Kamis, 24 Mei 2018

Pelajaran Dalam Sunyi

Bukan kebenaran yang penting, bagi sebagian orang, tapi ilusi.


Ada ungkapan terkenal, “Nabi tidak dikenal di kampungnya sendiri.” Dalam interpretasi saya, ungkapan itu kira-kira menyatakan bahwa orang-orang hebat sering kali tidak dikenal oleh lingkungannya, atau orang-orang yang hidup berdekatan dengannya.

Kebetulan, saya punya beberapa teman seperti itu. Bagi orang-orang yang hidup berdekatan dengan mereka—misal tetangga sekampung—mereka hanyalah orang-orang biasa. Tetapi, ternyata, ada banyak orang dari tempat-tempat jauh yang justru tahu siapa mereka sebenarnya, dan sangat menghormati mereka.

Salah satu contoh terkait hal itu adalah seorang teman, bernama Taufik (saat ini dia dikenal sebagai ulama yang disebut Kiyai Taufik. Orang-orang Pekalongan pasti kenal ulama muda ini.) Taufik adalah teman saya sejak remaja. Waktu saya SMA, dia mondok di sebuah pesantren di Kaliwungu. Kalau dia pas pulang, kami pun bertemu di rumahnya, mengobrol dan bermain layaknya remaja lain. Belakangan, setelah tidak lagi mondok, dia menjalani kehidupan biasa seperti umumnya remaja lain.

Selama waktu-waktu itu, orang-orang yang mengenalnya menganggap Taufik sebagai bocah biasa, tidak beda dengan remaja lain. Bahkan tetangga kanan-kirinya juga berpendapat seperti itu. Bahkan saya yang temannya—yang biasa bermain dan mengobrol dengannya—pun berpikir begitu. Bahwa dia hanyalah bocah biasa.

Tetapi, ternyata, ada orang-orang yang menganggap Taufik sebagai “bukan bocah biasa”. Orang-orang itu kebanyakan dari tempat-tempat jauh—sebagian mengenal dia selama di pondok, sebagian lain mengenal dia dari mulut ke mulut. Kadang-kadang, dulu, pas saya ada di rumahnya, datang beberapa orang yang usianya jauh di atas kami. Mereka datang ke rumah Taufik untuk “mendapat nasihat”, dan sikap mereka begitu hormat pada Taufik.

Bahkan waktu itu pun, saya tetap belum sadar “kehebatan” teman saya sendiri. Ketika melihat orang-orang—muda atau pun tua—berdatangan ke rumah Taufik, dengan berbagai alasan dan latar belakang, saya hanya menganggap semua itu sebagai hal biasa, bahwa teman saya mampu memberi manfaat bagi orang lain. Sudah, tidak ada istimewanya sama sekali—setidaknya dulu saya berpikir begitu.

Lama-lama, makin banyak orang yang mendatangi Taufik, dengan tujuan sama, meminta nasihat. Mungkin saya tidak akan heran kalau yang datang itu bocah-bocah seusia kami. Yang membuat saya agak heran, waktu itu, orang-orang yang datang “meminta nasihat” adalah orang-orang yang usianya jauh lebih tua dari Taufik. Bisa dibilang, mereka seusia ayah atau bahkan kakek kami.

Suatu hari, saat hanya berdua, saya sempat bertanya, “Mereka ngapain, sampai jauh-jauh ke sini?”

Taufik, waktu itu, hanya tertawa seperti biasa.

Hari ini, Taufik telah menjadi ulama muda yang memiliki ribuan jamaah. Seperti rata-rata ulama lain, setiap hari rumahnya tak pernah sepi dari tamu yang berdatangan. Karena permintaan jamaahnya pula, seminggu sekali dia mengadakan pengajian rutin (membahas kitab salaf), dan kawasan tempat tinggalnya harus ditutup dari lalu lintas, akibat ribuan orang yang datang untuk menyimak pengajian. Mereka yang mengaji itu rata-rata usianya jauh di atas Taufik.

Itulah bocah yang dulu biasa mengobrol dan cekikikan dengan saya, ketika kami sama-sama remaja. Seperti saya, tetangga-tetangga Taufik—yang biasa berinteraksi dengannya setiap hari—tidak pernah menyangka bahwa bocah itu kelak akan menjadi ulama dengan ribuan jamaah seperti sekarang. Karena nabi, sebagaimana pepatah, tak dikenal di kampungnya sendiri.

Selain Taufik, ada teman lain yang layak saya ceritakan, bernama Sulaiman. Untuk mengisahkan Sulaiman, saya harus flashback ke masa lalu, ketika saya masih bekerja sebagai tukang gambar batik.

Seperti yang pernah diceritakan di sini, selepas SMA saya bekerja di sebuah pabrik batik, dan bekerja sebagai tukang gambar. Sekitar satu tahun saya bekerja di sana, sampai suatu hari dihubungi seorang teman yang menawari tempat kerja baru di tempat lain.

Ceritanya, waktu itu, ada seorang desainer yang punya butik di Bogor, ingin membuka pabrik baru di Pekalongan. Agar pabrik batiknya berjalan, dia tentu harus mendapatkan para pekerja untuk berbagai bidang. Sebagai desainer, dia bisa membuat desain-desain batik. Tapi dia harus memiliki pekerja di bidang lain, dari orang-orang yang menggambar desain karyanya ke kain, sampai para pembatik. Dalam hal itulah, dia menghubungi seseorang—yang kebetulan saya kenal—untuk dicarikan para pekerja, untuk pabrik batiknya yang akan dibuka.

Jadi, saya ditawari untuk bekerja di pabrik baru tersebut, dengan pekerjaan serupa. Agar saya berminat pindah ke sana, mereka menawari bayaran lebih besar—tiga kali lipat dari yang semula saya terima—hingga saya tidak punya alasan untuk menolak. Sejak itu pula, saya pindah ke tempat kerja baru, yang dimiliki desainer dari Bogor.

Karena masih baru, pabrik itu belum memiliki banyak pekerja. Termasuk tukang gambar seperti saya. Jumlah tukang batik waktu itu sudah cukup banyak—para wanita dan ibu-ibu. Tapi yang bekerja sebagai tukang gambar hanya satu, yaitu saya. Karenanya, seperti yang saya lakukan di pabrik sebelumnya, di sana pun saya harus sering lembur, demi memenuhi kebutuhan kain yang akan dibatik.

Makin lama, kebutuhan itu makin tinggi, dan saya makin kewalahan. Pihak pabrik lalu mencari pekerja lain, yang bisa menggambar di kain, dan mereka menemukan Sulaiman. Sejak itu, saya bekerja bersama Sulaiman, menjadi tukang gambar batik di kain sutra.

Sulaiman seusia saya, waktu itu. Sama seperti saya, dia juga lulusan SMA yang tidak melanjutkan pendidikan. Dia bisa menggambar dengan baik dan luwes. Belakangan, saya tahu, dia juga sudah berpengalaman dalam pekerjaan tersebut. Kesan saya, dia orang kalem yang tidak banyak bicara, dan tidak banyak tingkah. Dalam waktu singkat, kami segera akrab.

Makin hari, makin sering bersamanya, saya menyadari Sulaiman adalah bocah yang bijaksana. Dia tidak banyak omong—lebih banyak diam. Tapi kalau dia ngomong, saya merasa perlu mendengarkan. Meski kami seusia dan sama-sama lulusan SMA, saya merasa dia jauh lebih pintar dan lebih bijaksana. Jadi, saya senang bercakap-cakap dengannya, khususnya saat kami istirahat kerja di tengah hari.

Para pekerja beristirahat jam dua belas siang, sampai jam satu. Selama istirahat, saya biasanya makan di warung, bersama Sulaiman. Seusai makan itulah, kami mengobrol sambil menunggu habisnya jam istirahat.

Ada banyak sekali “hal-hal baru” yang saya dengar dan tahu selama mengobrol dengan Sulaiman—khususnya tentang manusia dan kehidupan. Dan saya senang mendengar dia mengungkapkan pikiran-pikirannya. Selain membuat saya bertambah wawasan, juga membantu saya lebih bijaksana.

Suatu hari, sambil bercanda, saya pernah berkata kepadanya, “Seharusnya kamu menjadi filsuf, Sul.”

Sulaiman tertawa, dan menjawab, “Sebenarnya, aku tidak suka bicara.”

“Tapi sekarang kamu berbicara. Kamu sering bicara denganku.”

“Karena aku percaya kepadamu,” ujarnya. “Tidak setiap orang bisa menjadi pendengar yang baik, yang mampu mendengarkan dengan hati.”

Sulaiman, seperti saya, berasal dari keluarga miskin. Kadang-kadang, pas libur kerja, saya datang ke rumahnya malam hari, dan kami mengobrol sampai larut malam, di teras rumah. Jarak rumah kami cukup jauh, tapi saya senang-senang saja mengayuh sepeda ke tempatnya.

Sulaiman punya adik, seorang perempuan yang waktu itu masih SMA, dan adik Sulaiman biasa menyuguhkan teh, kalau saya dolan ke sana. Lama-lama, karena sering ketemu, saya pun cukup akrab dengan adik Sulaiman.

Suatu malam, saat saya dolan ke rumah Sulaiman, saya harus menunggu, karena rupanya dia sedang keluar. Adik Sulaiman menemani saya, selama menunggu kakaknya. Waktu itulah, adik Sulaiman berkata, “Mas, kenapa kakakku bisa mengobrol asyik denganmu, tapi tidak dengan orang lain?”

Saya kebingungan, dan bertanya, “Maksudnya bagaimana?”

Lalu dia menceritakan, bahwa selama ini Sulaiman nyaris tidak pernah berbicara dengan siapa pun, termasuk dengan anggota keluarganya. Orang-orang, termasuk para tetangga, menganggap Sulaiman sangat pendiam. Sulaiman akan menjawab jika ditanya, tapi sekadarnya, dan dia nyaris tidak pernah mengajak siapa pun berbicara. Karena hal itu pula, Sulaiman bisa dibilang tidak punya teman. Orang-orang menganggapnya aneh, sementara keluarganya menganggap Sulaiman “tidak normal”.

Karenanya, keluarga Sulaiman sangat heran ketika mendapati saya bisa mengobrol asyik dengan Sulaiman, bahkan sampai larut malam. Sulaiman, yang mereka pikir tidak bisa berbicara, ternyata bisa bicara panjang lebar dengan saya, bahkan kami bisa cekikkan bersama seperti orang-orang normal umumnya.

Mendengar tuturan adik Sulaiman waktu itu, saya pun akhirnya paham kenapa orang-orang—tetangga-tetangga Sulaiman—kerap memandang aneh saat saya sedang mengobrol dengan Sulaiman di teras rumah. Mungkin mereka juga heran karena melihat Sulaiman ternyata bisa berbicara dan mengobrol layaknya orang normal.

Ketika Sulaiman pulang ke rumah, malam itu, dan kami kembali mengobrol seperti biasa, saya pun menceritakan kepadanya, terkait hal yang tadi dituturkan adiknya.

Sulaiman menjawab, “Aku memang malas berbicara dengan orang lain. Mereka tidak bisa mendengarkan. Maksudku, mereka lebih tahu cara menghakimi daripada memahami.”

Saya menatapnya. “Kamu mau menjelaskan?”

“Aku menyadari, punya pikiran yang berbeda dengan kebanyakan orang,” ujar Sulaiman. “Aku sering tidak setuju dengan pemikiran banyak orang—terkait banyak hal—tapi aku memilih diam. Karena kalau pun aku mencoba menyampaikan pikiranku—yang berbeda dengan mereka—belum tentu mereka akan memahami, apalagi akan bersepakat denganku. Jadi, aku memang sengaja diam, tidak banyak bicara, kepada siapa pun. Karena, kupikir, berbicara dengan mereka hanya sia-sia, tidak memberi manfaat apa pun.”

“Termasuk dengan keluargamu?” tanya saya.

Sulaiman mengangguk. “Termasuk dengan keluargaku. Mereka, seperti orang-orang lain umumnya, juga sulit menerima hal baru yang berbeda atau bertentangan dengan pikiran dan keyakinan mereka. Karenanya, kalau aku mencoba berbicara dan menyampaikan pendapatku, belum tentu mereka akan menerima, dan bisa jadi malah menyalahkanku. Orang lebih mudah menghakimi daripada memahami. Saat menyadari kenyataan itu, aku pun memilih diam, karena kupikir diam adalah cara terbaik menghadapi hal-hal yang tidak kita setujui.”

Setelah terdiam sejenak, saya berkata, “Tetapi, karena sikapmu yang lebih memilih diam, orang-orang menganggapmu aneh, karena jarang berbicara dengan orang lain.”

Kali ini Sulaiman tersenyum. “Lebih baik aku dianggap aneh, karena tidak pernah berbicara, daripada aku dianggap salah atau sesat karena mencoba menyampaikan pikiranku yang berbeda dengan mereka.”

Karena kami sama-sama lulusan SMA, saya pun bertanya kepadanya, mengenai bagaimana cara dia bisa memahami banyak hal, sekaligus menemukan banyak hal yang tidak diketahui dan dipahami kebanyakan orang.

Sulaiman menjelaskan, “Aku senang berpikir, dan mengamati orang-orang. Selama bekerja—menggambar batik—aku sering berpikir sendirian, merenungkan banyak hal, hingga aku mulai melihat dan memahami hal-hal yang tak dilihat dan dipahami orang-orang lain. Aku punya waktu lama untuk berpikir dan merenung, karena pekerjaanku memungkinkan untuk melakukan hal itu, sementara orang-orang lain terlalu sibuk dengan aktivitas dan pekerjaan mereka.”

Saya mengatakan, “Seharusnya kamu mencoba menyampaikan yang kamu tahu kepada orang-orang, karena pengetahuanmu begitu penting. Orang-orang perlu diberitahu ada hal-hal yang sebenarnya salah, tapi mereka yakini benar, dan mereka perlu diberitahu hal itu.”

“Percuma,” jawab Sulaiman. “Berbicara dengan mereka hanya sia-sia. Tidak akan ada yang mau mendengarkanku, apalagi memahami yang kukatakan. Aku hanyalah orang biasa seperti mereka, atau bahkan mereka menilaiku lebih rendah. Mereka tidak punya alasan untuk mendengarkanku.”

“Tapi aku mendengarkanmu, dan aku bisa memahami yang kamu katakan.”

Sulaiman tersenyum. “Karena itulah, aku pernah mengatakan kepadamu, kamu punya kemampuan mendengarkan dengan hati—sesuatu yang tidak dimiliki kebanyakan orang yang lebih tahu cara menghakimi. Sejak pertama kali bercakap denganmu, aku sudah tahu. Aku bisa mengenali manusia, seperti dokter mengenali kanker.”

“Aku tidak tahu harus senang atau sedih mendengarnya.”

Sulaiman tidak menjawab.

Saya kembali berkata, “Jadi, sampai kapan kamu akan diam seperti sekarang—tidak pernah berbicara dengan orang lain—dan membiarkan orang-orang menganggapmu aneh atau tidak normal?”

“Mungkin sampai aku mati,” jawab Sulaiman. “Lebih baik aku membawa semua pengetahuanku ke alam kubur, dan membiarkan orang-orang menganggapku aneh, daripada aku meninggalkan pengetahuanku di dunia dan orang-orang menganggapku sesat.”

Kalimat-kalimat Sulaiman—sebagaimana yang saya tuliskan di atas—sebenarnya tidak “match” untuk ukuran seorang bocah lulusan SMA. Dia jauh lebih dewasa, bahkan lebih bijaksana, dari usianya. Sebenarnya, dia bocah paling bijaksana yang pernah saya kenal. Termasuk dalam sikapnya yang memilih diam, daripada berkonfrontasi dengan orang lain. Belakangan, saya menyadari, tidak setiap bocah mampu memilih sikap seperti itu.

Dan Sulaiman, sebagaimana orang-orang hebat lain, tidak dikenali di kampungnya sendiri. Orang-orang, termasuk keluarga dan para tetangganya, justru menganggapnya bocah aneh, alih-alih menyadari bahwa dia sosok bijaksana.

Terkait Sulaiman, ada hal sedih yang perlu saya katakan.

Kami bekerja bersama sebagai tukang gambar selama setahun, sampai kemudian saya memutuskan untuk keluar dari sana, demi mengejar impian yang saya inginkan. Meski bekerja sebagai tukang gambar mampu memberi penghidupan yang cukup layak, saya menyadari itu bukan impian atau tujuan hidup saya. Karenanya, suatu hari, saya memutuskan untuk meninggalkan pekerjaan tersebut, dan mengejar sesuatu yang benar-benar saya inginkan. Sejak itulah, saya dan Sulaiman berpisah. Dia tetap bekerja di sana, hingga tahun-tahun berikutnya.

Karena hidup baru dan kesibukan yang saya hadapi kemudian, waktu saya makin sempit, dan intensitas pertemuan saya dengan Sulaiman makin hari makin berkurang. Kami masih berteman baik, tapi tidak bisa lagi bertemu sesering dulu. Belakangan, saya sangat sedih, karena Sulaiman jatuh sakit... dan kisah hidup bocah bijaksana itu benar-benar selesai.

Tentang hal itu, akan saya ceritakan di catatan mendatang.

 
;