Minggu, 20 Desember 2015

10 Buku Terbaik yang Saya Baca Sepanjang 2015

Membaca buku tapi tidak selesai, sama halnya
berhenti makan sebelum habis. Mubazir, juga berdosa.
@noffret 


Akhir-akhir ini saya sering dilema setiap kali ada pameran buku, apalagi jika pameran berlangsung di dekat tempat saya tinggal. Dilema, karena membuat serbasalah. Kalau datang ke pameran, saya pasti akan “mabuk buku” di sana, lalu pulang dengan segerobak buku yang akan menambah tumpukan buku tak terbaca di rumah. Sebaliknya, jika tidak datang ke pameran, saya merasa telah melakukan dosa besar tak terampuni.

Saya tidak tahu bagaimana yang dirasakan para pencinta buku lain. Yang jelas, saya selalu “orgasme” setiap kali mendapatkan setumpuk buku baru, lalu saya elus-elus dengan sayang, menciuminya satu per satu, kadang menepuk-nepuknya dengan lembut dan penuh kasih.

Membeli dan mengumpulkan buku adalah satu hal, tapi membaca dan mengkhatamkannya adalah hal lain. Saya tidak kesulitan membeli buku, hingga dari waktu ke waktu koleksi buku saya makin banyak dan semakin banyak. Tetapi saya sudah kesulitan meluangkan waktu sebanyak dulu untuk membaca buku. Akibatnya, waktu membaca semakin berkurang, sementara buku yang ingin saya baca semakin banyak.

Saat memandangi tumpukan buku-buku yang belum terbaca, saya sering membatin, “Apa umurku cukup untuk mengkhatamkan semua buku itu?” Lalu saya galau. Mati kapan pun tidak pernah merisaukan saya. Yang saya risaukan adalah keburu mati sebelum sempat membaca buku-buku bagus yang terbit akhir-akhir ini.

Omong-omong soal buku bagus, saya ingin kembali berbagi buku-buku terbaik yang saya baca, fiksi maupun nonfiksi, sebagaimana tahun-tahun sebelumnya. Daftar berikut tidak dimaksudkan sebagai rekomendasi, namun murni apresiasi, yang tentu bisa subjektif. Berikut ini—tertulis secara alfabetis berdasarkan nama-nama penulisnya—10 buku yang saya anggap terbaik dari semua buku yang saya baca sepanjang 2015. Silakan disimak.


Agus Haryo Sudarmojo, Ir.:
Benarkah Adam Manusia Pertama?


Ajaran Islam mendeskripsikan surga sebagai tempat yang, “belum pernah terlihat mata, belum pernah terdengar telinga, dan belum pernah terbetik dalam hati manusia.” Artinya, meski ada beberapa penjelasan bahwa di surga ada kolam susu, pohon yang buahnya mudah dijangkau, hingga bidadari bermata indah, tetap saja surga adalah tempat yang sepenuhnya tidak bisa dibayangkan manusia.

Tetapi, ajaran Islam juga menjelaskan bahwa Adam pernah tinggal di surga. Padahal, kita tahu, Adam adalah manusia, bahkan disebut sebagai manusia pertama. Fakta bahwa Adam kemudian terusir dari surga gara-gara rayuan Iblis melalui Hawa, tidak mementahkan fakta bahwa Adam pernah tinggal di surga. Jadi, jika surga adalah tempat yang belum pernah dilihat, didengar, dan dibayangkan manusia, lalu bagaimana dengan Adam dan Hawa? Bukankah mereka juga manusia?

Dua hal itu kontradiktif, eh? Pada waktu SMP, saya pernah menanyakan “kotradiksi” itu pada guru agama di sekolah. Bukannya diberi penjelasan, saya justru diceramahi.

Persoalan deskripsi surga dan keberadaan Adam di sana adalah satu di antara beberapa persoalan lain menyangkut agama yang menjadi tanda tanya saya. Memang, seperti yang dibilang para ahli agama, tidak semua hal harus bisa diterima akal, apalagi hal-hal yang bersifat gaib, semisal beberapa ajaran agama. Tapi jangan lupa, ada hal-hal yang “tidak bisa diterima akal karena termasuk gaib”, dan hal-hal yang “tidak bisa diterima akal karena kontradiktif”.

Seperti persoalan deskripsi surga, dan fakta bahwa Adam pernah di sana. Itu sulit diterima akal—bukan karena bersifat gaib, tapi lebih karena kontradiktif. Karenanya, meski saya orang beragama, saya pikir juga punya hak untuk mempertanyakannya. Dan untuk hal itu, saya sangat berterima kasih pada buku yang ditulis Ir. Agus Haryo Sudarmojo.

Buku ini menjelaskan secara masuk akal mengenai “kontradiksi” di atas, bukan hanya melalui dalil-dalil agama yang dogmatis dan doktrinatif, tapi juga menggunakan pemaparan yang ilmiah. Di antaranya menjelaskan definisi dan terminologi “jannah” dalam Al-Qur’an yang selama ini diartikan sebagai “surga”, hingga hal-hal lain yang berkaitan dengan ras Adam dan kehidupan di dunia.

Bagi saya, ini buku pertama yang mampu menjawab “kontradiksi” mengenai deskripsi surga dan fakta bahwa Adam pernah ada di sana.


Goenawan Mohamad: Catatan Pinggir 10

Sebenarnya, saya telah rutin membaca tulisan-tulisan Goenawan Mohamad yang terbit di majalah Tempo. Saya juga telah membaca ratusan Catatan Pinggir yang terbit di internet, termasuk di web Tempo dan blog pribadi Goenawan Mohamad. Tetapi, ketika tulisan-tulisan tersebut dibukukan, saya masih merasa perlu untuk memilikinya, dan membacanya sekali lagi.

Sejauh ini, Catatan Pinggir 10 adalah jilid pamungkas dalam rangkaian buku Catatan Pinggir yang mengumpulkan tulisan-tulisan Goenawan Mohamad. Dalam daftar buku terbaik tahun ini, saya menjadikan Catatan Pinggir 10 sebagai “wakil” dari 9 jilid lainnya. Kebetulan, saya mendapatkan rangkaian jilid tersebut dalam satu paket.

Well, membaca 10 jilid Catatan Pinggir rasanya seperti mengunyah gajah—besar, alot, sulit dikunyah, meski memberi kenyang luar biasa. Setidaknya, itulah yang saya rasakan saat membaca lembar demi lembar 10 jilid Catatan Pinggir. Kita tahu bagaimana Goenawan Mohamad menulis—datar, dalam, kalem, dan kadang juga sulit dipahami. Kadang-kadang, saat selesai membaca satu catatan, saya harus berdiam diri dulu, memikirkan apa yang dimaksud Goenawan Mohamad dalam catatan tersebut.

Catatan Pinggir 1 berisi 275 catatan yang terbit pada Maret 1976 sampai September 1981, dengan tebal 978 halaman. Catatan Pinggir 2 berisi 111 catatan yang terbit sepanjang September 1981 sampai Desember 1985, dengan tebal 810 halaman. Catatan Pinggir 3 berisi 100 catatan yang terbit sepanjang Januari 1986 sampai Februari 1990, dengan tebal 434 halaman. Dan begitu seterusnya, sampai Catatan Pinggir 10, berisi 106 catatan yang terbit sepanjang Januari 2011 sampai Desember 2012.

Selain jumlah tulisannya yang luar biasa banyak, tema yang dibahas pun merentang dari ujung paling barat sampai ujung paling timur, dari Marx sampai Rumi, dari Bisma sampai Zarathustra, dari Bung Karno sampai Che Guevara, dari Abu Nawas sampai Herr Keuner, dari Chairil Anwar sampai Alvin Toffler, dari Pram sampai Nietzsche, dari John Maynard Keynes sampai John Kenneth Galbraith, dari Absyalom sampai... oh, well.

Jadi, seperti yang saya sebut tadi, mengkhatamkan 10 jilid Catatan Pinggir rasanya seperti mengunyah gajah. Juga pengalaman menyenangkan, dan membuat saya terkagum-kagum menikmati wawasan dan pengetahuan Goenawan Mohamad yang sangat, sangat, sangat luas.

Dia telah menulis jauh-jauh hari sebelum saya lahir, terus menulis saat saya telah lahir, dan masih terus menulis saat saya kini juga mulai menulis. Tahun-tahun yang terentang panjang itu tentu tidak hanya membutuhkan ketekunan dan konsistensi yang luar biasa, namun juga pengetahuan dan kemampuan untuk tanpa henti menghasilkan tulisan yang terus dinikmati pembaca.


John Coleman, Dr.: Committee 300

Buku ini mengungkapkan banyak hal mengejutkan seputar latar belakang sejarah dan tokoh-tokoh terkenal. Kalau kita akrab dengan sejarah dan tokoh-tokoh dunia, hampir bisa dipastikan buku ini akan membuat kita terguncang.

Salah satu yang menarik untuk dibahas di sini adalah pengungkapan bahwa J.K. Rowling sebenarnya bukan penulis serial Harry Potter. Apakah ini mengejutkan? Jelas! Jika kalian bertanya, apakah saya percaya yang dikatakan buku ini? Terus terang, ya... saya percaya.

Sebelum J.K. Rowling menulis novel lain di luar Harry Potter, saya tentu percaya dialah yang memang menulis serial tersebut. Tetapi, ketika J.K. Rowling mulai menulis novel-novel di luar Harry Potter—dan saya juga membaca novel-novel tersebut—kepercayaan saya mulai goyah. Ada banyak kejanggalan yang saya temukan selama membaca novel-novel Rowling di luar Harry Potter. (Penjelasan mengenai hal ini bisa sangat panjang, jadi mungkin akan saya uraikan di catatan lain saja, yang secara khusus membahas soal tersebut.)

Yang jelas, kecurigaan saya terhadap J.K. Rowling seperti mendapat konfirmasi dalam buku Committee 300 yang ditulis Dr. John Coleman. Di buku ini, John Coleman menyatakan bahwa Harry Potter sebenarnya bukan karya J.K. Rowling, melainkan kreasi sekelompok orang di Tavistock Institute—salah satu think tank Komite 300—yang di dalamnya terdapat orang-orang genius. Sementara Harry Potter sebenarnya personifikasi Richard Potter, seorang miliuner tak terkenal yang menggeluti sihir dan okultisme. Richard Potter benar-benar ada, tapi menutup diri dari publik, sehingga sosoknya kurang dikenal. Putrinya, Beatrice Potter, adalah pendiri Fabian Society, sebuah organisasi di bawah Komite 300.

Selain mengungkap fakta tersebut, buku ini juga menjelaskan banyak hal lain yang sangat mengejutkan. Termasuk keterlibatan Theodor Adorno dalam penciptaan musik dan group The Beatles, fakta gelap Aldous Huxley hingga H.G. Wells, sampai pengungkapan siapa sebenarnya Ayatullah Khomeini. Menurut buku ini, Khomeini sebenarnya agen intelijen Inggris!

Jika ini terdengar mengejutkan, saya setuju. Saat pertama kali menemukan fakta tersebut, saya juga tidak percaya. Jadi, sambil membaca buku ini, saya mencoba menelusuri kembali sejarah Iran serta kehidupan Khomeini, dan penelusuran itu tampaknya justru mengonfirmasi pernyataan tadi. Buku ini menyebut Khomeini berasal dari Afghanistan, tempat ayahnya bekerja bertahun-tahun di sana sebagai... agen MI6 (dinas intelijen Inggris). Tampaknya, Khomeini meneruskan pekerjaan ayahnya.

Jika saya mempelajari kembali detail-detail sejarah Iran—khususnya ketika revolusi bergolak di sana, hingga Khomeini datang dari Paris lalu mengambil alih Teheran, kemudian memimpin Iran sepenuhnya—semua rentetan kejadian itu match dengan penjelasan di buku ini. Jadi, Khomeini adalah agen Inggris yang sengaja diplot untuk menguasai Iran, demi satu tujuan.

Tujuan apa? Jawabannya mengerikan. Sebegitu mengerikan, hingga saya tidak bisa menyatakannya di sini. Silakan kalian baca sendiri.

Committee 300 adalah buku yang besar, tebal, sekaligus berat. Rangkaian pengungkapan di lembar-lembar buku ini terus menerus mengejutkan dan mencengangkan, khususnya bagi kita yang telah akrab dengan sejarah dan para tokoh dunia. Saat mengkhatamkannya, saya mengalami kerisauan luar biasa, sekaligus merasakan ledakan orgasme di kepala.


Karen Kelly: The Secret of The Secret

Pada 2 Maret 2007, Penerbit Atria Books/Beyond Words Publishing—yang menerbitkan buku The Secret karya Rhonda Byrne—mengumumkan bahwa mereka akan mencetak ulang buku The Secret. Sebenarnya, itu hal biasa dalam industri penerbitan, khususnya di Amerika. Yang tidak biasa adalah jumlah cetak ulang yang dilakukan—2 juta eksemplar! Itu merupakan angka cetak ulang (untuk buku tunggal) terbesar dalam sejarah perbukuan Amerika Serikat.

Kenyataannya, The Secret karya Rhonda Byrne memang sangat fenomenal—buku maupun DVD-nya laris terjual, dan diterjemahkan ke berbagai bahasa di dunia, termasuk Indonesia. Di Amerika saja, buku The Secret terjual hingga 3,75 juta eksemplar—belum termasuk DVD-nya yang juga menduduki daftar terlaris. Nama Rhonda Byrne pun dikenal di seluruh dunia, dan muncul di berbagai acara talkshow populer, termasuk acara Oprah. 

Bagi saya, yang paling menarik dari The Secret adalah kemasannya. Buku itu dicetak dalam bentuk mungil, bersampul hardcover plus jaket sampul, dengan desain mirip buku kuno, lengkap dengan lilin bersegel. Lembaran-lembaran kertas di dalamnya juga sangat bagus, plus lay out yang sama bagus. Semua kemewahan dan keindahan itu—ditunjang promosi yang tepat—menjadikan The Secret laris dan fenomenal.

Jadi, untuk urusan penjualan, The Secret sukses besar. Tapi bagaimana dengan materi buku? Hal itulah yang dibahas dalam The Secret of The Secret yang ditulis Karen Kelly.

Dalam The Secret of The Secret, Karen Kelly mengkritisi materi atau isi yang disampaikan oleh Rhonda Byrne dalam The Secret, dari latar belakang munculnya buku itu, dampaknya ke masyarakat, pengungkapan orang-orang yang dikutip dalam The Secret, hubungan The Secret dengan sains, sampai menguak kejanggalan-kejanggalan yang terdapat dalam The Secret. Secara keseluruhan, buku ini memberi cara pandang baru, sekaligus kritis, dalam memahami The Secret


Michael Crichton: Next

Selalu menyenangkan membaca novel-novel Michael Crichton. Dia pendongeng fantastis, yang mampu mengisahkan hal-hal rumit menjadi sesuatu yang enak dipahami. Crichton adalah kutubuku berwawasan yang pintar bercerita.

Dalam Jurassic Park, misalnya, dia mengisahkan dinosaurus yang hidup jutaan lalu dilahirkan kembali untuk hidup di abad modern. Dan dia bisa menjelaskan “cara melakukannya” dengan begitu meyakinkan, hingga para ilmuwan pun manggut-manggut saat membaca novelnya.

Dalam Timeline, dia menceritakan cara pergi ke masa lalu dengan menggunakan sebuah mesin waktu. Dan dia menjelaskan hal itu dengan “sangat ilmiah”, seolah-olah kita benar-benar akan mampu melakukan—meski entah kapan. Dan jalinan cerita yang ia bangun dalam kisah itu sangat menakjubkan.

Dalam Sphere, dia mengubah absurditas psikologi dan alam bawah sadar menjadi sebuah cerita ilmiah yang faktual. Dan, lagi-lagi, dia bisa menjelaskan hal itu dengan cara mengasyikkan—melalui sebuah bola asing yang tenggelam di dasar laut.

Kisah-kisah yang ditulis Michael Crichton selalu menakjubkan—perpaduan antara wawasan yang luas, pengetahuan yang dalam, serta cara bercerita yang enak dibaca. Tak mengherankan jika nyaris semua novelnya difilmkan, dan dia penulis yang novelnya paling banyak difilmkan.

Dalam Next, Michael Crichton berbicara tentang genetika, dan batas tipis antara hewan dan manusia. Ada cukup banyak fakta mengejutkan yang ia sampaikan dalam novel ini—sebagaimana dalam novel-novelnya yang lain—khususnya tentang “kesadaran” manusia. Seperti biasa pula, Michael Crichton senang mengatakan sesuatu secara frontal, yang langsung menghantam kesadaran pembaca. Kalimat berikut ini menjadi favorit saya:

“... karena hampir semua orang di dunia membawa gen nyaman, mereka yakin banyak orang mungkin menderita anomali genetis yang berkaitan dengan gen tersebut. Misalnya: Orang-orang yang terlalu berhasrat bergabung dengan mayoritas—itu bisa menjadi bukti suatu kelainan genetis. Dan orang-orang yang merasa depresi kalau mereka sendirian—bisa dimengerti bahwa itu kelainan juga. Orang-orang yang ikut pawai protes, yang pergi ke pertandingan olahraga, yang mencari situasi di mana mereka akan dikelilingi banyak orang yang sepaham—kelainan genetis potensial. Lalu ada orang-orang yang merasa wajib setuju dengan siapa pun yang sedang bersama mereka, tak peduli apa yang diutarakan—suatu kelainan lagi. Dan bagaimana dengan orang-orang yang takut berpikir sendiri? Takut mandiri di luar kelompok yang mengelilinginya?”


Next adalah karya terakhir Michael Crichton. Dua tahun setelah menulis novel ini, dia meninggal dunia setelah cukup lama menderita kanker. Sebagai penggemar karyanya, saya merasa sangat kehilangan.


Noam Chomsky: How the World Works

Noam Chomsky adalah intelektual Amerika yang dianaktirikan Amerika. Kenyataan itu tak bisa dilepaskan dari luasnya pengetahuan serta wawasannya mengenai kebobrokan Paman Sam, hingga media-media mainstream Amerika menjaga jarak dengannya. Meski begitu, di dunia internasional, Chomsky dihormati sebagai intelektual berwawasan sekaligus pemikir cemerlang.

Chomsky telah menjadi profesor pada usia 32 tahun, dan dia mengajar di MIT. Selain mengajar, dia juga menulis banyak buku seputar isu-isu politik, dan telah menerima setidaknya 37 penghargaan dan gelar kehormatan. Selain mengajar dan menulis, Chomsky juga aktif sebagai pembicara, serta rutin mengisi siaran radio yang berisi wawancara-wawancara dengannya.

How the World Works adalah buku yang merangkum wawancara-wawancara radio KPFA, Berkeley, dengan Noam Chomsky. Layaknya wawancara, bentuknya pun seperti percakapan. Tapi karena yang ngoceh Noam Chomsky, ocehannya pun sangat asoy.

Dalam berbagai wawancara yang dikumpulkan buku ini, Chomsky membicarakan sistem ekonomi global, rasisme, filsafat Hume, kericuhan di India, bencana di Somalia, demokrasi Amerika, kebijakan kontrol senjata, problem dunia ketiga, utang-utang negara, perawatan kesehatan, kejahatan dan hukuman, media, fundamentalisme, pasar bebas, koperasi, nuklir, keluarga, korporasi, postmodernisme, globalisasi, sampai berbagai persoalan internal di banyak negara.

Selama menikmati wawancara-wawancara tersebut, saya tak bisa menahan kekaguman pada bocah ini—maksud saya Noam Chomsky. Yang mengagumkan bukan hanya wawasannya yang luar biasa, tapi juga kemampuannya dalam menganalisis beragam peristiwa yang terjadi di berbagai belahan dunia. Analisisnya sangat tajam, jauh melampaui pikiran orang-orang kebanyakan, juga kontemplatif.

Noam Chomsky pasti seorang bocah yang rajin belajar, dan dia bocah yang sangat mengagumkan.


Tilly Bagshawe:
Sidney Sheldon’s After The Darkness


Sidney Sheldon adalah novelis favorit saya sepanjang masa. Novel-novelnya merupakan jalinan kisah memukau, plot yang sangat cepat dan rumit, alur yang saling membelit, setting yang kaya, tokoh-tokoh unik dan mempesona, humor dan kegilaan tersembunyi, serta akhir kisah tak terduga. Semua yang saya inginkan dalam novel, terdapat dalam novel-novel Sidney Sheldon.

Semua novel Sheldon memiliki ciri nyaris sama—tokoh-tokohnya sangat hidup dengan latar belakang yang diceritakan detail namun ringkas dan tidak membosankan. Tokoh utamanya selalu seorang (atau beberapa orang) wanita, dan mereka harus melalui perjalanan kisah penuh ancaman serta mendebarkan, untuk kemudian selamat dan menjadi pemenang. Di sela-sela perjalanan kisah itu, Sheldon biasanya memasukkan humor dan kegilaan tersembunyi yang membuat cekikikan pembaca yang paham.

Sampai kemudian Sheldon meninggal dunia, setelah menulis novelnya yang terakhir, Are You Afraid of the Dark?. Setelah meninggalnya Sheldon, saya sudah pesimis untuk bisa menikmati novel-novel mengasyikkan seperti karya Sheldon. Meski ada penulis thriller-suspense lain yang sama hebat—misalnya Dan Brown—tapi tetap saja, keunikan Sheldon sulit ditandingi, apalagi digantikan.

Lalu, sekonyong-konyong, Sheldon bangkit dari kubur, dan kembali menulis novel!

“Reinkarnasi” Sidney Sheldon mewujud dalam diri Tilly Bagshawe. Entah bagaimana caranya, Tilly Bagshawe bisa menulis novel-novel yang memiliki ciri nyaris persis seperti novel-novel yang ditulis Sheldon. Seolah-olah, Tilly Bagshawe menulis melalui “template khusus” yang sebelumnya digunakan Sheldon untuk menulis novel. Karenanya, Tilly Bagshawe menyematkan nama Shidney Sheldon pada judul-judul novelnya. Untuk hal itu, tentu saja, dia telah mendapat izin dari ahli waris Sidney Sheldon.

Sejauh ini, Tilly Bagshawe telah menulis tiga novel—Master of the Game, Angel of the Dark, dan After The Darkness. Sama seperti Sheldon, Tilly Bagshawe berkisah tentang perjuangan wanita yang harus melalui perjalanan hidup mendebarkan, penuh intrik tak terduga, pengkhianatan, pembalasan dendam, dan dia mengisahkannya dengan cara Sheldon—plot yang cepat, alur saling membelit, karakter-karakter yang unik, setting yang merentang di berbagai negara, serta twist-twist yang membuat pembaca ternganga.

Tahun ini, saya membaca dua novel Tilly Bagshawe, yaitu Angel of the Dark dan After The Darkness. Terus terang saya cukup bingung memilih salah satunya, karena sama-sama bagus, namun akhirnya memutuskan After The Darkness sebagai yang terbaik.

After The Darkness menceritakan Grace Brookstein, seorang wanita yang harus menghadapi petaka mengerikan. Dia menikah dengan lelaki kaya-raya yang sangat mencintai dan dicintainya, menikmati kehidupan laksana surga, sampai kemudian nasib menjungkirbalikkan semuanya. Suami Grace hilang, sementara Grace dituduh menggelapkan uang sebesar 75 miliar dollar.

Menghadapi tuduhan mengerikan itu, Grace kebingungan. Kakak-kakaknya menjauh, teman-temannya pergi meninggalkan, sementara dia menghadapi pengadilan yang kemudian menjebaknya untuk menghabiskan hidup di penjara. Sendirian, tanpa siapa pun yang menolong, Grace berjuang menghadapi lika-liku intrik dan kepahitan takdirnya... untuk kemudian membalik keadaan, dan menjadi pemenang. Benar-benar khas Sidney Sheldon!


Walid bin Said Bahakim:
Orang-orang yang Tidak Suka Popularitas


Popularitas telah menjelma berhala, akhir-akhir ini. Semua orang ingin terkenal, semua orang ingin populer. Keinginan terkenal pun kadang sampai menyeret orang-orang melakukan hal-hal konyol, membayar media demi publisitas, atau melakukan hal-hal lain demi tujuan yang sama—memperoleh popularitas. Dampak paling jelas dari semua itu adalah naluri luar biasa untuk pamer.

Jangankan hal-hal yang bersifat duniawi, bahkan yang bersifat ukhrawi atau ketuhanan pun dipamerkan. Jangankan hal-hal yang bersifat jasmani, bahkan yang bersifat rohani pun dipamerkan. Jadi kita pun hidup di zaman ketika segala hal, bahkan yang paling remeh temeh sekali pun, menjadi kesempatan untuk pamer. Kita bernapas di dunia tempat amal kebajikan tidak lagi ditujukan sebagai bukti kehambaan, tapi sarana pameran. Agar terkenal. Oh, well, agar terkenal.

Yang membaca kitab suci merasa perlu menggunakan TOA, agar orang-orang lain bisa mendengar. Yang bersedekah perlu diliput media, agar orang-orang lain bisa melihat. Yang merasa pintar perlu menyalah-nyalahkan orang lain, agar terlihat paling hebat. Yang merasa benar perlu mengkafir-kafirkan orang lain, agar terlihat benar sendiri. Bahkan yang pacaran pun perlu pamer di sosial media, seolah pacaran adalah peristiwa suci alam semesta.

Di tengah hiruk-pikuk masyarakat yang bising, selalu ada malaikat yang hening—orang-orang yang diam dalam sunyi, yang menjalani hidup tanpa hasrat terkenal, yang menjauhkan diri dari pujian dan pemujaan, yang senantiasa bersyukur karena tak dibelenggu popularitas. Merekalah Kaum Ahfiya’—orang-orang yang merahasiakan diri, yang tidak ingin dikenali, tidak ingin ditemui, tidak ingin unjuk diri, karena hidup mereka tidak membutuhkan apa pun selain Sunyi. 

Buku ini, yang merupakan terjemahan kitab Al-Akhfiya’: Al-Manhaj was-Suluk, adalah buku kecil yang serupa oase di padang pasir. Siapa pun yang terlalu sibuk unjuk diri, mungkin perlu membaca buku ini. Untuk rehat sejenak... untuk mengenali diri sendiri... untuk memahami hakikat hidup dan sesuatu yang Sunyi.


William Blum: Demokrasi

Di tengah-tengah pengeboman NATO/AS terhadap Libya, Muammar Gaddafi—pemimpin Libya waktu itu—mengirimkan surat kepada Presiden AS, Barack Obama, pada 6 April 2011. Isi surat Gaddafi sangat santun, dan ia mengharapkan Obama menarik pasukan NATO/AS dari Libya. Apakah Obama terketuk hatinya, dan memenuhi permintaan Gaddafi? Kita tahu jawabannya—Obama cuek, Libya hancur, dan riwayat Gaddafi tamat.

Delapan tahun sebelum mengebom Libya hingga hancur lebur dan mengganti Gaddafi dengan boneka mereka, AS menyerang Irak dengan alasan Saddam Hussein menyembunyikan senjata rahasia. Mengetahui kenyataan itu, pihak Irak mencoba melakukan negosiasi dengan AS. Pada Maret 2003, para pejabat Irak, termasuk Kepala Badan Intelijen Irak, menghubungi pemerintah AS di Washington, dan meyakinkan bahwa Irak tidak memiliki senjata pemusnah massal sebagaimana yang dituduhkan.

Mereka juga menawari AS untuk melakukan pemeriksaan atas hal tersebut di Irak, dan untuk itu Irak akan mengizinkan para ahli Amerika melakukan riset untuk menentukan apakah di Irak ada senjata pemusnah massal atau tidak. Irak juga menyatakan dukungan penuh bagi segala rencana Amerika Serikat terhadap proses perdamaian antara Arab-Israel. Selain itu, jika rencana penyerangan AS ke Irak ada hubungannya dengan minyak, pihak Irak juga bersedia membicarakan konsesi minyak dengan AS. Bagaimana pun, Irak tidak ingin berperang.

Bagaimana tanggapan AS terhadap tawaran tersebut? Menerima upaya damai dari Irak? Menyambut uluran tangan dari Irak agar dunia tenteram dan baik-baik saja? Kita juga tahu jawabannya—AS mengebom Irak habis-habisan hingga negara itu berubah menjadi puing, nasib Saddam Hussein berakhir di tiang gantungan, dan Irak ditinggalkan sebagai negeri korban perang. Yang paling bajingan di atas semua itu, tuduhan AS mengenai senjata pemusnah massal di Irak tidak pernah terbukti.

Itu hanya sedikit ilustrasi bagaimana Amerika memperlakukan sesuatu yang disebut “demokrasi”. Dari zaman Bush Senior maupun Bush Yunior, dari Bill Clinton sampai Barack Obama, Amerika tak pernah berubah—mereka tetap menjadi predator yang memangsa apa pun yang ingin mereka mangsa, mengendalikan apa pun yang ingin mereka kendalikan, meski untuk itu mereka harus mengarang-ngarang dalih dan kebohongan.

Buku yang ditulis William Blum ini menguraikan panjang lebar mengenai hal-hal kotor yang telah dilakukan Amerika di berbagai negara—termasuk kudeta di Venezuela, penghancuran perjuangan Zapatista, penggulingan pemerintahan Guatemala, dan lain-lain—yang semuanya dilakukan AS demi tujuan dan kepentingan mereka. Dengan segala pengetahuan dan pengalaman yang dimiliki, William Blum memaparkan semua kebrengsekan negaranya dengan lugas dan gamblang, bahkan frontal. Oh, well, William Blum pastilah bocah paling nekad di Amerika!

Demokrasi versi AS sebenarnya bukan demokrasi sebagaimana yang kita pahami. Demokrasi bagi AS adalah, “Selama kau memerintah negaramu sesuai kehendak Amerika Serikat, maka itulah demokrasi.” Dan, omong-omong, itulah demokrasi yang selama ini kita jalani.


Yoroshii Haryadi & Azaki Karni:
The Untrue Power of Water


Ini buku terbitan lama—Mei 2007—tapi terselip di antara buku-buku lain di rumah, hingga saya sempat lupa kalau dulu pernah membeli buku ini. Tidak terlalu tebal, saya membacanya dalam sekali duduk, namun isinya sangat bagus—menguraikan berbagai hal yang patut dipertanyakan seputar kristal air temuan Masaru Emoto.

Kita tahu, Masaru Emoto menghebohkan dunia dengan penemuan menakjubkan. Bahwa air yang diberi ucapan positif, katanya, bisa membentuk kristal-kristal sangat indah. Foto-foto kristal air yang sangat indah itu pun tersebar di berbagai belahan dunia, khususnya melalui buku-buku yang ditulis Masaru Emoto—yang semuanya membahas kekuatan sejati air.

The Untrue Power of Water merupakan antitesis karya Masaru Emoto. Dengan kajian yang sangat kritis, buku ini mempertanyakan dan mengungkap banyak hal mengejutkan seputar temuan-temuan Masaru Emoto.

Meski pembahasan dalam buku ini cukup berat dan rumit, namun pemaparannya cukup mudah dipahami orang awam. Jika kita kebetulan termasuk pengagum kristal air Masaru Emoto, buku ini bisa dijadikan pembanding yang objektif.

Sampai jumpa di Daftar Buku Terbaik tahun depan!

 
;