Kamis, 05 April 2018

Kegilaan di Jalan

Ibu-ibu, remaja tanggung, dan motor matic, 
adalah kombinasi paling berbahaya di jalan raya.


Sebagian orang tampaknya mudah marah saat berada di jalan raya. Saya pun sering mengalami kondisi semacam itu. Meski saat keluar rumah dalam kondisi segar,  kesegaran itu menguap begitu terjebak di jalanan macet, apalagi pas siang hari yang terik. Karenanya, saat mendapati orang berkendara seenaknya, kita—setidaknya saya—mudah jengkel lalu memaki-maki sendiri.

Ada banyak kegilaan yang bisa kita temukan di jalan raya. Dari cowok-cowok yang naik motor ugal-ugalan, ibu-ibu yang menyalakan lampu sein kiri tapi belok kanan, orang-orang yang berkendara seenak jidat, sampai angkot yang menganggap jalan raya milik neneknya.

Kalau kebetulan sedang iseng jalan-jalan naik motor, saya sering tergoda untuk mengerjai orang-orang yang seenaknya itu. Pernah, saya sedang berkendara ke pom bensin, dan melaju pelan-pelan di pinggir jalan. Dari belakang, di kejauhan, terdengar klakson sepeda motor yang terus menerus berbunyi. Padahal itu jalan lurus yang tidak terlalu ramai. Tapi klakson itu terus berbunyi dan berbunyi.

Saat sepeda motor itu sampai di samping saya, tampak seorang cowok tanggung yang mengendarainya. Dia masih terus membunyikan klakson pada kendaraan lain yang ada di depan, seolah-olah jalan raya hanya miliknya, dan semua orang harus menyingkir untuk memberi jalan baginya. Karena suara klakson keparat itu, kendaraan-kendaraan lain pun menyingkir, memberi jalan, dan cowok itu terus melaju.

Didorong jengkel campur iseng, saya menaikkan kecepatan. Cowok tanggung itu kira-kira melaju dengan kecepatan 70 kilometer per jam. Sangat mudah mendapatkannya, meski dia sudah cukup jauh di depan. Maka saya pun mengejar, lalu melaju tepat di belakang sepeda motor yang seenaknya itu. Dia masih terus membunyikan klakson motornya, meminta semua orang di depannya menyingkir, seolah itu jalan raya miliknya.

Dengan amarah membara, saya juga membunyikan klakson, persis seperti dirinya, dan terus menerus. Jadi, dia membunyikan klakson sambil terus ngebut, dan saya membuntuti motornya dengan jarak dekat, sambil membunyikan klakson yang sama. Lama-lama, cowok itu sadar. Dia menegok ke belakang, dan saya terus membunyikan klakson. Dia menurunkan kecepatan, saya menurunkan kecepatan. Tapi saya terus membunyikan klakson, agar telinganya tersiksa.

Akhirnya, cowok itu berhenti membunyikan klakson. Dia masih terus melaju, tapi kali ini tidak lagi dolanan klakson seenaknya. Setelah cukup jauh membuntuti, dan dia tidak lagi membunyikan klakson keparat, diam-diam saya tersenyum puas. Rasanya seperti mendapat hiburan yang agak gila.

....
....

Beberapa idiot mengira jalan raya milik mereka, lalu seenaknya membunyikan klakson, mengusir semua orang di depan, agar dapat melaju seenaknya. Idiot-idiot itu perlu diberitahu bahwa klakson tidak ditujukan untuk hal-hal semacam itu. Klakson bahkan “benda sakral” yang hanya boleh digunakan jika keadaan benar-benar terpaksa. Dengan kata lain, klakson tidak ditujukan untuk mainan!

Banyak idiot yang menggunakan klakson seenaknya, tanpa tahu fungsi klakson, hingga saya pernah (bahkan beberapa kali) mendapati pengendara sepeda motor menglakson truk dan bus! Kenapa mereka tidak menglakson kereta api sekalian saja?

Tidak jauh beda dari kisah cowok di atas, ada kisah serupa tapi lebih parah. Suatu siang, saya baru keluar dari warung mi ayam. Saya melaju pelan-pelan untuk pulang. Dari belakang, terdengar suara klakson sepeda motor terus menerus. Saya menurunkan kecepatan, lalu si monster klakson itu pun muncul di samping saya.

Rupanya seorang wanita. Dia melaju dengan kecepatan rendah, sekitar 50 kilometer per jam, tapi terus menerus membunyikan klakson, seolah dia ambulans yang sedang membawa pasien sekarat.

Lagi-lagi didorong iseng dan jengkel, saya membuntuti wanita itu, persis di belakangnya. Saya ikut membunyikan klakson, seperti dirinya. Wanita itu semula tidak paham. Dia mungkin mengira saya akan melaju di jalan yang dilaluinya. Jadi dia membawa motornya ke pinggir. Melihat itu, saya ikut membawa motor ke pinggir, dan terus membunyikan klakson. Dia kembali membawa motornya ke tengah, dan saya ikut ke tengah. Dengan klakson terus berbunyi.

Lama-lama, wanita itu paham. Dia menengok ke belakang. Saya tak peduli. Saya terus menjaga kecepatan, dan terus membunyikan klakson, berharap telinganya pecah. Setelah itu, dia berhenti dolanan klakson.

Kalian yang membaca catatan ini mungkin bisa saja mencemooh, “Ah, wanita memang begitu. Biar sajalah. Namanya juga wanita.”

Jika kalian menganggap perilaku semacam itu bisa diterima karena “baik-baik saja”, kalian keliru. Perilaku semacam itu sangat berbahaya, dan dapat membahayakan diri sendiri serta orang lain. Memainkan klakson seenaknya, dan berpikir semua orang harus menyingkir karena dia akan melaju, itu pola pikir berbahaya. Sama berbahaya dengan dolanan ponsel sambil berkendara!

Salah satu bukti betapa bahaya perilaku semacam itu, pernah saya saksikan suatu malam, dan menjadi peristiwa yang tak pernah saya lupakan.

Suatu malam, saya bermaksud ke warung langganan untuk makan. Saya mengendarai motor perlahan-lahan di pinggir. Di tengah jalan raya, agak di depan saya, tampak sepasang suami istri dengan seorang anak kecil, naik sepeda motor. Si anak diapit di tengah. Saya melihat motor yang mereka kendarai menyalakan lampu sein kanan, yang artinya akan berbelok ke kanan.

Tetapi, dari arah belakang, muncul sepeda motor melaju kencang, dengan suara klakson terus menerus. Jika si pengendara adalah pengendara yang baik, dia tentu akan melihat lampu sein motor di depannya menyala, dan dia akan menurunkan kecepatan. Kalau pun akan menyalip, dia akan mengambil arah kiri, karena motor di depannya akan belok ke kanan.

Tapi rupanya pengendara yang dolanan klakson itu pengendara idiot. Meski di depannya ada motor yang jelas menyalakan lampu sein kanan, pengendara dari belakang tidak menurunkan kecepatan. Dia terus melaju kencang, dengan suara klakson terus berbunyi, seolah meminta pengendara di depannya jangan berbelok dulu karena dia akan melaju.

Akibatnya tepat seperti yang saya bayangkan.

Pasangan suami istri, yang mengendarai motor di depan, mungkin bingung—antara berbelok atau bertahan di tengah jalan. Tetapi, karena sudah menyalakan lampu sein, pengendara motor itu pun mungkin berpikir bahwa pengendara di belakangnya tentu memahami. Jadi, dia pun berbelok ke kanan. Bertepatan dengan itu, pengendara idiot dari belakang melaju kencang, tepat saat motor di depan membelok.

Kedua sepeda motor itu pun terpental, akibat hantaman keras dari motor si idiot yang melaju kencang. Anak kecil, yang semula diapit orang tuanya di tengah motor, terlempar ke pinggir jalan. Tangisnya seketika pecah. Si ibu juga terlempar dari motor, dan dia terkapar di tengah jalan. Sementra si ayah—pengendara motor—tertindih sepeda motornya.

Lalu bagaimana dengan si idiot yang menabrak mereka? Dia juga jatuh di tengah jalan. Rupanya seorang wanita, usianya sekitar 25-an. Dia naik motor sendirian, dan—berdasarkan perkiraan saya—melaju dengan kecepatan 70 kilometer per jam.

Dalam waktu singkat, jalan raya macet. Orang-orang berhenti. Sebagian menolong korban, sebagian menonton. Saya ikut berhenti. Dan melihat si anak kecil—yang tadi terlempar—tampak mengalami sakit luar biasa, hingga jerit tangisnya memecah malam. Seorang wanita di sana mencoba menggendongnya, menghiburnya, tapi anak kecil itu terus menangis dan menjerit.

Si ibu yang terkapar di jalan raya mengalami luka-luka. Dia harus digotong beberapa orang untuk dibawa ke pinggir, ke depan sebuah rumah. Saya tidak tahu tepatnya luka yang dialami, tapi yang jelas ada ceceran darah. Sementara si ayah, yang tertindih sepeda motor, tampak memegangi bahunya. Mungkin dia terkilir atau mengalami luka trauma akibat benturan.

Lalu bagaimana dengan si idiot? Wanita yang menabrak mereka, yang juga terjatuh, bisa dibilang tidak mengalami apa-apa, selain hanya jatuh. Bagaimana pun, dialah yang menabrak dari belakang, hingga setidaknya bisa meminimalkan kemungkinan bahaya yang akan dialami. Dia tidak mengalami luka apa pun, selain hanya tasnya sedikit sobek.

Apakah wanita yang menabrak itu merasa bersalah? Di sinilah bagian terpenting dari cerita ini. Dia tidak merasa bersalah!

Saat orang-orang di sana membawa wanita itu ke pinggir jalan, dia menuduh orang yang ditabraknya telah “berkendara seenaknya sendiri”. Saya ada di sana waktu itu, sehingga bisa langsung mendengar ocehannya.

Dan inilah ocehannya, “Saya sudah membunyikan klakson dengan keras, tapi dia (orang yang ditabraknya) masih saja berbelok! Dia yang salah!”

Sekilas, kalimat itu terdengar benar. “Saya sudah membunyikan klakson dengan keras, tapi dia masih saja berbelok! Dia yang salah!”

Terdengar innocent, huh?

Tetapi, jika melihat peristiwanya langsung, wanita itulah yang salah. Wanita itu telah membunyikan klakson terus menerus dari belakang, saat jaraknya masih jauh. Dia melaju dengan kencang dan terus membunyikan klakson tanpa henti, meminta orang-orang di depannya menyingkir. Saya mendengar itu dengan jelas, karena saya ada di sana.

Kemudian, ada pasangan suami istri dengan seorang anak yang akan berbelok ke kanan. Mereka ada di tengah jalan, dan melaju perlahan, dengan lampu sein menyala ke arah kanan.

Semua pengendara yang punya SIM mestinya paham, bahwa lampu sein kanan yang menyala di depan kita merupakan isyarat untuk belok ke kanan. Jika kita akan menyalipnya, lakukan di sebelah kiri, agar motor itu bisa berbelok ke kanan dengan aman. Sebaliknya, jika kita tidak mungkin menyalip, karena jalan raya sedang ramai, maka turunkan kecepatan. Ingatlah itu, ketika melihat kendaraan di tengah jalan raya, dengan lampu sein menyala!

Tetapi wanita idiot tadi tidak memahami peraturan suci tersebut. Bukannya menyalip ke kiri atau menurunkan kecepatan, dia malah terus melaju kencang sambil sibuk membunyikan klakson. Apa dia pikir jalan raya milik mertuanya? Lalu setelah kecelakaan terjadi, dia malah menyalahkan orang yang ditabraknya.

Sudah melihat “bahaya” yang saya maksud?

Berkendara seenaknya tanpa hati-hati, atau membunyikan klakson seenaknya sendiri, mungkin terkesan biasa. Tetapi, dalam kondisi tertentu, hal itu bisa menimbulkan bahaya. Bagi diri sendiri, juga bagi orang lain.

 
;