Jumat, 26 Januari 2018

Dia Adalah Mbakyuku Tahun 2001

Mbakyu! Mbakyu! Selamatkan aku dari rinduku!
@noffret


Tahun 2001, saya mendaftar kuliah di sebuah kampus. Motivasi saya kuliah waktu itu sama sekali tidak ilmiah dan tidak akademis, yaitu untuk menemui perempuan yang membuat saya jatuh cinta di masa SMA. Karenanya, saya memilih kampus tersebut bukan karena faktor apa pun, selain karena dia kuliah di sana.

Sebelum saya ngoceh panjang lebar, ada baiknya saya menjelaskan sesuatu yang bisa jadi memang perlu dijelaskan.

Seperti yang tertulis di sini, saya jatuh cinta pada adik kelas di SMA, bernama Nadia. Tapi kami sama sekali tidak pernah berkomunikasi, bahkan bisa dibilang tidak saling kenal, selain hanya sama-sama tahu bahwa kami satu sekolah.

Saya jatuh cinta setengah mati kepadanya.

Ketika lulus SMA, praktis kami tidak pernah bertemu sama sekali. Dan saya juga tidak tahu bagaimana cara menemuinya, atau bagaimana agar kami bisa terhubung. Di masa itu belum ada media sosial semacam Facebook atau Twitter, bahkan ponsel pun masih sangat langka. Hal itu ditambah kondisi saya yang kurang memiliki kemampuan sosial, sehingga benar-benar tidak tahu bagaimana cara terhubung dengan Nadia.

So, ketika kemudian saya mengetahui Nadia kuliah di sebuah kampus, saya pun mendaftar di kampus tempat Nadia kuliah. Dalam pikiran saya, waktu itu, kebersamaan kami dalam kampus yang sama akan memungkinkan saya terhubung dengannya—entah bagaimana caranya. Setidaknya, saya akan memiliki kesempatan yang lebih baik untuk bertemu dengannya, karena kami kuliah di kampus yang sama.

Maka, saya pun mendaftar kuliah di kampus itu.

Seperti umumnya mahasiswa baru di mana pun, saya harus menjalani masa ospek di kampus. Dan seperti yang terjadi di kampus lain, panitia ospek adalah para senior di kampus, pria maupun wanita. Rata-rata mereka sudah dewasa, setidaknya jika dibandingkan saya dan para mahasiswa baru lain yang masih culun. Salah satu panitia ospek pada masa itu adalah seorang perempuan yang menarik perhatian saya.

Kami—khususnya saya and the gank—menyebutnya Mbak Tasya.

Tahun 2001, ketika saya mahasiswa baru, Mbak Tasya sudah semester lima. Dia perempuan dengan postur tinggi, berwajah manis, dengan senyum yang kelembutannya mampu meredakan badai dan mendinginkan lahar. Atau, setidaknya, itulah yang saya bayangkan. Karena saya selalu senang melihat Mbak Tasya. Karena dia begitu indah. Dan lembut. Dan saya terpesona.

Melihatnya saja, bisa membuat hati dan pikiran saya tenang.

Selama menjalani masa ospek, sebenarnya saya merasa tertekan, seperti umumnya mahasiswa lain. Bagaimana tidak? Setiap hari, kami harus berangkat pagi-pagi buta ke kampus, dengan membawa aneka barang aneh yang ditugaskan para senior. Dari telur asin yang memiliki dua stempel, sampai air kemasan yang ukurannya tidak tersedia di planet bumi.

Kami juga diwajibkan berpenampilan culun—rambut dicukur sangat pendek, dan berseragam hitam putih, plus dasi. Selama di kampus, kami harus melewati jam demi jam yang penuh tekanan, juga acara-acara membosankan. Sementara para senior bersikap seolah mereka pemilik dunia, petentang-petenteng, teriak-teriak, dan seenaknya memberi hukuman.

Jadi, saya sangat jengkel dan tertekan selama menjalani ospek. Kalau mau menuruti keinginan, saya tidak sudi mengikuti. Saya pikir, lebih baik diam di rumah, dan baru masuk kampus setelah perkuliahan dimulai. Tetapi, keberadaan Mbak Tasya dalam acara ospek menjadikan saya merasa “eman-eman” jika tidak mengikuti. Karenanya, saya pun terpaksa menjalani ospek, demi bisa melihat Mbak Tasya.

Di hari-hari yang berat itu, selama mengikuti acara demi acara, saya selalu menantikan saat-saat bisa melihat Mbak Tasya. Dan saya selalu senang saat melihatnya. Penampilannya setiap hari tak berubah—dengan jas almamater, dengan tatapan mata yang teduh, dengan suara yang indah, dengan senyum yang lembut.  Ospek yang menjengkelkan dan membosankan, tiba-tiba terasa menyenangkan saat dia datang.

Mungkin perempuan tahu saat ada seseorang—khususnya laki-laki—yang sering memandanginya. Begitu pula Mbak Tasya. Mungkin, selama ospek, dia diam-diam menyadari kalau saya sering memandanginya. Kadang-kadang, saat kami ada di lapangan, atau di dalam kelas, dan saya diam-diam memandang, Mbak Tasya akan menengok ke arah saya, dan tersenyum. Dan saya merasa tiba-tiba ingin mati, karena malu.

Kalian mungkin bertanya-tanya, apakah saya jatuh cinta pada Mbak Tasya?

Saya tidak tahu, dan terus terang sampai lama sekali saya tidak tahu. Yang saya rasakan waktu itu adalah semacam “pencerahan” yang membuka mata saya, menyadarkan saya, bahwa wanita dewasa begitu indah.

Sebelumnya, di masa SMA, saya hanya menyaksikan sosok-sosok remaja sebaya. Memang ada kakak kelas perempuan, tapi bagaimana pun mereka juga masih remaja. Karenanya, ketika menjadi mahasiswa baru, dan melihat seorang perempuan semester lima, saya seperti baru menyadari bahwa wanita dewasa begitu indah.

Kenyataannya, Mbak Tasya memang merepresentasikan sosok wanita dewasa yang matang, dalam arti jauh dari kesan kekanak-kanakan. Itu terbukti dari sikapnya saat menghadapi saya yang ketahuan sering memandanginya. Sebagai wanita dewasa, dia tahu cara bersikap—bukan melotot atau marah-marah layaknya cewek ABG, yang justru akan membuat saya makin gila. Yang dia lakukan hanya tersenyum lembut... dan saya pun meleleh.

Karenanya, seperti yang saya sebut tadi, dia memiliki kelembutan yang mampu meredakan badai, mendinginkan lahar, mendamaikan amuk halilintar. Saat berhadapan dengan Mbak Tasya, saya seperti bocah yang takjub menyaksikan wanita dewasa. Dan itulah pertama kalinya saya menemukan konsep mbakyu—sesuatu yang kelak akan sangat mempengaruhi pikiran saya dalam menatap wanita.

Melalui Mbak Tasya, alam semesta seperti menyatakan, “Dan ketahuilah, hei bocah, bahwa sesungguhnya di dunia ini ada makhluk bernama wanita dewasa, yang begitu indah.”

Tidak bisa tidak, saya sepakat dengan alam semesta.

Setelah ospek selesai, saya mulai menjalani ritual kuliah, sebagaimana umumnya mahasiswa. Hampir setiap hari saya bertemu Mbak Tasya di kampus, dan kami saling senyum. Dia sangat ramah, hingga saya berani menyapa, dan saya selalu senang tiap mendengarnya berbicara.

Perlahan-lahan, kami mulai akrab. Dan saat bercakap dengannya, saya seperti menyadari bahwa ada sesuatu di dalam batin saya yang selama ini tersembunyi, yang kini menampakkan wujudnya.

Bahwa saya seorang bocah.

Sebelumnya, saya merasa begitu kuat, begitu tegar, sendirian menghadapi banyak masalah dan rintangan, bahkan bertarung melawan takdir, dan terluka... jatuh... dan bangkit lagi. Saya merasa begitu besar, tak terkalahkan, tetap berdiri di antara beban dan cobaan, meski hati berdarah dan jiwa terluka.

Kalau kau tak bisa dikalahkan, bahkan oleh nasib buruk sekali pun, kau akan merasa sangat... sangat kuat. Dan itulah yang saya rasakan. Sampai kemudian bertemu Mbak Tasya... dan menyadari bahwa sebenarnya saya begitu rapuh. Bahwa saya seorang bocah kesepian, yang merasa tidak memiliki siapa pun, yang merindukan rengkuh damai dalam dekap menenteramkan.

Mbak Tasya mengeluarkan bocah kecil yang ketakutan dan kesepian di dalam jiwa saya, untuk saya kenali... dan membuat saya menyadari bahwa di balik sosok diri saya yang merasa kuat dan tegar, sebenarnya ada bocah yang menangis dan kesepian.

....
....

Seperti rencana semula, masuknya saya ke kampus untuk menemui Nadia. Jadi, misi itu pula yang saya jalankan, meski sempat terdistraksi oleh kehadiran Mbak Tasya.

Ketika akhirnya bertemu Nadia, semua berjalan seperti yang saya rencanakan. Kami terhubung, dan berkomunikasi dengan baik. Tapi kisah kami berakhir sad ending, seperti yang diceritakan di sini.

Karena itu pula, masuknya saya ke kampus bisa dibilang sia-sia, karena akhirnya saya tetap tidak bisa bersama Nadia.

Meski begitu, saya bersyukur karena bertemu dan mengenal Mbak Tasya. Dia mbakyu pertama saya di dunia.

 
;