Selasa, 15 Mei 2018

Foto, Kamera, dan Persoalan Umat Manusia

“Satu-satu lahir," kata Pram, "Satu-satu pergi.” 
Siklus murni antara awal dan akhir, namun penuh hal buruk 
dan sia-sia di antara keduanya.


Sebuah kios di pasar buah terbakar, dan asap hitam membubung ke langit malam. Orang-orang ramai menatap langit, menunjuk-nunjuk asap gelap yang bergulung-gulung, menyadari kebakaran sedang terjadi.

Saya sedang dalam perjalanan, ketika peristiwa itu terjadi. Karena jalanan macet parah, saya pun memutuskan untuk menepi dan berhenti, sambil menunggu kemacetan terurai. Tapi rupanya lokasi di sekitar itu bertambah macet, akibat kebakaran yang terjadi. Banyak orang berdesak-desakan di sekitar lokasi kebakaran, sementara polisi yang ada di sana kewalahan menghalau mereka.

Kios yang mengalami kebakaran berada di antara banyak kios lain. Waktu itu, pemadam kebakaran belum datang. Jika pemadam kebakaran terlambat, tidak menutup kemungkinan kebakaran di satu kios akan merembet ke kios-kios lain.

Tetapi, selain itu, ada hal yang juga saya risaukan. Ratusan orang ada di sana, berdesak-desakan, menyaksikan lokasi kebakaran, dan... mereka sibuk mengacung-acungkan ponsel, merekam kebakaran tersebut, dengan ekspresi gembira. Mereka tidak melakukan apa-apa. Selain hanya berdesak-desakan di sana, dan mengacungkan ponsel, seolah mereka punya kewajiban merekam peristiwa yang terjadi.

Sementara orang-orang menyaksikan kebakaran sambil memegangi ponsel, saya duduk dan memandangi mereka. Saya berpikir, apa manfaat mereka melakukan itu?

Mungkin akan lebih bagus kalau kami semua—orang-orang kurang kerjaan yang menonton kebakaran di sana—beramai-ramai mencari air, lalu membantu memadamkan api. Tapi tidak. Dasar orang-orang kurang kerjaan, kami semua justru hanya berdesak-desakan, menonton api yang menjilat-jilat, dan mengacung-acungkan ponsel untuk merekam peristiwa kebakaran. Oh, well, dengan muka gembira.

Apa manfaatnya melakukan itu? Saya tidak tahu.

Ketika akhirnya pemadam kebakaran datang, kendaraan besar itu kesulitan membelah kerumunan orang yang saling berdesakan di badan jalan. Setelah susah payah memasuki kerumunan banyak orang, kendaraan pemadam akhirnya bisa masuk ke lokasi, dan mulai memadamkan api.

Seharusnya saya tidak di sana. Karena tidak ada manfaatnya. Bagi diri saya sendiri, bagi orang lain, bagi korban kebakaran, juga bagi dunia. Seharusnya saya tidak di sana. Tapi kebetulan saya sedang ada di sana. Jadi, di sanalah saya berada—di sekeliling banyak orang—tanpa membawa manfaat apa pun.

....
....

Sejak peradaban manusia mengenal ponsel berkamera, manusia semakin sia-sia, semakin tidak berguna. Mereka menggunakan ponsel untuk apa saja, bahkan untuk hal-hal yang sungguh-sungguh sangat... sangat tak berguna. Seperti merekam kebakaran atau bencana lain. Atau selfie dengan merusak alam. Atau memotret hal-hal yang seharusnya tak terekam.

Pada September 2016, Garut dilanda banjir besar. Bencana banjir di Garut waktu itu bahkan masuk trending topic di Twitter. Orang-orang pun berdatangan ke sana. Sebagian membawa bantuan berupa makanan dan obat-obatan, sebagian lain datang ke sana untuk... selfie. What the hell?

Dandim 0611 Garut, sekaligus Komandan Satgas Tanggap Bencana Banjir Bandang Garut, Letkol Arm. Setyo Hani Susanto, marah-marah atas hal itu. Dia mengatakan bahwa warga di sana—yang menjadi korban banjir—sudah stres, dan itu masih ditambah dengan banyaknya orang yang datang ke sana untuk selfie.

“Yang lebih parah,” ia menuturkan, “mereka (orang-orang yang datang) memajang spanduk, berfoto, sambil teriak dan tertawa. Padahal di belakangnya ada saudara kita yang terkena musibah. Ini bukan wisata bencana! Mereka (warga Garut) kena musibah, sedang berupaya memungut harta bendanya yang masih tersisa, dan bahkan ada yang hilang, ada yang membersihkan rumah. Mata mereka melihat.”

Berapa banyakkah orang kurang kerjaan yang ber-selfie di musibah banjir Garut? “Bukan sepuluh atau dua puluh orang,” jawab Setyo Hani Susanto. “Ratusan orang seperti itu, seperti sebuah tontonan. Ini bukan tontonan!”

Banjir di Garut, atau musibah di mana pun, tentu bukan tontonan. Juga bukan arena hiburan. Juga bukan tempat yang tepat untuk pamer atau selfie. Tapi berapa banyakkah dari kita yang mau menyadari?

Ada banyak sekali orang yang—entah apa isi otaknya—kerap melakukan tindakan salah di tempat yang salah dengan cara yang salah. Selfie di lokasi bencana. Tertawa-tawa di tempat musibah. Merekam kebakaran tanpa paham apa manfaatnya. Merusak taman hanya untuk berfoto. Deretan ketidakmanfaatan yang salah kaprah ini masih panjang, dan menunjukkan betapa sia-sianya manusia.

Menyangkut kesia-siaan manusia, hal terakhir yang membuat saya miris adalah orang-orang yang sibuk memotret atau memvideokan acara pemakaman.

Di masa lalu, setiap kali menghadiri pemakaman, yang saya rasakan adalah suasana hening dan khusyuk. Pemakaman adalah saat-saat terakhir antara kita yang masih hidup dengan orang meninggal yang akan dimakamkan. Itu waktu-waktu sakral, yang seharusnya membuat kita menundukkan muka, dan diam seraya membiarkan detik-detik berlalu.

Itu dulu. Sekarang, rupanya, bahkan di acara pemakaman pun masih ada orang-orang yang menjadikan pemakaman sebagai waktu untuk pamer ponsel. Atau bahkan selfie sambil cengengesan.

Ada seorang teman saya yang meninggal dunia, dan kami mengantarkannya ke pemakaman. Saat jenazah akan dikuburkan, ada beberapa orang yang menggunakan ponsel untuk memotret hal itu, atau merekamnya dengan kamera video. Saya berdiri diam menyaksikan, karena tidak tahu apa yang harus dilakukan. Saya melirik anggota keluarga almarhum yang ada di sana, dan mereka semua menunjukkan muka tidak senang.

Pemakaman bukan resepsi yang membutuhkan dokumentasi. Kalau keluarga almarhum memang ingin mendokumentasikan pemakaman anggota keluarganya, biar mereka yang melakukan. Orang-orang di luar keluarga almarhum tidak punya hak untuk melakukan itu. Meski tidak pernah diajarkan siapa pun, mestinya kita menyadari bahwa memotret atau memvideokan jenazah adalah sesuatu yang melanggar etika!

Jika ada teman atau saudara atau tetangga yang meninggal, dan keluarga almarhum berkata kepadamu, “Bisakah kamu membantu mendokumentasikan acara pemakaman ini?” Maka silakan lakukan dokumentasi, berupa foto, atau video. Tidak masalah, karena itu permintaan keluarga si mati. Tetapi kalau mereka tidak meminta, jangan lakukan!

Mestinya, hal-hal sederhana terkait etika seperti ini dipahami semua orang, tanpa perlu dijelaskan lagi.

....
....

Ketika saya menulis catatan ini, Saleem Iklim (iya, Saleem Iklim yang itu!) sedang sakit dan terbaring di rumah sakit. Karena dikenal sebagai artis Malaysia, banyak orang mengunjungi Saleem di rumah sakit—termasuk para penggemar dan wartawan dari berbagai media. Dan sama seperti yang terjadi di mana pun, ada banyak orang yang mengeluarkan ponsel atau kamera, untuk memotret Saleem yang terbaring tak berdaya di ranjang rumah sakit.

Kondisi Saleem terlihat menyedihkan, layaknya orang sakit. Wajahnya kuyu, tubuhnya kurus kering. Dia tampak jauh berbeda dengan sosok yang dulu menyanyikan lagu-lagu cinta, sebagaimana yang kita kenal.

Mendapati banyak orang memotret dirinya, dengan susah-payah Saleem mengatakan, “Tolong jangan unggah foto-foto saya di sini (rumah sakit) ke internet. Saya tidak nyaman dengan kondisi yang sedang saya alami.”

Itu pesan yang diucapkan orang yang sedang sakit parah. Dan apakah orang-orang mematuhi atau memenuhi permintaan itu? Saya tidak tahu. Yang saya tahu, foto-foto Saleem di rumah sakit kemudian bertebaran di media sosial. Beberapa orang bahkan membanggakan diri karena “telah menjenguk Saleem di rumah sakit” sembari memamerkan foto buatannya dengan ceria.

Selfie dan kemampuan membuat foto adalah salah satu perbedaan manusia dengan primata. Sayangnya, kemampuan itu tidak diimbangi dengan kesadaran, etika, dan kearifan—sesuatu yang juga tidak dimiliki primata.

 
;