Selasa, 01 Mei 2018

Kolam Darah di Thailand

Banyak orang tersesat, keliru, salah paham, 
meyakini tanpa dasar, dan selama bertahun-tahun terus begitu. 
Hanya karena asumsi yang keliru.


Di Thailand, ada pantai yang sangat indah bernama Koh Samui, tempat banyak wisatawan berdatangan. Di tepi Pantai Koh Samui ada hotel yang tak kalah indah, bernama The Library. Nama hotel itu mungkin terdengar unik, namun di dalamnya memang ada perpustakaan (library), dengan koleksi buku yang mampu membuat para kutubuku mendadak horny. Yang tak kalah unik, Hotel The Library memiliki kolam renang dengan air semerah darah.

Kolam renang semerah darah itu berada di bagian luar hotel—tepat berhadapan dengan Pantai Koh Samui—sehingga para tamu yang datang ke hotel akan melewati kolam renang tersebut. Biasanya, reaksi orang-orang yang pertama kali melewati kolam renang itu akan bergidik, karena air di kolam benar-benar seperti darah kental. Saat permukaan air sedang bergerak, yang tampak dalam pandangan kita seperti kolam darah yang sedang menggelegak.

Tetapi, tentu saja, air dalam kolam bukan darah, melainkan air sebagaimana yang kita kenal. Warna merah mirip darah muncul sebagai efek dari mozaik keramik yang digunakan di sekitar kolam, yang berpadu dengan sinar matahari. Karenanya, kalau kita memasukkan tangan ke dalam kolam, yang kita rasakan tentu air biasa. Jika kita ambil setangkup air di tangan, air di tangan kita juga tampak putih sebagaimana air biasa.

Secara keseluruhan, Hotel The Library menggunakan warna hitam, putih, dan merah. Dinding-dindingnya dominan warna putih, begitu pula tempat tidur. Namun rak-rak di perpustakaan, juga perabotan di kamar, berwarna hitam. Sementara seluruh lantai di sana berwarna merah. Merah yang menyala. Semua itu, dalam pikiran saya, perpaduan filosofis bagi para tamu yang mau berpikir.

Orang-orang yang datang ke Hotel The Library akan melewati kolam renang semerah darah, dan mereka bergidik ngeri. Lalu mereka masuk ke hotel yang putih bersih, dan mendapati perpustakaan yang menyediakan banyak buku untuk belajar. Setelah punya waktu luang, mereka bisa mendatangi kolam renang semerah darah tadi, dan mendapati bahwa air di kolam hanyalah air biasa, bukan darah.

Apa yang terjadi? Asumsi. Pembelajaran. Dan kesadaran.

Kolam dengan penampakan semerah darah pasti dibuat dengan sengaja, bukan hasil karya arsitek iseng yang ingin mengerjai tamu-tamu hotel. Begitu pun, keberadaan perpustakaan di hotel juga pasti disengaja, karena tidak setiap hotel punya perpustakaan besar. Karenanya, tepat kalau kemudian hotel itu menggunakan nama The Library. Bukan hanya tempat untuk menginap atau berlibur, tapi juga tempat untuk belajar.

Seratus tahun sebelum Hotel The Library dibangun di tepi pantai Thailand, ada kisah serupa yang melibatkan seorang astronom terkenal, bernama Percival Lowell. Di Amerika maupun di dunia umumnya, Percival Lowell dianggap sebagai astronom terkemuka di awal abad ke-20.

Dalam pengamatan di Flagstaff, Arizona, Percival Lowell menguji kebenaran hipotesa Giovanni Virginio Schiaparelli, astronom Italia, yang percaya bahwa di planet Mars pernah ada kanal. Percival Lowell setuju hipotesis Schiaparelli, terkait keberadaan kanal di Mars. Lowell bahkan mengatakan bahwa kanal-kanal itu berwarna merah, dan tampaknya bergerak.

Di dalam bukunya, Mars As the Abode of Life, Lowell tidak hanya menjelaskan penemuan tersebut, tapi juga menggambarkan peta mengenai kanal yang ia saksikan. Sejak itu, ide dan peta buatannya muncul di buku-buku pelajaran sekolah di dunia. Anak-anak sekolah diberitahu bahwa di Mars ada kanal-kanal berwarna merah, sebagaimana yang dinyatakan Percival Lowell.

Yang tidak dipahami Lowell adalah... di Mars tidak ada kanal!

Percival Lowell seorang terpelajar yang sangat teliti. Namun dia menderita penyakit mata yang masih langka, yang juga tidak diketahuinya. Saat melihat dari teleskop, dia melihat urat nadi merah di matanya sendiri. Itulah “kanal merah” yang disaksikan Lowell, saat mempelajari Mars. Pada masa itu, Lowell sangat dihormati di kalangan ilmuwan, sehingga orang-orang memilih diam. Belakangan, setelah Lowell meninggal, para ilmuwan baru mengoreksi kesalahan tersebut.

Keberadaan kanal merah di Mars diyakini Lowell sebagai kenyataan, tetapi sesungguhnya bentuk yang tercipta dari asumsinya, karena penyakit mata yang ia derita. Tentu saja kita tidak menyalahkan Lowell, karena bagaimana pun dia telah berupaya maksimal dalam penelitiannya. Namun, jika orang seserius dan seteliti Lowell bisa “ditipu” keyakinannya sendiri, apalagi kita?

Pada masa hidupnya, Percival Lowell tentu sangat yakin bahwa di Mars memang ada kanal-kanal berwarna merah. Sebegitu yakin, sampai dia bisa menjelaskanya secara meyakinkan, bahkan menggambarkan peta kanal-kanal itu dengan detail. Dan orang-orang percaya, karena dia yang mengatakan. Sayangnya, Lowell manusia biasa, yang tidak luput dari kekurangan dan kekhilafan—dalam hal ini penyakit mata. Dia tidak menyadari penyakitnya sendiri, sehingga yang ia lihat diburamkan oleh penyakitnya.

Ketika menyaksikan kolam semerah darah di Hotel The Library, saya teringat pada Percival Lowell. Betapa keyakinan yang kita peroleh sebagai hasil pembelajaran dan penelitian pun kadang bisa keliru, bias, dan subjektif. Karena kita kadang punya “penyakit” tertentu yang menghalangi objektivitas dalam menatap banyak hal. Kita menggunakan asumsi dan “pengalaman” kita sendiri dalam memandang realitas.

Berapa kali kita menemui sesuatu, lalu menatap hal itu berdasarkan keyakinan kita? Berapa kali kita bertemu seseorang, dan mendengarkan kisahnya, lalu menilai orang itu berdasarkan pengalaman kita? Berapa kali kita menghadapi peristiwa, lalu memandang peristiwa itu berdasarkan asumsi-asumsi kita?

Disadari atau tidak, kita lebih sering menggunakan pengalaman kita sendiri untuk menilai banyak hal, padahal pengalaman yang kita miliki tentu subjektif dan belum tentu dialami semua orang. Itu seperti penyakit mata yang diderita Percival Lowell. Penyakit itu benar-benar ada, tapi tidak disadari, bahkan oleh pengidapnya. Yang ia hasilkan—bahkan dengan segala pembelajaran yang amat teliti—justru kekeliruan.

Seperti para tamu yang datang ke Hotel The Library. Mereka bergidik ngeri ketika melangkah di samping kolam, dan menyaksikan air semerah darah yang menggelegak. Mengapa mereka bergidik ngeri? Karena mereka menggunakan asumsi berdasar pengalaman sendiri. Mereka pernah melihat darah, dan menggunakan pengalaman itu saat melihat air di kolam.

Berbeda dengan anak-anak kecil, yang belum pernah melihat darah seumur hidup mereka. Ketika melangkah melewati kolam renang di The Library, anak-anak itu tidak menunjukkan reaksi seperti orang tua mereka. Alih-alih bergidik ngeri, anak-anak itu justru tampak tertarik. Anak-anak melihat segala sesuatu berdasarkan realitas. Kadang kala mungkin naif, namun anak-anak sering kali lebih objektif, karena mereka belum dikuasai asumsi berdasarkan pengalaman pribadi yang subjektif.

Kehidupan kita dibentuk oleh pengetahuan. Pengetahuan kita dibentuk oleh keyakinan. Keyakinan kita dibentuk oleh pengalaman. Dan pengalaman dibentuk oleh lingkungan—tempat lahir, keluarga, latar sosial, sekolah tempat belajar, pergaulan, sampai makanan, minuman, hingga musik dan film dan bacaan, yang biasa kita konsumsi. Karenanya, memaksakan sesuatu kepada orang lain bisa sangat bermasalah, khususnya jika orang lain memiliki pengalaman hidup berbeda dengan kita.

Seperti yang mungkin sering kita dengar, manusia adalah produk lingkungannya. Lingkungan adalah pembentuk keyakinannya. Keyakinan seseorang akan mempengaruhi cara dalam menjalani kehidupan.

Karena itulah, seperti yang saya sebut tadi, Hotel The Library adalah perpaduan filosofis bagi para tamu yang mau berpikir. Hotel itu mengejutkan para tamu yang datang, dengan kolam air semerah darah, dan menyediakan perpustakaan untuk belajar. Di tepi kolam juga tersedia kursi-kursi nyaman bagi yang ingin bersantai, lengkap dengan payung peneduh, hingga siapa pun bisa duduk nyaman memandangi kolam semerah darah di dekatnya, dan menatap keindahan pantai Koh Samui di kejauhan.

Karena hal-hal di dekat kita, seperti asumsi dan pengalaman, sering kali menipu. Sementara kebenaran sering kali berada di tempat lebih jauh. Dan langkah menuju ke sana adalah kemauan belajar, kesadaran untuk mau berpikir, dan kebesaran hati untuk menerima kebenaran.

 
;