Minggu, 25 Maret 2018

Rahasia Perkawinan yang Tidak Pernah Dikatakan Kepadamu

Pelajaran terbaik tentang pernikahan adalah segala hal tentang menikah 
yang tidak pernah dikatakan kepadamu oleh orang yang telah menikah.


Selama bertahun-tahun, bahkan selama berdekade-dekade, kita ditipu dan dikibuli tentang realitas perkawinan, sehingga jutaan orang tertipu dan terus tertipu. Yang ironis, dan mengerikan, penipuan terkait perkawinan selama ini terkesan dibiarkan, meski korban terus berjatuhan. Nyaris tidak ada satu orang pun yang berusaha menghentikan penipuan itu, padahal penipuan terkait perkawinan telah menghasilkan jutaan korban, berupa anak-anak tak berdosa.

Ada jutaan anak tak berdosa yang dilahirkan, akibat orang tuanya tertipu oleh bualan dan doktrin dusta perkawinan. Anak-anak itu lalu tumbuh bersama penderitaan, penganiayaan, akibat penyesalan orang tuanya yang dipendam diam-diam. Lalu anak-anak itu pun hidup bersama luka, kesepian, dan hati yang gersang. Itu jelas korban yang mengerikan, karena terkait anak-anak yang akan menjadi manusia dewasa. Karenanya, jika penipuan terkait perkawinan tidak segera dihentikan, kita sedang merusak manusia hingga ke akar-akarnya.

Mari kita mulai dengan penipuan busuk perkawinan yang selama ini didengung-dengungkan orang di mana pun. Yaitu soal kebahagiaan, rezeki, dan tetek bengek lain yang terdengar indah.

Setiap kali orang mengkhutbahkan perkawinan, setiap kali orang menyuruh dan memprovokasi orang lain cepat menikah, setiap kali pula mereka menyodorkan bualan busuk itu. Bahwa orang akan tenteram dan bahagia setelah menikah, bahwa rezeki akan lancar setelah menikah, pendeknya perkawinan adalah surga!

Yang tidak mereka katakan... berapa lama “surga” itu akan bertahan?

Kalau kau menikah sekarang, hampir bisa dipastikan kau akan bahagia, merasakan semua baik-baik saja, dan kau pasti akan setuju bahwa perkawinan memang surga—setidaknya sampai beberapa bulan ke depan. Semua pengantin baru juga tahu soal itu!

Beberapa bulan, atau setidaknya setahun sejak menikah, semua akan tampak sesuai doktrin dan bualan tentang perkawinan yang biasa kita dengar. Agar tidak bertele-tele, kita ambil saja dua hal penting yang biasanya menjadi “pokok bualan” orang-orang, yaitu kebahagiaan dan kelancaran rezeki.

Benarkah orang menikah akan bahagia? Jelas! Bagaimana tidak bahagia, kalau kau bisa bercinta kapan pun dan di mana pun, tanpa khawatir digerebek Satpol PP? Dengan modal buku nikah, kau bisa melakukan apa pun dengan pasanganmu, dan tidak ada siapa pun yang berhak mengusikmu. Sangat jelas, kau akan bahagia setelah menikah.

Sebagian orang kadang “sok alim” dengan mengatakan bahwa mereka menikah karena alasan-alasan tertentu yang terdengar “suci”. Padahal, kalau mau jujur, motivasi kebanyakan mereka ngebet kawin sebenarnya karena seks!

Akui sajalah kenyataan itu, karena homo sapiens memang begitu! Karenanya, diakui atau tidak, seks adalah bagian dari motivasi orang menikah, bahkan bisa jadi motivasi terbesar.

Mereka butuh bercinta dengan pasangan, atau—dalam bahasa blak-blakan—butuh ngeseks! Ketika kebutuhan seks dapat dilakukan dengan mudah melalui perkawinan, mereka pun ngebet kawin. Sebenarnya, inti masalahnya sesederhana itu. Oh, saya tahu betul soal ini, karena saya juga manusia seperti kalian. Jadi tidak usah malu atau berusaha menutupi sesuatu yang sama-sama kita tahu. Dalam urusan seks, homo sapiens—yaitu kita—termasuk juara!

Jadi, ketika orang menikah, dan kebutuhan besar terhadap aktivitas seks dapat dilakukan dengan mudah serta legal, orang pun bahagia setelah menikah. Logika yang sangat mudah dipahami. Itu tak jauh beda dengan orang yang berhari-hari kelaparan karena tidak punya apa pun yang bisa dimakan, lalu datang ke perjamuan yang membebaskan makan apa pun dan sebanyak apa pun. Jelas, siapa pun akan bahagia!

Karena itu, ketika orang mengatakan bahwa menikah akan membuatmu bahagia, itu benar. Yang tidak mereka katakan... sampai kapan “kebahagiaan” itu akan bertahan?

Cepat atau lambat, pasangan yang paling menggebu sekali pun akan sampai pada titik bosan. Sebagian dari mereka ada yang mulai bosan pada pasangan setelah setahun, dua tahun, atau tiga tahun. Kalau kau dan pasanganmu telah menikah lebih dari tiga tahun, dan tetap rutin melakukan aktivitas seks setidaknya tiga kali seminggu, kau dan pasanganmu layak mendapat piagam!

Ketika masih pengantin baru, sepasang pria dan wanita bisa berhubungan seks hingga berkali-kali dalam sehari. Siapa yang tidak bahagia? Oh, well, homo sapiens pasti bahagia! Tetapi, seiring perjalanan waktu, aktivitas itu akan berkurang dan terus berkurang. Dari berkali-kali sehari, berubah menjadi sekali sehari. Lalu dua hari sekali. Lalu tiga hari sekali. Dan begitu seterusnya. Pada titik tertentu, mereka bahkan tidak berminat untuk berhubungan seks dengan pasangan, sampai berminggu-minggu.

(Jika ada yang meragukan pernyataan itu, silakan tanya siapa pun yang telah menikah bertahun-tahun, dan minta mereka menjawab dengan jujur!)

Rasa bosan, itu fakta yang tak pernah diungkapkan orang-orang yang suka membual tentang perkawinan. Dan mereka tidak akan mengatakan hal itu—bahwa mereka bosan pada pasangannya—karena tentu malu dan tidak enak hati. Bagaimana mungkin kau akan mengatakan pada orang lain, bahwa kau bosan pada pasanganmu sendiri?

Jika ada orang mengatakan bahwa dia tidak pernah bosan pada pasangannya, meski telah menikah bertahun-tahun, hanya ada satu kesimpulan: Dia bohong! Karena itu justru tidak manusiawi! Kalau kau manusia, benar-benar manusia, kau akan bosan dengan pasanganmu. Tidak bisa tidak! Karena rasa bosan adalah fitrah atau sifat manusia. Mengatakan bahwa kau tidak pernah bosan, sama artinya mengatakan kau bukan manusia.

Jadi, itu rahasia pertama terkait perkawinan, yang tidak pernah dikatakan orang-orang kepadamu. Mereka membual tentang keindahan perkawinan, tapi tidak mengatakan bahwa keindahan itu sebenarnya temporer. Mereka mengiming-imingi kebahagiaan—karena bisa ngeseks dan ngeseks dan ngeseks setiap saat—tapi tidak menyatakan bahwa suatu saat hal itu akan sampai pada titik bosan. Mereka tidak pernah mengatakan itu—oh, well, mereka malu mengatakan hal itu!

Sampai di sini, mungkin ada yang ingin mengatakan, “Perkawinan tidak melulu soal seks saja, kan? Dengan menikah, kita punya pasangan yang bisa diajak bertukar pikir dalam menjalani kehidupan, dan hal itu pun bisa membuat bahagia.”

Kedengarannya benar. Tapi ada satu masalah di sini.

Kalau pasanganmu adalah sosok yang baik, pendengar yang baik, tahu cara berempati, dan dia dapat mendukungmu dalam suka maupun duka, maka teori itu benar. Bahwa menikah membuatmu memiliki seseorang yang bisa diajak bertukar pikir, dalam menjalani kehidupan. Tapi bagaimana jika pasanganmu tidak seperti itu? Karena, kenyataannya, ada banyak orang yang justru sangat egois, tidak bisa berempati, dan hanya memikirkan diri sendiri.

Sekarang bayangkan apa yang terjadi, kalau ternyata pasanganmu justru sosok egois yang hanya memikirkan diri sendiri, dan tak peduli terhadapmu? Masih mungkinkah kau mengatakan bahwa menikah membuatmu bahagia karena memiliki seseorang yang dapat “diajak bertukar pikir”? Alih-alih bahagia, kau justru akan tertekan, mengutuki diri sendiri, dan menyesal karena telah menikah! Itu fakta yang telah dialami jutaan orang—kalau saja mereka mau jujur dan berterus terang!

Jika kalian bertanya bagaimana menyiasati kebosanan dan masalah seperti di atas, jawabannya panjang. Dan karena catatan ini hanya berfokus pada masalah—rahasia perkawinan yang disembunyikan—catatan ini pun tidak akan memberi solusi atau cara menyiasati. Mungkin akan saya bicarakan di catatan lain.

Sekarang kembali ke inti persoalan, yaitu rahasia perkawinan yang tidak pernah dikatakan kepadamu. Jika bualan atau tipuan pertama adalah iming-iming kebahagiaan, yang kedua adalah iming-iming rezeki. Para pembual mengatakan, menikah akan melancarkan rezeki. Benarkah?

Jawabannya bisa ya, bisa tidak. Karena, kenyataannya, ada orang yang menikah dan rezekinya makin lancar, ada pula yang menikah tapi hidupnya justru keblangsak! Akui saja fakta itu, daripada terus ngibul dan nipu-nipu.

Lihatlah realitas—itu fakta yang sangat jelas, sebelum menyodorkan teori yang terdengar ndakik-ndakik, tapi tidak berdasar. Berdasarkan realitas, kita tahu ada pasangan yang menjalani kehidupan berkelimpahan, berkecukupan, atau juga berkekurangan. Itu realitas! Jangan mencoba berdusta melawan realitas, karena itu sama artinya kau bangsat tak tahu malu. Realitasnya sudah jelas A, tapi masih ngotot mengatakan B. Itu ngawur sekaligus tak tahu malu!

Persoalan rezeki (dalam hal ini rezeki berbentuk uang atau segala sesuatu yang bersifat kebendaan) tidak bisa semata disandarkan pada apakah seseorang menikah atau tidak, karena rezeki orang per orang lebih didasarkan pada upaya orang bersangkutan. Kalau kau bangsat pemalas—yang lebih giat ngeseks tapi ogah kerja—tetap saja hidupmu akan keblangsak, meski kau menikah seratus kali!

Kalau memang menikah menjamin rezeki lancar, saya akan menikah empat kali sekalian, biar rezeki saya selancar air keran! Sudah punya empat istri, dan rezeki datang bertubi-tubi. Tapi apa iya, realitasnya semudah itu?

Rezeki seseorang lebih terkait pada semangat orang bersangkutan dalam mencari rezeki, dan tidak bisa semata disandarkan pada apakah dia menikah atau tidak.

Memang, setelah menikah, orang—khususnya laki-laki—akan lebih giat bekerja, karena merasa telah memiliki tanggungan (istri dan mungkin juga anak) yang harus dihidupi. Karena kesadaran itu, dia pun bekerja lebih keras, lebih tekun, lebih giat, dan—bisa jadi—rezeki pun semakin lancar. Jika memang begitu kenyataannya, maka teori yang mengatakan bahwa “menikah akan melancarkan rezeki” bisa dibilang benar.

Tetapi, sebaliknya, ada orang yang telah menikah, dan sadar bahwa dia memiliki keluarga yang harus dihidupi, tapi ogah-ogahan dalam bekerja. Apakah kemudian rezeki akan lancar sendiri? Jawabannya jelas, tidak! Itu logika yang sangat mudah dipahami. Tak peduli kau menikah atau tidak, kelancaran rezeki tetap bergantung pada usahamu, bukan pada status perkawinanmu!

Berdasarkan kenyataan itu, maka lancar atau tidaknya rezeki lebih tergantung pada orang per orang, bukan pada status pernikahan. 

Meski kau tidak/belum menikah, kau juga bisa kaya, dan rezekimu akan lancar, kalau kau bekerja keras, tekun, giat, dan sungguh-sungguh. Kalau kau menghabiskan waktumu hanya untuk bekerja, mau tak mau rezekimu akan lancar, bahkan bisa jadi lebih lancar dibanding orang yang telah menikah. Karena kau bisa bekerja tanpa diganggu siapa pun, sementara yang sudah menikah harus diganggu anak dan pasangan.

Jadi, sekali lagi, doktrin yang mengatakan bahwa rezeki akan lancar setelah menikah, tidak seratus persen benar. Karena rezeki lebih tergantung pada usaha serta kerja keras seseorang, dan bukan pada status pernikahan.

Doktrin “bahagia dan rezeki lancar setelah menikah” itu sebenarnya juga berbahaya, karena dapat menjerumuskan orang-orang yang dangkal pikir, yang ngebet kawin karena berharap kaya hanya karena menikah. Iming-iming semacam itu, sebenarnya, tak jauh beda dengan iming-iming para motivator bayaran—terdengar indah di telinga, tapi sering tak sesuai realitas. Terdengar hebat, tapi sebenarnya omong kosong.

Sering kali, orang yang mendoktrin tentang “rezeki lancar setelah menikah” mengait-ngaitkan doktrin itu dengan ajaran agama, atau bahkan ayat Alquran. Konyolnya, mereka tidak paham maksud ayat yang mereka gunakan, dan menafsirkannya dengan kedangkalan otaknya sendiri. Akibatnya, makin banyak orang tersesat, karena disesatkan segelintir orang yang tidak tahu tapi sok tahu!

Sekadar ilustrasi, Fatimah—putri Nabi Muhammad SAW—menikah dengan Ali bin Abi Thalib. Itu pernikahan dua orang yang sangat mulia. Yang wanita adalah putri Sang Nabi, sementara yang pria adalah sosok luar biasa, generasi Islam pertama, bahkan salah satu intelektual di zaman awal Islam. Ketika mereka menikah, bahkan langit dan bumi memberi restu.

Apakah Fatimah seorang wanita yang baik dan salihah? Jelas! Tidak ada satu orang pun yang bisa membantah kenyataan itu. Dan apakah Ali bin Abi Thalib seorang pria yang baik? Jawabannya sama! Bukan hanya baik, Ali bin Abi Thalib bahkan dihormati sebagai sosok mulia. Seluruh jazirah Arab tahu kenyataan itu. Meski saya bukan Syiah, sejujurnya saya fans berat Ali bin Abi Thalib, karena menyadari dia sosok luar biasa, yang sulit dicari tandingannya.

Sekarang... apakah Fatimah dan Ali bin Abi Thalib menjalani kehidupan perkawinan yang kaya dan lancar rezeki—bahagia selama-lamanya—sebagaimana yang biasa diocehkan orang-orang di zaman kita?

Jawabannya tidak!

Suatu hari, Nabi Muhammad SAW menjenguk putrinya, dan mendapati Fatimah sedang menangis sendirian di dapur, sementara Ali bin Abi Thalib sedang keluar. Nabi bertanya mengapa putrinya menangis, dan Fatimah curhat kepada ayahnya mengenai beratnya beban rumah tangga. Mendengar keluh kesah putrinya, Nabi menghibur serta membesarkan hati Fatimah, dan mendoakannya.

Kisah itu bisa menjadi ilustrasi yang jelas, sekaligus nyata. Bahwa menikah tidak serta merta menjadikanmu bahagia dan lancar rezeki. Kalau memang menikah menjadikan bahagia dan lancar rezeki—dan dalih itu didasarkan pada ajaran agama atau ayat suci—mestinya pernikahan putri Nabi akan menjadi contoh pertama! Faktanya tidak!

Kisah lain yang bisa dijadikan contoh nyata adalah Zainab binti Jahsy. Ia hidup di zaman Nabi Muhammad SAW, dan menjadi salah satu wanita yang dijamin masuk surga. Jika Sang Nabi yang menjamin seseorang masuk surga, siapakah yang berani menentang? So, kita bisa sepakat bahwa Zainab binti Jahsy adalah wanita luar biasa, dengan hati dan pikiran yang mulia.

Oleh Sang Nabi, Zainab dijodohkan dengan Zaid bin Haritsah, seorang lelaki yang sangat dekat dengan Nabi, dan termasuk salah satu sahabat. Maka, Zainab pun menikah dengan Zaid, dan jazirah Arab bergembira untuk pernikahan mereka. Yang wanita adalah sosok mulia yang dijamin masuk surga, sementara yang lelaki adalah sahabat dekat Nabi.

And then, apakah perkawinan mereka tenteram, bahagia, dan lancar rezeki?

Jawabannya tidak!

Rumah tangga Zainab dan Zaid sama sekali tidak bahagia, bahkan penuh konflik rumah tangga. Selama waktu-waktu itu, Nabi Muhammad SAW berusaha mempertahankan perkawinan mereka, agar mereka tetap rukun sebagai suami istri. Tapi upaya itu pun tak berhasil. Perkawinan Zainab dan Zaid bahkan kemudian berakhir perceraian.

Did you see that...?

Bahkan dua orang yang dijodohkan oleh Sang Nabi pun bisa berakhir perceraian! Kalau memang orang menikah dijamin tenteram, bahagia, dan tetek bengek semacamnya, mestinya Zaid dan Zainab akan hidup bahagia selama-lamanya. Faktanya tidak!

Jadi, lihatlah realitas, sebelum ngibul dan sok berteori. Karena tak peduli terdengar hebat seperti apa pun, teorimu tetap ngibul kalau tidak sesuai realitas. Wong sudah jelas banyak orang bercerai, keluarga berantakan, masih saja ngibul mengatakan bahagia dan tenteram. Sudah jelas banyak pasangan yang miskin dan anak-anak telantar, masih saja sok berteori bahwa rezeki akan lancar. Jika teori tidak sesuai realitas, artinya teorimu ngawur!

Akhirnya, saya ingin mengatakan, bahwa menikah itu baik. Dan mengajak orang pada kebaikan (dalam hal ini menikah) adalah perbuatan yang baik. Tetapi lakukanlah perbuatan yang baik itu dengan cara yang baik. Yaitu dengan kejujuran, bukan dengan penipuan. Dengan berterus terang, bukan malah menjerumuskan.

Kalau kau mengatakan hal-hal indah tentang pernikahan, katakan pula hal-hal yang tidak indah dalam pernikahan. Kalau kau mengatakan hal-hal menyenangkan terkait pernikahan, katakan pula hal-hal tidak menyenangkan dalam pernikahan. Karena pernikahan memang berisi hal-hal enak, tapi juga mengandung konsekuensi yang tidak enak. Karenanya, jangan hanya mengatakan enaknya sambil menyembunyikan tidak enaknya. Itu menipu sekaligus menjerumuskan, sesat sekaligus menyesatkan!

Akhir kata, bagaimana pun, hidup adalah soal pilihan. Begitu pula pernikahan, keputusan memiliki anak, atau cara kita dalam menikmati hidup dan kebahagiaan. Yang indah bagimu belum tentu indah bagi orang lain, sehingga tidak perlu memaksakan pilihanmu kepada orang-orang lain.

Sebenarnya, hidup sesederhana itu, kalau saja kita mau berpikir.

 
;