Sabtu, 07 November 2015

Alang-alang

Kuman bertanya pada gajah, “Apakah kau melihatku?” |
Gajah menjawab, “Ya, tapi aku pura-pura tak tahu.” |
Dan mataku tertawa.
@noffret


Dalam perjalanan karir saya sebagai bocah miskin, saya pernah bekerja sebagai penjaga titipan kendaraan di pelabuhan. Di kota saya ada pelabuhan, tempat kapal-kapal ikan berlabuh, menurunkan muatan, yang lalu dilelang oleh juru lelang pelabuhan. Biasanya, kapal-kapal berlabuh tengah malam, dan pelelangan dimulai sekitar jam tiga dini hari, lalu terus berlangsung sampai siang, tergantung banyak atau sedikit ikan yang masuk pelabuhan hari itu.

Jadi, sejak dini hari, pelabuhan sudah ramai, dan banyak orang datang ke sana—para pemilik kapal, para juragan ikan, para pengepul, sampai alang-alang. Alang-alang adalah sebutan untuk orang-orang (kebanyakan anak-anak lelaki belasan tahun) yang biasa berkeliaran di pelabuhan untuk memunguti ikan-ikan yang jatuh. Mereka biasanya membawa kantung plastik yang digunakan untuk mewadahi ikan.

Di pelabuhan, ikan-ikan biasa dikumpulkan dalam basket berukuran besar. Selama diangkut, atau dipindah-pindah, beberapa ikan sering terjatuh dari basket. Ikan-ikan yang jatuh itu dianggap boleh diambil, dan ada cukup banyak orang yang datang ke pelabuhan untuk mengambil ikan-ikan jatuh tersebut. Merekalah yang disebut alang-alang. Biasanya, setelah mengumpulkan cukup ikan, mereka menjualnya kepada para pengepul.

Meski keberadaan alang-alang di pelabuhan bisa dibilang hal biasa—karena telah ada sejak zaman dahulu kala—tetapi kadang ada juga “razia” yang menyasar mereka. Tidak jarang, ada petugas yang memburu mereka, dan bocah-bocah lelaki yang menjadi alang-alang itu pun lari kocar-kacir.

Nah, karena ada banyak orang yang datang ke pelabuhan, berbagai kendaraan pun ada di sana—dari truk muatan, pick up, hingga sepeda motor dan sepeda. Untuk sepeda dan sepeda motor, disediakan ruang tersendiri yang cukup luas, dan di sanalah saya bekerja. Setiap hari, saya berangkat ke pelabuhan habis subuh, dan biasanya baru pulang sekitar jam dua atau tiga siang—tergantung selesainya lelang di pelabuhan.

Jadi, bertahun-tahun lalu, setiap habis subuh, saat langit masih gelap, saya mengayuh sepeda dari rumah ke pelabuhan. Jaraknya cukup jauh, kira-kira 1,5 jam perjalanan. Sesampai di pelabuhan, saya masuk ke pos jaga untuk mengambil bundel tiket parkir, lalu menuju ke tempat sepeda dan sepeda motor. Di sana, ratusan sepeda dan sepeda motor tumplek-blek dalam formasi kacau tak karuan, ditinggalkan pemiliknya sejak dini hari, saat mereka akan mengikuti lelang ikan.

Tugas pertama saya adalah merapikan ratusan sepeda dan sepeda motor itu, hingga berjajar dan berbaris rapi, agar lebih mudah saat diambil. Meski mungkin terdengar remeh, dibutuhkan kesabaran setingkat nabi untuk melakukan tugas itu. Tidak sedikit sepeda motor dikunci setang, tapi diparkir seenaknya. Untuk merapikan, tidak hanya dibutuhkan kesabaran, tapi juga ketelitian. Bagaimana pun, saya harus menjaga motor-motor itu tidak lecet atau terluka selama dipindah-pindah.

Setelah bekerja keras merapikan semua kendaraan di sana, saya pun duduk dengan tenang, dengan perasaan puas menyaksikan hasil kerja saya yang menakjubkan. Oh, well, tidak banyak bocah belasan tahun yang mampu melakukan pekerjaan “prestisius” semacam itu. Jadi, saya pun duduk di sana dengan tenang, menyaksikan ratusan sepeda dan sepeda motor yang kini berjajar rapi dan teratur, lalu menyulut rokok. Rasanya nikmat sekali.

Sekitar jam tujuh atau delapan pagi, biasanya ada penjual sarapan yang datang—seorang ibu muda dengan bakul di pundaknya—dan saya membeli beberapa jajan serta teh dalam plastik. Kemudian, selama setengah hari, saya duduk tenang di sana, menjaga semua kendaraan, dan menunggu satu per satu orang datang mengambil sepeda atau sepeda motor miliknya. Saya bekerja di tempat itu hingga sekitar satu tahun.

Selama bekerja di sana, ada banyak kisah dan orang yang saya temui. Salah satu yang cukup unik untuk diceritakan adalah seorang lelaki—usianya sekitar 30 tahun—yang sering ada di sana. Saya tidak tahu apa pekerjaan atau kegiatannya, tapi yang jelas dia sering ada di pelabuhan. Saat senggang, dia senang menemani saya di tempat itu, dan kami pun mengobrol. Obrolan kami sering tidak nyambung—dia berbicara seperti orang mabuk. Meski begitu, saya senang-senang saja. Saya tidak pernah tahu siapa namanya, tapi mari sebut saja dia John Doe.

Suatu hari, John Doe melakukan sesuatu yang sangat mencengangkan.

Karena di tempat itu banyak ikan, kucing-kucing pun banyak berkeliaran, dari yang besar, sampai yang sedang, sampai yang kecil. Selain kucing, di sana juga banyak sarung tangan bekas. Sarung-sarung tangan itu terbuat dari wol, dan biasa digunakan para pengangkut ikan dini hari untuk menjaga tangannya tidak kedinginan. Setelah tidak layak pakai, biasanya sarung-sarung tangan itu dibuang.

Nah, John Doe mengambil sarung tangan itu, dan menggunakannya untuk menutupi kepala seekor kucing. Semula saya tidak tahu apa yang terjadi, saat mendapatinya datang ke tempat saya, sambil tertawa-tawa sendiri seperti orang gila. Waktu saya tanya ada apa, dia menunjuk sesuatu yang membuat saya tercengang.

Tidak jauh di depan saya, seekor kucing berukuran sedang tampak berusaha melepaskan sarung tangan yang memerangkap kepalanya. Tingkah kucing itu memang terlihat lucu—karena dia tidak juga mampu melepaskan sarung tangan di kepalanya—hingga wajar kalau John Doe tertawa-tawa melihat “kreativitas” yang dilakukannya. Saya juga sempat tertawa melihat itu, sampai kemudian menyadari sesuatu yang sangat berbahaya.

Di tempat itu banyak truk dan pick up berlalu-lalang, mengangkuti ikan-ikan untuk dibawa ke luar pelabuhan. Kucing itu pasti tidak menyadari datangnya bahaya, karena kepalanya tertutup sarung tangan. Dan jika sopir truk atau pick up tidak memperhatikan, bisa saja kucing itu terlindas. Baru saja terpikir hal itu, kenyataan mengerikan itu benar-benar terjadi.

Sebuah truk muatan datang, dan kucing malang itu terlindas ban truk. Si kucing tidak melihat datangnya truk, karena kepalanya tertutup, dan mungkin sopir truk juga tidak memperhatikan keberadaan kucing itu. Hasilnya bisa ditebak—tubuh kucing itu langsung remuk.

John Doe ada di samping saya saat peristiwa itu terjadi. Apakah dia kaget? Menyesal? Tidak. Sebaliknya, dia makin keras tertawa sampai guling-guling menyaksikan terlindasnya kucing itu. Tawa dan ekspresi guling-gulingnya begitu dramatis, hingga saya ikut tertawa—suatu perasaan “tertular” tawa seseorang yang mau tak mau membuat kita ikut tertawa. Tampaknya, John Doe sangat puas melihat hasil pekerjaannya.

Jadi, siang itu, bersama John Doe yang tertawa guling-guling karena melihat seekor kucing terlindas truk, saya ikut tertawa. Bukan menertawakan nasib naas si kucing, tapi karena menyaksikan tawa John Doe.

Sejak hari itu, setiap kali melihat saya, John Doe tertawa. Mungkin karena keberadaan saya mengingatkan kucing yang terlindas truk tempo hari. Dan setiap kali melihat John Doe tertawa, saya ikut tertawa, karena tertular oleh gaya tawanya.

Bertahun-tahun kemudian, saat kembali teringat kisah itu, saya kadang berpikir, apakah John Doe pernah menyesali perbuatannya? Apakah dia menyadari bahwa “kreativitas” yang dilakukannya telah menghilangkan nyawa sesosok makhluk—seekor kucing?

Saya tidak tahu. Selama waktu-waktu bersamanya, saya tidak pernah menanyakan hal itu kepadanya, karena obrolan kami juga sering tidak nyambung.

Beberapa hari setelah peristiwa kucing terlindas truk itu, saya mendapati kisah lain. Seorang bocah lelaki datang ke tempat saya, untuk mengambil sepeda miliknya. Saya sudah mengenal wajahnya, karena setiap hari selalu bertemu. Dia bocah alang-alang di pelabuhan itu, dan biasa datang ke pelabuhan seusai subuh untuk memunguti ikan-ikan yang jatuh, menjualnya ke pengepul, lalu pulang saat mentari sedang panas-panasnya.

Siang itu, dia datang ke tempat saya dengan muka bingung. Dengan bingung pula dia berkata, “Bang, maaf, saya tidak punya uang untuk bayar titipan sepeda saya. Hari ini tidak ada ikan.”

Itu pertama kali dia menyatakan tidak bisa membayar titipan sepeda. Dari ekspresinya, saya tahu dia jujur, dan kenyataannya memang hari itu cuma sedikit kapal yang berlabuh. Saya pun bilang kepadanya tidak masalah, dan dia boleh mengambil sepedanya.

Karena peristiwa hari itu, kami pun jadi akrab. Kalau biasanya dia hanya datang untuk mengambil sepeda, sejak itu dia sering duduk-duduk di tempat saya, dan mengobrol sejenak.

Waktu itu usia saya 17 tahun, dan bocah itu mungkin 11 tahun. Dari percakapan dengannya, saya tahu dia putus sekolah karena tidak ada biaya. Ayahnya bekerja sebagai penjual barang bekas, dan ibunya menjadi pembantu rumah tangga. Dia punya dua adik. Setiap hari, dia datang ke pelabuhan menjadi alang-alang, untuk membantu orangtua. Hasilnya tidak banyak, tentu saja. Tetapi, seperti yang dikatakannya, “Saya senang kalau pas dapat banyak ikan.”

Dari mengobrol dengannya, saya pun banyak tahu kehidupan anak-anak yang menjadi alang-alang di pelabuhan.

Sebagai alang-alang, yang paling ditakutinya adalah saat ada razia. Kadang-kadang, muncul beberapa petugas yang merazia alang-alang di sana, dan bocah itu—beserta alang-alang lain—akan berlarian dengan panik. Kadang ada petugas yang kasar, mereka menempeleng alang-alang yang tertangkap. Tetapi, sebagaimana alang-alang yang tetap tumbuh meski terus dipangkas, alang-alang di pelabuhan juga tidak pernah hilang, meski razia rutin dilakukan.

Selama setahun di sana, saya menyaksikan alang-alang selalu ada di pelabuhan, apalagi saat banyak kapal ikan yang berlabuh. Mereka bocah-bocah kecil yang berharap rezeki kecil, tapi berhadapan dengan risiko yang tak kecil. Suatu hari, saat kami mengobrol ketika dia akan mengambil sepeda seperti biasa, bocah alang-alang itu berkata, “Apa saya harus begini terus ya, Bang?”

Pertanyaan itu mengingatkan saya pada kucing yang terlindas truk, karena kepalanya tertutup sarung tangan. Mungkin bocah itu tidak harus begitu terus, karena saya lihat kepalanya tidak tertutup apa pun.

Tapi saya tidak mengatakan apa pun kepadanya, waktu itu. Karena, bagaimana pun, dia tidak melihat kucing yang terlindas truk.

 
;