Sabtu, 05 Mei 2018

Catatan Ulang Tahun

Apa yang paling penting dalam hidup? Kesadaran. 
Ironisnya, itu justru tampak paling tidak penting, hingga terabaikan.


Setiap tahun, sebagaimana yang terjadi pada orang-orang lain, saya melewati satu hari yang menjadi tanggal ulang tahun. Bagi saya, ulang tahun adalah hari biasa, dan saya pun biasanya menjalani hari ulang tahun dengan biasa-biasa saja, sebagaimana hari-hari biasa lainnya. Seumur-umur, saya hanya satu kali merayakan ulang tahun—dulu, ketika masih awal kuliah.

Kemarin, tanggal 3 Mei, saya berulang tahun. Sebenarnya tidak ada rencana apa pun, apalagi sampai merayakannya. Saya pikir akan menjalani hari itu dengan biasa-biasa saja—membaca buku, bekerja, dan menikmati kesibukan seperti biasa. Tapi kemudian saya mendapatkan sesuatu yang lebih menyenangkan.

Semua berawal tanpa sengaja. Malam hari, 18 April kemarin, saya dan bocah ini makan malam bersama di sebuah resto. Tempatnya nyaman—tersedia tempat duduk lesehan, juga ada meja-kursi. Kami memilih tempat lesehan, biar bisa leyeh-leyeh sambil udud. Kami memesan nasi dan ikan bakar. Dan teh hangat, dan jus.

Karena pas jam sibuk (banyak pengunjung), kami harus menunggu cukup lama, dan kami pun mengobrol sambil menunggu pesanan diantarkan. Ketika sedang menunggu itulah, muncul bocah-bocah lain yang kami kenal. Resto itu memang populer di kalangan teman-teman kami, jadi pertemuan dengan teman-teman di sana bisa dibilang hal biasa. Ketika melihat kami, bocah-bocah yang baru datang ikut ngumpul di tempat kami duduk.

Mula-mula hanya dua orang. Seiring dengan itu, muncul lagi satu orang. Lalu satu orang lagi. Mereka ikut duduk di tempat kami. Akhirnya, enam orang berkumpul di satu tempat, dan kami pun mengobrol asyik—seperti umumnya bocah.

Usai makan, kami melanjutkan obrolan sampai resto tutup. Dalam obrolan itulah, beberapa dari mereka ingat kalau saya akan ulang tahun beberapa hari lagi. Mereka mengusulkan agar kami ngumpul di tempat saya, sambil bakar ikan, merayakan ulang tahun saya mendatang. “Sudah lama, kita tidak kumpul-kumpul kayak dulu.”

Saya oke saja. Saya bilang ke mereka, nanti saya carikan ikannya, sementara nasinya bisa pesan ke warung. Mereka setuju, bahkan mengatakan akan mengajak teman-teman yang lain. “Biar ramai kayak dulu,” kata mereka.

Di Hari H, saya pun siap-siap. Saya memesan nasi ke warung untuk porsi 15 orang, dan akan diambil nanti malam. Setelah itu membeli ikan untuk dibakar, menyiapkan arang, juga tempat pembakaran serta perlengkapannya. Menjelang malam, semuanya sudah siap.

Di samping kanan rumah saya ada tempat kosong tanpa atap, yang hanya berisi hamparan batu. Saya menggelar karpet di bebatuan itu, dan di sanalah kemudian kami berkumpul. Ada 11 orang yang datang—teman-teman yang lama tidak berkumpul karena kesibukan masing-masing. Secara alfabetis, mereka adalah Adit, Dani, Fahmi, Fikri, Gunawan, Heri, Miko, Rino, Safik, Salman, dan Topik. Kami semua bukan teman sekampus, tapi teman nyangkruk. Di masa lalu, kami kuliah di kampus berbeda-beda, tapi biasa ngumpul bersama.

Kami duduk bersama, beralas karpet dan beratap langit. Membakar ikan, dan bercengkerama. Setelah itu, kami makan bersama, menikmati malam yang menyenangkan. Langit tampak cerah, dengan taburan bintang, dan rembulan seperti tepat di atas kami. Bagi saya, itu acara ulang tahun sederhana namun mengesankan.

Seusai makan, kami melanjutkan percakapan sambil menikmati udud. Sebagian dari kami sudah ada yang menikah, ada pula yang sudah punya anak. Miko, yang sudah menikah, mengatakan, “Aku benar-benar kangen menikmati saat-saat seperti ini. Rasanya seperti mengulang masa lalu.”

Heri, yang juga sudah menikah, menimpali, “Betul. Sekarang, mencari sedikit waktu luang saja sulitnya luar biasa. Saban hari selalu ada yang perlu dilakukan, dan seperti tak pernah berakhir. Bisa kumpul-kumpul seperti ini rasanya seperti jeda yang sangat menyenangkan.”

Di acara itu pula, kami saling terbuka mengisahkan kehidupan masing-masing, dengan segala suka duka, bersama kejujuran dan canda tawa.

Di masa lalu, Topik dan Heri adalah teman dekat yang biasa saling mengunjungi. Namun, sejak Heri menikah, Topik mulai jarang mengunjungi Heri, dan belakangan bahkan tidak pernah lagi. Malam itu, saat kami berkumpul bersama, Heri sempat menyinggung hal itu, dan Topik menjelaskan.

“Sebenarnya, aku masih ingin dolan ke tempatmu,” ujar Topik kepada Heri. “Tapi sejujurnya aku tidak enak. Terakhir kali, saat datang ke rumahmu, kamu sedang mengurusi anakmu, dan sepertinya waktu itu kamu juga sedang sangat kerepotan. Aku khawatir kedatanganku mengganggumu.”

Heri pun kemudian menyadari, dia juga sudah lama sekali tidak dolan ke tempat Topik seperti di masa lalu, karena nyatanya dia sangat kerepotan mengurus keluarga. “Seperti yang kubilang tadi,” kata Heri, “bisa kumpul-kumpul lagi seperti ini rasanya seperti jeda menyenangkan.”

Yang mengalami “perpisahan” seperti itu bukan hanya Heri dan Topik. Beberapa teman yang lain—yang ikut kumpul malam itu—juga mengalami hal serupa. Mereka semula sangat dekat, biasa saling mengunjungi, lalu salah satu dari mereka menikah, dan pertemanan mereka pun merenggang. Saya juga mengalami hal semacam itu.

Di masa lalu, saya, Fikri, dan Safik, biasa runtang-runtung. Sebegitu dekat hubungan kami, sampai orang tua masing-masing mengenali kami sebagai teman anak mereka. Saya akrab dengan keluarga Fikri dan Safik, layaknya saudara. Lalu Fikri menikah, dan saya mengalami “dilema”. Di satu sisi, saya masih ingin sering mengunjungi Fikri, seperti biasa. Namun, di sisi lain, saya khawatir kedatangan saya akan mengganggu—persis seperti yang dialami Topik tadi.

Sejak itu pula, hanya ada saya dan Safik. Kami berdua masih sering bersama, seperti dulu, seperti biasa. Tapi kebersamaan itu pun akhirnya usai, ketika Safik menikah.

Saya masih ingat, bertahun lalu, ketika akan menikah, Safik berkata kepada saya, “Meski aku sudah menikah, aku ingin kita tetap berteman seperti biasa. Aku akan tetap mengunjungimu, dan aku berharap kamu masih mau mengunjungiku. Aku tidak ingin kehilanganmu, seperti aku kehilangan Fikri, atau yang lain.”

Waktu itu, saya pun berjanji pada Safik, bahwa saya akan tetap menjadi temannya, seperti biasa.

Tetapi, faktanya, jalan hidup tak semudah angan. Setelah menikah, Safik memasuki kehidupan baru, kesibukan baru, yang menguras energi dan menghabiskan waktunya. Di awal-awal dia menikah, saya masih mengunjunginya, sebagaimana dia juga mengunjungi saya (bersama istrinya). Tetapi, setelah punya anak, pertemuan kami makin jarang. Dia makin sibuk, sehingga tak punya waktu luang. Sementara saya juga tidak enak setiap kali ingin datang menemuinya, karena khawatir akan mengganggu.

Salman, yang juga sudah menikah, bercerita secara jujur bagaimana kehidupannya sekarang, setelah punya tiga anak yang masih kecil. “Bahkan umpama aku diberi 50 jam setiap hari, rasanya masih kurang, karena banyaknya beban serta kesibukan yang harus kulakukan,” ujarnya.

Setelah itu, ia melanjutkan, “Jika kalian bertanya, apakah aku bahagia bersama istri dan anak-anakku, tentu aku bahagia. Menatap anak-anak yang kita miliki adalah menatap wujud kebahagiaan. Tetapi, kita tahu, selalu ada harga yang harus dibayar. Termasuk untuk kebahagiaan yang kini kumiliki. Dan harga yang harus kubayar adalah berkurangnya waktu tidur, berkurangnya istirahat, termasuk berkurangnya kesempatan bertemu teman-teman. Dari bangun tidur sampai tidur lagi, yang kupikirkan hanya keluarga, dan yang kulakukan hanya untuk mereka. Percaya atau tidak, aku sering merasa sudah tua.”

Secara fisik, rata-rata dari kami yang sudah menikah memang tampak lebih tua dibanding yang masih lajang. Kami semua sebaya—rata-rata berusia 30-35. Tapi perbedaan antara yang sudah menikah dan yang masih lajang bisa dibilang sangat jelas. Salman dan saya, misalnya, memiliki usia sama. Tapi Salman sudah seperti bapak-bapak, sementara saya masih mirip ABG yang baru lulus SMA. Ketika saya katakan itu, Salman ngakak sambil misuh-misuh.

Dari percakapan-percakapan yang jujur dan saling terbuka itu, kami kemudian bernostalgia ke masa lalu, saat-saat masih belia, masih sama-sama lajang, dan begitu bebas.

Safik berkata kepada saya sambil tersenyum, “Da’, masih ingat, zaman kita kuliah dulu, jalan-jalan dengan motorsport dan pakai t-shirt Volcom atau Spyderbilt? Waktu itu, kita merasa bocah-bocah paling keren sedunia. Kini, aku merasa itu sudah berabad-abad lalu. Aku masih punya t-shirt Volcom dan Spyderbilt dari masa itu. Tapi sudah malu memakainya.”

Saya tertawa mendengar itu. Saya tentu masih mengingatnya—itu zaman ketika Volcom dan Spyderbilt baru menjadi tren di kalangan bocah Indonesia. Dalam memori saya, itu baru beberapa tahun lalu, saat kami sama-sama awal kuliah. Di masa itu, Volcom atau Spyderbilt mudah dikenali, karena memiliki warna-warni nge-jreng, dan sangat meremaja.

Fahmi kemudian menyahut, “Omong-omong soal Volcom dan Spyderbilt, itu seperti cermin nyata betapa kita memang sudah berubah. Ya, aku juga punya t-shirt itu di masa lalu, dan merasa sangat keren waktu memakainya. Tapi, seperti Safik, sekarang aku juga malu memakainya. Bukan malu pada siapa pun, tapi malu pada diri sendiri, karena merasa sudah tua, karena sadar sudah tidak sekeren waktu remaja dulu.”

Setelah itu, Fahmi melanjutkan panjang lebar, “Itu seperti angan dan khayal kita, kan? Waktu masih belia, kita punya setumpuk impian dan angan indah—tentang diri sendiri dan masa depan. Tapi waktu-waktu berlalu, dan kita perlahan lupa pada semua angan dan impian itu. Kita menikah, punya anak-anak, lalu tiba-tiba hidup kita hanya sebatas keluarga. Kita benar-benar sudah tak ingat pada mimpi-mimpi indah di masa belia dulu, karena realitas telah mencengkeram kita begitu kuat. Mau tidak mau, kita harus menghadapi dan menjalani kehidupan yang ada—anak, istri, keluarga, beserta segala kesibukan di dalamnya—dan, mungkin, kadang-kadang kita ingat pada masa lalu, sambil diam-diam merasa malu. Persis seperti kita dulu merasa begitu keren saat memakai Volcom atau Spyderbilt, tapi kini malu memakainya.”

Ungkapan panjang itu membuat kami terdiam. Mungkin sama-sama menyadari kebenaran ucapan Fahmi.

Lalu saya berkata perlahan-lahan, “Sebenarnya, aku masih memakainya.”

Mereka menatap saya, dan saya menjelaskan, “Aku masih memakai Volcom atau Spyderbilt—atau semacamnya. Bukan untuk keren-kerenan, tapi untuk tidur.”

Mereka tertawa.

Saya melanjutkan, “Melihat kalian, yang sudah menikah, sejujurnya aku senang. Karena kalian bertumbuh dan menjadi pribadi yang lebih baik. Kita sama-sama tahu, beberapa dari kita yang dulu suka mabuk, sekarang tak pernah mabuk setelah menikah. Yang dulu mbah-mbuh dan seenaknya, sekarang rajin kerja keras dan menjadi pribadi bertanggung jawab. Artinya, pernikahan mampu mengubah orang menjadi lebih baik. Kalian juga memiliki banyak hal yang tidak atau belum kumiliki—pasangan, anak-anak, keluarga. Tapi, seperti yang tadi dibilang Salman, kita semua harus membayar hidup yang kita pilih. Karena setiap pilihan—menikah atau melajang—sama-sama meminta harga yang harus dibayar.”

....
....

Well, terima kasih untuk teman-teman yang kemarin sudah datang. Semoga kalian beserta keluarga juga sama-sama diberi kesehatan dan panjang umur, agar bisa melakukan hal-hal yang ingin dilakukan, impian yang ingin diwujudkan, agar hidup yang singkat ini benar-benar menjadi saat-saat yang bermakna.

 
;