Sabtu, 14 Mei 2016

Pekalongan: Romansa Lalu

Selamat pagi, Pekalongan.
Gerimis membasahi tanahmu sekarang.
@noffret


Saya termasuk generasi yang menyaksikan peralihan Pekalongan dari “tradisional” ke “modern”, dari Pekalongan masa lalu ke Pekalongan masa kini.

Di masa kini, Pekalongan telah menjadi kota modern, dengan segala fasilitas, sarana dan prasarana, yang memungkinkan orang-orang di kota ini menjalani kehidupan modern sebagaimana kota-kota lain. Masyarakat Pekalongan pun—khususnya yang tinggal di daerah perkotaan—perlahan-lahan menjelma menjadi masyarakat modern, meski dalam skala kota kecil.

Kini, saya menulis catatan ini karena tiba-tiba terbayang pada romansa masa lalu, saat saya masih bisa menikmati Pekalongan yang jauh berbeda dengan Pekalongan yang sekarang saya kenal.

Dulu, di Pekalongan ada cukup banyak bioskop, dari yang bertarif murah sampai yang bertarif mahal—Merdeka, Gajah Mada, Atrium, Fajar, Rahayu, Mataram, hingga Garuda. (Semua bioskop itu sekarang sudah tidak ada). Bioskop Fajar termasuk bioskop bertarif murah ketika saya masih awal remaja, dan saya kerap menonton film di bioskop tersebut, khususnya kalau pas ada uang berlebih.

Karena tarifnya sangat murah, Fajar bukan bioskop yang “menyenangkan”. Tidak ada AC di dalam ruangan, kursinya berupa kayu keras yang kadang didiami kutu, dan jadwal putar filmnya sering molor sampai seperempat jam. Selain itu, film-film yang diputar di Bioskop Fajar juga hanya film-film Indonesia. Biasanya, film-film di sana adalah “sisa” dari bioskop-bioskop lain, dan film yang diputar juga hanya itu-itu saja. Artinya, bulan ini Film X diputar, bisa jadi tiga bulan ke depan diputar lagi, dan begitu seterusnya. Hiburan murah meriah, itulah Bioskop Fajar!

Meski sederhana, bioskop itu telah menjadi bagian hidup saya, setidaknya saat saya awal remaja. Melalui Bioskop Fajar, saya mulai memiliki ketertarikan pada film, meski film yang diputar di sana juga itu-itu saja. Saya menjadikan Bioskop Fajar sebagai bioskop favorit waktu itu, terutama karena tarifnya murah. Selain itu, bioskop tersebut juga mengizinkan pengunjung untuk merokok.

Pada masa itu, ada dua bioskop kelas atas di Pekalongan, yang memutar film-film terbaru, dengan tarif puluhan kali lipat lebih mahal dari tarif masuk Bioskop Fajar. Dua bioskop kelas atas itu adalah Gajah Mada dan Atrium. Berbeda dengan Fajar, Gajah Mada dan Atrium menyediakan kursi yang sangat empuk, dengan AC dalam ruangan. Tetapi saya malas masuk ke dua bioskop itu, karena harga tiketnya mahal... dan tidak bisa merokok!

Oh, well, saya masuk ke bioskop dengan tujuan untuk mendapat hiburan. Selama duduk dua jam dalam bioskop dan menyaksikan film, tujuan saya agar terhibur. Kalau selama duduk dua jam itu saya dilarang merokok, itu bukan hiburan. Lebih tepat, itu penyiksaan! Hiburan keparat macam apa yang melarang orang merokok?

Jadi, saya suka Bioskop Fajar. Karena di sana boleh merokok. Juga karena tarifnya terjangkau bagi bocah miskin seperti saya waktu itu.

Melalui Bioskop Fajar pulalah, saya pertama kali mengenal Barry Prima, Advent Bangun, Joseph Hungan, George Rudy, Suzana, Yurike Prastika, Willy Dozan, Johan Saimima, dan aktor-aktris Indonesia lain. Film-film yang sering diputar di Bioskop Fajar adalah film-film “sisa” era 80-an yang pernah berjaya, semacam Jaka Sembung, Si Buta dari Goa Hantu, Pancasona, Warkop DKI, hingga film-film horor Suzana.

Tepat di samping Bioskop Fajar ada bioskop lain, bernama Rahayu. Jika Fajar hanya memutar film-film Indonesia jadul, Rahayu agak “modern”—mereka juga memutar film-film terbaru, Indonesia maupun luar negeri. Tentu saja tarifnya lebih mahal dibanding biaya masuk Bioskop Fajar, meski lebih murah dibanding rata-rata bioskop lain. Sama seperti Fajar, Rahayu juga membolehkan penonton merokok di dalam gedung.

Kalau pas ada uang berlebih, saya juga masuk Rahayu, khususnya kalau film yang diputar tergolong film-film yang saya suka. Misalnya film action Hollywood, atau film-film hot Indonesia masa itu. Heuheuheu....

Dua bioskop itu—Rahayu dan Fajar—menyimpan banyak kenangan masa remaja saya. Sebagai bocah introver yang kurang bisa bergaul, saya sangat menikmati saat-saat datang ke bioskop sendirian, lalu duduk di bagian yang kosong (yang kanan kirinya tidak ditempati orang lain), kemudian khusyuk menyaksikan film sambil merokok. Biasanya, saya pergi dari rumah naik sepeda, lalu menitipkan sepeda di tempat penitipan yang ada di depan Bioskop Fajar.

Ya, tepat di hadapan Bioskop Fajar ada tempat penitipan sepeda, yang dijaga seorang wanita ramah. Karena saya sering menitipkan sepeda di sana, wanita itu pun mengenal saya. Di samping kiri tempat penitipan, ada tempat hiburan dingdong (video game zaman dulu), bernama Majapahit. Jadi, bisa dibilang, kawasan itu merupakan salah satu pusat hiburan di Pekalongan masa lalu. Ketika lebaran, biasanya di seputar tempat itu sangat ramai oleh remaja dan anak-anak muda.

Sementara itu, di samping tempat dingdong, ada toko-toko sederhana yang berderet memanjang—dari toko sembako, rokok, hingga pangkas rambut—dan di depan beberapa toko terdapat penjual jajan tradisional. Saya masih bisa mengingat semua itu, meski pemandangan tersebut telah saya saksikan bertahun-tahun lalu, ketika saya masih awal remaja.

Lalu, suatu hari, Pekalongan mengalami modernisasi.

Mungkin, selama waktu-waktu itu, modernisasi telah mulai merayap di Pekalongan, meski perlahan-lahan. Tetapi, dalam bayangan saya, modernisasi yang paling jelas tampak adalah ketika sebuah gedung mal besar dibangun menghadap alun-alun Pekalongan.

Sebelumnya, di tempat itu terdapat banyak toko sederhana, berderet, bersama penjual es batu, warung bakso, dan lain-lain. Ketika gedung mal akan dibangun di sana, semua toko dan berbagai hal yang menempati wilayah itu pun tergusur—termasuk tempat hiburan dingdong dan tempat titipan sepeda yang pernah menjadi langganan saya. Saya tidak tahu ke mana orang-orang yang tergusur dari sana. Yang saya tahu, sebuah bangunan gedung megah kini berdiri di tempat tersebut.

Ketika gedung mal itu telah berdiri megah, keberadaannya seperti mengejek bioskop Rahayu dan Fajar yang letaknya tepat berhadapan. Itu seperti orang super kaya yang bertetangga dengan gembel. Gedung mal yang sangat megah itu berhadapan dengan Fajar dan Rahayu yang sangat sederhana. Akhirnya bisa ditebak—Rahayu dan Fajar tutup. Dua gedung bioskop yang semula ada di sana lalu dirubuhkan, dan sekarang berganti menjadi gedung pertokoan modern.

Saat pertama kali mengetahui Rahayu dan Fajar ditutup (atau menutup diri), saya sedih setengah mati. Dua bioskop sederhana itu telah ikut membesarkan saya, menemani masa-masa remaja saya yang sepi, memberi banyak pengalaman. Saya sangat kehilangan, ketika akhirnya dua bioskop penuh kenangan itu tutup dan dihancurkan. Lokasi dua bioskop itu kini digantikan bangunan-bangunan modern.

Dalam ingatan saya, peristiwa munculnya bangunan mal megah itulah yang menandai awal modernisasi Pekalongan secara besar-besaran, dan sejak itu Pekalongan berubah dari kota kecil yang bersahaja menjadi kota kecil yang modern.

Tidak lama setelah berdirinya mal megah di tempat itu, muncul mal lain yang tak kalah megah di bagian selatan Pekalongan, dan modernisasi di kota ini pun makin terlihat. Sejak itu, berbagai fasilitas baru dibangun—rata-rata modern dan mewah—yang makin menandai peralihan Pekalongan untuk semakin meninggalkan kesederhanaannya. 

Kini, tempat-tempat yang menyimpan memori masa kecil dan masa remaja saya telah hilang—menjadi puing dan reruntuhan—yang terkubur di balik bangunan-bangunan megah yang menggantikan. Tidak ada lagi Rahayu dan Fajar yang pernah menjadi tempat hiburan murah meriah, tidak ada lagi tempat dingdong yang bersahaja, tidak ada lagi tempat penitipan sepeda yang dijaga seorang wanita ramah, tidak ada lagi toko-toko bersahaja yang bagian depannya dihiasi para penjual jajan tradisional. Tidak ada lagi....

Saya menyadari, kita tak bisa menolak perubahan, tak bisa menghadang modernisasi. Perubahan dan modernisasi yang terjadi di Pekalongan juga terjadi di kota-kota lain. Tetapi, bersama hiruk-pikuk perubahan dan laju modernisasi itu, kadang-kadang hati saya terasa perih saat melewati tempat-tempat yang dulu pernah menemani masa kecil saya, menjadi teman masa remaja... tempat-tempat yang kini telah tak ada lagi.

Semewah apa pun bangunan-bangunan modern yang kini berdiri menggantikan tempat-tempat sederhana di masa lalu, keberadaannya tak pernah mampu menggantikan kenangan yang pernah saya miliki. Di lubuk terdalam hati seorang bocah, selalu ada kenangan-kenangan yang tak pernah bisa diubah. Termasuk kenangan-kenangan sederhana, yang kini diganti bangunan-bangunan megah.

 
;