Senin, 05 Februari 2018

Budak dan Majikan

Aku tidak mau tersenyum karena menjadi raja sehari,
lalu menangis karena menjadi budak sampai mati.
@noffret


Kadang-kadang, kalau pikiran lagi nganggur, saya kepikiran untuk menikah. Biasanya, pikiran semacam itu muncul saat saya punya waktu untuk duduk santai di sofa sambil merokok, dan tidak melakukan apa pun. Karena pikiran sedang menganggur, isinya pun melantur.

Otak atau pikiran kita tidak jauh beda dengan fisik atau tubuh—menyukai hal-hal menyenangkan. Makan enak apalagi banyak itu menyenangkan, tidur atau malas-malasan itu menyenangkan, dan tubuh kita menyukai. Sebaliknya, puasa atau jarang makan jelas tidak menyenangkan, olah raga juga tidak menyenangkan, dan tubuh kita tidak suka. Padahal, yang disukai tubuh bisa merusak, dan yang dibenci tubuh justru menyehatkan.

Begitu pula otak dan pikiran kita. Membayangkan punya pasangan itu menyenangkan, dan pikiran kita suka. Membayangkan menikah itu menyenangkan, dan pikiran kita suka. Sebaliknya, membayangkan visi hidup itu taik kucing dan tampak buram. Sementara memilih melajang adalah pilihan absurd orang tak waras yang mendatangkan gunjingan. Dan sama seperti tubuh, yang disukai pikiran kadang merusak, dan yang dibenci pikiran bisa menyehatkan.

Saya telah menyadari kenyataan itu sejak lama sekali, meski—sebelum ini—tidak pernah mengatakannya kepada siapa pun. Karena percuma, dan bisa jadi orang akan menganggap saya gila.

Kita sangat suka makan, dan tubuh kita juga sangat suka. Apalagi makan enak, dalam jumlah banyak. Semua orang suka makan! Padahal, banyak makan adalah cara cepat untuk mati. Sebaliknya, cara terbaik untuk menjaga kesehatan sekaligus berumur panjang adalah dengan mengurangi makan. Semakin sedikit yang kita makan, semakin baik tubuh kita.

Ini serius! Di dunia ini, jauh lebih banyak orang sakit dan mati karena kebanyakan makan, daripada yang kurang makan. Kenyataan ini bahkan salah satu pengetahuan kuno yang telah ditulis Hippocrates di lembar papirus, sekian ribu tahun yang lalu, dan kebenarannya tetap abadi hingga hari ini.

Ada banyak orang mati karena kelaparan, tapi jauh lebih banyak orang mati karena terlalu banyak makan. Tanyakan pada ahli kesehatan mana pun, dan mereka akan membenarkan kenyataan itu!

Begitu pula banyak tidur dan malas-malasan. Kita suka, dan tubuh kita juga suka. Tetapi, kita tahu, itu bukan hal baik untuk dibiasakan. Karena meski tampak menyenangkan, tapi sebenarnya merusak. Karenanya, kita perlu bersikap keras pada tubuh kita sendiri, agar tubuh tidak memperbudak kita untuk terus makan, terus tidur, dan terus malas-malasan.

Nah, pikiran kita tidak jauh beda dengan itu. Pikiran menyukai hal-hal menyenangkan—pacaran, punya pasangan, dan semacamnya. Sebaliknya, pikiran kita membenci aktivitas belajar, karena berat. Pikiran kita membenci untuk fokus dan konsentrasi pada hal-hal serius, karena membosankan. Pikiran kita juga membenci memikirkan hal-hal berat, karena bikin pusing. Sama seperti olah raga atau puasa yang dibenci tubuh kita, pikiran juga membenci hal-hal berat.

Tetapi, jika kita tidak mau mengendalikan pikiran, maka kitalah yang akan dikendalikannya. Sama seperti tubuh. Kalau kita tidak mau bangkit dari tempat tidur, tubuh ingin tetap tidur dan malas-malasan.

Karenanya, di dunia ini ada orang-orang yang menjadi budak pikirannya, dan ada orang-orang yang menjadi majikan pikirannya. Yang menjadi budak pikiran akan terus melayani apa yang diinginkan pikiran. Sedangkan yang menjadi majikan pikiran akan menggunakan pikiran untuk mewujudkan keinginannya.

Sekali lagi, sama seperti tubuh. Kita bisa bersikap keras pada tubuh, hingga tubuh kita memiliki kemampuan untuk mewujudkan keinginan kita—bekerja keras, tidak malas-malasan, dan terus aktif. Sebaliknya, kalau kita tidak bersikap keras, kita yang menjadi budak tubuh—maunya cuma tidur, malas-malasan, lalu makan enak. Hasilnya, tubuh mengalami obesitas, malas bergerak, dan rentan penyakit.

Kalau saya mau tunduk dan mengikuti pikiran, mungkin sejak dulu sudah menikah. Karena pikiran saya—sebagaimana umumnya pikiran orang lain—juga senang membayangkan hal-hal yang tampak indah seperti menikah, punya pasangan, dan semacamnya. Tetapi, lalu saya menyadari, bukan saya yang harus mengikuti keinginan pikiran, tapi pikiranlah yang harus mengikuti keinginan saya!

Jika saya mengalah dan mengikuti apa mau pikiran, saya menjadi budaknya. Sebaliknya, jika saya bersikap keras, pikiranlah yang menjadi budak saya. Karena dia budak saya, dia harus mewujudkan apa pun yang saya inginkan, bukan saya yang harus repot-repot memenuhi keinginannya. Dan, kau tahu, saya senang menjadi majikan pikiran saya. Oh, well, pikiran adalah budak yang baik!

Pikiran adalah budak yang baik, tetapi majikan yang buruk. Sebegitu penting kenyataan ini, hingga saya ingin mengulangi dengan cetakan tebal. Pikiran adalah budak yang baik, tetapi majikan yang buruk.

Jika kita membiarkan pikiran berkuasa, dan menjadi majikan, kita akan menjadi budaknya. Dan pikiran adalah majikan yang buruk, bahkan kejam. Dia tidak peduli nasib kita. Meski kita harus terseret-seret menjalani hidup, pikiran yang telah menjadi majikan tidak peduli. Sampai kita mati. Karena kita telah menjadi budaknya, dia punya kuasa penuh atas diri kita.

Saya bisa memberi contoh nyata mengenai hal ini, yang sangat dekat dan jelas dalam kehidupan kita. Tetapi, terus terang, saya segan. Karena contoh menyangkut hal ini bisa menyinggung atau bahkan melukai perasaan banyak orang.

Di sekeliling kita, ada banyak orang yang menjadi budak pikirannya sendiri. Tapi mereka tak menyadari. Mereka mengira sedang menjalani hidup sebagaimana mestinya, meski sebenarnya mereka telah menjadi budak pikirannya sendiri. Dan mereka akan terus menjadi budak... sampai mati.

Karena pikiran adalah majikan yang buruk, sekaligus kejam.

Sebaliknya, pikiran adalah budak yang baik. Karenanya, satu-satunya cara aman menjalani hidup bersama pikiran adalah menjadikannya sebagai budak, bukan menjadikannya sebagai majikan. Dan cara untuk menjadikan pikiran sebagai budak adalah dengan bersikap tegas dan keras kepadanya. Sekali dia menjadi budak kita, selamanya dia akan patuh... dan membantu mewujudkan apa pun yang kita inginkan. Begitu pula sebaliknya.

Tentu saja hal semacam itu membutuhkan proses—yang bisa bertahun-tahun—dan jelas tidak mudah. Kalau mudah, siapa pun bisa! Dan karena tidak mudah pula, banyak orang yang tidak mau melakukan.

Saat orang-orang lain tidur lelap, dan kita masih terjaga—belajar, atau bekerja—tentu sangat berat. Kalau mau menuruti pikiran, kita tentu juga ingin tidur. Membayangkan meringkuk di spingbed sambil mendekap guling rasanya indah sekali.

Saat teman-teman asyik nongkrong di kafe, dan kita masih sibuk belajar atau bekerja, tentu sangat berat. Kalau mau menuruti pikiran, kita tentu ingin ikut nongkrong di kafe. Membayangkan capuccino rasanya menyegarkan sekali.

Saat orang-orang khusyuk menonton televisi, dan kita sibuk belajar atau bekerja, tentu sangat berat. Kalau mau menuruti pikiran, kita tentu ingin ikut memelototi televisi. Sambil ngemil dan menyelonjorkan kaki. Oh, well, nikmat sekali.

Begitulah cara pikiran menggoda kita, agar mau menjadi budaknya. Perlahan-lahan... sejengkal demi sejengkal, sehasta demi sehasta, hingga kita kemudian terperangkap menjadi budaknya, dan tak bisa lagi keluar. Setelah itu terjadi, disadari atau tidak, kita akan terus diperbudak.

Sebaliknya, jika kita mau bersikap tegas dan keras, pikiran akan tunduk.

Saat pikiran menggoda untuk bermalas-malasan, kita menolak, dan tetap belajar. Saat pikiran menggoda untuk nongkrong tanpa manfaat, kita menolak, dan terus bekerja. Saat pikiran menggoda untuk menonton televisi, kita menolak, dan tetap melanjutkan aktivitas yang lebih produktif. Lama-lama, pikiran akan tunduk pada kemauan kita, persis seperti kita yang lama-lama bisa tunduk pada kemauan pikiran.

Jika pikiran telah tunduk pada kemauan kita, dia akan menjadi budak kita. Dan, setelah itu terjadi, dia yang akan bekerja keras mewujudkan keinginan kita, bukan kita yang harus menuruti keinginannya. Karena pikiran adalah budak yang baik, tapi majikan yang buruk. Sekarang, kita mulai paham, kenapa di dunia ini ada pemenang dan ada pecundang.

Kisah klasik tentang Thomas Edison mungkin terdengar membosankan kalau kembali diceritakan. Tapi kita masih bisa belajar kepadanya. Saat berusaha menciptakan lampu pijar, Thomas Edison harus mengalami kegagalan sampai seribu kali. Jika dia mengikuti pikirannya, dia pasti sudah berhenti. Dan dunia tidak akan menyalahkannya. Wong sudah gagal seribu kali. Wajar kalau dia berhenti, dan itu sangat manusiawi.

Tapi Edison tidak mau diperbudak pikirannya. Alih-alih mengikuti pikirannya untuk berhenti, dia bersikap tegas—melanjutkan penelitian. Hasilnya, dia berhasil menemukan yang ia cari, dan dunia terang benderang oleh lampu pijar. Karena Edison tidak mau kalah oleh pikirannya, maka pikirannya yang kalah. Karena Edison tidak mau menjadi budak pikirannya, maka pikirannya yang menjadi budak. Setelah pikiran menjadi budak, dia membantu Edison.

Sekali lagi, kita mulai paham, kenapa di dunia ini ada pemenang dan ada pecundang.

Para pemenang tidak mengalahkan siapa pun, karena yang ia kalahkan adalah dirinya sendiri. Begitu pula, para pecundang tidak dikalahkan siapa pun, karena ia dikalahkan dirinya sendiri. Para pemenang adalah majikan pikirannya, sementara para pecundang adalah budak pikirannya. Saat pikiran menjadi majikan, dia kejam kepada kita. Sebaliknya, saat pikiran menjadi budak, dia akan membantu kita.

Setiap orang diberi hak untuk memilih. Menjadi majikan bagi pikirannya, atau menjadi budak pikirannya. Menjadi pemenang, atau menjadi pecundang. Karena hidup, kenyataannya, adalah soal pilihan.

 
;