mulai tergerak menulis tentangnya.

Untuk menulis sesuatu di blog, saya punya “kode etik” yang saya buat sendiri, dan saya patuhi sendiri, khususnya jika tulisan itu menyangkut orang lain—semisal artis, atau semacamnya. Tidak semua kehebohan atau keributan menyangkut seorang artis harus segera direspons/ditulis saat itu juga. Khususnya karena saya menulis di blog ini bukan untuk mengundang trafik atau menarik pengunjung.

Kadang-kadang, saya memang menulis catatan terkait seseorang (biasanya artis) ketika sedang menjadi sorotan atau mengundang kehebohan. Tetapi, bisa dibilang, itu sangat jarang. Lebih sering, saya menulis catatan terkait seorang artis ketika kehebohan menyangkut dirinya mulai pudar, atau setelah tidak lagi dibicarakan banyak orang.  

Ada beberapa pertimbangan mengapa saya sengaja melakukan hal semacam itu—menunda menulis tentang seseorang, sampai kehebohan terkait dirinya mereda.

Pertama, karena saya tidak ingin reaktif. Ketika seseorang dihebohkan karena sesuatu yang dilakukannya—misal seperti yang terjadi pada Awkarin—pikiran saya masih mentah dalam menatap peristiwa itu. Saya hanya melihat apa yang terlihat—sama seperti yang terjadi pada orang-orang lain. Jika pikiran masih mentah, bagaimana saya bisa menilai secara baik dan objektif? Karenanya, jika saya memaksa diri untuk menulis, saya khawatir tulisan saya tidak objektif sekaligus tidak adil.

Jadi, alih-alih bersikap reaktif dan menulis tentang seseorang dengan dalih “mumpung sedang heboh”, saya memilih menahan diri. Saya menunggu kehebohan mereda, sambil memahami apa yang sebenarnya terjadi, mengapa sampai muncul kehebohan, dan lain-lain, hingga pikiran saya lebih matang ketika mulai tergerak untuk menulis. Ketika akhirnya benar-benar menulis tentang sesuatu, saya pun bisa menulis secara kontemplatif. Tidak sekadar menghakimi, namun juga berusaha memahami.

Kedua, karena saya tidak ingin membesarkan api yang sedang berkobar. Ketika seseorang sedang dihebohkan—entah positif atau negatif—apa pun yang kita lakukan terhadapnya hanya akan “membesarkan api”. Terkait Awkarin, misal, orang-orang menghebohkan Awkarin karena menilai wanita itu melakukan hal-hal yang “tidak sopan, tidak baik, tidak mendidik”, pendeknya tidak sesuai “nilai-nilai luhur budaya timur”.

Jika saya ikut dalam kehebohan itu, hasilnya cuma membesarkan nyala api. Kalau saya menulis hujatan dan kecaman sebagaimana dilakukan banyak orang, saya hanya akan menghakimi Awkarin. Sebaliknya, jika saya menulis sesuatu yang terkesan membela Awkarin—yang artinya akan bertentangan dengan pendapat dan opini massa—saya hanya akan mengobarkan api makin besar. Sama-sama tidak bermanfaat. 

Ketiga, saat kehebohan tentang sesuatu terjadi, pikiran orang-orang sebenarnya masih dalam suasana “euforia”, dalam arti tidak seratus persen waras. Salah satu sifat dasar homo sapiens adalah “menyukai kerumunan”, dan cenderung mengikuti pendapat mayoritas. Jika “kerumunan” mengatakan Awkarin cewek bangsat, orang-orang akan terpengaruh untuk sepakat bahwa Awkarin memang bangsat. Jika pendapat mayoritas menyatakan Awkarin cewek sesat, orang-orang juga sama akan terpengaruh, dan meyakini Awkarin memang sesat.

Saat berada dalam suasana “euforia” semacam itu, orang-orang belum bisa diajak berpikir lebih baik atau lebih objektif. Mereka masih dalam keadaan “panas”. Jika saya masuk ke dalam euforia semacam itu, dan menyatakan pendapat yang berbeda dengan mereka, saya hanya memantik sumbu perang. Karenanya, saya menahan diri, dan membiarkan kehebohan mereda, agar orang-orang bisa mengendapkan pikiran masing-masing, agar bisa diajak berpikir secara lebih waras.

Sekarang, karena kehebohan menyangkut Awkarin sudah lama mereda, saya pun mulai tertarik untuk menulis tentangnya, dan ingin mengajak kita berpikir. Kalau pun ternyata kita berbeda pikiran, tidak apa-apa. Ini negara demokrasi yang berasas Pancasila, yang mengizinkan kita untuk berbeda.

Mari kita mulai dengan pertanyaan ini, “Mengapa banyak orang menghujat Awkarin?”

Oh, saya tahu, jawabannya pasti sangat panjang. Dari tingkah Awkarin yang “tidak bener”, gaya hidupnya yang tidak bener, penampilannya yang tidak bener, ucapannya yang tidak bener, dan lain-lain tentangnya yang tidak bener, yang “dikhawatirkan dapat mempengaruhi remaja dan generasi muda”, dan bla-bla-bla.

Jika memang itu jawabannya, terus terang saya heran. Karena wanita yang “seperti itu” sebenarnya bukan hanya Awkarin. Yang dilakukan Awkarin sebenarnya “hal-hal biasa” yang juga dilakukan kebanyakan remaja dan anak muda lain, khususnya di kota-kota besar seperti Jakarta. Karenanya, saya heran mendapati kita “sok kaget” melihat Awkarin, seolah selama ini kita tinggal di gua dan hidup bersama iguana.

Coba sebutkan, di mana salah Awkarin?

Dia salah, karena pacaran? Oh, well, siapa yang tidak? Ada jutaan perempuan—dan juga laki-laki, tentu saja—yang punya pacar, dan pacaran, atau berharap setengah mati punya pacar agar juga dapat pacaran. Jadi, kalau ada jutaan orang melakukan sesuatu yang sama, kenapa kita hanya menudingkan jari pada Awkarin? Itu jelas tidak adil! Kalau mau menyalahkan Awkarin karena dia pacaran, salahkan juga orang-orang di sekitar kita—atau, salahkan juga diri sendiri yang punya pacar!

Dia salah, karena berpenampilan vulgar? Hellooow? Di mana-mana, kita nyaris bisa menemukan perempuan-perempuan berpenampilan seperti Awkarin, atau bahkan lebih gila. Tidak usah jauh-jauh, coba pelototi layar televisi di rumah kita. Di acara-acara tolol berisi orang-orang tolol yang membicarakan hal-hal tolol, tak terhitung banyaknya mereka yang berpenampilan seperti Awkarin. Dan acara-acara tolol itu ditonton adik atau anak-anak kita. Kenapa selama ini kita diam, tapi baru ribut ketika hal itu dilakukan Awkarin?

Dia salah, karena menjalani gaya hidup glamor? Oh, come on, sejak kapan gaya hidup glamor menjadi kesalahan, hingga kita perlu menghujat seolah Awkarin melakukan dosa besar? Kalau Awkarin menjalani gaya hidup glamor, dan kita menganggap itu kesalahan, apa kabar teman-teman kita yang suka nongkrong naik Ferrari atau mobil keparat mewah lainnya? Kenapa kita bisa cengengesan dengan mereka, tapi menganggap itu kesalahan ketika dilakukan Awkarin?

Narasi dan pertanyaan ini bisa dilanjutkan, sampai kita sama-sama bosan dan gila. Dan sepanjang apa pun pertanyaan terkait “kesalahan” yang mungkin dilakukan Awkarin, kita akan menemukan bahwa “kesalahan” yang sama juga dilakukan orang-orang lain, termasuk teman-teman kita, atau bahkan diri kita sendiri. Dari pacaran, ngomong seenaknya, menjalani gaya hidup glamor, sampai penampilan vulgar, dan lain-lain. Bisa dibilang, itu hal-hal biasa yang sebenarnya ada di sekeliling kita.

Karenanya, seperti yang disebut tadi, kita sok kaget melihat Awkarin, seolah selama ini kita tinggal di gua dan hidup bersama iguana. Awkarin hanyalah satu di antara sekian buanyak orang lain yang sama-sama melakukan hal serupa. Bedanya, kita mengenal Awkarin, tapi tidak yang lain.

Sampai di sini, sebagian orang mungkin ingin berkata, “Sebenarnya, yang membuat banyak orang resah terkait Awkarin, karena dia memiliki banyak penggemar—khususnya para remaja—dan kita khawatir para remaja mengikuti gaya hidup Awkarin.”

Saya sepakat dengan hal itu.

Saya sepakat untuk sama-sama khawatir, kalau para remaja meniru Awkarin mentah-mentah, dan menganggap Awkarin satu-satunya teladan. Bagaimana pun, Awkarin bukan mbakyu! Wanita yang patut dijadikan teladan gadis-gadis remaja, seharusnya wanita yang mencerminkan kepribadian seorang mbakyu! Karena Awkarin bukan mbakyu—saya belum yakin tentang itu—mestinya para remaja tidak mencontoh Awkarin!

Cuma, yang membuat saya bertanya-tanya, mengapa ada banyak remaja tertarik pada Awkarin...? Kalau memang Awkarin dinilai rusak, sesat, tidak bermoral, dan lain-lain, kenapa banyak remaja tertarik bahkan memujanya? Siapakah yang salah dalam hal itu, sebenarnya? Awkarin yang dinilai membawa pengaruh buruk... ataukah para remaja yang salah memilih idola? Atau, jangan-jangan justru kitalah yang salah?

Karena saya berprinsip bahwa hidup adalah soal pilihan, maka saya berusaha memahami bahwa Awkarin punya hak untuk menjalani kehidupan sebagaimana yang ia pilih. Fakta bahwa dia memilih gaya hidup yang jauh berbeda dengan gaya hidup yang saya jalani, saya tidak punya hak untuk menyalahkan. Bagaimana pun, Awkarin punya hak setara dengan saya dalam memilih gaya hidup—toh dia juga tidak menyalahkan saya karena menikmati hidup sederhana.

Kalau saya memang tidak ingin adik atau anak-anak saya terpengaruh gaya hidup Awkarin, saya akan lebih memfokuskan perhatian pada adik atau anak-anak saya, mendidik mereka dengan baik, memberitahu pilihan dan gaya hidup yang “benar”, sehingga mereka memiliki kemampuan untuk tidak mudah terpengaruh. Lagi pula, setiap orang akan terus tumbuh, secara fisik maupun nalar. Yang tampak hebat ketika kita lihat saat remaja, bisa jadi tampak konyol ketika kita mulai dewasa.

Jika saya punya anak, dan anak-anak saya menyukai sesuatu yang saya pikir keliru, kesalahan terbesar bukan pada subjek yang disukai anak saya... tapi pada kegagalan saya dalam mendidik mereka! Jika saya mendidik mereka dengan baik, mestinya anak-anak saya bisa membedakan mana yang baik dan mana yang buruk. Kalau mereka gagal dalam hal itu, artinya saya telah menjadi orang tua yang gagal, sekaligus gagal mendidik mereka.

Dalam memandang fenomena Awkarin, saya menilai Awkarin hanya sosok yang kebetulan menyita perhatian. Dia tidak jauh beda dengan banyak perempuan lain, yang tumbuh di keluarga berada, hidup di kota besar, dan menjalani gaya hidup modern seperti umumnya anak-anak gaul. Tidak ada yang istimewa. Kebetulan saja dia populer, karena mampu mengekspresikan diri dengan baik—atau dengan kontroversial—hingga menyita perhatian kita.

Yang mungkin kita lupa, bagaimana pun Awkarin akan terus bertambah usia, dan para pemujanya juga akan tumbuh dewasa. Pada akhirnya, bersama perjalanan hidup dan pikiran yang makin matang, manusia tak pernah sama.


PostScript:

Jika ada yang berpikir catatan ini subjektif, saya bisa menyarankanmu untuk membaca artikel bagus di situs Beritagar: Dari Pornografi Menuju Pelanggaran Privasi. Artikel itu bisa menjadi pembanding sekaligus pelengkap catatan saya di sini.

 
;