Senin, 26 Juni 2017

Lebaran Seorang Bocah

Pulang ke rumah sendiri, tapi tidak bisa masuk
karena kuncinya ketinggalan di tempat lain.
Benar-benar malam lebaran yang sempurna.
@noffret


Karena hidup sendirian, saya menjalani keseharian tanpa siapa pun, termasuk saat Ramadan datang. Secara pribadi, saya tidak menganggap itu masalah, karena saya juga menikmati. Kesendirian bukan sesuatu yang membuat saya tertekan. Sebaliknya, saya nyaman dan tenang melewati waktu dalam kesendirian.

Beberapa tetangga kadang bilang, mereka kasihan melihat saya, karena setiap hari sendirian. Mau makan harus keluar, cari warung makan. Padahal, saya menikmati yang saya jalani. Seperti saat Ramadan. Kadang saya keluar rumah pukul 03.00 dini hari, menuju warung nasi gudeg, atau warung nasi uduk. Bisa jadi, tetangga saya ada yang berpikir, “Kasihan amat tuh bocah. Mau sahur aja harus keluar, sendirian.”

Padahal, sekali lagi, saya senang-senang saja, dan sama sekali tidak tertekan apalagi tersiksa. Jauh lebih menyenangkan bagi saya untuk makan nasi gudeng atau nasi uduk—atau apa pun yang enak—meski harus keluar rumah, daripada makan di rumah tapi tidak enak. Nuwun sewu, itu cuma pikiran nakal saya.

Tetangga-tetangga mungkin membayangkan, saya bangun tidur dini hari seperti mereka, untuk makan sahur, dengan mata kriyep-kriyep karena masih mengantuk. Bedanya, mereka bisa menikmati sahur tanpa harus repot keluar rumah, sementara saya harus keluar rumah untuk mencari makan sahur. Padahal, saya belum tidur sama sekali!

Dulu, zaman masih tinggal bersama orang tua, saya selalu tersiksa setiap kali makan sahur. Sekitar pukul 03.00, biasanya, saya harus bangun untuk makan. Padahal tidur sedang enak-enaknya, sedang lelap-lelapnya. Lalu disuruh bangun untuk makan sahur! Seenak-senaknya makanan yang dimakan, rasanya tetap hambar, wong makan sambil mengantuk. Yang saya pikirkan waktu itu bukan makan, tapi melanjutkan tidur!

Ketika akhirnya hidup di rumah sendiri, dan tidak lagi bersama orang tua, saya pun menjalani kehidupan dengan cara saya sendiri, sehingga bisa menentukan cara hidup yang saya inginkan. Seperti saat Ramadan. Selama bulan puasa, saya tidak pernah tidur malam. Jadi, ketika makan sahur, saya tidak dalam kondisi mengantuk. Sebaliknya, dalam kondisi segar bugar. Hasilnya, saya bisa menikmati makan sahur dengan nikmat.

Selama Ramadan, saya biasanya baru tidur pagi hari. Lalu bangun seusai dhuhur. Atau, kalau pas ada perlu, saya baru tidur habis dhuhur, dan bangun setelah ashar. Hanya beberapa jam kemudian, magrib datang. Lalu bisa berbuka. Malam hari sampai subuh, saya mengerjakan hal-hal yang perlu dikerjakan. Dengan jadwal harian semacam itu, puasa jadi tidak terasa, dan saya enjoy menjalani. Sekadar catatan, saya bisa menjalani kehidupan seperti itu, karena bekerja di rumah sendiri, dan bebas mengatur hidup serta pekerjaan saya sendiri.

Karena itulah, seperti yang dibilang tadi, saya justru enjoy, dan sebenarnya tidak patut dikasihani. Wong saya sama sekali tidak merasa terpaksa menjalaninya.

Kesendirian semacam itu terus saya jalani, sampai saat lebaran tiba. Seperti orang-orang lain, jadwal wajib saya pada malam lebaran adalah mengantarkan zakat fitrah.

Beberapa hari sebelum lebaran, saya sudah membeli beras untuk keperluan zakat fitrah. Ketika malam lebaran tiba, saya pun menyiapkan beras zakat fitrah tersebut, untuk saya bawa pada orang yang berhak menerima.

Kebetulan, saya punya famili jauh, seorang wanita. Dia tidak punya keluarga, dan—karena usianya sudah tergolong sepuh—dia tidak bekerja. Setiap tahun, saya membawa zakat fitrah untuk famili tersebut.

Jadi, pada malam lebaran, sekitar pukul 20.00, saya keluar rumah. Setelah memastikan semua pintu telah terkunci, saya pergi ke rumah famili, dan menyerahkan zakat fitrah untuknya. Seperti biasa, dia meminta saya duduk dulu, agar kami bisa mengobrol.

Famili saya menghidangkan teh, dan saya pun duduk santai di kursi, menikmati percakapan dengannya. Sekitar setengah jam kemudian, saya pamit, karena merasakan perut yang lapar.

Dalam perjalanan pulang, saya memperhatikan kanan kiri jalan, siapa tahu ada warung makan yang buka untuk saya singgahi. Tapi tidak juga menemukan. Sebenarnya, ini kisah klise setiap kali lebaran datang. Lebaran tahun kemarin, dan kemarinnya lagi, dan kemarinnya lagi, saya selalu kesulitan mencari makan, karena warung-warung makan kompak tutup.

Kadang saya bertanya-tanya sendiri, apa para penjual nasi tidak berpikir bahwa orang tetap butuh makan meski lebaran? Warung-warung makan kompak tutup pada malam lebaran—biasanya sampai beberapa hari setelah lebaran—seolah orang tidak butuh makan ketika lebaran datang. Akibatnya saya kesulitan mencari warung makan yang buka untuk... well, sekadar mengganjal perut yang kelaparan.

Mungkin para pemilik warung makan berpikir, orang-orang tidak butuh makan di luar selama lebaran, karena biasanya telah menyediakan lontong dan opor ayam—plus rendang, sambal goreng kentang, dan lain-lain—di rumah masing-masing. Asumsi yang tidak seratus persen benar.

Memang, kalau saya mau pulang ke rumah orang tua, di sana pasti ada lontong dan opor ayam. Juga sambal goreng kentang, perkedel, kerupuk udang, dan lain-lain. Tapi saya segan kalau datang ke rumah orang tua pada malam lebaran, karena pasti ramai, ada banyak tamu. Sejak malam lebaran sampai beberapa hari setelah lebaran, rumah orang tua saya selalu ramai—itu hal biasa yang telah saya saksikan sejak kecil dulu.

Jadi, daripada harus “terjebak” dalam keramaian di rumah orang tua, saya lebih memilih menghindar. Lebaran atau bukan lebaran, saya lebih nyaman sendirian daripada di tengah keramaian, dan harus basa-basi haha-hihi.

Malam itu, sambil melaju pelan di jalan raya, saya terus mencari-cari warung makan yang buka, tapi sepertinya memang tidak ada. Akhirnya, ketika mendapati penjual martabak, saya pun memutuskan untuk makan martabak saja. Jadi, saya berhenti di sana, dan memesan martabak untuk saya bawa pulang.

Dengan martabak yang siap dinikmati, saya pun melaju pulang dengan hati yang ringan. Saya sudah membayangkan untuk bikin teh hangat, lalu menikmati martabak yang masih panas, dan diakhiri dengan merokok. Pasti nikmat sekali. Martabak dan teh hangat dan rokok adalah kombinasi sempurna untuk malam lebaran, pikir saya.

Sesampai di rumah, dengan perasaan berdebar karena akan segera menikmati martabak, saya merogoh saku celana untuk mengambil kunci rumah. Tapi tidak ada. Saya rogoh saku-saku yang lain, tapi kunci sialan itu tidak ada.

“Fuck!” rasanya saya ingin menjerit, karena bingung tidak bisa masuk ke rumah sendiri.

Malam itu saya mengenakan celana baggy, dengan saku agak longgar. Kunci rumah, seingat saya, ada di saku kanan celana. Tapi saku sialan itu kini kosong, dan kunci rumah entah ada di mana. Feeling saya mengatakan, bisa jadi kunci itu jatuh dari saku waktu saya duduk di rumah famili, saat tadi mengantarkan zakat fitrah untuknya.

Dengan jengkel tapi bingung mau jengkel sama siapa, akhirnya saya kembali pergi ke rumah famili untuk memastikan kunci rumah saya memang jatuh di sana. Semoga saja begitu. Karena urusan ini pasti akan lebih merepotkan kalau kunci itu jatuh di tempat penjual martabak.

Harapan saya terkabul. Ternyata kunci rumah saya ada di kursi rumah famili, tempat saya duduk tadi. Akhirnya, setelah pamit lagi, saya pulang.

Kali ini saya bisa masuk, dan tiba-tiba rumah terasa lebih indah.

Di rumah, sebagaimana bayangan tadi, saya buru-buru membuat teh hangat, lalu membuka bungkusan martabak yang masih agak hangat. Karena buru-buru, saya tidak sempat berpikir akan duduk di mana. Jadi, secara spontan, saya duduk di lantai rumah, dan pelan-pelan mengunyah martabak. Setelah martabak habis, saya menyeruput teh, kemudian menyulut rokok. Rasanya nikmat sekali. 

Malam itu, duduk di lantai rumah dan menyandar ke dinding, saya mengisap rokok sendirian, dan... entah kenapa, saya merasa terharu. Bayangan saya menari-nari ke masa lalu, mengingat saat kecil dulu. Sementara suara takbir terdengar dari kejauhan.

Di masa lalu, ketika masih kecil, kedatangan lebaran selalu menyenangkan. Sebegitu menyenangkan, hingga rasanya datangnya lebaran lama sekali. Setiap tahun, sebagaimana umumnya anak-anak lain, saya menunggu-nunggu datangnya lebaran. Karena di saat lebaran saya bisa makan enak, punya baju baru, punya banyak uang, dan bersuka cita. Kebahagiaan khas anak-anak. Saat saya membayangkannya, semua keceriaan itu rasanya sudah lama sekali.

Kini, setelah tidak lagi menjadi anak-anak, saya merasa lebaran justru datang sangat cepat. Baru kemarin lebaran, sekarang sudah lebaran lagi. Tidak terasa. Tahu-tahu setahun sudah berlalu.

Dulu, saya punya baju baru setahun sekali, saat lebaran tiba, dan rasanya sangat menyenangkan. Kini, saya bisa membeli baju baru kapan pun saya mau, tapi rasanya biasa-biasa saja.

Dulu, saya bisa makan enak setahun sekali, saat lebaran tiba, dan rasanya sangat menyenangkan. Kini, saya bisa makan enak setiap hari, tapi rasanya biasa-biasa saja.

Dulu, saya bisa punya uang agak banyak setahun sekali, saat lebaran tiba, dan rasanya sangat menyenangkan. Kini, saya punya uang jauh lebih banyak dari yang pernah saya miliki dulu, tapi rasanya biasa-biasa saja.

Apa yang terjadi, hingga ada perubahan seperti itu? Mengapa sesuatu yang dulu terasa sangat menyenangkan, kini terasa biasa saja?

Mungkin karena usia saya kini jauh lebih dewasa, sehingga tidak lagi merasakan keriangan anak-anak. Mungkin karena pikiran saya kini terlalu ruwet, sehingga tidak bisa lagi menikmati kegembiraan khas anak-anak. Atau mungkin karena saya telah terbiasa dengan hal-hal enak, sehingga tidak lagi menunggu datangnya lebaran hanya untuk menikmati hal-hal menyenangkan khas anak-anak.

Atau mungkin memang kegembiraan hanya ditujukan untuk anak-anak. Karena hanya mereka yang bisa menatap kehidupan dengan sederhana.

Di kejauhan, suara takbir masih terdengar.

Kesimpulan yang Tak Bisa Dibantah

“Nang dunyo iki ora ono sing ngalahke mbakyuku.”

Noffret’s Note: Tikus

“Kenapa kau suka menyuruh-nyuruhku menikah?”
“Karena aku kasihan melihatmu.”
“Really? Sebenarnya, aku justru kasihan melihatmu.”

Ke mana tikus-tikus yang telah masuk kurungan perangkap yang menjebaknya? Tak ada yang tahu. Mereka hilang, lenyap, tamat.

Bahkan ketika seekor tikus berhasil lolos dari kurungan perangkap yang telah menjebaknya, dia tetap tidak mau menceritakan kisah sebenarnya.

Mengapa tikus sering digunakan sebagai hewan percobaan di laboratorium? Jawabannya sederhana, karena tikus sangat mirip manusia.

Tikus adalah binatang yang cerdik sekaligus tekun. Tapi mereka punya kelemahan... yaitu berpikir pendek, dan sangat cepat berkembang biak.


*) Ditranskrip dari timeline @noffret, 20 Februari 2017.

Kamis, 22 Juni 2017

Sebaiknya Kita Tidak Usah Maaf-maafan di Hari Lebaran

Idul Fitri, mohon maaf lahir dan batin. Idul Adha,
mohon maaf lahir dan batin. Giliran salah beneran,
tidak mau minta maaf. Piye karepe?
@noffret


Setiap kali lebaran tiba, umat Islam di Indonesia melakukan kebiasaan khas, yaitu bermaaf-maafan dengan sesama—tetangga, sanak famili, teman-teman—dan kebiasaan itu dilakukan di dunia nyata maupun di dunia maya. Di sebagian keluarga, tradisi maaf-maafan bahkan dianggap belum cukup, sehingga dilengkapi tradisi sungkeman. Yang muda sungkem pada yang tua, atau anak-anak sungkem pada orang tua, kakek nenek, dan seterusnya.

Sekilas, kebiasaan atau tradisi semacam itu baik. Orang saling maaf-memaafkan sambil merayakan hari raya. Tetapi, jika dipikirkan secara mendalam, kebiasaan atau tradisi itu keliru, bahkan—nuwun sewu—sebentuk pembusukan terhadap kehidupan manusia.

Dalam kalimat-kalimat di atas, saya menyebut maaf-maafan di hari lebaran (Idul Fitri) adalah “kebiasaan” atau “tradisi”. Karena kenyataannya memang sekadar kebiasaan dan tradisi di Indonesia. Orang-orang yang merayakan Idul Fitri tentu orang Islam. Tapi ajaran Islam tidak menyatakan apalagi mewajibkan bahwa merayakan lebaran harus disertai maaf-maafan. Untuk lebih memahami hal ini, silakan baca catatan-catatan berikut:

Ketika Nabi Muhammad SAW masih hidup, Idul Fitri sudah dirayakan. Tetapi tidak ada acara maaf-maafan. Begitu pula pada zaman Khalifah—dari Abu Bakar dan seterusnya—Idul Fitri tetap dirayakan, tapi tidak ada acara maaf-maafan. Karena itu, ritual maaf-maafan pada hari lebaran atau Idul Fitri tidak memiliki akar pada ajaran Islam, karena kenyataannya hanya kebiasaan yang ditradisikan di Indonesia.

Hanya di Indonesia, orang saling maaf-maafan di hari lebaran, sembari berkata, “Minal aidin, ya.” Hanya di Indonesia, orang-orang giat membuat serta mengunggah foto orang berpose sungkem, dilengkapi kalimat “minal aidin wal wal faizin”.

Lhah, “minal aidin” itu artinya apa? Jangan-jangan, mereka yang saban tahun rajin mengucapkan “minal aidin” sama sekali tidak tahu arti kalimat yang mereka ucapkan sendiri. Bahkan, jangan-jangan, mereka menganggap “Minal aidin wal faizin” memiliki arti “Mohon maaf lahir dan batin”. Jadi, kalau Si A dan Si B sudah saling mengucapkan “minal aidin”, maka artinya mereka sudah saling memaafkan.

Itu konyol, kalau tak mau dibilang menyedihkan.

Fenomena Idul Fitri di Indonesia, jika dipikirkan secara mendalam, adalah sebentuk perayaan membingungkan yang dirayakan tanpa pengetahuan dan kesadaran. Dan karena itu pula saya gelisah. Karena Idul Fitri dirayakan setiap tahun, saya pun gelisah setiap tahun.

Hal pertama yang menggelisahkan saya, adalah keyakinan orang-orang terhadap tradisi yang dianggap sebagai ajaran agama. Maaf-maafan di hari raya Idul Fitri sebenarnya budaya, cuma kebiasaan setempat, dalam hal ini Indonesia. Tetapi, berapa banyakkah orang yang menyadari, bahwa itu hanya sekadar budaya dan bukan ajaran agama?

Rata-rata atau mayoritas orang menganggap bahkan meyakini bermaaf-maafan di hari lebaran adalah ajaran agama. Karena mereka menganggap ajaran agama, mereka pun mewajibkan diri untuk melakukan. Di sisi lain, mereka juga akan menganggap orang lain salah (atau menyalahi ajaran agama) jika tidak bermaaaf-maafan di hari lebaran. Sekali lagi, ini konyol kalau tak mau dibilang menyedihkan.

Padahal, sekali lagi, tradisi bermaaf-maafan di hari lebaran tidak memiliki akar pada ajaran Islam. Jika dirunut sampai ke akar-akarnya, tradisi itu akan mentok pada zaman Mangkunegara I (sekitar tahun 1700-an.) Baca uraian selengkapnya di sini: Lebaran dan Maaf yang Tidak Jelas.

Sayangnya, orang-orang yang disebut ustad atau ulama tampaknya tidak mau menjelaskan hal ini secara gamblang kepada masyarakat awam, tapi justru melembagakannya, hingga seolah maaf-maafan di hari lebaran adalah ajaran Islam.

Dalam hal ini—sekali lagi, nuwun sewu—saya curiga, bahwa para ustad dan para ulama tidak tahu mengenai hal itu, atau mereka tahu tapi pura-pura tidak tahu. Bagaimana pun, sebagian ustad dan ulama mungkin senang mendapati masyarakat berduyun-duyun datang ke rumah mereka, mencium tangan mereka, sembari minta maaf dan bla-bla-bla. Jadi, meski mereka tahu itu bukan ajaran Islam—dan hanya sekadar budaya—mereka memilih bungkam, dan membiarkan masyarakat tetap meyakini bahwa itu ajaran agama.

Sekali lagi, kenyataan ini membuat saya gelisah.

Bayangkan, setiap tahun ada jutaan orang yang harus menempuh perjalanan jauh demi sesuatu yang disebut “mudik”. Mereka berdesak-desakan di dalam bus, antre di stasiun-stasiun kereta api, rela membayar mahal demi tiket pesawat, atau “menyabung nyawa” di jalanan dengan kendaraan sendiri. Mereka melakukan semua itu demi bisa menemui sanak keluarga di kampung halaman, dan melakukan sesuatu yang mereka yakini sebagai ajaran agama, yaitu “bermaaf-maafan”.

Jutaan orang itu akan merasa “berdosa” jika lebaran datang, tapi tidak mudik atau pulang ke kampung halaman. Mengapa merasa berdosa? Karena tidak bisa bermaaf-maafan. Itu logika mudah ketika sesuatu (dalam hal ini budaya maaf-maafan) dianggap dan diyakini sebagai ajaran agama. Sehingga jutaan orang rela melakukan perjalanan jauh dan menyabung nyawa, demi bisa pulang menemui orang tua dan keluarga di kampung halaman.

Dan itu berlangsung setiap tahun, tahun demi tahun, dan setiap tahun selalu ada korban. Sebagian tewas di jalan, sebagian luka-luka dan masuk rumah sakit, sementara sebagian besar lain mengalami hal-hal tidak menyenangkan selama perjalanan. Untuk sebuah kebiasaan, untuk sebuah tradisi, alangkah mahal yang harus mereka bayar.

Itu baru membicarakan sisi mudik. Padahal, mudik dan segala ikutannya juga mempengaruhi hal lain, termasuk liburan massal, meningkatnya hasrat konsumtif, dan lain-lain, yang semuanya berdampak pada naiknya harga-harga barang. Setiap tahun, khususnya setiap kali lebaran, harga-harga barang—di antaranya makanan—akan naik. Alasannya sepele, “karena lebaran.” Tetapi, ironisnya, setelah lebaran berlalu, harga-harga yang sudah naik itu sulit turun kembali.

Akibatnya, lebaran menjadikan harga-harga naik, seolah lebaran adalah sebentuk inflasi yang menggerus nilai mata uang. Karena harga yang naik tiap lebaran sulit turun kembali, lalu pada lebaran mendatang terjadi kenaikan lagi, dan begitu seterusnya.

Hasilnya, orang-orang miskin atau kaum dhuafa menjadi korban pertama dari kenyataan ini. Mereka menjalani kehidupan dengan kembang-kempis, dengan penghasilan pas-pasan, sementara lebaran yang datang tiap tahun menggerus kehidupan mereka dengan harga-harga yang kian mencekik, hingga mereka makin kesulitan melanjutkan hidup seusai lebaran.

Ini menyedihkan. Oh, well, sangat menyedihkan. Betapa lebaran yang seharusnya menjadi suka cita kaum dhuafa—ketika mereka bisa menerima zakat dari orang-orang kaya—berubah menjadi moment yang makin mencekik kehidupan mereka. Dan cekikan demi cekikan itu makin kuat setiap lebaran tiba, karena hari raya itu kini berubah menjadi persekutuan budaya dan kapitalisme, persetubuhan antara kebodohan dan seringai licik para pemodal.

Sekali lagi, itu hal pertama yang membuat saya gelisah setiap tahun, setiap kali lebaran datang. Budaya diyakini sebagai ajaran agama, dan kebiasaan itu lalu dikapitalisasi yang menghasilkan cekikan pada orang-orang lemah. Idul Fitri telah kehilangan esensinya, karena bukan lagi kesempatan bagi orang-orang lemah atau kaum dhuafa untuk bersuka cita mendapat hak mereka (zakat dan sedekah dari orang-orang kaya), tapi justru menjadi tali tak kasatmata yang makin menjerat dan mencekik leher mereka.

Hal kedua, yang juga membuat saya gelisah, adalah hilangnya esensi maaf dalam kehidupan manusia.

Salah satu perbedaan esensial antara manusia dengan binatang adalah maaf. Hanya manusia yang bisa meminta maaf dan memberi maaf. Hanya manusia yang bisa menyadari kesalahannya, lalu dengan rendah hati meminta maaf kepada pihak yang disalahi. Hanya manusia yang bisa berbesar hati menerima maaf dari sesamanya, dan melupakan dendam untuk dikuburkan. Hanya manusia yang mengenal maaf. Karenanya, maaf adalah pilar penting kehidupan manusia, sekaligus esensi mulia yang membedakan manusia dengan binatang.

Sebegitu esensial maaf dalam kehidupan manusia, hingga sebagian kita tidak mampu melakukan. Ada orang-orang yang tidak bersedia meminta maaf pada sesamanya, meski merasa bersalah. Mereka terlalu tinggi hati untuk melakukan. Sebaliknya, ada orang-orang yang tidak bersedia memberi maaf pada sesama, meski sudah dimintai maaf dengan tulus. Kenyataan ini menunjukkan betapa penting esensi maaf dalam kehidupan manusia.

Tetapi, lebaran—dan kebiasaan maaf-maafan di hari lebaran—melakukan distorsi besar-besaran terhadap maaf yang seharusnya “suci”. Akibatnya, aktivitas maaf-memaafkan yang sebenarnya bernilai tinggi berubah tanpa nilai. Maaf hanya menjadi tradisi tahunan, dan—setelah itu terjadi, seperti sekarang—maaf bahkan berubah menjadi ilusi. Kita meyakini telah meminta dan memberi maaf, namun yang kita lakukan hanya sekadar menyelenggarakan tradisi.

Maaf yang dilakukan di hari lebaran sebenarnya bukan maaf—itu sekadar “kembang lambe”, bunga manis di bibir, yang tidak sampai ke hati—karena ketiadaan esensi.

Meminta maaf pada orang lain adalah sebentuk kesadaran dari hati, yang menuntun kita untuk mengakui kesalahan, dan berharap kesalahan kita dimaafkan. Karenanya, adab meminta maaf adalah menemui orang yang akan kita mintai maaf, dan mengatakan kepadanya bahwa kita telah menyadari kesalahan, dan kita berjanji untuk tidak mengulangi, lalu memohon dia untuk memaafkan kesalahan kita. Itu berat—oh, well, sungguh berat. Sebegitu berat, hingga tidak setiap orang mampu melakukan!

Dalam adab atau aktivitas maaf semacam itulah, maaf memiliki nilai, karena menunjukkan esensi kita sebagai manusia. Bahwa kita tetap manusia—bukan binatang—sehingga mampu menyadari kesalahan, dan meminta maaf secara tulus pada pihak yang kita salahi. Sekali lagi, hanya—dan hanya—aktivitas maaf semacam itulah yang memiliki nilai dan esensi.

Sayangnya, lebaran mendistorsi esensi maaf. Orang saling meminta dan memberi maaf bukan karena kesadaran, tapi karena kebiasaan. Meminta dan memberi maaf bukan karena kesadaran, melainkan karena tradisi tahunan. Maaf tidak lagi memiliki nilai, karena lebaran telah mendistorsi esensinya. Dan itu, untuk kesekian kali, sangat... sangat menyedihkan.

Karena itulah, seperti yang saya bilang di atas, lebaran pada akhirnya melakukan pembusukan pada nilai-nilai kemanusiaan kita. Karena lebaran dirayakan tanpa pengetahuan, tapi hanya sekadar mengikuti kebiasaan. Dalam hal itu, maaf yang seharusnya menjadi esensi penting kehidupan manusia berubah menjadi sekadar tradisi dan budaya. Kita tidak lagi menganggap maaf sebagai hal penting dalam kehidupan manusia, karena—setahun sekali—kita bisa melakukannya ketika lebaran tiba.

Itu konyol, kalau tak mau dibilang menyedihkan. Melakukan kesalahan hari ini, menyadari kesalahan yang dilakukan, tapi berpikir, “Minta maafnya nanti saja, pas lebaran.”

Cobalah pikir dengan akal sehat, apa yang lebih konyol dari itu? Sebenarnya, itu sama konyol dengan orang-orang yang begitu giat meminta maaf pada orang-orang—yang dikenal maupun tak dikenal—padahal tidak melakukan kesalahan apa pun! Lebaran telah menggerus esensi maaf, sekaligus mendistorsi nilai kita sebagai manusia.

Untuk itulah, saya ingin menyarankan, agar kita tidak lagi bermaaf-maafan di hari raya atau di hari lebaran. Karena, selain bukan ajaran agama, aktivitas maaf-maafan di hari lebaran hanya mendistorsi esensi maaf, sehingga maaf yang seharusnya bernilai tinggi menjadi tanpa nilai.

Berhentilah menjadikan maaf sebagai tradisi setahun sekali, karena itu konyol. Sama konyol dengan meminta dan memberi maaf pada orang-orang, padahal kita tidak saling melakukan kesalahan. Sekali lagi, aktivitas semacam itu—selain tidak diajarkan agama—juga menjadikan maaf kehilangan nilai.

Marilah kita beragama dengan kesadaran. Marilah kita merayakan lebaran dengan kesadaran. Marilah kita saling memaafkan dengan kesadaran. Dan, akhirnya, marilah kita menjalani kehidupan sebagai manusia dengan kesadaran. Dalam hal itu, kita bisa memulai kesadaran dengan tidak lagi maaf-maafan di hari lebaran.

Noffret’s Note: Ramadan

Apa hubungan Ramadan dengan petasan? Tidak ada. Tapi karena sering mendengar petasan di bulan Ramadan, kita pun menganggapnya berhubungan.
—Twitter, 7 Juli 2016

Mungkin Ramadan akan jauh lebih khusyuk kalau saja bisa dijalani dengan keheningan. Tanpa petasan, juga tanpa loudspeaker yang memekakkan.
—Twitter, 3 Juli 2016

Ramadan seharusnya menjadi bulan penuh keheningan dan kekhusyukan, bukan menjadi arena persaingan loudspeaker dan petasan.
—Twitter, 9 Juli 2016

Kesalahan kebanyakan kita adalah menganggap ibadah harus disuarakan, diteriakkan, digembar-gemborkan, seolah Tuhan ada di pasar malam.
—Twitter, 3 Juli 2016


*) Ditranskrip dari timeline @noffret.
 

Zaman Ma’ah

Seseorang berkata kepadaku, “Sekarang zaman ma’ah.”

Suatu hari, saat sedang berjalan dan menemukan bungkus rokok tergeletak di trotoar, aku berkata kepadanya, “Sekarang zaman ma’ah.”

Mungkin aku perlu menjadi ma’ah. Apa pun artinya.

Karena kalau masyarakat ma’ah dan kau tidak ma’ah, mereka akan menganggapmu salah. Meski kalian sama-sama tidak tahu apa itu ma’ah.

....
....

Oh, well, seharusnya di dunia ini tidak ada masyarakat.

Jumat, 16 Juni 2017

Dari Hati ke Hati

Terlalu banyak masalah manusia dan bencana di dunia
akibat banyak anak dilahirkan tanpa kesadaran dan kearifan orang tua.
@noffret


Saya punya sepupu perempuan, yang kerap menjadi teman berbincang dan berkeluh kesah. Secara usia, dia lebih tua dari saya. Namun, berdasarkan hubungan darah, dia adik sepupu saya, karena ibunya adalah adik ibu saya. Untuk memudahkan cerita, mari sebut sepupu saya dengan nama Agnes.

Agnes dan saya telah akrab sejak kecil. Sama seperti saya, Agnes juga anak pertama. Dia punya tiga adik, namun semua adiknya telah hidup sendiri-sendiri, di tempat yang saling berjauhan. Jadi, meski saya juga akrab dengan adik-adik Agnes, namun kami jarang ketemu. Saat ini, hanya Agnes yang masih tinggal cukup dekat (satu kota) dengan saya, sehingga kami bisa bertemu sewaktu-waktu.

Agnes telah menikah, dan punya anak. Saya juga akrab dengan suami Agnes. Jika mereka—Agnes dan suaminya—punya masalah, kadang mereka datang kepada saya. Begitu pun sebaliknya. Kami saudara sepupu yang saling mengasihi.

Kedekatan saya dengan Agnes bisa dibilang melebihi kedekatan saya dengan para sepupu lain. Pasalnya, seperti yang dibilang tadi, saya dan Agnes telah akrab sejak kecil. Dulu, waktu kami masih kanak-kanak, ibu Agnes dan ibu saya kerap saling mengunjungi, hingga anak-anak mereka (Agnes, saya, dan adik-adik kami) saling mengenal, saling akrab, dan saling membangun kedekatan layaknya saudara.

Kedekatan saya dengan Agnes bahkan terus terjalin saat kami beranjak remaja. Pada masa SMA, saya kadang mengunjungi Agnes ke rumahnya, atau dia mengunjungi saya, lalu kami bermain atau mengobrol berdua. “Kecocokan” itu, tampaknya, karena dilatari kenyataan kami sama-sama “kambing hitam keluarga”.

Kami sama-sama anak sulung, dan kami sama-sama sering menjadi sasaran kesalahan atas apa pun yang terjadi di keluarga kami. Di mata orang tua saya, saya tidak pernah benar. Di mata orang tua Agnes, Agnes tidak pernah benar. Intinya, apa pun yang buruk, salah, keliru, selalu ditimpakan kepada kami, bahkan meski kami tidak terkait sama sekali dengan kesalahan yang ditimpakan.

Jadi, kalau orang tua kami butuh kambing hitam untuk disalahkan atas apa pun, kami pasti menjadi korban. Agnes dan saya tumbuh besar bersama kemarahan demi kemarahan orang tua, kekejaman demi kekejaman mereka, serta kesalahan apa pun yang mereka timpakan kapan saja.

(Kelak, ketika kami sama-sama tumbuh dewasa, perlakuan orang tua kami yang buruk ikut membentuk kepribadian kami selanjutnya. Agnes tumbuh menjadi pemberontak, sementara saya tumbuh menjadi introver.)

“Pemberontakan” Agnes terjadi bertahun lalu, ketika dia menjalin hubungan dengan seorang cowok yang tidak disukai orang tuanya. Itu terjadi setelah kami sama-sama lulus SMA. Sebelumnya, sebagaimana cewek remaja lain, Agnes sempat pacaran dengan beberapa cowok, tapi putus. Sampai kemudian bertemu cowok terakhir, yang kebetulan tidak disukai orang tua Agnes.

Karena orang tuanya melarang, Agnes tidak bisa bebas bertemu cowok yang menjadi pacarnya. Jadi, mereka pun backstreet. Pada waktu-waktu itu, Agnes sering “memanfaatkan” saya, agar bisa ketemuan dengan sang pacar. Caranya mudah. Saya datang ke rumah Agnes seperti biasa, lalu berdalih mengajak Agnes keluar. Karena saya yang mengajak, orang tua Agnes tidak curiga. Lalu kami pergi ke tempat cowok Agnes menunggu. Lalu mereka ketemuan, sementara saya bengong.

Belakangan, cowok yang menjadi pacar itulah yang sekarang menjadi suami Agnes. Karenanya, suami Agnes juga akrab dengan saya, plus merasa “berutang budi” karena dulu saya ikut membantu hubungan mereka, sampai akhirnya bisa menikah dan berkeluarga.

Seperti yang dibilang di atas, saya kerap datang menemui Agnes saat ingin berkeluh kesah, sebagaimana Agnes atau suaminya juga kadang datang kepada saya saat ada masalah. Di antara sepupu-sepupu yang lain, saya paling dekat dengan Agnes.

Karena kedekatan pula, Agnes sangat terbuka kepada saya, sebagaimana saya terbuka kepadanya. Di awal-awal pernikahan dulu, Agnes menghadapi kehidupan yang suram—orang tua tidak merestui, suami kadang tidak bekerja, keluarga kacau, dan aneka masalah lain—dan saya juga mengetahui kenyataan itu secara langsung, karena memang dekat dengannya. Dalam hal itu, Agnes sangat bersyukur karena memiliki mertua yang sangat baik.

Berbeda dengan kebanyakan menantu yang sering “tidak cocok” dengan mertua, Agnes justru sangat mengasihi mertuanya, sebagaimana sang mertua juga sangat mengasihi Agnes. Itu benar-benar karunia bagi Agnes, mengingat orang tua kandungnya bisa dibilang tidak merestui perkawinannya.

Mertua Agnes adalah pasangan suami istri dengan kesabaran dan kearifan yang nyaris tak terbatas. Saya juga tahu kenyataan itu, sehingga mempercayai penuturan Agnes saat menceritakan mertuanya dengan penuh syukur. Selain berasal dari keluarga berkecukupan, mertua Agnes juga orang-orang berpendidikan. Mereka orang tua yang benar-benar bertanggung jawab pada setiap anak yang dilahirkan, bahkan ikut memikirkan menantu mereka sebagaimana mereka memikirkan anak kandung sendiri.

Suami Agnes adalah anak bungsu dalam keluarga. Kakak-kakaknya juga telah menikah, dan masing-masing telah menjalani kehidupan yang baik. Orang tua mereka benar-benar memastikan masing-masing anak—beserta pasangan—hidup secara layak dan tidak berkekurangan. Seperti yang dilakukan terhadap Agnes. Meski Agnes adalah menantu, mereka memperlakukan Agnes seperti anak kandung sendiri, dengan cinta dan kasih, bahkan dengan persiapan untuk masa depan—memastikan anak-anak mereka dan pasangan hidup layak.

Mertua Agnes adalah “orang tua sejati”—mereka hidup sederhana, namun berpendidikan, sehingga dapat mengatur kehidupan keluarga dengan baik, serta memberikan cinta yang layak untuk anak-anak.

Well, Agnes sempat membicarakan mertuanya, karena awalnya kami membicarakan orang tua kami masing-masing. Malam itu, saya datang ke rumah Agnes, bermaksud menemui suaminya. Tapi suami Agnes rupanya sedang keluar. Jadi, saya pun mengobrol dengan Agnes, sambil menunggu suaminya pulang. Pada waktu itulah—karena suatu hal—kami membicarakan orang tua masing-masing.

Selain lebih dewasa dari saya, Agnes juga lebih tahu sejarah keluarga kami, jauh lebih banyak dari yang saya tahu. Dia memperoleh banyak cerita tentang keluarga kami dari tuturan ibunya sendiri, juga dari tetangga dan para famili. Dari Agnes pula, saya tahu kalau ternyata orang tua kami berasal dari keluarga kaya-raya. Kenyataan itu kemudian membuka obrolan yang sangat panjang, dari hati ke hati, di antara kami.

Kakek kami—dari pihak ibu—adalah saudagar kaya, bahkan dianggap orang paling kaya di masyarakat pada zamannya. Sebagai ilustrasi, ketika sepeda kayuh masih dianggap barang mahal oleh mayoritas orang, kakek kami sudah punya beberapa sepeda motor. (Kisah Agnes tentang hal itu memantik memori saya yang samar-samar, kembali mengingat almarhum kakek, ketika dulu saya sempat mengenalnya saat ia masih hidup.)

Kakek kami punya tiga anak perempuan—ibu saya, ibu Agnes, dan satu lagi yang menjadi anak sulung. Kepada tiga anak perempuan tersebut, kakek kami memberikan sebidang tanah cukup luas, yang dimaksudkan untuk membangun rumah kalau mereka berkeluarga. Masing-masing anak mendapat bagian tanah dengan ukuran sama.

Ketika ibu Agnes menikah, dia dan suaminya benar-benar membangun rumah di atas tanah pemberian kakek, dan rumah itu masih berdiri sampai sekarang. Sementara ibu saya dan kakaknya—ketika menikah—membangun rumah di tempat lain bersama suami masing-masing, sehingga tanah pemberian kakek bisa dibilang telantar. Belakangan, tanah pemberian kakek itu dijual, sehingga kini menjadi milik orang lain.

Kakek kami, dengan kekayaan yang dimiliki, memberikan harta untuk anak-anaknya. Tetapi, rupanya, dia tidak membekali anak-anaknya dengan pendidikan. Kenyataannya, tiga anak perempuannya hanya mengenyam pendidikan setingkat Sekolah Dasar—khas orang kuno tradisional, yang menganggap pendidikan tidak penting bagi anak perempuan. Di masa lalu, kakek mungkin menganggap keputusannya benar, karena berpikir perempuan tidak perlu tahu pengetahuan macam-macam. Tetapi, belakangan, keputusan itu terbukti salah.

Ibu Agnes dan ibu saya—juga kakak sulung mereka—sama-sama mencerminkan kepribadian orang tua yang minim pendidikan, yang belakangan sangat dikeluhkan anak-anaknya. Yang kami keluhkan bukan kenyataan bahwa mereka kurang pendidikan. Yang kami keluhkan adalah nasib yang kemudian kami alami, serta perlakuan orang tua kepada kami (anak-anaknya) yang sangat buruk.

Hal pertama yang menjadi akibat mengerikan dari kurangnya pendidikan adalah kemiskinan yang sama-sama kami alami. Agnes maupun saya sama-sama tumbuh dalam kemiskinan. Berdasarkan latar belakang orang tua kami, kenyataan itu sungguh ironis. Betapa anak-anak yang lahir dan tumbuh dalam keluarga kaya-raya, bisa jatuh miskin ketika mulai membangun keluarga sendiri.

Agnes juga menceritakan, bahwa ayah saya dulu juga kaya ketika menikah dengan ibu saya. Selain berasal dari keluarga berada (untuk ukuran zaman itu), ayah saya sudah punya usaha sendiri ketika masih lajang. Karenanya pantas kalau dia bisa menyunting putri saudagar kaya (ibu saya). Hal serupa terjadi dengan orang tua Agnes. Ayah Agnes juga sama kaya ketika menikah dengan ibu Agnes. Kesamaan mereka semua adalah... kurang pendidikan. Kesamaan lain, mereka jatuh miskin ketika menikah.

Terkait hal itu, perempuan yang menjadi kakak sulung ibu saya dan ibu Agnes tergolong beruntung. Dia mendapatkan suami yang berpendidikan. Lucunya, kakek kami dulu menentang pernikahan kakak sulung ibu kami, lantaran si suami dianggap miskin. Tetapi, belakangan, mereka justru bisa membangun keluarga yang sejahtera. Meski punya banyak anak, mereka dapat hidup sangat layak—jauh lebih layak dibandingkan kehidupan keluarga saya maupun keluarga Agnes.

Memang, semua fakta ini bisa saja “kebetulan”. Yang kaya ketika lajang, jatuh miskin ketika menikah. Atau yang miskin ketika lajang, justru bisa membangun kehidupan sangat baik ketika menikah. Sekali lagi, semua fakta itu bisa saja kebetulan, khususnya yang terjadi pada keluarga kami. Namun, jika saya dan Agnes mempelajari semua fakta tersebut, kami bisa menarik benang merah yang sama, yaitu pendidikan (meski pendidikan yang kami maksud dalam hal ini tidak sebatas pendidikan formal.)

Ketika saya maupun Agnes lahir, dan nalar kami mulai utuh, yang kami hadapi adalah kemiskinan, dengan sepasang orang tua yang kurang pendidikan. Kemiskinan dan kurang pendidikan (untuk tidak menyebut kebodohan) adalah kombinasi yang sangat mengerikan. Setidaknya, itulah yang sama-sama kami alami. Agnes maupun saya—yang kebetulan sama-sama anak sulung—merasa telah menjadi “korban” dalam keluarga.

Kami hidup dengan perasaan tertekan, terluka, dan hal itu bahkan terus berlangsung ketika kami dewasa. Dalam pembicaraan dari hati ke hati, malam itu, Agnes maupun saya sama-sama menyepakati satu hal, bahwa orang tua kami sama-sama egois—dalam arti tidak memikirkan nasib anak-anaknya, karena tidak memiliki pandangan jauh ke depan. Khas orang-orang kurang pendidikan.

Mereka—orang tua kami—hanya hidup untuk hari ini, dan hari esok biarlah diurus esok. Akibatnya, mereka tidak sempat memikirkan bagaimana nasib anak-anaknya jika kelak besar, tumbuh dewasa, lalu ditinggal mati mereka. Orang tua kami tidak memikirkan hal itu, karena mungkin berpikir bahwa tugas mereka hanya menikah dan melahirkan anak-anak, dan selesai. Biarlah anak-anak memikirkan nasibnya sendiri. Sekali lagi, khas orang kurang pendidikan.

Dan apa yang kemudian terjadi? Jawabannya ada dalam hati saya dan hati Agnes. Agnes maupun saya bahkan sempat berpikir bahwa kami dilahirkan ke dunia untuk menanggung masalah orang tua kami. Karena kenyataan itulah yang terjadi. Sedari kecil sampai dewasa, kami sama-sama hidup dalam perasaan tertekan karena menghadapi orang tua kami masing-masing. Bukannya mempersiapkan hal-hal baik untuk kami—anak-anaknya—mereka justru menimpakan beban demi beban, masalah demi masalah.

Saat masih kecil hingga remaja, kami menjadi tumpuan kesalahan dan kambing hitam. Saat kami tumbuh dewasa, mereka menimpakan aneka masalah dan beban.

Dalam hal itu, Agnes sedikit lebih beruntung, karena memiliki mertua penuh kasih, yang memberikan cinta dan pengertian kepadanya begitu besar, hingga Agnes benar-benar bersyukur. Bukan hanya cinta dan kasih yang tak pernah henti, mertua Agnes bahkan memikirkan dan mempersiapkan kehidupan Agnes—serta anak-anaknya yang lain—hingga kelak anak-anak itu tidak terlalu “kebingungan” ketika ditinggal mati orang tua.

“Seperti itulah seharusnya orang tua,” ujar Agnes malam itu, mengingat besarnya kasih sang mertua.

Memiliki orang tua kaya mungkin menyenangkan. Tetapi, berdasarkan pembicaraan saya dengan Agnes, memiliki orang tua berpendidikan jauh lebih baik. Mewariskan harta dan kekayaan untuk anak-anak mungkin mulia. Tetapi, mewariskan pendidikan dan mempersiapkan kehidupan anak-anak untuk jangka panjang, sepertinya jauh lebih mulia. Karena orang tua mungkin hidup untuk hari ini, tapi anak-anak hidup untuk masa depan.

Batin Bocah

Tuhan, aku lelah.

Jatuh Cinta pada Kata

“Aku menemukan kata baru,” bocah itu bercerita, “dan aku langsung jatuh cinta.”

“Kedengarannya menarik,” saya menyahut. “Jadi, apa kata baru itu?”

“Sumbulah.”

“Sum... apa?”

“Sumbulah.”

“Sumbulah?”

“Iya, sumbulah.” Dia tersenyum riang khas orang sedang jatuh cinta.

“Uh, kata itu... kedengarannya asing, eh?”

“Ya, dan karena itulah aku jatuh cinta kepadanya—kata itu.”

Saya mengangguk-angguk meski masih kurang paham. “Jadi... di mana kamu menemukan kata itu?”

“Di buku yang tempo hari aku baca. Kata itu ada dalam suatu kalimat.”

“Kamu masih ingat bunyi kalimatnya?”

“Tentu saja!” dia tampak antusias. “Aku masih ingat persis bagaimana kalimat itu, karena di situlah terdapat kata yang membuatku jatuh cinta.”

“Jadi, bagaimana bunyi kalimat itu?”

Dia menyebutkan perlahan-lahan, mengutip kalimat yang dibacanya, “Lilin tampak menyala, tapi sumbulah yang terbakar.” Kemudian dia berkata sungguh-sungguh, “Di situlah aku menemukan kata itu—sumbulah—dan aku langsung jatuh cinta.”

....
....

Sekarang, well, saya ikut jatuh cinta pada sumbulah.

Sabtu, 10 Juni 2017

Pernikahan Tak Seindah Itu...

Killing is like marriage, fun at first until you realize what you've done.
Zodiac Killer


Dulu, Tamara Bleszynski dan Mike Lewis saling “cinta mati”. Lalu mereka pun menikah, dan bahagia selama-lamanya...? Tidak. Mereka bercerai.

Hanya dua tahun menikah, “cinta mati” yang berkobar di antara Tamara Bleszynski dan Mike Lewis telah pudar, dan perkawinan mereka pun bubar.

Tapi ada hal unik yang terjadi pada Tamara dan Mike. Meski telah bercerai, mereka masih “rukun” sebagai teman, bahkan sering liburan bareng.

Perkawinan membutuhkan ikatan, dan kupikir itu bukti rapuhnya hubungan. Pertemanan tidak membutuhkan ikatan apa pun, ia justru lebih kekal.

Perkawinan, dalam pikiranku, adalah paradoks. Ia dilembagakan dengan tujuan agar kuat, tapi pelembagaan justru menjadikannya rapuh.

Apa pun yang dilembagakan membuktikan bahwa sesuatu di dalamnya perlu “dikurung” atau tidak dibebaskan. Begitu pula perkawinan.

....
....

Ketika Nassar menikah dengan Muzdalifah, resepsi perkawinan mereka sangat... sangat mewah. Dua tahun kemudian, mereka bercerai dan berpisah.

Dulu, aku berpikir resepsi perkawinan (apalagi mewah) dimaksudkan agar orang-orang tahu bahwa kedua mempelai telah menikah. Ternyata tidak!

Hakikat resepsi perkawinan, jika dipikir dan direnungkan, ditujukan agar membuat sepasang mempelai “eman-eman” dan malu kalau harus cerai.

Resepsi perkawinan, sebenarnya, tidak dimaksudkan “ke luar” (ke orang-orang lain), tapi ditujukan “ke dalam” (kepada sepasang mempelai).

Ketika resepsi perkawinan digelar, resepsi itu seolah berkata, “Sekarang orang-orang tahu kalian telah menikah.” Itu semacam ultimatum.

Karenanya, semakin mewah resepsi perkawinan digelar, kadar ultimatumnya semakin kuat. Rasa “eman-eman” dan malu yang terjadi kian berat.

Tapi rupanya itu pun kadang (dan sering kali) tak mampu menahan sepasang suami-istri untuk tidak berpisah. Buktinya Nassar dan Muzdalifah.

Mungkin mereka menyesal karena telah menggelar resepsi perkawinan secara besar dan mewah. Tapi menyesal tentu lebih baik daripada menderita.

Sekarang bayangkan apa yang terjadi jika sepasang suami istri itu bukan Nassar dan Muzdalifah. Mungkin mereka tetap bertahan, meski terluka.

....
....

Risty Tagor menikah dengan Stuart Collin. Mereka pasangan serasi, saling cinta, dan apakah mereka bahagia selamanya? Tidak, mereka bercerai.

Hanya dalam hitungan bulan, Risty Tagor dan Stuart Collin sudah tak mampu melanjutkan hubungan perkawinan mereka, dan memutuskan bercerai.

Ajaib, kalau dipikir-pikir. Betapa dua orang bisa menjalin hubungan sampai lama sebagai teman, tapi langsung bubar ketika dinikahkan.

Perkawinan adalah ikatan, sementara manusia (selalu) membutuhkan kebebasan. Memikirkan hal ini sampai bertahun-tahun, aku tidak juga paham.

Apa latar belakang perceraian Risty Tagor dengan Stuart Collin? Finansial. Perkawinan melancarkan rezeki? Oh, tolong katakan pada mereka.

....
....

Bella Shofie, kita tahu, menikah dengan Suryono. Satu tahun setelah menikah, tepat di Hari Valentine, Suryono menggugat cerai Bella Shopie.

Apa alasan Suryono menggugat cerai istrinya? Karena Bella Sophie katanya tidak memenuhi kewajiban sebagai istri. Sepele, sederhana.

Orang-orang mengatakan, perkawinan akan membuatmu tenteram, damai, dan bahagia. Mungkin Suryono dan Bella Shofie perlu mendengarkannya.

Oh, mungkin Suryono dan Bella Shofie telah mendengar ocehan dan bualan semacam itu. Tapi mereka menghadapi realitas yang tidak seperti itu.

....
....

Lalu Ayu Ting Ting, yang menikah dengan Enji. Bagaimana kabar mereka? Bahagia selama-lamanya? Sama saja. Setahun menikah, mereka bercerai!

Ayu Ting Ting bahkan menggugat cerai suaminya, ketika dia sedang mengandung bayi mereka. Bisa dibayangkan beratnya beban yang dihadapinya.

Mengandung bayi adalah beban, dan menggugat cerai adalah beban lain. Fakta Ayu Ting Ting rela menanggungnya, jelas menunjukkan dia sengsara.

“Menikahlah, dan hidupmu akan indah, tenteram, dan bahagia,” kata orang-orang. Tapi Ayu Ting Ting pasti menghadapi realitas yang berbeda.

Jika memang menikah menjadikan orang bahagia, damai, dan tenteram, Ayu Ting Ting saat ini pasti masih menjadi istri Enji. Realitasnya tidak.

Jika teori tidak sesuai realitas, maka artinya ada yang salah. Itu rumus yang sederhana. Yang aneh, betapa sedikit yang menyadarinya.

....
....

Cici Paramida juga bisa menjadi contoh kasus. Hanya sembilan bulan setelah menikah, dia menggugat cerai suaminya. Hanya sembilan bulan!

Ajaib, atau ironis, betapa sepasang manusia bisa menjalin hubungan bertahun-tahun tanpa ikatan, lalu saling berpisah ketika mulai diikat.

Contoh-contoh ini, jika diteruskan, bisa sangat buanyak dan panjang sekali, dan kultwit ini mungkin baru akan selesai sehabis lebaran.

Rangkaian tweet ini adalah upaya pembanding dan penyeimbang atas banyaknya “iklan palsu” yang mempromosikan perkawinan secara berlebihan.

Jika orang-orang mengatakan menikah akan membuatmu bahagia, tanyakan kenapa banyak orang yang bercerai dan saling gugat pasangannya sendiri.

Jika orang-orang mengatakan menikah akan membuat damai dan tenteram, pikirkan kenapa berita-berita perceraian nyaris tak pernah berhenti.

Jika orang-orang mengatakan menikah akan melancarkan rezeki, tanyakan kenapa ada banyak keluarga miskin, melarat, dan anak-anak telantar.

Jika orang-orang bertanya “Kapan kawin?” kepadamu, tanyakan, “Apakah perkawinanmu bahagia?” Lalu lihat dan perhatikan reaksi di wajahnya.

Setiap kali menemukan orang yang suka menyuruh dan memprovokasimu cepat menikah, perhatikan dan amati, hidup orang itu pasti menyedihkan.

Lihat dan amatilah sekelilingmu. Orang-orang bahagia tidak mengusikmu. Tapi yang suka menyuruh-nyuruhmu cepat menikah... semuanya pecundang.

Setiap kali menemukan orang yang bertanya “Kapan kawin?” atau semacamnya, pahamilah bahwa dia sedang berupaya menghibur diri sendiri.

Ketika orang bertanya “Kapan kawin?”, sebenarnya dia sedang mengatakan, “Aku lebih bahagia darimu.” Itu menunjukkan pelakunya tidak bahagia.

Karena kebahagiaan tak pernah butuh pengakuan, termasuk kebahagiaan dalam perkawinan. Jangan membohongi diri sendiri dan orang lain.

Akhirnya, hidup adalah soal pilihan, begitu pun perkawinan. Masing-masing orang punya cara sendiri dalam menjalani hidup yang dianggap baik.

Yang baik bagimu belum tentu baik bagi orang lain. Karenanya, tidak usah repot-repot memaksakan pilihan hidupmu pada hidup orang-orang lain.

Perkawinan adalah soal pilihan. Hanya dengan cara itu, orang bisa saling menghormati pilihan masing-masing, tanpa harus merasa lebih tinggi.


*) Ditranskrip dari timeline‏ @noffret, 2 Februari 2017.

Arti Nama Anak

Teman saya berkata, “Kamu pernah kepikiran, kelak akan ngasih nama apa buat anakmu?”

“Boro-boro mikir namanya,” sahut saya. “Wong soal punya anak aja, aku belum pernah bayangin.”

“Gitu, ya?”

“Emang kamu udah mikir soal nama anak, gitu?”

“Iya, sih.”

Saya penasaran. “Jadi, kelak kalau punya anak, akan kamu namain siapa?”

“Kelak, kalau punya anak, aku akan kasih nama ‘Dovnav Lamma Hem Hem’.”

Saya bengong. “Uhm... itu artinya apa?”

“Aku nggak tahu artinya,” jawabnya lugu.

“Lhoh, kalau kamu nggak tahu artinya, kenapa anakmu mau dikasih nama itu?”

“Iya, biar kelak, kalau sedang menatap anakku, aku akan berpikir... apa sebenarnya arti namanya.”

Sesuatu yang Mbuh

Yo mbuh.

Minggu, 04 Juni 2017

Kenikmatan Menulis di Blog yang Tidak Bisa Didapatkan di Tempat Lain

Blogger ini enggak pernah memajang foto dirinya, apalagi foto orang lain. Isi postingannya tulisan thok, tapi kalau udah mampir ke sini, saya seperti enggan melewatkan satu kata pun di postingannya. Yang dibahas asyik. Gaya penulisannya juga asyik. Satu lagi, identitas blogger ini, kok, misterius. Bikin penasaran!
—Haya Aliya Zaki, di Blogger Perempuan

Tak seperti nama blognya, pemilik blog ini saya anggap kontroversial. Namun demikian bukan jenis kontroversial yang membuat saya antipati, melainkan yang justru membuat saya penasaran dan akhirnya berkata, “Tidak apa-apa beda, asal tidak merugikan orang lain.”
—Lusi Tris, di Be Your Self Woman


Saya bukan blogger yang menjadi penulis. Yang benar, saya penulis yang aktif ngeblog. Buku pertama saya—Gapailah Impianmu—terbit pada awal 2000-an. Itu sembilan tahun sebelum saya membuat blog ini. Jadi, sebagian orang yang mengira saya menerbitkan buku gara-gara aktif ngeblog, itu keliru. Bahkan sebelum ngeblog, saya sudah menerbitkan cukup banyak buku.

Saya perlu menjelaskan hal tersebut, agar orang-orang yang ingin jadi penulis tidak salah sangka. Di internet, ada sebagian orang yang mengira bahwa untuk bisa menerbitkan buku harus terkenal dulu sebagai penulis. Untuk terkenal sebagai penulis, orang harus aktif ngeblog, hingga terkenal sebagai blogger. Itu logika yang tidak sepenuhnya benar.

Kalau tulisanmu memang bagus, penerbit tidak peduli kau terkenal atau tidak. Sebaliknya, kalau tulisanmu buruk, penerbit juga tidak peduli kau terkenal atau tidak. Untuk bisa menerbitkan buku secara profesional, modal utama kita adalah tulisan bagus. Selengkapnya; bagus, layak baca, dan layak jual. Kalau kita bisa menulis naskah bagus, layak baca, dan layak jual, penerbit mana pun akan welcome, terlepas kita terkenal atau tidak. Hal sebaliknya juga berlaku.

Memang akan sangat bagus kalau kita bisa menulis naskah yang bagus, layak baca, dan layak jual, plus terkenal. Tapi terkenal atau popularitas hanya penunjang. Inti pentingnya tetap pada naskah. Karenanya, jika bermimpi ingin jadi penulis profesional, utamakan karya terlebih dulu, bukan sibuk mengejar popularitas. Dalam hal ini, ngeblog atau aktif menulis di blog bisa menjadi sarana dalam melatih kemampuan menulis. Kalau pun kita sudah menjadi penulis profesional, ngeblog bisa menjadi sarana bersenang-senang. Setidaknya, itulah yang saya lakukan.

Seperti yang sudah saya katakan berulang-ulang, saya ngeblog bukan agar terkenal (kalau ada orang menganggap saya terkenal, itu urusan mereka). Saya ngeblog juga bukan agar dilirik penerbit (wong sebelum kenal blog pun, saya sudah menerbitkan cukup banyak buku). Saya ngeblog murni untuk kesenangan. Meski tulisan-tulisan saya di blog mungkin cenderung serius, aktivitas ngeblog bagi saya adalah sarana bersenang-senang.

Blog, bagi saya, adalah sarana yang sempurna untuk menumpahkan kegelisahan pikiran. Sejauh ini, saya belum menemukan media lain yang lebih tepat untuk menjadi tempat “memuntahkan pikiran”, selain blog. Coba kita lihat beberapa kelebihan blog berikut ini, yang membuat saya sulit berhenti ngeblog.

Pertama, blog memungkinkan saya menulis sebanyak apa pun, dengan kalimat-kalimat sepanjang apa pun. Blog juga memungkinkan tulisan-tulisan terarsip dengan baik dan rapi, sehingga dapat ditemukan dengan mudah. Itu sesuatu yang tidak bisa didapatkan di tempat lain. Di Twitter, misalnya, tempat yang disediakan hanya 140 karakter. Dengan tempat sesempit itu, saya tidak bisa apa-apa. Twitter hanya cukup untuk “menempelkan upil”, bukan untuk “memuntahkan pikiran”.

Di Twitter, saya harus berhati-hati setiap akan menulis sesuatu, karena bisa jadi ada orang yang salah paham, lalu merespons secara keliru. Hal semacam itu tidak terjadi di blog. Karena tempat yang disediakan sangat luas, saya bisa menulis dengan bebas di blog, dan menjelaskan apa pun secara leluasa dan panjang lebar, sehingga kemungkinan salah paham bisa diminimalkan. Blog juga memungkinkan saya untuk membuat tulisan dengan cetak tebal, cetak miring, dan lain-lain, sehingga tulisan benar-benar “utuh”.

Di Twitter, kita juga sulit mengakses tulisan-tulisan lama, karena tidak ada sistem pengarsipan yang rapi sebagaimana di blog. Itu pula yang menjadikan saya rajin mengarsipkan tulisan (cuitan) saya di Twitter ke blog, dengan tujuan agar tulisan-tulisan itu terarsip secara rapi, dan mudah ditemukan.

Kedua, inti terpenting di blog adalah tulisan, bukan yang lain. Blog juga memungkinkan orang mengunggah gambar/foto atau video, tetapi inti pentingnya tetap tulisan. Jika ingin mengunggah gambar atau foto, Instagram lebih tepat. Jika ingin mengunggah video, YouTube lebih tepat. Jika ingin menjalin pertemanan, Facebook juga lebih tepat. Di blog, yang paling penting adalah tulisan. Itu benar-benar cocok bagi saya.

Di blog, saya hanya menulis. Minim gambar, minim foto, dan hanya penuh tulisan. Karena memang itulah tujuan saya—menulis, menumpahkan beban dan kegelisahan pikiran.

Orang bilang, tulisan di blog akan lebih SEO jika panjangnya di atas 500 kata. Saya bilang, “Persetan dengan SEO!” Kalau ingin menulis panjang, saya akan menulis sepanjang apa pun. Sebaliknya, kalau mau menulis singkat, saya akan menulis sesingkat apa pun. Saya tidak menulis untuk SEO atau tetek bengek semacamnya. Saya menulis untuk bersenang-senang, dan menyegarkan pikiran.

Orang bilang, tulisan di blog akan lebih menarik jika dilengkapi gambar dan foto. Saya bilang, “Menarik buat siapa?” Blog ini memang terbuka, dan bisa diakses siapa pun. Artinya, orang lain bisa menemukan dan membaca isinya. Tapi kalau pun mereka tidak tertarik—karena tulisan saya tidak dilengkapi gambar atau foto—ya tidak apa-apa! Wong umpama tidak ada satu orang pun yang membaca, juga tidak apa-apa. Saya tidak akan bunuh diri hanya karena hal-hal semacam itu.

Ketiga, blog memungkinkan saya menulis secara bebas, dengan gaya apa pun, dengan kata-kata apa pun, bahkan memungkinkan saya menulis sambil marah-marah. Itu sesuatu yang benar-benar saya suka! Tidak ada tempat lain yang memungkinkan saya menikmati “kemewahan” semacam itu, selain di blog. Menulis dengan asyik dan mengekspresikan diri secara bebas—setidaknya bagi saya—adalah kenikmatan yang tidak bisa digantikan apa pun.

Faktor ketiga itulah yang tampaknya membuat saya sulit melepas blog, dan ingin terus menulis di blog. Saya butuh menulis dan mengekspresikan diri, blog menyediakan sarana. Saya butuh menumpahkan beban dan kegelisahan pikiran, blog menyediakan tempat. Saya butuh marah-marah secara elegan, blog memungkinkan saya melakukannya. Oh, well, apa yang lebih hebat dari itu?

Di blog tidak ada editor. Tidak ada redaktur. Tidak ada guru, juga tidak ada dosen pembimbing! Saya bebas menulis apa saja di blog, dengan cara dan gaya apa pun, hingga saya benar-benar bisa mengekspresikan diri seutuhnya. Di blog, saya bisa menulis kata-kata indah dan lembut saat senang atau tersentuh, di lain waktu saya bisa memaki saat sedang marah. Bebas! Itu kemewahan yang tidak bisa saya dapatkan di tempat lain!

Jika umumnya blogger berusaha sok jaim atau bahkan sok alim saat menulis di blog, saya ingin menjadi diri sendiri seutuhnya, apa adanya. Saat sedang senang, saya akan menulis dengan senang. Saat sedang kangen, saya akan bilang kangen. Saat sedang marah, saya juga akan menulis sambil marah. Di mana lagi saya bisa menemukan tempat sesempurna itu selain di blog?

Intinya, sebagai penulis, saya menulis di blog untuk memuntahkan sesuatu yang tidak terakomodasi oleh media konvensional. Ketika menulis naskah untuk menjadi buku yang diterbitkan oleh perusahaan penerbit, misalnya, saya tentu harus “tahu diri”, yang salah satunya menyesuaikan tulisan agar layak terbit. Ketika menulis naskah untuk buku, saya tidak mungkin menulis sambil marah-marah!

Begitu pula ketika menulis untuk media lain, yang dalam hal itu saya mendapat honor atas tulisan yang saya kirimkan, saya juga harus menyesuaikan tulisan agar layak terbit. Dalam hal itu, saya tentu tidak bisa menulis sambil misuh-misuh seenaknya! Bagaimana pun, sebagai profesional, saya harus sadar dan tahu diri bagaimana menyuguhkan tulisan yang tepat, untuk media yang tepat, untuk pembaca yang tepat.

So, ketika menulis di blog pribadi, saya tidak dibikin ribet oleh hal-hal semacam itu, karena tujuan saya memang untuk bersenang-senang. Karenanya, saya merasa bebas menulis apa pun, dengan gaya apa pun, yang saya inginkan.

Memang, sebagian tulisan saya di blog ini dibukukan, di antaranya dalam seri Notes from Heart, yang diterbitkan Elex Media. Saat ini sudah dua jilid, dan jilid ketiga akan segera menyusul.

Ketika mengumpulkan tulisan-tulisan itu untuk disatukan menjadi naskah, saya melakukan swasensor. Artinya, saya tidak mentranskrip tulisan-tulisan di blog secara utuh ke dalam naskah. Bagaimana pun, saya harus selektif memilih tulisan yang bisa disatukan, dan saya pun melakukan editing terhadap tulisan-tulisan itu, agar hasilnya tidak “sefrontal” seperti di blog.

Makian atau ucapan kasar dalam tulisan, misalnya, semuanya saya hapus, atau saya ganti dengan kata-kata yang lebih baik. Kemudian, adegan-adegan ketika saya merokok—yang kadang muncul dalam tulisan di blog—juga saya hilangkan saat tulisan itu masuk ke naskah. Dalam hal ini, pihak Elex Media, selaku penerbit, tidak pernah meminta saya melakukan hal itu. Tetapi, sebagai profesional, saya tahu diri, dan memahami apa yang harus saya lakukan terhadap tulisan-tulisan saya, agar layak terbit.

Hasilnya, tulisan-tulisan di blog ini, yang kemudian terbit menjadi buku, lebih manis dan lebih bisa diterima kalangan mana pun. Di buku, tidak ada lagi makian saya yang frontal. Di buku, juga tidak ada adegan-adegan ketika saya menyulut dan mengisap rokok.

Lain soal kalau pihak penerbit (siapa pun) berpesan, “Biarkan makianmu tetap utuh, dan jangan hapus adeganmu saat merokok!” Maka saya pun akan membiarkan bagian-bagian itu tetap ada dalam tulisan.

Well, tempo hari, saya menerima e-mail dari seorang wanita, bernama Ayu Rienda. Isi e-mail-nya sopan, dan ditulis dengan bahasa Indonesia yang baik dan benar, namun wajar dan tidak berlebihan. Saya senang menerima e-mail semacam itu. Berikut sebagian isi e-mail Ayu Rienda, yang membuat saya tersenyum.

Dear Hoeda,

Saya termasuk salah satu orang yang terinspirasi dengan buku Gapailah Impianmu (saya baca sekitar 10 tahun lalu). Buku itu menemani masa-masa sulit di masa sekolah, dan hingga kini kadang masih saya buka untuk mengenang perjalanan masa itu, hahaha...

Setelah itu saya rajin membaca blogmu, yang beberapa kisahnya menggetarkan dan inspiratif. Kisah-kisah itu, terus terang, turut serta membantu saya melewati masa-masa labil dengan cukup baik. Terima kasih sudah menjadi seorang penulis yang benar-benar berprinsip, dan menyebarkan kebaikan untuk kita-kita.


Dia telah membaca tulisan saya sepuluh tahun yang lalu, dan masih terus membaca tulisan saya sampai saat ini. Apa yang lebih diinginkan seorang penulis daripada karunia semacam itu?

Dan, akhirnya, apa yang bisa dipelajari dari ocehan ini?

Pertama, ingatlah selalu, bahwa hal paling penting bagi seorang penulis adalah kemampuan menulis. Bukan popularitas, atau apa pun! Karenanya, syarat untuk bisa menjadi penulis adalah bisa menulis dengan baik! Ketika saya menerbitkan buku pertama, tidak ada penerbit yang mengenal nama saya. Tapi buku saya terbit. Tentu bukan karena saya populer, melainkan karena memang layak terbit.

Kedua, blog bisa menjadi sarana yang baik untuk berlatih menulis, khususnya bagi yang belum jadi penulis. Bagi yang sudah menjadi penulis—khususnya yang sering stres seperti saya—blog bisa menjadi sarana bersenang-senang, sekaligus mendekatkan diri dengan pembaca.

Karenanya, saat ngeblog, tidak usah mikir SEO, atau berharap banyak komentar, atau ingin terkenal, dan lain-lain. Menulis sajalah, dan tidak usah membebani diri dengan hal lain. Yang penting rajin menulis, melatih disiplin diri, dan terus belajar sambil jalan.

Ketiga, menulislah secara jujur, dan refleksikanlah diri kita apa adanya. Percaya atau tidak, itu faktor terpenting jika ingin cepat dikenal, bahkan menarik banyak orang. Jangan meniru orang lain, jangan berusaha sama dengan orang lain, jadilah diri sendiri. Dengan kata lain, jadilah orisinal dan berbeda! Siapa pun yang bisa melakukan ini, mau tak mau akan terkenal, meski mati-matian berusaha tidak terkenal!

Ingatlah selalu, tidak ada satu pun manusia yang sama dengan kita. Semua orang berbeda, dengan latar belakang berbeda, dengan jalan hidup berbeda, dengan isi pikiran berbeda. Jika kita menjadi diri sendiri, kita akan tampak berbeda. Kalau kita tampak berbeda, orang akan melihat. Tapi kalau kita berusaha meniru orang lain... apa beda kita dengan orang lain? Kalau kita tidak berbeda dengan orang lain, bagaimana orang akan tertarik?

Keempat, jika kita mampu berdisiplin menulis sampai bertahun-tahun, tanpa mendapat komentar atau pujian, dan kita mampu terus melakukannya tanpa bosan, maka artinya kita benar-benar mencintai menulis. Jika kita mencintai menulis, dan terus melakukannya bertahun-tahun, mau tak mau tulisan kita akan membaik. Jika tulisan kita terus membaik dan semakin berkualitas, jalan menuju penerbit terbentang luas.

Dan, well... begitulah cara penulis dilahirkan.

Sunyi Bersama Angin

Dalam hidup, kita semua punya ketakutan, seperti lorong gelap tanpa ujung, dan kita ingin ditemani, namun kadang terlalu takut untuk meminta.

Ada anak-anak kecil kesepian di hati kita, namun sayang kita bukan lagi anak kecil. Dan kita terlalu angkuh untuk mengulurkan tangan.

Seseorang menyatakan bahwa hati kita serupa nyala lilin. Ada saat nyala yang panjang, memancarkan sinar, kemudian meredup, dan mati.

Selalu ada waktu untuk segala sesuatu. Pun kehidupan, kesabaran, dan rindu.

Ada batu yang berlubang karena tetesan air, ada air yang membeku dan membatu karena udara dingin. Begitu pun hati kita. Dari waktu ke waktu.

Setelah lama diterpa dingin, hati yang paling membara pun perlahan-lahan membeku dalam gigil. Sunyi bersama angin.

Dalam gelap dan ketakutan, kadang aku terlalu takut menyalakan lilin. Karena khawatir yang kulihat dalam terang bisa lebih menakutkan.

Dalam sunyi dan kesepian, kadang aku terlalu takut ditemani. Karena kesepian kadang jauh lebih baik daripada menambah luka di hati.


*) Ditranskrip dari timeline @noffret, 28 April 2015.

Antara Blog dan Twitter

Kami mengubah pembalasan Tweet agar Anda punya murni
140 karakter utk berekspresi. Cek blog kami utk info detail.
@TwitterID, 31 Maret 2017


Twitter menyediakan 140 karakter untuk "berekspresi". Bagiku, 140 karakter tidak cukup untuk "berekspresi". Itulah kenapa aku punya blog.

Tempat berekspresi paling ideal di dunia maya memang blog. Bebas ngoceh apa pun, sepanjang apa pun, segila apa pun.

Seenak-enaknya nulis di Twitter, rasanya masih enak nulis di blog.  Bagiku, blog adalah tempat sempurna untuk menuliskan kegelisahan.


*) Ditranskrip dari timeline @noffret, 8 April 2017

Kamis, 01 Juni 2017

Ahmad Dhani Mungkin Salah Gaul

Wahai jiwa-jiwa yang tenang, hati-hatilah dirimu
Pada hati-hati yang penuh dengan kebencian yang dalam
Karena sesungguhnya iblis ada dan bersemayam
Di hati yang penuh dengan benci
Di hati yang penuh dengan prasangka

Laskar Cinta, sebarkanlah benih-benih cinta
Musnahkanlah virus-virus benci
Virus yang bisa rusakkan jiwa dan busukkan hati

Laskar Cinta, ajarkanlah ilmu tentang cinta
Karena cinta adalah hakikat
Dan jalan yang terang bagi semua umat manusia

Jika kebencian meracunimu kepada manusia lainnya
Maka sesungguhnya iblis sudah berkuasa atas dirimu
Maka jangan pernah berharap aku akan mengasihi,
menyayangi manusia-manusia yang penuh benci seperti kamu

—Laskar Cinta, Chapter 1



Jika ada orang yang percaya bahwa Ahmad Dhani seorang genius, saya termasuk di antaranya. Karya-karya Ahmad Dhani di bidang musik sudah menjadi bukti kalau dia memang genius. Selain menghasilkan band DEWA yang fenomenal, Dhani juga menghasilkan penyanyi-penyanyi yang juga terkenal. Dia bisa menjadi pencipta lagu, penata musik, vokalis—bersama band maupun solo—hingga menjadi produser musik, dan lain-lain.

Dulu, ketika Arie Lasso keluar (atau dikeluarkan) dari DEWA, banyak pihak memprediksi DEWA akan hancur. Bagaimana pun, Arie Lasso sudah identik dengan DEWA, khususnya sebagai vokalis. Mengeluarkan Arie Lasso dari DEWA sama artinya mengundang masalah bagi grup itu. Sudah terlalu banyak band yang hancur atau bubar setelah vokalisnya pergi. Terkait DEWA, rasanya sulit membayangkan lagu-lagu DEWA—yang identik dengan vokal Arie Lasso—dinyanyikan orang lain.

Tapi Dhani mampu mengatasi masalah itu, dengan memasukkan Once sebagai vokalis baru. Karakter vokal Once jelas berbeda dengan karakter vokal Arie Lasso. Tapi Dhani menjawab prediksi kehancuran DEWA dengan cara sederhana, yang tak terbayang orang-orang lainnya. Setelah Once masuk ke DEWA, Dhani menciptakan lagu-lagu yang sesuai (atau disesuaikan) karakter vokal Once. Hasilnya, DEWA bukan hancur sebagaimana diperkirakan banyak orang. Sebaliknya, grup band itu justru tumbuh membesar.

Itu bukti yang paling mudah dikenali, terkait kegeniusan Ahmad Dhani. Meski mungkin tampak sepele, tidak setiap orang mampu melakukan hal itu. Jika tidak percaya, cobalah sebutkan band mana di Indonesia—selain DEWA—yang mampu tetap eksis, bahkan tumbuh makin besar, setelah ditinggal vokalisnya.

Jadi, saya percaya Ahmad Dhani seorang genius. Lebih tepat, musisi atau seniman yang genius.

Bayangkan, selama bertahun-tahun, dia “menyembunyikan” kode-kode rahasia yang sangat penting, tepat di depan mata kita, melalui ilustrasi sampul kaset dan CD DEWA. Di setiap album, Dhani meletakkan sekeping demi sekeping rahasia yang sebenarnya sangat mencolok mata—karena tepat di depan kita—tetapi, ajaibnya, rahasia itu tak terlihat atau tak bisa dilihat setiap orang.

Ada ribuan—atau bahkan jutaan—orang yang memiliki kaset dan CD DEWA, dan orang-orang itu memegangi sampul kaset atau sampul CD, sembari membaca lirik lagu yang ada di sana. Tepat di sampul yang sama, Dhani meletakkan kode-kode rahasia yang menakjubkan, lengkap dengan petunjuk cara membaca dan memahaminya, tapi tidak setiap orang bisa melihat apalagi paham.

Dan itu berlangsung sampai bertahun-tahun. Tidak ada yang tahu. Tidak ada yang sadar. Tidak ada yang memahami bahwa sampul-sampul kaset dan CD itu sebenarnya berisi pesan-pesan rahasia, lengkap dengan petunjuk dan cara membacanya.

Jelas, itu pekerjaan seorang genius. Orang tolol tidak akan mampu melakukan hal semacam itu. Dan Ahmad Dhani pasti paham betul pesan George Washington, bahwa “tempat terbaik untuk menyimpan rahasia, adalah tepat di depan mata banyak orang”. Semakin banyak mata melihat, rahasia yang tersimpan di sana justru makin tak terlihat.

Dalam hal itu—sebagai musisi dan sebagai seniman—saya mengagumi Ahmad Dhani. Sayang, Ahmad Dhani mungkin tidak menyadari kelebihannya sendiri. Dia keluar dari tempatnya bertahta, dan memasuki wilayah lain, yang membuatnya “gegar otak”. Dia masuk politik, dan menjadi politisi. Di wilayah itu, kita melihat Ahmad Dhani sebagai sosok yang jauh berbeda. Tidak terlihat lagi kegeniusan yang semula dimilikinya, bahkan—kalau boleh terus terang—Ahmad Dhani jadi tampak seperti orang biasa. Lebih tepat, orang biasa yang naif.

Sejujurnya, saya tidak tahu apa motivasi Dhani memasuki dunia politik. Dan makin hari, saya makin tidak tahu apa sebenarnya yang terjadi dengan Ahmad Dhani, hingga sosok yang dulu sangat mengagumkan bisa berubah jadi menggelikan.

Dulu, ketika Gus Dur masih hidup, dan dia kerap runtang-runtung dengan Gus Dur, Ahmad Dhani terpengaruh aura positif Gus Dur. Tentang kemampuan memahami perbedaan, kesadaran dalam menatap kehidupan yang plural, kasih sayang pada sesama, toleransi dan empati kepada kaum minoritas, dan hal itu bahkan tercermin dalam lagu-lagu yang dinyanyikan DEWA, yang dihafalkan jutaan orang Indonesia.

Syair yang saya tulis di awal catatan ini, sebagaimana kalian tahu, adalah lirik lagu DEWA. Betapa indah lirik lagu itu, dan betapa indah saat dinyanyikan. Saya bahkan tidak pernah bosan mendengarkan lagu itu.

Saya tahu, dalam lagu itu Ahmad Dhani menggabungkan kalimat Al-Ghazali dengan kalimatnya sendiri. Dan itu, lagi-lagi, butuh kegeniusan, karena tidak setiap pencipta lagu memiliki kemampuan seperti itu. Tetapi kemudian bocah genius ini masuk dunia politik, dan berubah menjadi bocah tolol!

Bukti ketololannya yang sangat tampak adalah kedekatannya dengan pihak-pihak yang identik dengan kekerasan dan antiperbedaan—sesuatu yang dulu ia jauhi, bahkan ia musuhi. Ahmad Dhani, yang dulu menyanyikan “hati-hatilah dirimu pada hati-hati yang penuh dengan kebencian”, sekarang justru bergaul dan dekat dengan orang-orang yang penuh kebencian, yang menindas minoritas, yang antiperbedaan, yang menggunakan kekerasan untuk memaksakan kehendak.

Dan Ahmad Dhani juga dulu menyanyikan, “jika kebencian meracunimu kepada manusia lainnya, sesungguhnya iblis sudah berkuasa atas dirimu”. Sayangnya, Ahmad Dhani mungkin lupa pada lagu yang dinyanyikannya sendiri, hingga kemudian membangun kebenciannya sendiri. Pada pihak lain yang berbeda. Pada golongan lain yang minoritas.

Oh, well, Ahmad Dhani mungkin salah gaul.

Dulu, waktu bergaul dengan Gus Dur, Ahmad Dhani terpengaruh menjadi sosok yang cinta damai, memahami dan menerima perbedaan, menyadari keragaman, mengayomi yang minoritas, menjunjung tinggi toleransi, dan menebarkan benih-benih cinta.

Tetapi, kini, saat bergaul dengan si itu—kalian paham siapa yang saya maksud—Ahmad Dhani berubah. Tidak lagi cinta damai, tapi mengobarkan permusuhan. Tidak lagi memahami perbedaan, tapi menebarkan prasangka-prasangka. Tidak lagi menyadari keragaman, tapi menginginkan keseragaman. Tidak lagi mengayomi yang minoritas, tapi berubah sok kuasa karena merasa bagian mayoritas. Tidak lagi menebarkan benih-benih cinta, tapi kini justru menebarkan benih-benih kebencian.

Terus terang, sebagai pengagumnya, saya sangat menyayangkan hal itu. Saya merasa kehilangan Ahmad Dhani yang dulu, yang saya kagumi, yang saya cintai. Dan sama seperti banyak pengagum Ahmad Dhani yang lain, saya pun berharap Ahmad Dhani segera menyadari kenyataan itu, dan kembali ke habitatnya yang asli—sebagai seniman dan sebagai musisi. Yang menulis syair-syair cinta, yang menyanyi dengan hati.


Wahai jiwa-jiwa yang tenang, jangan sekali-kali kamu
Mencoba jadi Tuhan dengan mengadili dan menghakimi
Bahwasanya kamu memang tak punya daya dan upaya
Serta kekuatan untuk menentukan kebenaran yang sejati

Bukankah kita memang tercipta laki-laki dan wanita
Dan menjadi suku-suku, bangsa-bangsa, yang pasti berbeda
Bukankah kita memang harus saling mengenal dan menghormati
Bukan untuk saling tercerai-berai dan perang angkat senjata

—Laskar Cinta, Chapter 2


Twitter Membuat Saya Bingung

Twitter mengirim e-mail, berbunyi, “Hei @noffret. Tampaknya Anda menyukai Twitter.”

Well, saya pikir Twitter terlalu ge-er.

Kalau memang saya suka kamu, Twitter, terus kenapa? Apa saya harus nembak kamu, gitu? Apa saya harus melamarmu, gitu? Apa kita harus menikah, punya anak-anak, dan membangun rumah tangga?

Saya bingung.

Noffret’s Note: Mudik

Aku kerap membayangkan, kalau tinggal di luar kota, aku tidak akan mudik saat lebaran. Aku akan mudik kapan pun ingin kulakukan.

Aku tidak tahu bagaimana pikiran atau perasaan orang-orang yang mudik, sampai susah payah. Yang jelas, aku heran mereka mau melakukannya.

Menempuh perjalanan jauh, dihimpit macet di mana-mana, diguyur hujan dan disengat panas, stres... rasanya aku tak mampu melakukannya.


*) Ditranskrip dari timeline @noffret, 2 Juli 2016.

 
;